Perjalanan Huahin ke Kalasin menghabiskan 9 jam 47 menit, meski memakai tol. Sampai rumah sudah subuh dan matahari hampir terbit dengan cerahnya. Apo dibangunkan Mile dalam kondisi memprihatinkan. Remaja itu hanya makan croissant dan sereal sepanjang jalan. Mile sendiri tampak kelelahan, meski sudah ganti kemudi dengan bodyguard. Rencana pulang pagi gagal, karena Apo ternyata masih marahan. Lelaki itu ditolak bicara karena Apo ingin berebah. Dia mandi cepat lalu mengurus Sammy dan Katty. Keduanya segera dipeluk di ranjang usai sarapan. Selimut Apo tarik untuk menutupi badan mereka bertiga. Persetan dengan Mile, mau mandi atau ikut tidur tak peduli lagi. Apo puk-puk para bayinya sambil terpejam. Badan pegal menbuatnya tidak sanggup mengecek notifikasi ponsel.
Mile pun tepar dalam kondisi ber-bathrobe. Dia membanting diri ke sisi ranjang, padahal rambutnya masih basah semua. Pasangan itu sama-sama menge-charge tenaga sehari penuh. Apo bangun sesekali untuk menyusui para bayinya. Dia uring-uringan karena ASI-nya sempat tak keluar. Meski kesal tetap makan siang, pumping sendiri, lalu tidur pulas lagi. Remaja itu mengindari Mil dikarenakan tiba-tiba tak percaya diri. Bagaimana pun Reba cantik, sementara perutnya punya bekas jahitan yang besar (kau tahu? Hamil kembar struggle sekali). Tampilannya mirip jejak-jejak benang, strech-mark itu sulit pudar berkat perenggangan kulit. Apo sedih piercing pusarnya tak indah lagi saat dipasang. Setahun menikah sudah membuatnya punya selulit yang parah.
"Aku benar-benar jadi jelek," gumam Apo saat bercermin di kamar mandi. Selama stress dia jarang merawat diri sendiri. Kadang memakai sabuk perut, kadang tidak, membuat kulitnya makin mengirut (tapi Mile kok tidak protes sih saat bercinta kemarin?). Apo ingin tahu bagaimana perasaannya saat menatap Dirlaba. Apa teringat akan masa lalu juga? Apo ingin waras, tapi ketahuan Mile sewaktu menunduk murung.
"Apo?"
"Eh? Phi?!" Si manis langsung menutup piama kembali. Dia menjambak baju itu seolah ingin menyembunyikan titid, padahal celananya masih utuh hingga menyentuh lantai yang kering.
"Sedang apa? Phi cari-cari kok tidak ada."
"Ugh, bukan apa-apa." Apo membalik badannya. "Cuma ingin sikat gigi, kok. Setidaknya cuci muka sebelum ikutan makan. Aku mandi nanti mau tidur saja."
"Hmm."
"Ini sudah malam, Phi. Sebentar lagi Pappy dan Mommy kan pulang kerja."
"Oke, cuma mau memastikan kalau kau ada di rumah," kata Mile, yang trauma Apo pernah kabur sembarangan. "Phi tunggu di luar ya, mau tak kasih sesuatu."
"Huh?"
"Pokoknya kutunggu di kamar."
Mile menutup pintu kamar mandi. Si manis pun penasaran hingga buru-buru menyelesaikan urusannya. Apo keluar dan duduk di atas karpet.Tumben sekali Mile mengajaknya bersila di bawah begini (Apo tetap selonjor karena gips kakinya belum dilepas).
"Iya, Phi?"
"Sorry, kalau Phi Mile kesannya lelet sekali. Ini hadiah anniversary buatmu, Sayang. Kubeli berdasarkan sembarang model yang bagus. Semoga suka, tapi tidak tahu juga seleramu bagaimana."
Apo pun menerima kotak hitam seukuran nampan. Mile masih punya beberapa paper-bag lagi di belakangnya. Sang suami belum memberikan semua item karena kotaknya harus dibuka dulu. Apo menatap ketar-ketir lalu berfokus ke bungkusannya. Dia mengikis tepian kotak yang dihias klep tipis. Saat dibuka ternyata masih ada kotak lain berpita hitam. Benda itu ditarik Apo pelan-pelan, tapi isinya malah kotak-kotak yang lebih kecil.
"Ha ha ha, ribet ya? Aku hanya ingin suprise-nya tak cepat habis," tawa Mile.
Apo tetap diam, lalu mengambil kotak pertama. Isinya adalah parfum branded, tapi belum pernah tahu merk yang tertera, yakni DKNY Golden Delicious dan wadahnya bukan botol, melainkan oval telur. Tutupnya berwarna emas (atau memang emas asli), sementara bawahnya terbuat dari kaca yang berat sekali (jangan bilang ini bongkahan permata berlian--tapi masak iya sih?). Apo lihat bagian samping dihiasi safir kuning dan merah muda. Ada juga yang berbentuk mawar, tepiannya berupa canary.
Seriusan, heh? Apo jadi ingin membuka Google untuk melihat harganya, tapi karena sekarang emosi, dia tetap ingin jual mahal. Ah, pokoknya jangan sampai memaafkan Mile terlalu mudah! Tidak mau!
"Suka, Sayang?" tanya Mile.
Apo malah lanjut membuka kotak kedua. Si manis mengabaikan Mile yang menanti reaksi dia. Namun wajah Apo tetap datar saja. Si manis mengulak-alik sertifikat parfum berbahasa Perancis yang diletakkannya kembali karena tak paham. Sang remaja mendapat susunan emas kotak tipis yang berbaris 20 buah. Ada sertifikat lain yang tertera, tapi nominal gram-nya menggunakan barcode rumit. Batinnya, "Aduh, Phi Mile. Ini sepertinya bagus, tapi aku bingung dipakainya bagaimana."
Lanjut ke kotak ketiga. Terdapat liontin berkilau yang bandulnya berbentuk kunci. Si manis diminta memakainya tapi belum mau. Apo bilang, "Aku nak lihat semua hadiahnya dulu ...." rengeknya, membuat Mile tersenyum.
"Bisa tidak?" tanya Mile.
"U, um." Apo menggeleng karena perekatnya kuat sekali. Mile pun beranjak mengambilkan gunting kecil. Si manis diberikan benda itu untuk mengeluarkan isinya.
"Itu adalah pass card brankas-mu," jelas Mile. "Tahu, kan? Yang dipakai menyimpan benda berharga di dalam bank. Sebenarnya satu paket dengan kartu kredit, Po. Maunya kuberikan barengan, tapi permohonanku masib ditahan."
Apo pun meneliti kartu silver-nya. "Maaf, Phi?" Kedipannya terlihat semakin polos.
"Yang hitam, minimal harus umur 21, Sayang. Kau kan belum ...." jelas Mile. "Terus, harus daftar platinum untuk yang pertama. Ha ha ha, agak rumit kan? Setidaknya simpanlah yang tadi dulu. Nanti benda-benda itu bisa kau masukkan ke brankas." Parfum dan emas kotak-kotaknya ditunjuk.
"Lho, tidak dipakai kah Phi?" tanya Apo.
"Ckck, bukan, Sayang. Benda-benda ini disimpan untuk invest masa depan. Sekarang belum, tapi kau harus punya planning mulai sekarang, hm?"
Apo menghindar waktu pipinya akan disentuh. "Umh--"
Mile hanya terkekeh-kekeh. "Nah, yang terakhir buka dulu dong ...." katanya sambil puk-puk paper-bag di balik punggung. "Nanti kukasih lihat yang ini."
Ternyata hadiah berikutnya lebih tidak masuk akal. Si manis ditunjukkan mini tape berisi password entah apa (kata Mile harus disimpan juga) suatu hari akan diberi tahu gunanya. Padahal belum habis rasa ingin tahu Apo, si manis sudah diminta melihat tabungan berwarna navy. Mile ternyata mulai menyiapkan biaya pendidikan Sammy dan Katty, meski hasil print-nya tampak cukup kacau.
"Ehem, lain kali pihak bank akan kusuruh membuat baru," dehem Mile. "Maksudku, yang lebih rapi. Soalnya tadi buru-buru, Po. Sambil rehat perjalanan aku mampir membuat rekening. So, begitulah. Tak ingin kehabisan waktu, yang penting ada dulu biar bisa kuberikan. Sekali lagi sorry ya hadiahnya serba mendadak. Lain kali, Phi Mile sehat rencananya pasti lebih matang."
"Iya, Phi."
Sampai sini Apo berinisiatif menolak hadiah lain. Barang yang diberikan Mile pasti makin macam-macam. Daripada pusing dia membereskan semuanya ke kotak asal. Untuknya, yang dikelilingi kemewahan Keluarga Romsaithong setahun penuh jadi tidak takjub lagi.
"Eh? Po ... kok--"
"Ini bukan soal anniversary, Phi," kata Apo sakit hati. "Tapi kemarin kok mengobrol lama dengannya? Aku tidak suka Phi-nya senyum-senyum begitu ke dia."
"Ha?" kaget Mile. "Siapa, Sayang? Manajerku?"
"Ihh, bodo!" kesal Apo sambil melempar gunting. "Phi kok pura-pura sih? Masak tidak tahu soal Phi Dirlaba. Katanya mau cepat balik, tapi kutunggu lama sekali. Phiiiiii, aku sudah ingat loh soal dia--ugh ... Phi kan pernah mengajakku dekatin dia di kafe kucing," katanya. "S-Swalayan juga loh, beli kalung pet. Pokoknya aku ingat semua hal."
Lama Mile mencerna situasi kamar. Lelaki itu melihat Apo mengucek mata, tapi beda dengan dulu yang istrinya proteskan lebih terstruktur. Apo jujur, meskipun penyampaiannya berbelit. Dia bisa mengungkapkan resah hati dengan benar agar Mile menangkap maksudnya.
"Ohhhh, ya ampun," desah Mile sambil tertawa. "Ha ha ha, kukira apa, Po. Reba kan datang dengan anaknya waktu itu. Namanya Lian."
"Apa?"
Jujur Apo syok sekali.
"Kenapa?"
"P-Phi Reba sudah menikah, Phi?" tanya Apo. "Maksudku--"
"Ha ha ha ha, nanyamu kok begitu, Po? Reba kan seusiaku, apalagi dia adalah wanita," kata Mile. "Aku yang lelaki baru menikah saja termasuk lambat. Ada-ada saja kau ini. Jangan berpikiran aneh lagi."
Apo benar-benar malu.
"Oh ...."
Mile pun tertawa kecil. "Kami berdua benar-benar menyapa sebagai teman."
Si manis pun tak melawan saat dia tarik duduk di pangkuan. Sambil mengesun pipi, Mile mengajaknya membuka barisan paper-bag. "Kebetulan dia diterima Daddy kerja di RS-ku pekan lalu. Jadi dokter anak, Sayang. Sammy dan Katty kalau imunisasi akan ditangani dia."
"Mmm."
Apo mati kutu hingga ingin membenamkan muka ke bumi.
"Now look, siapa yang ingin nge-gym seperti aku? Di sini ada buku contoh gerakan gym. Terus kunci mobil, hhh ... ya ampun senangnya istriku makin dewasa," puji Mile. "Perasaan kemarin masih 15 tahun. Waktu berjalan cepat sekali."
Si manis pun memperhatikan raut Mile selama bicara. Betapa fokusnya lelaki itu, ternyata belum membuat hatinya tenang. Remaja seusia Apo masih butuh validasi. "Jadi Phi Mile tidak suka dia lagi?" tanyanya.
"Hm? Mana ada."
"Seriusan, Phi?"
Buku dan kunci mobil dikacangi Apo.
"Aku hanya mencintai Apo Nattawin," jawab Mile, sambil curi kesempatan mengecup ke bibir itu. "Dan kalau kau bertanya siapa urutan kedua dan tiga, ya jelas Sammy dan Katty. Kau pikir siapa lagi? Phi susah-susah lho menunggumu sampai lulus, itu yang perlu kau ingat. Cemburunya saja nomor satu. Hmmm ...."
Pipi Apo pun diserang bertubi-tubi. Remaja itu protes, "Mmmmm! Phi Mileeee!" karena lama-lama risih. Dia didekap erat dan digelitiki. Rencana makan malam bersama batal akibat tidak bisa lepas.
"Coba Phi lihat kakimu," kata Mile. "Kok rasanya susah jalan malah karena gips. Bukannya sudah lama sejak kabur-kaburanmu?"
Apo pasrah saja kakinya diangkat ke paha Mile. "Tidak tahu. Kata dokter masih 9 hari lagi. Aku harus sabar kan, biar sembuh total?" katanya. "Kapok Phiii. Tidak mau lari-lari di jalanan lagi." Keningnya berkerut-kerut menahan rasa kaku dan ketat.
"Hm, kan ... kan. Begini kalau sudah merasakan."
"Aku ini cuma kangen Phi Mile," rajuk Apo dengan pipi merona. "M-Maksudku, waktu itu. Tidak suka lihat Phi-nya tidur sampai kesulitan bangun. Aku nak jaga, tapi sendirinya sakit. Kepinginnya cepat-cepat sembuh."
Mile tertegun mendengar kata-kata Apo.
Bohong jika dia tak melihat yang Apo lakukan di kamar mandi. Serahasia apa juga ekspresi si manis mudah dibaca. Lelaki itu membuka perutnya sendiri. Dia tidak membahas strech-mark Apo, tapi membiarkan istrinya mengerti. "Kalau begitu ayo sembuh bersama mulai sekarang, oke? Tengok sebentar?" katanya. "Phi juga punya jahitan yang jelek sekali. Rusukku menonjol sangking kurusnya. Ototku bahkan menyusut tak sebesar dulu. Harus dilatih ulang, Sayang. Aku sendiri mulai malas bercermin karena kacau. Like, ha? Perasaan badanku dulu tak begini. Efek koma ternyata tak main-main."
Napas Apo tercuri kala dijelaskan sedekat itu. Bola mata mereka saling mengunci dan ikut kemana pun bergulir. Kanan, menuju kanan. Kiri, menuju kiri. Tapi Mile dan Apo tidak berciuman, melainkan menyelami isi hati pasangannya.
"Tapi, aku tetap bukan yang pertama ...." gumam Apo sedih. "Padahal kupikir--"
"No, tetap saja kau yang pertama, Cantik," sela Mile. "Maksudku, yang benar-benar aku cintai. Reba tidak membuatku ingin menikahinya, sadar tidak? Beda denganmu yang kukejar sampai bertemu Papa dan Mama. Itu adalah perbedaan besar."
Merasa puas dengan jawaban Mile, si manis pun mengangguk pelan. "Oke."
"Nah begitu. Kau lebih cocok tersenyum daripada uring-uringan. Manyunnya lama ah," goda Mile. "Hadiahku sampai diabaikan semua. Dasar ...."
Apo pun tertawa karena hidungnya dicolek. Rencana Nee memberikan "liburan" pasca melahirkan akhirnya terlaksana juga. Ya, walau telatnya sampai 5 bulan sangking banyakn drama yang datang menerjang. Namun sisi baiknya Sammy dan Katty sudah boleh naik pesawat. Kedua baby itu antusias saat diajak duduk di kursi. "Aioaey! Mmmm, mmm ... mm. Aaaou!" oceh mereka bersamaan.
Mile memangku Sammy, sementara Apo memangku Katty. Mereka duduk di sisi jendela jet demi melihat awan berarak mengawang-awang.
"Alooo, Santoriniii! Kami dataaang!" kata Mile sambil mengayun-ayunkan tangan Sammy. "Tidak sabar ya, Baby? Nanti kita melihat gunung penuh gereja berkubah. Let's goooooooo!" serunya dengan nada kanak-kanak.
"Eh? Bukannya ke Rodos, ya Phi? Tidak jadi?" tanya Apo dengan kedipan yang lucu.
"Bukannya batal, Po. Tapi Santorini dulu, Rodos, baru kemudian Tesalonika."
"Oh ...."
"Atau sekalian ke Naxos? Katanya di sana ada Gunung Zeus. Aku juga belum pernah, sih. Diantara sekian negara yang kujelajahi, Yunani baru kali ini. Bersama kalian."
Sumpah Demi Tuhan Mile pandai bicara dengan cara yang membuat Apo istimewa. Si manis pun membuang muka sebelum mukanya terbakar hebat. "Iya, mau," katanya. "Pokoknya kalau sama Phi Mile suka."
Senyum kemenangan Mile pun mengakhiri pertempuran itu. Diam-diam dia menyeringai karena mulai belajar menjadi kepala rumah tangga yang sebenarnya. "Seru juga punya anak begini," batinnya. "Dengar, Sammy-Katty. Kalian adalah tanda Apo Nattawin milikku."