webnovel

Bab. 1 Lelaki Tak Bernama

Jubahnya berkibar tertiup angin, langkahnya seringan kapas. Ia tidak bisa melayang di angkasa seperti seekor burung, karena ia tidak bersayap. Namun, hanya dengan pikirannya ia bisa menghilang dengan sekali helaan napas dan pergi kemana saja ia mau.

Ia bukan iblis apalagi malaikat. Ia hanyalah dirinya yang hidup di alam berbeda. Tidak! Bukan hanya dirinya. Di jagat raya yang begitu luas terdapat kehidupan yang tersembunyi, jika salah satunya ada mengapa yang lainnya menjadi tidak ada?

Ia telah meloncati dari satu tempat ke tempat yang lain hanya dengan satu kali helaan napas. Ia telah berkelana dari sisi barat dan sampai ujung timur, tetapi tidak ada rumah yang bersedia untuk membukakan pintu untuknya.

Ia telah menjelajahi utara yang dingin dan berakhir membeku di selatan yang lebih dingin, tetapi tidak ada tempat yang bisa ia singgahi untuk menghangatkan tubuh.

Ia ingin pulang. Bumi bukanlah tempat yang nyaman untuknya menghabiskan seluruh hidup. Matahari di bumi terlalu panas dirasa, udara terlalu kotor untuk dihirup, dan air terlalu bau untuk dipakai. Kendati begitu, bumi seolah telah merantai tubuhnya seperti penjara yang menerungku jiwanya. Ia tak bisa pulang, sebelum tujuannya tercapai.

Ia tidak bernama, satu-satunya identitas yang ia miliki adalah nomer yang tertulis dengan angka berwarna keemasan di lengan kanannya. Lagi pula, apa artinya sebuah nama jika ia cukup puas dengan identitas yang ia bawa dari tempatnya berasal. Mereka--kaumnya menamai diri dengan angka sebagai identitas diri. No. 489 begitulah nomer yang disematkan padanya.

Di bumi, ia tidak bisa mati, tetapi tidak juga hidup seperti manusia. Ia dapat dilihat, tetapi tidak dapat disentuh. Wajahnya hampir menyerupai manusia, tetapi ia tetap tak sama. Tak ada orang yang ingin mengenalnya. Tidak. Sebenarnya ia sendiri tidak ingin orang lain mengenalnya.

Ia hidup sendirian di bumi yang ramai. Tak punya teman apalagi keluarga. Satu-satunya sahabat yang setia adalah rasa sunyi. Sudah satu abad ia hidup seperti itu, berkelana dari satu tempat ke tempat yang lainnya hanya untuk mencari jalan untuk pulang. Pulang ke dunianya.

Akan tetapi, satu abad sudah berlalu. Namun, ia tetap tak menemukan satu pun manusia yang bisa ia sentuh tanpa harus menyakiti manusia itu sendiri.

Belahan jiwa, begitu yang pernah ia dengar sebelum meteor membawanya ke bumi untuk mencari belahan jiwa demi menyempurnakan eksistensi hidup dalam kehidupan dimensi lain.

Dikatakan bahwa ada tujuh jiwa yang tersebar di jagat raya. Eksistensinya berada dalam tujuh dimensi. Ia telah berkelana untuk bertemu dengan enam versi jiwa dari dimensi kehidupan lain, dan versi jiwa terakhir berada di bumi. Namun, mencari manusia di bumi layaknya mencari jarum di tumpukan jerami. Walau satu abad sudah berlalu, tetapi ia belum menemukan jiwa yang ia cari.

Sebagian manusia percaya bahwa di dunia mereka memiliki tujuh wajah yang hampir sama, tetapi mereka tidak tahu di mana dan siapa saja. Namun, pengetahuan manusia sangat terbatas, mereka tidak menyadari bahwa kembaran jiwa mereka bisa saja hidup di alam yang berbeda.

Setelah satu abad hidup dalam kehampaan, tepat pada malam di mana ia merasa putus asa, untuk pertama kalinya pertanda itu muncul. Seperti biasa ia loncat ke mana saja sesuka hati, tetapi sial tidak dapat di tolak. Tubuhnya mendarat tepat di depan sebuah mobil yang melaju cepat. Tubuhnya terpental ke aspal dan terluka, meskipun luka itu akan menghilang tak berbekas seperti biasanya.

Ternyata kecelakaan malam itu membawa ribuan harapan yang nyaris hilang. Akhirnya setelah sekian lama, pertanda itu menampakkan diri. Secara tak sengaja, seorang manusia dari jenis wanita datang. Aroma yang menguar dari tubuhnya sewangi kasturi. Membuat ia tergoda untuk mendekatinya. Bahkan sampai saat ini pun wangi itu masih menempel dalam indra penciumannya membuat ia melayang-layang di udara.

Harapan untuk bisa pulang kembali ke tempat asal, akhirnya menyala lagi setelah hampir padam karena keputusasaan. Keberadaan wanita itu seperti dian yang menerangi malam, kini pelita itu mulai menyala-nyala.

Jika ada orang yang bisa membantunya pulang ke dunia yang sangat ia rindukan dialah orangnya; Nadine begitulah orang-orang menyebut namanya.

Ia tersenyum, bayangan wajah perempuan bernama Nadine menari-nari dalam pelupuk matanya. Wajah perempuan itu mengingatkan pada seseorang. Seseorang yang sangat ia rindukan, seseorang yang menjadi alasan mengapa ia harus kembali ke tempat ia berasal.

Akankah orang yang ia rindukan masih setia menunggu? Seperti janji mereka untuk kembali merajut kehidupan setelah ia menemukan jiwa-jiwanya yang terberai di tujuh dimensi kehidupan. Ah, wanitanya pasti masih setia. Bukankah mereka telah berikrar untuk saling setia sehidup semati? Bagi bangsa mereka, janji yang sudah terikrar pantang untuk dilerai. Jika hal itu terjadi maka kematian adalah satu-satunya jalan keluar.

Ia menatap setiap inci wajah yang tertidur pulas di depannya. Bibir Nadien merekah semerah mawar, bola matanya yang tertutup mendedahkan bulu mata yang lentik, kulit pipi semulus sutra dan hidung mungil yang menggoda. Lagi-lagi bau harum kasturi menguar dari dalam tubuh Nadien dan memenuhi udara.

Ia menyedut aroma itu sepuasnya. Ada kehangatan dan kepuasan yang menjalar dalam urat-urat tubuhnya, menghangatkan tubuhnya yang dingin dan kesepian.

Perlahan tangannya mengusap wajah yang sedang terlelap. Ia tertawa kecil melihat mulut wanita di depannya menganga dengan sedikit cairan yang menetes ke atas bantal. Kemudian terdengar dengkuran kasar dari mulut mungilnya. Manusia, secantik apapun wajahnya ia akan selalu mendengkur saat sedang tertidur.

Ah, manusia tertidur seperti orang mati. Itu adalah bentuk kenikmatan yang tidak bisa ia miliki. Terbesit iri melihat manusia tidur begitu lelap dan nikmat. Manusia meskipun makhluk yang paling lemah, tetapi memiliki kekuatan yang begitu istimewa. Setidaknya ketika mereka tertidur maka hilang pula segala beban yang menggelayut di pundaknya.

Tiba-tiba wanita di depannya membalikan badan dan tidak sengaja telapak tangannya menempel di lengannya. Ia tertegun beberapa saat, ketika kulit mereka bersentuhan ada sensasi yang mengalir dalam pembuluh darahnya dan berlari menuju jantung. Ia bahkan bisa mendengar detak jantung yang berdegup seirama, seolah berasal dari jantung yang sama.

Entah berapa lama ia duduk menekuri setiap inci wajah wanita bernama Nadine. Tak salah lagi, dialah belahan jiwa yang selama ini ia cari. Ia hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk melakukan apa yang harus ia lakukan agar bisa pulang. Selagi menunggu waktu yang tepat itu, ia akan senantiasa menjaganya dari hal apapun yang dapat membuat ia kehilangan kesempatan untuk pulang.

Darah dan tubuh Nadine adalah kunci untuk membuka portal yang selama ini terkunci, dia hanya harus menunggu waktu yang tepat untuk membukanya.

"Nadine, kau adalah milikku." Ia tersenyum. Tidak. Lebih tepatnya lelaki misterius itu menyeringai lebar.

To be continued ....