webnovel

Seperti Ibu Kandung Sendiri.

"Sebenarnya Mila nggak sebaik yang Mama pikir. Mila bukan dari keluarga berada ataupun terpandang, bukan juga wanita yang memiliki pendidikan tinggi. Mila hanya lulusan SMA yang bekerja di perusahaan OXA Group sebagai admin keuangan biasa, Ma," ungkapnya, tidak akan menjadi masalah 'kan jika dia mengaku sebagai bagian karyawan perusahaan itu meski belum sepenuhnya resmi bekerja?

Berbeda dengan dugaan Mila, reaksi Elena jauh dari yang dia bayangkan. Wanita yang masih terlihat cantik di umurnya yang tidak lagi muda itu menghias wajahnya dengan tawa lebar, menertawakan perkataan konyol dari menantunya barusan. "Ya ampun, Sayang! Kamu ini ngagetin mama aja, mama pikir kamu mau ngomong apa, kok kayaknya serius banget."

Lah, Mila 'kan memang sedang serius, tidak sedang bercanda. Dia bahkan mengumpulkan banyak keberanian hanya untuk bicara yang sejujurnya.

"Kamu pikir sedangkal itu pikiran mama? Dengar ya, mama, papa dan juga Kevin nggak pernah peduli dengan apa itu yang namanya latar belakang keluarga, atau bahkan pendidikan tinggi. Kenapa? Karena semua itu nggak penting. Bagi kami, yang terpenting adalah kecantikan kamu dari dalam dan luarnya. Hati kamu yang penting. Karena itu, kali pertama mama lihat kamu, mama langsung suka. Mama bisa lihat kalau kamu adalah gadis yang sangat baik dan tulus hatinya," puji Elena sekali lagi. Benar-benar membuat hati Mila tersentuh, hingga tanpa sadar gadis itu meneteskan air mata perlahan.

"Hei, kok malah nangis, sih? Jangan nangis dong, nanti mama bisa kena amuk Kevin karena dipikir habis ngapa-ngapain kamu, Sayang," keluh Elena, berhasil membuat Mila menerbitkan tawa dengan isakan tangis yang masih belum menghilang. Tangan Elena bahkan terangkat untuk menghapus bekas air mata di pipi berisi calon menantunya itu.

"Makasih ya, Ma. Makasih banyak karena sudah menerima Mila dengan baik, memperlakukan Mila dan menyayangi Mila seperti ibu kandung sendiri," ungkap Mila jujur, sangat tulus dari hatinya.

"Ouhh, you're really a sweet girl!" Elena mengatakannya dengan menarik Mila untuk masuk ke dalam dekapan hangatnya, merasakan kasih sayang yang cukup besar untuk seseorang yang baru akan menjadi keluarganya.

"Justru mama yang harusnya berterima kasih, Sayang. Karena kamu, mama bisa mewujudkan impian mama yang selalu ingin seakrab ini dengan menantu mama. Bahkan mama merasa punya anak gadis sendiri," ucapnya, masih mendekap erat Mila dalam pelukannya.

Setelah isakan Mila berhenti, barulah mereka mengurai pelukan. Mila yang melakukannya lebih dulu. Elena mengusap lembut surai hitam kecoklatan milik Mila, dengan nada penuh kasih kemudian bertanya, "Tapi, kalau mama boleh tahu, kenapa Mila hanya lulusan SMA? Kenapa nggak melanjutkan untuk kuliah, Sayang?"

Berat rasanya untuk menjawab pertanyaan itu, karena dengan begitu, Mila harus membuka luka masa lalunya yang menyakitkan.

Menyadari ekspresi wajah Mila yang berubah sendu, Elena kemudian kembali menimpali, "Tapi, kalau kamu masih belum mau cerita sama mama juga nggak papa kok. Mama nggak keberatan."

Namun, Mila justru menggeleng. Jika ini bisa membuatnya lebih diterima dalam keluarga itu, Mila akan rela melakukan apapun. "Nggak papa kok, Ma. Lagipula itu juga hanya masa lalu," sahutnya, menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan sebelum melanjutkan perkataan, "jadi, setelah lulus SMA, Mila hanya tinggal berdua sama mama. Papa Mila menikah lagi dengan wanita lain. Sejak itu juga, mama Mila sakit-sakitan, dan Mila terpaksa harus kerja untuk menghidupi kebutuhan kita berdua dan biaya berobat mama yang sedang sakit, Ma."

Elena terkejut, sama sekali tidak menyangka bahwa kisah hidup gadis secantik dan seriang Mila ternyata sekelam itu. Jadi, selama ini gadis itu berjuang sendiri untuk menghidupi dirinya dan mamanya yang sedang sakit?

"Calon besan mama sakit? Kok Kevin nggak pernah cerita sama mama soal ini? Kevin benar-benar keterlaluan Kevin! Mama harus bicara sama dia sekarang!" Elena baru akan bangkit dari posisinya sebelum tangan Mila menahannya lebih dulu. Sekali lagi, reaksi yang diberikan oleh Elena jauh di luar dugaannya.

"Mama Mila sudah nggak papa kok, Ma. Kemarin, Kevin juga yang bantu Mila untuk membayar biaya operasi jantung mama Mila beberapa hari yang lalu," ungkap Mila, meski dia tidak mengungkap juga konsekuensi yang ditanggungnya untuk mendapatkan biaya rumah sakit itu.

"Oh, ya harus begitu dong! Kalau enggak, mama akan buat perhitungan sama Kevin!" ucapnya, bicara dengan nada tinggi seperti siap untuk meledak.

"Terus sekarang kondisi mama kamu gimana, Sayang? Sudah baik-baik aja, 'kan?" tanya Elena, gurat wajahnya menunjukkan rasa khawatir yang tercetak jelas.

Mila mengangguk dengan senyum yang terbit. "Baik kok, Ma. Keadaan mama Mila sangat baik sekarang," balasnya.

Elena kemudian tersenyum lega. Detik kemudian, dahinya mengkerut saat mengingat sesuatu. "Terus kalau kamu di sini, yang jagain mama kamu di rumah sakit siapa sekarang? Pantas kapan hari mama bingung kenapa Kevin bilang habis dari rumah sakit, ternyata untuk menjenguk mama kamu? Tahu gitu, mama ikut sekalian! Kevin sih nggak bilang-bilang!" ketusnya, seperti sedang menahan marah. Sekali lagi membuat Mila tertawa.

Semua ekspresi kesal yang ditunjukkan Elena di depannya hari ini berhasil menghibur Mila atas semua masalah yang merundungnya akhir-akhir ini.

"Mama nggak perlu khawatir. Ada sahabat Mila kok, Ma, Vega yang bantu jaga. Harusnya Mama kenal sama Vega, 'kan? Soalnya seingat Mila, Vega pernah cerita kalau ayahnya dan Papa Chris itu bersahabat."

"Vega Indira Hartawan? Anaknya Mas Hartawan itu? Oh, dia sahabat kamu?" Elena kembali terkejut dibuatnya, karena setahunya Vega, anak dari sahabat suaminya itu terkenal introvert dan tertutup. Sama sekali tidak mudah dekat dengan orang asing.

"Iya, Ma. Vega itu sahabat Mila dari SMA. Kebetulan kami satu sekolah SMA dulu."

Lagi-lagi Elena menemukan sebuah fakta yang menakjubkan. "Berarti kamu juga lulusan SMA Pelita Bangsa, Sayang?" tanya Elena lagi, kembali memastikan.

"Kok Mama tahu?"

"Ya, jelas dong mama tahu. Kan Kevin sekolah di sana juga dulu, dari SMP sampai SMA di Pelita Bangsa karena Opa Orlan yang punya yayasan sekolah itu. Baru setelah lulus SMA aja, Kevin milih sekolah jauh-jauh sampai ke Oxford segala, menghabiskan waktu 6 tahun lebih untuk selesai sekolah magister, bikin mama galau bertahun-tahun nunggu Kevin pulang ke Indonesia. Tahu deh itu, apa nggak panas otaknya sekolah tinggi-tinggi begitu!" protesnya, mengeluhkan sesuatu yang membuatnya kesal.

Di balik perkataan Elena itu, Mila baru mengetahui fakta lain bahwa Kevin ternyata dulu satu SMA dengannya. Kenapa Mila tidak pernah menyadarinya?

"Kevin beneran lulusan SMA Pelita Bangsa juga, Ma?"

"Iya, Sayang! Kamu nggak tahu, ya? Mama tunjukin fotonya Kevin pakai seragam sekolah SMA dulu. Kayaknya ada deh." Elena kembali membuka lembaran album yang sedari tadi menganggur di pahanya karena mereka sibuk membahas hal lain.

Setelah menemukan foto yang dimaksud, Elena segera memindahkan album itu ke pangkuan calon menantunya agar Mila bisa melihatnya dengan jelas. "Ini buktinya, tapi jangan kaget ya! Itu Kevin masih jelek, penampilannya dulu pas SMA culun banget soalnya," ucapnya, mencela putranya sendiri.

Sementara Mila sendiri berhasil terkejut saat melihat foto Kevin masa SMA. Alisnya hampir bertautan saat menyadari bahwa Kevin yang di foto itu adalah cowok yang pernah dia bela saat di-bully oleh Mischa dulu.

Jadi, Kevin adalah kakak kelasnya yang menyebalkan itu? Tapi, kenapa dulu Kevin rela di-bully kalau Opa Orlan adalah pemilik yayasan dari sekolah tempat mereka dulu? Semua pertanyaan itu saling berkecamuk di kepala Mila sekarang. Dia membutuhkan penjelasan!

Chapitre suivant