webnovel

PENDEKAR TAPAK DEWA

Kebiadaban yang dilakukan oleh gerombolan La Kala (Kelompok Merah-Merah) di bawah pimpinan La Afi Sangia makin merajalela. Terakhir mereka membantai penduduk Desa Tanaru beserta galara (kepala desa) dan keluarganya sebelum desa mereka dibumihanguskan. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana yang sebagian besarnya hangus bersama rumah-rumah mereka. Darah Jenderal Hongli alias Dato Hongli mendidih menyaksikan bekas aksi kebiadaban yang di luar batas kemanusiaan itu. Darah kependekarannya menangis dan jiwanya menjerit. Tetapi ada sebuah keajaiban. Di antara mayat-mayat bergelimpangan ada sesosok bayi mungil yang kondisinya masih utuh. Tubuhnya sama sekali tak bergerak. Sang bayi malang seolah-olah tak tersentuh api walau pakaiannya telah menjadi abu. “Oh...ternyata bayi ini masih hidup,” desah sang mantan jenderal perang kekaisaran Dinasti Ming. Diangkatnya bayi itu seraya lanjut berucap, “Akan kubesarkan bayi ini. Dia adalah sang titisan para dewa. Akan kugembleng ia agar kelak menjadi seorang pendekar besar. Kelak, biarlah dia sendiri yang akan datang untuk menuntut balas atas kematian keluarganya serta seluruh penduduk desanya. Akan kuberi bayi ini dengan nama La Mudu. Ya, La Mudu, Si Yang Terbakar...!” Lalu sang pendekar besar yang bergelar Wu Ying Jianke (Pendekar Tanpa Bayangan) itu mengangkat tubuh bayi itu tinggi-tinggi dengan kedua tangannya. Ia berseru dengan suaranya yang bergetar membahana: “Dengarlah, wahai Sang Hyang Dewata Agung....! Aku bersumpah untuk menggembleng dia menjadi seorang pendekar besar yang akan menumpas segala bentuk kejahatan di atas bumi ini..!! Wahai Dewata Agung, kabulkanlah keinginanku ini...!! Kabulkan, kabulkan, kabulkan, wahai Dewata Agung...!” Sang Hyang Dewata Agung mendengar permohonannya. Alam pun seolah mengamininya. Cahaya petir langsung menghiasi angkasa raya yang disusul dengan guruh gemuruh yang bersahut-sahutan. Tak lama kemudian hujan deras bagai tercurah mengguyur bumi yan

M Dahlan Yakub Al Barry · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
89 Chs

Bab 19. Menuju Ke Arah Timur

La Mudu yang sejak tadi hanya berdiri menyaksikan aksi segenap murid dadakannya tetap berdiri di tempatnya. Dia memerintahkan agar seluruh mayat dibuang dalam satu tempat di sebuah jurang yang tak jauh dari tempat itu. Setelah semuanya beres, La Mudu mengajak seluruh anak buahnya untuk pulang ke desa dengan membawa kembali seluruh kuda beban yang membawa padi. Sementara mereka menunggangi kuda yang tadi ditunggangi oleh gerombolan anak buahnya La Api Sangia.

Segenap penduduk desa merasa lega demi mendapati kembali harta mereka yang tadi dibawa oleh gerombolan anak buahnya La Afi Sangia. Akan tetapi di sisi lain, segenap penduduk Desa Kandunggu merasa sangat khawatir jika peristiwa itu akan diketahui oleh La Afi Sangia lalu akan datang menyerang desa mereka.

“Kalian jangan khawatir,”ucap La Mudu, “desa ini sudah memiliki benteng yang sangat kuat. Benteng itu adalah puluhan pemuda desa ini yang telah memiliki ilmu bela diri yang cukup tinggi. Namun demikian, saya memberi jaminan pada kalian, bahwa selamanya desa ini akan aman, karena saya sudah memiliki rencana untuk mengakhiri kebiadaban manusia yang bernama La Afi Sangia itu.”

Setelah mendengar ucapan dan jaminan dari La Mudu itu, segenap warga Desa Kandunggu meresa lega dan bergembira. Maka pada saat itu pun. Mereka sangat berterima kasih kepada La Mudu. Mereka menganggap La Mudu sebagai pahlawan dan dewa penyelamat bagi mereka.

Malam itu, setelah berada di rumah La Kalimone, La Mudu bercerita bahwa besok pagi-pagi ia akan melanjutkan perjalanannya. “Aku harap kau dan teman-temanmu menurunkan ilmu silat yang kalian miliki kepada pemuda lain di desa ini.”

Kalimone menatap wajah La Mudu lekat-lekat. Ada perasaan tak ingin berpisah di wajahnya dan kata-katanya, “Jawara hendak ke mana? Kami sangat mengharapkan Jawara untuk terus berada di sini. Kami sangat membutuhkan Jawara. Bahkan kami berencana untuk menjadikan Jawara sebagai pemimpin kami di desa ini.”

La Mudu tersenyum lalu menepuk bahu La Kalimone. “Jujur, aku juga sangat senang berada di desa ini, di tengah kalian sahabatku yang baik-baik, tetapi aku mempunyai tugas dan kewajiban yang harus kuselesaikan dahulu. Jangan khwatir, suatu saat aku akan mengunjungi kalian di sini.”

La Kalimone hanya manggut-manggut. Ia dapat memaklumi, bahwa La Mudu adalah seorang jawara, tentu memiliki tugas dan kewajiban hidup yang harus diembannya. Lalu ia berkata, “Baiklah, Jawara Mudu. Walau berat hati untuk berpisah dengan Jawara, namun bagaimana pun saya harus ihlas melepas kepergian jawara. Tetapi jika ada waktu, kelak tetap berkunjunglah ke sini, jenguklah kami.”

“Tentu, Kalimone. Dan aku sangat berterima kasih kepada kau dan seluruh masyarakat desa ini karena telah sudi menerimaku sebagai tamu di sini. Kalian adalah tuan rumah yang sangat baik.”

“Sama-sama, Jawara. Begitu pun kami, terutama saya pribadi dan calon istri saya, sangat berterima kasih kepada Jawara Mudu. Dan saya atas nama seluruh masyarakat desa menghaturkan banyak terima kasih kepada Jawara Mudu atas segala jasa dan kebaikannya.”

“Ya, aku menerima ucapan terima kasihmu, Kalimone,”balas La Mudu. “Dan satu harapanku kepadamu dan seluruh muridku yang lain, tolong didiklah para pemuda lain di desa ini agar mereka dapat menjadi pemuda yang kuat dan ngau seperti kalian. Bila perlu, didik adik-adik dan kemenakan kalian sejak dini. Desa yang memiliki para pemudanya yang kuat dan ngau, itu seumpama ular yang sangat berbisa atau seekor singa yang bertaring dan bercakar yang tajam dan kuat. Sebab demikianlah nasihat yang aku dapatkan dari guruku.”

Kalimone mengangguk-angguk pelan lalu berkata, “Baiklah, Jawara. Pesan Jawara siap saya laksanakan!”

* * *

Seperti yang direncanakan, ketika kokok ayam kedua terdengar bersahut-sahutan, La Mudu telah memacu kuda tunggangannya menuju arah timur. Kuda yang berbulu putih itu sengaja disiapkan oleh La Kalimone untuk dia pakai, yang merupakan kuda Babuju yang terkenal sangat kuat fisiknya walaupun tubuhnya lebih kecil dari kuda dari Pulau Sumba.

Saat matahari telah naik ke hampir setengah bola langit, La Mudu telah tiba di sebuah wilayah yang bernama Sape. Di sebuah rumah makan yang terletak pemukiman yang bernama So Toro, La Mudu mampir untuk mengisi perutnya yang sudah sangat keroncongan.

Warung itu lumayan ramai. Pemiliknya adalah sepasang suami istri yang bermata sipit dan berkulit putih yang berusia mungkin sekitar lima puluhan tahun. Melihat wajah bapak pemilik warung, benak La Mudu langsung teringat pada gurunya, Dato Hongli.

Di warung makan itu juga dibantu oleh seorang gadis berusia sekitar 20-an tahun yang berkulit putih, bermata sipit. Dia adalah putri dari pemilik warung. Untuk ukuran gadis desa, wajah gadis itu terbilang sangatlah cantik. Mungkin karena itu banyak laki-laki yang datang menikmati menu makanan di warung itu.

Ketika melihatnya kehadirannya, bapak pemilik warung memanggil nama gadis itu dengan sebutan Meili untuk melayaninya.

La Mudu alias Pendekar Tapak Dewa mengambil tempat duduk di bangku yang paling pojok. Saat melihatnya, si gadis yang bernama Meili mendatanginya dan bertanya, “Tuan mau makan apa?”

“Iya, siapkan saya makanan dengan lauk yang ada untuk saya sendiri,” jawab La Mudu sambil mengangguk pelan.

“Lalu Tuan mau minum apa? Di sini ada arak, yang agak keras, tapi juga ada air tuak. Kebetulan air tuaknya masih baru.”

“Ya air tuak saja,”sekali lagi La Mudu mengangguk pelan seraya tersenyum. Ia sudah paham dengan kedua jenis minuman itu. Arak adalah minuman kesukaan gurunya, Dato Hongli. Ia tak pernah tahu entah dari mana orang tau bermata sipit itu mendapatkan minuman yang bisa memabukkannya itu. Sekalipun sang guru sangat menggemari minuman itu tetapi La Mudu tidak pernah sedikit pun ingin mencobanya. “Sebaiknya kamu tak pernah untuk mencicipinya,”saran Dato Hongli suatu saat.

Saat Pendekar Tapak Dewa sedang asyik menikmati makanannya, masuk sekawanan laki-laki yang bertampang kasar. Jumlah mereka ada tujuh orang, langsung memenuhi beberapa bangku di sebelah selatan ruangan warung, berhadapan langsung dengan bangku dan meja yang ditempati oleh La Mudu.

Bapak pemilik warung mendekati kawanan itu untuk menanyakan hidangan yang mau dipesan.

“Siapkan saja semua makanan yang paling lezat di warung ini, serta beberapa wadah arak! Jangan lama-lama, Baojia!”ucap salah seorang di antara kawanan itu, yang kemungkinan adalah pimpinannya. Postur tubuhnya besar kekar namun memiliki codet yang panjang di pelipis hingga ke bawah pipinya. Mungkin dulunya bekas tebasan senjata tajam.

“Baik tuan, pesanannya segera diantar!” sahut pemilik warung yang dipanggil Baojia lalu meninggalkan tempat itu. Walau dari wajahnya tidak mengalamatkan perasaan gembira sebagaimana halnya pemilik warung umumnya yang kedatangan pelanggan, namun ia menyruh putrinya, Meilin, untuk membawakan berbagai makanan dan berkendi-kendi arak di bawah yang dipesan ke mejanya kawanan. Keadaan warung jadi langsung berubah berisik oleh keberadaan kawanan itu. Lebih-lebih ketika gadis Meilin berada di dekat mereka.

“Temani saja kita di sini ntika canggo, hayo sambil kita minum-minum,” goda salah seorang dari ketujuh gerombolan kepada Meilin. Ia memiliki tubuh yang pendek tapi kekar. [Ntika canggo = cantik berleher jenjang).

La Mudu tak ambil peduli dengan perilaku kawanan itu. Ia masih menikmati kelezatan makanannya, karena memang ia sedang sangat lapar.

Akan tetapi, jeritan Meilin membuat kepalanya sontak terangkat dan melihat ke arah depannya. Di sana Meilin sedang ditarik dan dipeluk oleh laki-laki yang bercodet di pipi dengan gemas dan disambut dengan tertawa ramai keenam anak buahnya.

Baojia dan istrinya demi melihat putrinya diperlakukan secara tidak senonoh demikian datang hendak menolong anaknya. Tetapi belum sampai dia meraih tangan putrinya, salah seorang anggota gerombolan menendangnya ke belakang dan menghantam dagunya. Ia terjajal ke belakang lalu jatuh terduduk bersama istrinya.