webnovel

Gonjang-Ganjing di Istana

= Kerajaan Mardhipala, 1219 Tahun Saka (1297M) =

"Gusti Pangeran! Lekas lari! Lari sejauh mungkin!" Teriakan itu berbarengan dengan ditusuknya orang itu di punggungnya oleh pihak lain.

"Paman Patih!" Pemuda berusia 20 tahun itu berseru dengan tangis luruh ketika melihat pria yang berteriak tadi padanya, tubuhnya sudah ditembus pedang.

Ia melihat dengan matanya sendiri, Patih Yasadipura meregang nyawa karena melindungi dia.

Terbakar oleh amarahnya, pemuda itu hendak menerjang ke orang yang menusuk paman patihnya, namun baru saja dia maju, orang berpakaian serba hitam yang melukai paman patih mengulurkan tangan dan pemuda itu terpental ke belakang.

"Huh! Kau baru di ranah bumi awal dan hendak melawan kami di ranah langit? Sungguh tak tahu malu! Pangeran tak berguna!" Orang berbaju serba hitam menertawakan pemuda yang sedang berjuang bangkit dari reruntuhan akibat terjangan punggungnya sendiri karena terpental.

Pemuda yang dikatakan sebagai pangeran itu susah payah bangkit dari lantai. Dia memandang sekitarnya, api sudah menjalar ke berbagai sudut. Istana yang tadinya terlihat megah dan luar biasa, kini porak-poranda.

Tak hanya itu saja, dia masih ingat betapa kalang-kabutnya para abdi dalem dan pelayan ketika serangan segerombolan pria berbaju serba hitam tiba-tiba saja menerjang ke istana dan lekas melumpuhkan para penjaga yang tak siap.

Belum lagi, orang-orang berbaju hitam itu seakan mengincar dirinya yang merupakan putera mahkota bergelar Gusti Raden Mas.

"Gusti Raden Mas!" Ada lelaki lain yang segera menghampiri cepat pemuda itu, menahan agar pangeran tidak perlu maju lebih jauh ke arah orang berpakaian hitam. "Jangan dilawan! Segera pergi, Gusti Pangeran! Saya akan menahan di sini!"

"Paman Patih Wijendrawardana! Aku tak mungkin lari dari ini! Bagaimanapun, masih ada ayahanda Raja dan ibunda di sana! Serta adik-adikku!" Sang pangeran masih ingin bertahan. Baginya, lari sama saja tindakan pengecut.

"Nasib mereka sudah tak bisa ditentukan, Gusti Pangeran!" bentak patih itu.

"A-Apa?" Putera Mahkota mendelik kaget. Dia memang terpisah saat dilarikan ke bangunan istana yang ini oleh Patih Yasadipura sebelumnya ketika serangan itu terjadi. "Lalu, bagaimana dengan paman mahapatih dan para punggawa?"

"Tak perlu memikirkan mereka, Gusti Pangeran! Lebih baik panjenengan lekas menyelamatkan diri, sepertinya Mpu Semadya sudah menunggu di gerbang utara! Larilah!" Patih Wijendrawardana terus menyuruh pangerannya untuk bergegas kabur.

"Kalian seenaknya saja mengobrol saat aku di sini? Sungguh berani sekali." Lelaki berbaju hitam tertawa mengejek. "Lebih baik sisa waktu kalian digunakan untuk berdoa saja agar nanti kalian bisa ke tempat Hyang Widi."

"Kau! Sebenarnya siapa kau? Kenapa menyerang istana? Nyalimu besar sekali meski kau pengecut karena memakai penutup muka!" teriak sang pangeran secara sengit.

Mendengar ejekan balik dari pangeran putera makhkota, lelaki baju hitam mulai naik pitam dan menghardik, "Sepertinya kau sudah kebelet ingin segera menemui Hyang Widi! Baiklah! Akan aku kabulkan!" Lalu, lelaki itu menerjang ke depan sambil tangannya mengepal mengumpulkan energi kanuragannya.

"Tidak semudah itu!" Patih Wijendrawardana berteriak sambil menahan tinju bermuatan energi kanuragan tadi. "Gusti Raden Mas, lekas lari! Akan sangat gawat kalau panjenengan tertangkap mereka! Nasib kerajaan ada di tangan panjenengan!"

Saat keadaan genting seperti itu, mendadak saja muncul Mpu Garandu, seorang yang cukup sakti. "Kenapa Gusti Pangeran masih di sini?"

"Mpu Garandu, lekas bawa Gusti Pangeran!" teriak Patih Wijendrawardana sambil terus menahan serangan lelaki berbaju hitam.

Tak ada pilihan, Mpu Garandu pun mencengkeram bahu sang pangeran dan membawa cepat menggunakan kekuatan kanuragannya, menghilang dari tempat tadi, meninggalkan kedua patih yang bertempur hingga titik darah penghabisan.

"Paman Patih! Paman Patih!" teriak sang pangeran memanggil kedua patih seakan tak rela dirinya dibawa paksa. "Mpu Garandu, tolong turunkan aku! Aku ingin menyelamatkan ayahanda, ibunda dan adik-adik!"

Mpu Garandu tidak menjawab sepatah katapun dan terus membawa terbang sang pangeran hingga akhirnya tiba di sebuah kaki gunung. Mereka turun dan bertemu dengan sosok lelaki berjenggot putih sepanjang dada.

"Mpu Semadya, aku sudah membawa Gusti Pangeran. Aku serahkan padamu." Mpu Garandu menyerahkan pangeran yang masih tak rela dibawa paksa tersebut.

"Baiklah, terima kasih, Mpu Garandu." Mpu Semadya mengangguk.

Setelah itu, Mpu Garandu terbang lagi menuju ke arah istana yang sedang kacau-balau akibat serangan dadakan dari pasukan berpakaian hitam.

"Aku ingin ke sana! Aku ingin ke sana, Mpu!" Pangeran mengenal mpu tersebut dan menatap Beliau dengan pandangan penuh harap.

"Biarkan urusan di istana diurus oleh Mpu Garandu." Mpu Semadya mengelus jenggot putih panjangnya. "Sekarang, lebih baik Gusti Pangeran ikut saya."

"Tapi bagaimana dengan ayahanda raja dan juga ibunda, lalu adik-adik?" Pangeran masih belum tenang jika memikirkan bagaimana nasib keluarganya.

"Mereka akan didatangkan ke sini, maka dari itu Gusti Pangeran Narendrajanu lebih baik menunggu di dalam saja." Mpu Semadya lalu menggerakkan tangan di udara dari kiri ke kanan, dan muncullah mulut gua dari batu secara ajaib.

Seorang mpu biasanya memiliki kekuatan magis yang besar, maka tak heran jika Mpu Semadya bisa menyembunyikan dan memunculkan gua begitu saja.

Pangeran pun lebih tenang setelah dijanjikan demikian. Maka dia patuh berjalan mengikuti Mpu Semadya masuk ke dalam gua.

Memikirkan bagaimana para mpu memiliki energi magis yang kuat, maka pangeran Narendrajanu berharap semua keluarganya berhasil diselamatkan Mpu Garandu.

"Silahkan duduk dulu, Gusti Raden Mas." Mpu hanya menunjuk ke tanah dan muncullah bangku terbuat dari tanah padat seakan tumbuh begitu saja dari bawah. Kemudian, dengan kibasan pelan tangannya, Mpu Semadya memunculkan kendi kecil beserta cawan gerabah. "Silahkan diminum dulu, Gusti."

Pangeran Narendrajanu tak memiliki pilihan selain menuang air putih di kendi itu ke cawan gerabah tadi dan meneguknya. "Jadi … kapan kira-kira ayahanda dan yang lainnya ke sini …."

Baru saja Mpu Semadya hendak berucap menjawab sang pangeran, tiba-tiba dia mendengar telepati jauh dari rekan sesama mpu. Matanya mendadak mendelik kaget, lalu menggunakan kekuatan magisnya, dia membukakan pintu batu yang menutupi gua.

Dari luar, berlarilah sosok tua lainnya ke dalam gua sambil dia berkata panik, "Mpu Garandu tidak berhasil! Dia dikalahkan penyihir pihak lawan! Apalagi, maharaja dan keluarganya sudah … sudah …." Ia melirik ke arah Pangeran Narendrajanu.

Segera, Pangeran Narendrajanu bangkit dari duduknya dan langsung bertanya, "Katakan padaku, apa yang terjadi dengan ayahanda dan yang lainnya!"

Mpu yang baru datang adalah Mpu Candara. Dia melirik ke Mpu Semadya seakan meminta ijin.

"Katakan saja. Bagaimanapun, Gusti Pangeran berhak tahu." Mpu Semadya mengangguk.

"Emhh, baiklah. Gusti Raden Mas, sebelumnya, hamba memohon ampun panjenengan jika berita yang hamba bawa—"

"Langsung saja, Mpu, jangan berbelit-belit!" Pangeran Narendrajanu tak sabar ingin tahu nasib keluarganya.

"Maharaja … dan permaisuri … sudah tewas."

"Apa?!" Mpu Semadya tak mengira akan begini ujungnya.

"Lalu, adik-adik?" Meski pilu dan terkejut mendengar kematian ayah dan ibunya, Pangeran Narendrajanu ingin tahu nasib adik-adiknya.

"Pa-Pangeran Raden Mas Paramayoga … dipenggal dan ketiga Raden Ayu … mereka … mereka …." Mpu Candara menggelengkan kepala, tak sanggup mengatakan apa yang terjadi dengan ketiga putri dari permaisuri.

"Dimas Paramayoga … Dinda Aristyawati … Dinda Anantarumi … Dinda Pramestiwara … kenapa … kenapa ini terjadi pada kalian?" Pangeran Narendrajanu menjatuhkan lutut dengan tangis pilu di tanah. "Ayahanda … ibunda … hiks! Kenapa mereka … ahh, lalu adik-adik lainnya?"

"Gusti Raden Mas, semua ini didalangi oleh selir utama Asmitadahayu! Dia ingin putranya sendiri naik tahta menggantikan raja dan juga mengeksekusi semua putra baginda raja lainnya agar tak ada yang menghalangi jalan dia mengangkat Raden Rajendradiatama menjadi maharaja." Mpu Candara menggeleng sedih, menyesalkan tragedi ini.

"Ibu selir Asmitadahayu … dia … dia dalangnya?" Pangeran Narendrajanu seakan tak ingin mempercayai itu. Di matanya, selir utama ayahnya itu sangat baik dan lembut. Siapa kira orang seperti itu bisa mengakibatkan sebuah tragedi berdarah semacam ini?

Sepertinya apa yang ditampilkan raga, tak bisa berbanding lurus dengan apa yang tertera di hati.

"Apakah kalian pikir kalian bisa aman di dalam sana, hah?" Terdengar gelegar suara penyihir jahat di depan mulut gua. "Apa kau pikir aku tak bisa membuka pintu gua ini, Semadya?"

Coba-coba maen pake tema time travel dan historical dikit.

Yuk, silahkan dibaca dan dukung juga yah!

Nanti, kalau tombol power stone nya udah nongol, plis vote utk judul ini, oke?!

Kalo banyak yg baca, kemungkinan bisa oe tulis ampe panjang lebar dah!

See ya next chapter!

Gauche_Diablocreators' thoughts
Chapitre suivant