webnovel

Di Marahi Rio

Rio Gingsul : Ta, lo dimana? Gue OTW sekolah. Lo tungguin gue!

Rio Gingsul : Ta, gue di gerbang depan, Nih.

Rio Gingsul : Ping!!!

Rio Gingsul : Ping!!!

Rio Gingsul : Ping!!!

 

Beberapa pesan dari Rio ku baca dalam hati. Orangnya ada di depanku. Duduk di kursi belajarku secara terbalik hingga tubuhnya menghadap ke arahku. Mimik wajahnya dingin. Sedingin puncak gunung Everest. Mukanya merah seperti gunung merapi yang hendak meletus. Sepertinya dia marah.

Kemarin saat Rio mengatakan dia akan menjamputku setelah pulang dari eskul, dia benar-benar menjemputku. Namun saat laki-laki itu tiba di sekolah, aku tidak ada di sana.

"Seharusnya lo tunggu gue." Rio menatapku tajam.

"Gue kan bilang bakalan jemput lo, kenapa lo malah pulang sendirian?"

"Tahu gak sih lo gue tuh khawatir sama lo!" tegasnya memarahiku.

Seperti orang bersalah, aku menundukkan kepala. Sesekali aku meliriknya dan mendapati tatapan seram itu. Ucapannya tak ku balas, baru kali ini ia membentakku. Aku takut.

Bertahun-tahun aku bersahabat dengan Rio, baru kali ini

"Gue tuh nyariin lo. Gue tanya ke satpam katanya lo ada di ruang eskul, gue ke ruang eskul yang ada cuma Marry, gue tanya Marry katanya lo udah pulang. Gue khawatir sama lo, Ta!" lanjutnya. Rio merasa berlebihan telah memarahiku. Melihat aku terus menunduk dan diam membuat laki-laki itu pun berhenti marah. "Ta, lo kenapa?" Tanya Rio heran. Tangannya memegang kedua pipiku yang basah.

Wajahku di angkat olehnya, manik mata Rio kini berubah tak seseram tadi. Aku menatap kedua netra itu yang hangat. Terpancar jutaan penyesalan di bola matanya yang berwarna hitam pekat akibat memarahiku. Ia mengangkat tubuhku hingga berdiri, raut mukaku bagai kesedihan untuknya. Hampir lima menit kami bungkam, Rio menarik tubuhku menuju dadanya. "Maaf, bukan maksud gue bikin lo nangis," lirihnya seraya mengelus rambutku.

Aku merenggangkan pelukan, menyeka air mataku dan berusaha tersenyum ke arahnya. Gantian aku yang memegang tubuhnya yang setengah kali lipat lebih besar dariku.

"Gak apa-apa, Yo. Gue malah senang, kalo kemarahan lo itu atas dasar rasa khawatir lo ke gue. Kalo gitu caranya, gue mau kok dibentak tiap hari sama lo. Karena Gue—" aku mengangkat bahu, "gue merasa berharga di diri lo."

       Sejak kejadian itu, aku dan Rio semakin dekat. Ia berjanji akan terus ada disampingku mengetahui kakiku yang sakit akibat berjalan kaki sepulang sekolah kemarin. Iya selalu di sampingku, sampai-sampai hari ini dia bolos sekolah hanya untuk merawatku.

            Rio yang mengurusku di rumah ketika Papa dan Mama tidak ada di rumah untuk bekera. Aku tertawa kecil melihat Rio yang mengambilkan ini itu untuk memenuhi keinginanku, aku seperti mendapatkan pelayan gratis saat ini.

Pintu kamarku terbuka, menampak kan sosok Rio yang membawa sebaskom air hangat dan handuk kecil berwarna biru muda yang tergantung dipundaknya. Hihi, kelihatan seperti pembantu. Tapi, masa pembantu ganteng gitu. Kalo di FTV mah judulnya 'Si kecil dan Pembantu Ganteng'.

"Kakinya di basuh dulu yah, pake air hangat. Terus, di oles parutan kencur," ucap Rio menaruh baskom dan handuk di meja samping tempat tidurku. Aku beranjak duduk di pinggir ranjang. Kakiku di raih setelah ia membasahi handuk kecil itu, lalu mengelap kakiku. Hangat.

"Gue harap kaki lo selalu bersih. Supaya siapapun nanti yang akan menjadi pendamping hidup lo kelak, anak-anak kalian bisa masuk surga. Karena, Ibu mereka memiliki kaki yang bersih. Dan, gue harap, gue bisa nyuci kaki ibu gue," lirihnya.

Aku terharu. Tentang ibu Rio, ia sudah berbagi setengah pengalaman sedihnya padaku. Walau hanya sebagian, aku merasa seperti hatinya ada apadaku. Kesedihan, kerinduan, hatiku bagai tersayat mendengar ceritanya. Aku tak tahu bagaimana jadinya jika berada di posisinya.

"Yo," ucapku seraya memegang pundaknya. "Lo bisa dapetin apa yang lo mau dari gue. Lo bisa dapat sahabat dari kehebohan gue, lo bisa dapat adik di postur tubuh gue dan lo bisa dapat ibu dari status gue yang notabe gue adalah wanita seperti ibu lo.

"Lo bisa dapat semua!"

Tidak ada tanggapan apa pun dari Rio.

Suasana pun berubah menjadi cangggung.

Tangan Rio berhenti membasuh kakiku. Ia mendongakkan kepala, matanya langsung menatapku dengan berbinar. Bibirku melengkung ke atas, semoga ucapanku barusan menghilangkan kesedihannya.

Rio memelukku. Dari beberapa pelukan yang ia lakukan padaku, ini yang membuat jantungku bergegup kencang. Darahku seakan berhenti mengalir, tubuhku seakan melemas, ingin rasanya aku berada dalam dekapan ini selamanya. Selamanya.

"Ta, sebelumnya gue berterimakasih banget sama lo. Karena lo adalah satu-satunya cewek yang tahu gue dari awal sampai saat ini," kata Rio dalam pelukannya.

Aku tersenyum, akhirnya aku bisa merasa menang satu langkah dari Cinta.

"Janji, kalo lo akan selalu ada di samping gue?" tanyanya merenggangkan pelukannya.

Aku mengangguk mengiyakan ucapannya. "Iya, gue bakalan terus di samping lo."

"Dan lo akan Janji kalau lo gak akan pergi dari hadapan gue sedetik pun?"  Aku mengangguk kembali mengiyakan perkataannya..

"Dan, janji kalau lo akan selalu menjadi ibu buat gue?" pertanyaan tersebut membuatku melepas pelukannya. Mataku dan matanya bertemu kembali. Aku menghela nafas lalu berkata, "iyah. Asal lo bahagia. Gue akan lakukan apapun meskipun gue harus menjadi orang konyol sedunia."

"Makasih ya, lo selalu bikin gue tenang di saat gue kangen sama Ibu gue. Gue seneng banget waktu lo bilang lo mau menjadi pengganti beliau, karena gak ada sosok perempuan lain di keluarga gue," kata Rio kemudian. Aku mengelus punggung laki-laki itu agar merasa tenang, agar dia merasa bahwa dia tidak sendirian.

"Maaf juga ya gue udah keterlaluan marahin lo tadi." Kali ini laki-laki itu meminta maa atas kejadian beberapa menit yang lalu. Kalau aku boleh membanggakan diri, tanpa aku suruh pun Rio akan meminta maaf padaku jika dia tahu apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Aku tidak perlu melakukan sesuatu seperti marah balik dan menyuruhnya minta maaf, toh kalau dia sadar apa yang dilakukannya itu salah dia akan meminta maaf dengan sendirinya.

"Iyaa gak apa-apa, lagian juga lo gak sepenuhnya salah. Gue tadi ngira lo gak akan balik lagi setelah gue pulang dari eskul, makanya gue langsung balik aja tanpa nungguin lo dulu. Ponsel gue baterainya habis, jadi maaf banget gue gak lihat bbm lo," kataku mengakui juga apa yang aku lakukan itu salah. Kita berdua pun berakhir dengan bermaaf-maafan.

*****