webnovel

10. Sandera

Adinda perlahan-lahan membuka mata tatkala merasakan seseorang mengendus lehernya. Ruangan remang-remang yang hanya diterangi oleh cahaya api dari obor, membuatnya kesulitan mengetahui sosok yang berada didekatnya itu. Ketika kesadarannya sudah pulih betul, ia menoleh dan mendapati seseorang berambut ikal panjang sedang menjilatinya. Adinda terkejut, kemudian beringsut dari tempatnya duduk.

"Siapa kau? Berani-beraninya mengendus leherku!" bentak Adinda seraya mengusap-usap lehernya.

Orang itu mendongak dan menyeringai, memperlihatkan wajahnya pada Adinda. Ternyata ia adalah seorang perempuan, memiliki bola mata berwarna merah, dan kulitnya putih pucat. Jika dilihat lebih teliti lagi, maka akan terlihat gigi taring sedikit lebih panjang di dalam mulutnya.

"Wah, kau sudah bangun! Baumu enak sekali, sepertinya tubuhmu memiliki banyak darah," kata gadis itu berbicara dengan tempo lambat, lalu menjilat bibirnya seolah sedang membayangkan sesuatu yang terasa nikmat di lidahnya.

"S-sebenarnya siapa kau sampai-sampai bilang begitu? Apakah kau sejenis vampir?" tanya Adinda, berdiri sedikit jauh dari gadis aneh itu.

"Ya, aku memang vampir. Namaku Rosemarry, adik dari Raja Gotham yang menguasai Gothia," jelasnya dengan tersenyum lebar.

Adinda menjerit sekeras-kerasnya, lalu menggedor-gedor pintu yang memiliki sedikit celah di tengahnya. "Siapa saja, tolong aku! Tolooong! Aku tidak mau dibunuh oleh vampir ini. Tolooong!"

Rosemarry berdiri memegangi tangan Adinda. "Percuma saja kau meminta tolong. Tidak akan ada yang mau mendengarkanmu. Ini penjara, Sayang, bukan pekan raya."

Dengan kasar, Adinda melepaskan genggaman Rosemarry dari tangannya. "Enyahlah dariku! Jangan coba-coba mendekatiku! Atau akan kupukul kau!"

"Oh, ayolah! Jika memang aku bisa mengisap darahmu, mungkin saat ini juga kau sudah menjadi salah satu dari vampir."

Adinda masih memandangi Rosemarry dengan waspada. "Jadi aku ini masih manusia?"

"Entahlah, aku kira kau itu roh gentayangan yang ditangkap manusia serigala. Tapi, setelah mencium bau darah di tubuhmu, aku justru berpikir kalau kau adalah manusia yang masih hidup. Katakan padaku! Sebenarnya kau itu makhluk apa?"

Tercenunglah Adinda di salah satu sudut penjara, berusaha mengingat kembali kejadian yang membawanya berada di sebuah hutan. Satu-satunya yang ada dalam ingatannya hanya saat berada di toko buku bersama Frey. Waktu itu ia ingin merapikan rambutnya sambil bercermin di salah satu area buku karangan ilmiah. Diambilnya cermin genggam pemberian Frey dari dalam tas, kemudian merapikan rambutnya. Sialnya, ketika bercermin, Adinda justru serasa ditarik oleh kekuatan gaib ke dalam cermin itu . Ia pun tiba-tiba terjatuh di sebuah hutan tak dikenal, lalu mencari-cari Frey. Sungguh, gadis bermata lebar itu tidak tahu bahwa dirinya berada di antara hidup dan mati. Sukmanya berada di dalam penjara, sedangkan jasadnya terbaring lemah di ranjang empuknya yang mewah.

Rosemarry penasaran dengan sesuatu yang dipikirkan Adinda. Berkali-kali ia mengibaskan tangannya di depan mata Adinda, tapi lawan bicaranya itu justru bergeming. Digoyang-goyangkannya tubuh Adinda, hingga gadis itu tersadar dari lamunannya.

"Hei! Apa yang kau pikirkan? Aku hanya bertanya satu hal, tapi sepertinya kamu malah mencari banyak jawaban," ucap Rosemarry, berusaha mendengar jawaban dari Adinda.

"Aku bingung, Rosemarry. Sebenarnya aku ini masih hidup atau sudah mati? Katakan padaku, sebenarnya aku ada di mana?"

"Jika kau saja tidak tahu, apalagi aku. Yang jelas, sekarang kita ada di sebuah ruang isolasi milik manusia serigala."

"Bagaimana caranya kita bisa keluar dari sini? Aku ingin pulang."

Rosemarry mengedikkan bahu. "Jangan tanyakan itu padaku. Aku sudah lebih dulu berada di sini, dan tak pernah tahu bagaimana cara keluar dari sini."

Adinda menghela napas berat. Malang sekali ia berada di negeri asing, bahkan dikurung tanpa tahu kesalahannya. Namun, ia yakin bahwa suatu saat nanti akan ada seseorang yang mampu membawanya keluar dari sana.

Sementara itu, jauh di atas penjara bawah tanah tempat Adinda dikurung, Frey tercengang melihat reaksi wanita tua yang memeluknya. Segera ia lepaskan kedua tangan Paula, lalu mundur selangkah.

"M-maaf, Nek. Aku bukan Hans. Namaku Frey, Frey Likantrof," jelasnya dengan nada terbata-bata.

"Tapi aku yakin, kau adalah putraku yang sudah lama hilang. Hans. Apa kau lupa pada ibumu sendiri?" tanya Paula berusaha meyakinkan pemuda di hadapannya.

"Ibuku sudah meninggal, dia diterkam serigala jadi-jadian. Sedangkan ayahku ... ah, entah ke mana dia setelah ibuku tiada. Oh, ya, nama ayahku persis seperti nama putramu."

"Jadi kau ... kau putranya Hans?" tanya Paula.

Frey mengedikkan bahu. "Ayahku memang bernama Hans, tapi aku tidak yakin kalau dia adalah putramu."

"Aku yakin, ayahmu adalah putraku. Aku masih ingat betul pada sosok anak bungsuku saat terakhir kali bertemu di peperangan itu, wajahnya sangat mirip denganmu."

"Itu berarti, mungkinkah kau adalah nenekku? Dan, ayahku ... ayahku manusia serigala juga?!" Frey membelalakkan mata sembari membekap mulutnya. "Tidak mungkin!"

Melihat ketegangan di wajah Frey, Saga menepuk pundak pemuda itu dan berkata, "Sebaiknya kau istirahat dulu. Sepertinya kau kelelahan setelah berkeliaran di hutan."

"Saga, antarkan dia ke kamar. Pastikan ruangannya bersih dan nyaman," ujar Paula. Ia tak tega melihat wajah Frey yang begitu terkejut mendengar penjelasannya.

Begitu Frey pergi menuju kamar, Paula memandang jauh pada pemuda itu hingga sosoknya menghilang di ujung koridor kastil. Ada rasa lega di hatinya, sudah menemukan salah satu anggota keluarganya yang lain. Setelah peperangan usai, Paula hanya dapat berkumpul dengan beberapa anggota keluarganya, sedangkan yang lainnya tewas. Ia tak tahu bahwa masih ada dua putranya yang kabur ke dimensi lain, Roy dan Hans. Keduanya kabur setelah menuruti saran dari penasihat kerajaan, Odin. Saat portal menuju dimensi lain yang dibuat oleh para penyihir masih terbuka, Roy dan Hans meninggalkan Gothia bersama Odin hingga tak ada satu pun yang menyadari kepergian mereka.

Kini, keberadaan mereka masih belum diketahui. Beradaptasi di dimensi berbeda memang cukup sulit, terlebih mereka memiliki kemampuan untuk mengubah wujud menjadi serigala. Kemungkinan di antaranya bisa tewas di tangan manusia, atau justru mampu menguasai kebiasaan makhluk lain sehingga tak ada yang menyadari bahwa dirinya berasal dari Gothia. Dari sekian banyak manusia serigala yang kabur meninggalkan Gothia, Hans merupakan salah satunya yang beruntung. Ia mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, hingga bisa menikah dengan manusia biasa seperti ibunya Frey. Namun, beberapa hari menjelang kelahiran putranya, Hans justru menghilang secara misterius. Sedangkan Roy dan Odin, masih tak diketahui keberadaannya setelah terpisah di bukit.

Tak ada yang mengetahui kejadian itu selain mereka bertiga. Hans tak sempat menceritakan pengalamannya kabur dari Gothia pada siapa pun, termasuk istri dan mertuanya. Frey pun hanya bisa menebak-nebak jati dirinya dan sosok ayah kandungnya. Ketika memasuki kamar yang ruangannya sangat luas, dengan ranjang lebar di tengahnya, lemari di sudut kanan, dan bufet memanjang dekat jendela sebelah kiri, Frey terkesima sesaat. Ia tak pernah menduga akan menempati sebuah kamar yang begitu mewah daripada di rumah Nenek Esih. Namun, rupanya kemelut di dalam otaknya masih belum berhenti.

"Beristirahatlah dengan tenang, Tuan Muda," kata Saga meninggalkan Frey sendirian di ruangan itu.

Sejenak Frey menyapu pandangannya ke sekeliling kamar. Sebuah lukisan di dinding sebelah kanan dekat lemari, membuat pandangan Frey terhenti. Didekatinya lukisan itu, lalu ditatapnya lamat-lamat. Itu tidak lain adalah lukisan seorang pemuda berambut cokelat terang dan bola matanya berwarna hazel, sedang berdiri gagah memakai jubah biru tua di sebuah taman. Frey mengernyitkan kening, lalu menoleh pada sebuah cermin besar yang dipajang di dinding dekat pintu. Betapa terkejutnya ia tatkala mendapati parasnya sangat mirip dengan sosok pemuda di dalam lukisan itu. Lututnya terasa lemas, kemudian terduduk dengan tatapan kosong.

Berbeda dengan Frey yang mendadak hidup nyaman setelah menemukan kediaman manusia serigala lainnya, Vernon dan Gregory justru kebingungan mencari cara agar bisa keluar dari penjara. Sejak Monet dimasukkan ke Jurang Api, Gregory tak henti-hentinya menuduh Vernon dan melontarkan kata-kata kasar. Sementara Vernon yang tak mampu berbuat apa pun, hanya bisa diam dan merenung karena malas berdebat.

"Vernon, seandainya saja kita tidak berulah, mungkin kita akan hidup tenang di Gothia. Dasar bodoh kau! Bodoh!" bentak Gregory.

"Iya, aku memang bodoh. Jika saja aku tidak menurutimu datang ke Gothia, mungkin ini tidak akan terjadi. Lebih baik tinggal di dimensi lain, tak apa bekerja jadi kuli panggul beras di pasar juga, yang penting bebas dan makan enak."

"Kenapa jadi menyalahkanku? Ini negeri kita, tempat tinggal kita, tanah leluhur kita. Apa kau tidak tahu? Jika tetap tinggal di dimensi manusia, maka risikonya kita akan dibakar hidup-hidup bila sampai ketahuan kita itu manusia serigala."

"Terserah kau saja! Aku malas berdebat." Vernon memyandarkan tubuhnya kembali di dekat jeruji besi.

Empat penjaga penjara memantau para tahanan. Langkahnya begitu cepat, tatapannya tajam menusuk seakan-akan menakuti tahanan lain agar tidak berani berulah. Namun, bagaimanapun juga mereka tidak seteliti kemampuannya menjaga para tahanan, terkadang keteledoran bisa terjadi. Secara kebetulan, kunci penjara jatuh di depan sel Vernon dan Gregory. Vernon yang menyadari hal itu, diam-diam mengawasi keadaan. Ketika para penjaga pergi, ia sibuk mengambil kayu panjang dan pipih di dalam penjaranya, yang dapat menjangkau tempat kunci itu terjatuh.

Melihat kelakuan Vernon, Gregory merasa heran. Tanpa ragu, ia bertanya, "Sedang apa kau? Apa yang akan kau lakukan dengan kayu itu?"

"Sst! Lihat itu! Kuncinya terjatuh di sana. Ini jackpot, Greg!" bisik Vernon antusias, sambil berusaha mengambil kunci dengan kayu yang dipegangnya.

"Kalau begitu, cepat ambil sebelum penjaga tahu."

"Diamlah! Aku sedang konsentrasi."

Butuh waktu lama untuk Vernon meraih kunci itu hingga benar-benar mendekat ke selnya. Sementara itu, Gregory merasa cemas, matanya tak henti mengarah pada jalan masuk para penjaga itu. Setelah bergelut dengan waktu, akhirnya Vernon berhasil mendapatkan kumpulan kunci itu.

Tanpa banyak berpikir, ia segera mencoba satu per satu kunci untuk membuka pintu selnya. Kunci pertama dan kedua gagal, kunci keempat dan kelima hampir berhasil, dan kunci keenam adalah pembawa keberuntungan. Vernon merasa lega, mengetahui jeruji besi yang mengurungnya berhasil dibuka. Akan tetapi, usahanya untuk kabur belum sepenuhnya berhasil. Suara derap langkah kaki mendekati tempat Vernon dan Gregory ditahan. Sosok empat penjaga penjara perlahan tampak, dan tentu saja itu membuat Vernon panik. Dilemparkannya kunci itu ke luar sel, lalu ia meringkuk seolah-olah sedang kesakitan. Pun dengan Gregory yang tak mau kebahagiaannya dicurigai. Lelaki gemuk itu terduduk di dekat jeruji sambil termenung.

Salah satu prajurit vampir merasa lega setelah menemukan kuncinya. Sementara itu, empat vampir lainnya memantau ke kanan dan kiri, khawatir jika sampai tahanannya kabur karena keteledoran sang pembawa kunci. Setelah memastikan tak ada tahanan yang kabur, mereka melenggang meninggalkan sel. Rupanya butuh kesabaran bagi Vernon dan Gregory untuk lepas dari genggaman Gotham. Ketika para penjaga benar-benar telah pergi hingga langkah kakinya tak terdengar lagi, Vernon dan Gregory segera keluar dari sel dengan cara mengendap-endap. Tentu saja hal itu membuat tahanan lain merasa iri, tapi mereka tetap bergeming, berharap kesempatan bagus untuk kabur akan datang secepatnya.

Vernon dan Gregory tidak terlalu hafal jalan keluar dari penjara bawah tanah itu. Mereka hanya meraba-raba jalan yang diingatnya. Lorong-lorong sempit dan gelap mereka lewati. Semakin jauh meninggalkan sel, semakin pengap udara yang dihirup. Gregory yang sudah lama tak makan, kelelahan dan meminta Vernon untuk berhenti. Namun, Vernon enggan mendengar keluhannya. Ketika berjalan beberapa langkah, mereka justru menemui jalan buntu.

"Sudah kubilang, istirahat dulu," kata Gregory terengah-engah.

"Kita tidak punya waktu, Greg. Bagaimana kalau mereka menemukan kita? Bisa-bisa hukuman yang diberikan Gotham lebih berat dari yang kita bayangkan."

"Lantas, apa yang harus kita lakukan sekarang? Putar balik?"

Vernon menyender ke tembok di sebelahnya, terasa ada sesuatu yang dapat diputar seperti keran. Dirabanya permukaan itu, lalu menemukan salah satu batu yang menonjol di antara yang lain. Ketika batu itu diputar, terbukalah tembok di depannya menjadi sebuah pintu menuju jalan keluar penjara. Tampak pepohonan rindang dan semak belukar di luar sana. Raut semringah terpancar di wajah kumal Vernon dan Gregory. Secepatnya mereka keluar, lalu menutup tembok itu sekuat tenaga.

Lain nasib Vernon dan Gregory, lain pula nasib si gadis buta. Perjalanan pulangnya tidaklah mulus. Kecerobohannya menjauhi para prajurit vampir, berujung malapetaka. Si gadis buta mendengar mereka berteriak memanggilnya, tapi ia enggan menyahut. Secepatnya ia berlari ke dalam hutan yang gelap itu, sambil tersaruk-saruk. Persembunyiannya mustahil berhasil. Tubuhnya yang dapat menyala dalam kegelapan, justru memudahkan para prajurit vampir untuk menemukannya.

Dari sebuah pohon, Evodith melihat gadis buta itu dengan iba. Para prajurit vampir yang terus merangsek ke dalam hutan pun membuatnya khawatir.

"Bagaimana ini? Jika prajurit vampir itu masuk ke hutan, maka Crow akan lebih marah padaku," gumamnya cemas.

Chapitre suivant