webnovel

MENJEMPUT ISTRIKU

Auteur: Wolfy79
Histoire
Actuel · 7.8K Affichage
  • 14 Shc
    Contenu
  • audimat
  • NO.200+
    SOUTIEN
Synopsis

Lamaran pernikahan dari keluarga bangsawan tingkat tinggi mengejutkan mereka sekeluarga. Berdamai dengan keadaan yang memojokkannya berharap kesabaran akan membuahkan hasil... Selembar dokumen membuat kesalahpahaman semakin nyata, membuat luka di hati semakin menganga. Malang tak dapat ditolak, nasi sudah menjadi bubur... penyesalannya datang terlambat. Kesalahpahaman semakin sulit dijelaskan karena yang bersangkutan sudah tidak lagi berada dalam jangkauan. Bisakah mereka bertemu kembali untuk menyelesaikan kesalahan masa lalu? Empat anggota baru dalam keluarga semakin membuat semuanya rumit dengan penolakan mereka demi kasih yang selama ini selalu ada di sisi mereka. Langkah apa yang akan diambil olehnya selanjutnya? Bisakah dia merebut hati empat anggota keluarga baru yang telah menolak keberadaannya karena dia absen selama sepuluh tahun... Simak ceritaku, selamat membaca...

Chapter 1Duka di malam pertama

**Bab 001 Duka di Malam Pertama**

Atthy menatap suaminya, Duke Hugh Griffith, dengan mata yang terbuka lebar, berusaha mencerna setiap kata yang baru saja terlontar dari mulutnya. Kamar tidur yang luas dan penuh kemewahan kini terasa sangat sempit, sesak dengan ketegangan yang hampir tidak bisa ditahan. Hugh, pria yang seharusnya menjadi pelindung dan pasangan hidupnya, malah berdiri dengan santainya di dekat lemari pakaian, menyusun helai demi helai pakaian yang tercecer di lantai, seakan tak ada yang penting di dunia ini selain dirinya sendiri.

''Kau hanya seorang wanita bodoh... Kau terlalu tinggi berpikir tentang dirimu. Bagiku, kau tidak lebih baik dari mereka yang melemparkan dirinya pada pria di jalanan setiap malam hanya untuk sekantung uang,'' ujar Hugh, suaranya terdengar datar, seperti tidak peduli sedikit pun dengan perasaan Atthy.

Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk jantung Atthy, membuat tubuhnya bergetar hebat. Tidak ada kemarahan yang terluapkan, hanya rasa hancur yang dalam. Dia ingin berteriak, ingin melawan, tetapi otaknya membisikinya untuk tetap tenang. Ini adalah pernikahannya. Meskipun hubungan mereka hanyalah sekadar suami istri di atas kertas, Atthy tahu betul bahwa pernikahan ini bukanlah hal yang bisa dia anggap remeh. Keluarganya berharap banyak padanya, dan dia tidak boleh menghancurkan harapan itu. Namun, di malam pertama mereka, semuanya terasa berbeda dari yang dia bayangkan.

Malam pertama seharusnya menjadi sebuah kenangan indah, seperti yang diceritakan oleh banyak gadis muda yang bercita-cita menikah. Tapi Atthy, wanita berambut merah dengan kulit gelap yang eksotis, tidak merasakan kebahagiaan itu. Sebaliknya, dia merasa terjatuh dalam sebuah lembah kesendirian yang sangat dalam. Kata-kata suaminya itu terus menghantui pikirannya. Atthy menatap lembaran hidupnya yang hancur dengan pandangan kosong, mencoba menyembunyikan air mata yang hampir menetes di pelupuk matanya.

''Kau puas sekarang, setelah tidur denganku?'' Hugh bertanya dengan nada dingin, memperlihatkan kesombongan yang jelas terlihat dalam sorot matanya. Dia masih belum menyadari betapa kata-katanya telah melukai Atthy. Atau, mungkin dia tidak peduli sama sekali.

Suasana kamar tidur yang mewah kini terasa sangat suram bagi Atthy. Suhu di luar jendela yang membeku tak lebih dingin dari sikap suaminya. Kamar yang penuh dengan barang-barang eksklusif kini hanya terasa sebagai tempat yang mengekang, yang memaksa Atthy untuk terdiam, menderita, dan berperang dengan perasaan dalam dirinya. Atthy menahan sakit yang hampir melumpuhkan tubuhnya, seakan-akan seluruh tubuhnya dibalut rasa nyeri yang begitu menyiksa.

''Kau pikir dengan tidur denganku, kau bisa menguasaiku?! Perempuan... Aku adalah Duke Griffith, wanita sepertimu bukanlah hal spesial. Aku bisa dengan mudah mendapatkan wanita sepertimu di jalanan...''

Setiap kata yang diucapkan Hugh semakin meruntuhkan semangat Atthy. Kenapa dia harus mendengarnya? Kenapa kata-kata itu harus datang dari suaminya sendiri? Setiap kalimat yang terucap, menghancurkan harga dirinya, mengoyak sisa-sisa harapan yang masih ada dalam hatinya.

Atthy menatap suaminya dengan tatapan tajam, perasaan kecewa yang sangat dalam terlihat jelas di wajahnya. Sudah hampir tiga bulan mereka menikah, dan selama itu pula, Hugh tidak pernah sekali pun meliriknya, apalagi menunjukkan rasa sayang. Perasaan itu selalu tertutup oleh sikap acuh tak acuh Hugh, yang seolah menganggap Atthy hanyalah seorang wanita biasa yang tidak layak mendapat perhatian lebih.

''Kenapa kau katakan semua itu padaku?'' Atthy bertanya dengan suara bergetar, namun matanya memancarkan keberanian. Dia tidak bisa diam lagi. Tidak bisa terus menerus menerima hinaan ini. ''Apakah itu kata-kata yang pantas diucapkan seorang suami pada istrinya di malam pertamanya?!''

Malam itu, Atthy merasa ada yang pecah dalam dirinya. Selama ini dia berusaha bersabar, mencoba memahami bahwa pernikahan ini bukanlah yang dia harapkan. Juga bukan yang diinginkan oleh Hugh, karena pernikahan ini adalah rekomendasi raja.

Hugh menatapnya dengan dingin. ''Karena aku ingin memperjelas posisimu.''

''Posisi yang mana?!'' tegur Atthy tajam.

''Posisi yang membuatmu bangga hingga melupakan dari mana asalmu. Kau hanyalah seorang Duchess di atas kertas!''

''Yang terhormat Duke Hugh Ethan Griffith...'' panggil Atthy dengan nada tajam.

Hugh bereaksi tapi hanya matanya yang berkedut. Tiba-tiba dia merasakan ada sesuatu yang seperti menghunjam dadanya saat melihat sorot mata Atthy yang terluka.

Kata-kata Hugh mengingatkan statusnya, seperti tamparan bagi Atthy. Tiga bulan pernikahan mereka, dan dia hanya dianggap sebagai ''kedudukan di atas kertas''. Tidak lebih dari itu. Hatinya semakin hancur, namun dia berusaha untuk tetap tegar. Dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan Hugh.

''Seperti itukah kau melihatku selama ini?!'' Atthy bertanya dengan suara yang semakin meninggi, tidak bisa lagi menahan emosinya.

''Haruskah aku juga menjelaskan itu padamu?!''

''Ya!'' jawab Atthy dengan tegas, sorot matanya tajam menantang Hugh. ''Seperti katamu, aku adalah wanita bodoh yang tidak tahu diri, tentu saja harus secara jelas dan gamblang agar aku bisa mengerti.''

Kata-kata itu datang begitu cepat, dengan keberanian yang luar biasa. Atthy merasa terhina, namun dalam rasa sakit itu, dia menemukan keberanian yang sebelumnya tidak dia miliki. Dia ingin Hugh tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Bukan sekadar wanita murahan yang hanya bisa dipandang sebelah mata.

''Kedudukanmu sebagai seorang Duchess, wanita yang berada di posisi sebagai istriku, aku ingin kau menyadarinya, bahwa tidak ada yang bisa kau manfaatkan dari itu semua. Seperti halnya gelar kebangsawananmu, gelarmu sebagai Duchess hanya di atas kertas... Kau tak lebih hanya seorang bangsawan jatuh yang memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh orang-orang berotak dangkal yang memanfaatkanmu. Ayahmu hanya seorang ambisius yang tidak tahu di mana dia harus menempatkan dirinya sampai dia harus menjual anak perempuannya...''

Kata-kata Hugh semakin tajam, namun Atthy tidak bisa lagi mundur. Selama ini dia diam, menerima apapun yang diberikan Hugh, tetapi malam ini adalah titik balik. Dia tidak akan diam lagi.

''Yang terhormat Duke Hugh Griffith...'' Atthy memotong ucapan suaminya dengan berani, meskipun suaranya bergetar, namun sorot matanya tetap tajam. ''Anda harus tahu!... Pertama, ayahku tidak pernah menjualku, dan yang kedua... Harta dan kedudukan. Baik aku atau keluargaku tidak membutuhkan semua itu. Tidak sekali pun, kami akan menjual harga diri kami hanya demi ambisi palsu seperti yang kau banggakan...''

Hugh terdiam sejenak, matanya terbuka lebar, terkejut dengan apa yang dia lihat dari Atthy saat ini. Aura yang tajam, sorot mata yang tegas, meski jelas memperlihatkan betapa dia sedang terluka. Tubuhnya yang bergetar dengan suaranya yang berat. Semua itu menunjukkan betapa jelas amarah yang sedang di tahan olehnya. Dari lubuk hatinya, Hugh mengetahui bahwa Atthy tidak sedang berakting.

''Athaleyah Galina, penjelasanmu berbanding terbalik dengan apa yang aku baca dan aku dengar. Tapi, aku memberimu kesempatan. Kalau memang seperti yang kau katakan padaku barusan, kau bebas pergi dariku. Tidak perlu menjadikan Raja sebagai alasan, dengan kekuasaan yang aku miliki, aku yakinkan padamu, bahwa kau tidak akan mendapat masalah. Kapan pun kau mau, aku tidak akan pernah menghalangimu,'' ujar Hugh dengan nada menantang, seolah melemparkan pilihan pada Atthy.

Atthy terdiam. Apakah dia harus pergi? Meninggalkan suaminya yang sama sekali tidak menginginkan dirinya? Atau tetap bertahan dalam pernikahan politik yang diatur tanpa keinginannya?

''Aku akan pergi, tapi berjanjilah padaku!'' seru Atthy setelah menyunggingkan senyum pahit pada suaminya. ''Tepati janjimu! Jangan usik mereka, jangan sentuh mereka, jangan ganggu mereka, biarkan mereka hidup sebagaimana biasanya! Hanya itu permintaanku...''

Hugh terperanjat mendengar permintaan itu. Sesuatu dalam dirinya mulai goyah, namun egonya masih lebih besar. Namun di balik itu semua, dia mulai merasa kehilangan kendali atas kontrol di hatinya. Ada perasaan tidak nyaman tapi ego, membuatnya bergeming melihat betapa menderitanya Atthy.

Hugh berdiri tegak, menatap Atthy dengan tatapan yang sulit dipahami. Ada sedikit perubahan dalam ekspresinya—sesuatu yang hampir mirip dengan perasaan yang tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. Namun, sorot matanya terlihat dingin meski penuh tanda tanya. Hanya ada dingin yang memancar dari setiap gerak tubuhnya, seolah-olah tidak peduli dengan apa yang terjadi pada Atthy setelah malam ini.

''Aku akui, aku tidak pernah berpikir kau akan berkata begitu,'' kata Hugh, nada suaranya lebih rendah dari sebelumnya, seperti mencoba meresapi kata-katanya. ''Athaleyah Galina...'' Dia menatapnya lagi, menilai setiap detail dari wajah Atthy, seakan-akan mencoba memecahkan misteri di balik wanita ini. ''Aku memberi kesempatan untuk mengakuinya... Katakan, maka kau tidak lagi perlu berlama-lama dalam permainan ini.''

Hugh melangkah maju, dan Atthy bisa merasakan kehadirannya yang mendominasi ruangan. Namun kali ini, dia tidak mundur. Tidak seperti malam-malam sebelumnya, dia tidak lagi merasa takut atau terintimidasi oleh Hugh yang seolah-olah selalu menguasai ruang itu.

''Permainan... ?! Aku tidak peduli. Aku tidak ingin hidupku terikat padamu,'' jawab Atthy dengan tegas, meskipun hatinya berdebar. ''Kau bisa melakukan apapun yang kau inginkan dengan hidupmu, tapi aku tidak akan pernah menjadi bagian dari permainanmu yang tak berarti ini.''

Hugh mengangkat alisnya, seakan tak percaya dengan kata-kata yang baru saja keluar dari mulut istrinya. ''Jadi, kau benar-benar ingin pergi?'' tanyanya, masih dengan nada meremehkan. Tapi di balik tatapan itu, ada ketidakpastian yang samar, yang mungkin Hugh sendiri tidak sepenuhnya sadari. ''Kau pikir hidup di luar sana akan jauh lebih baik? Tanpa perlindungan, tanpa kekayaan, tanpa kedudukan?''

Atthy tidak menjawab langsung. Matanya tertuju pada jendela besar yang menghadap ke taman belakang, tempat di mana malam ini terasa lebih gelap dari biasanya. Hanya ada suara desiran angin yang memasuki ruangan, seolah turut menyelimuti perasaan hampa yang melanda hatinya. Apa yang bisa dia harapkan dari dunia luar? Tidak ada. Tetapi dia tidak bisa terus terperangkap dalam kehidupan semacam ini, di bawah bayang-bayang Hugh yang tidak pernah menganggapnya lebih dari sekadar batu loncatan untuk keinginannya sendiri.

''Aku tahu apa yang aku inginkan. Aku ingin memilih jalanku sendiri. Aku ingin hidup dengan cara yang aku tentukan, bukan berdasarkan aturan yang dibuat oleh orang lain. Bukan berdasarkan kehendakmu.'' Suaranya kali ini lebih lembut, namun penuh ketegasan. ''Aku tidak akan pernah mengorbankan diriku lebih jauh lagi hanya untuk memenuhi ambisi yang tak jelas.''

Hugh menatapnya untuk waktu yang lama, tanpa kata. Sesuatu yang lebih dalam mulai bergulir di dalam dirinya, sesuatu yang dia sendiri tidak dapat ungkapkan. Namun, seperti biasanya, dia menahan semuanya. Tidak ada penyesalan di sana. Tidak ada rasa bersalah yang muncul, hanya kekosongan yang mulai merayapi hatinya.

''Kau benar-benar wanita yang keras kepala,'' kata Hugh, akhirnya, dengan nada yang lebih ringan. Tentu saja, dia masih tidak bisa sepenuhnya menerima kenyataan ini. Namun, dia tidak bisa menahan rasa penasaran yang mulai tumbuh dalam dirinya, meskipun itu adalah perasaan yang sangat mengganggu. Dia ingin tahu lebih banyak tentang wanita yang kini berdiri di depannya—wanita yang begitu tegas, yang bisa berbicara dengan percaya diri meskipun dihadapkan dengan suaminya yang terhormat.

''Asal kau tahu,'' jawab Atthy dengan senyum tipis, ''Hal itulah yang membuatku bertahan selama ini.''

Kedua pasangan itu terdiam, dengan jarak yang semakin melebar. Tidak ada kata-kata yang keluar lagi. Hugh berjalan menuju pintu, matanya menatap kosong ke depan, berpikir tentang semua yang telah terjadi. Atthy tetap berdiri di sisi tempat tidur, berbalut selimut menutupi tubuhnya yang tidak mengenakan apa pun, mengamati suaminya yang tampaknya masih bingung dengan dirinya.

Saat itu, Atthy merasakan ketegangan yang semakin memuncak di dalam dirinya. Dia tahu bahwa malam ini bukanlah akhir dari segalanya. Malah, ini baru permulaan dari perjalanan yang penuh tantangan.

Beberapa saat kemudian, Atthy berbalik membelakangi Hugh. Kepalanya terasa berat, namun dia tidak bisa menahan keinginannya untuk pergi, mencari kedamaian, atau mungkin hanya untuk melarikan diri dari kenyataan yang begitu menyesakkan.

Hugh memandangnya dari kejauhan, menyadari bahwa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya—sesuatu yang lebih dari sekadar perasaan yang biasa. Ketika Atthy membelakanginya memperlihatkan punggungnya yang kesepian, Hugh memanggilnya dengan suara yang lebih pelan daripada sebelumnya.

''Atthaleyah...''

Atthy berhenti sejenak, menoleh sedikit ke arah Hugh. Ada ketegangan yang bisa dirasakan, namun dia tetap diam, menunggu kata-kata selanjutnya.

''Kau masih bisa tinggal... jika itu yang kau inginkan. Aku akan memberi waktu.'' Suaranya terdengar lebih lembut, seperti dia mencoba mengulurkan tangan, meskipun dia tidak tahu apa yang sebenarnya dia tawarkan.

Atthy terdiam, tidak langsung menjawab. Apakah ini kesempatan untuk memperbaiki semuanya? Atau apakah ini hanya sebuah jebakan yang lebih besar lagi? Namun, dalam hati kecilnya, Atthy tahu bahwa jawaban itu tidak akan datang dari luar dirinya. Jawabannya sudah ada di dalam dirinya sendiri, tinggal bagaimana dia memilih untuk menjalani hidupnya selanjutnya.

Akhirnya, Hugh menutup pintu dengan lembut. Hatinya berdebar, dan ada rasa kosong yang tidak bisa dia artikan. Malam itu, meskipun tubuhnya lelah, pikirannya masih terus berputar, mencoba mencari arah untuk langkah-langkah selanjutnya.

Vous aimerez aussi

My Dearest, Adhitya

Jika seorang playboy ditakdir untuk jatuh cinta kepada dua wanita terbaik dalam kisah hidupnya, siapa yang akan ia pilih? Wanita yang selalu ia anggap sebagai adik, atau wanita yang sudah lama menjadi sahabatnya? --- "Seorang playboy juga bisa patah hati," lanjut Adhitya disela senyumannya. "Mungkin perasaanku pada Vanie juga sesaat sama seperti ketika mendambakan dirimu. Tapi kau menolakku berkali-kali dan aku sudah merasa cukup patah hati." Adhitya sudah gila rupanya. Adhitya miliknya. Sahabatnya. Impian masa depannya. Adhitya yang sekarang berbalik menyerang perasaannya dengan mengatakan mencintai wanita lain yang adalah adiknya sendiri. "Aku menginginkan Vanie sekarang. Ia tidak pernah membuatku merasa menjadi seorang playboy. Ia selalu membuatku merasa percaya diri untuk mendapatkan dirimu yang pada kenyataannya kau tidak berhasil kusanding," lanjut Adhitya. "Tapi aku memang sayang padanya dari awal. Dan kurasa..." Adhitya menarik wajah Zera tinggi-tinggi karena wanita itu sudah menunjukkan reaksi patah hatinya. "kalau aku bicara lebih banyak lagi itu akan melukaimu. Memintamu menjadi kekasih bohonganku adalah kesalahan ya?" Zera memaksakan senyumannya untuk terbit. Hanya saja sekarang ia terlihat seperti sedang menyengir. "Aku jadi tahu bagaimana rasanya menjadi kekasihmu walau tidak sungguh-sungguh menjadi kekasihmu." Kekehan Adhitya menghentikan senyuman Zera karena sekarang wanita itu menjadi tersipu. "Kau tidak akan mencintaiku kalau berpura-pura menjadi kekasihku, 'kan?" "Aku sudah mencintaimu, Adhitya."

Aurelia_Chrissy · Histoire
Pas assez d’évaluations
10 Chs

audimat

  • Tarif global
  • Qualité de l’écriture
  • Mise à jour de la stabilité
  • Développement de l’histoire
  • Conception des personnages
  • Contexte mondial
Critiques
Pleurage! Vous seriez le premier commentateur si vous laissez vos commentaires dès maintenant !

SOUTIEN