webnovel

Untuk Nara

Peluh berjatuhan saat langkah gusar menyapu sebuah trotoar. Terik mentari menyorot tajam tubuh Nara yang terlihat kepanasan. Jam menunjuk pukul 12 disibuknya jalan yang bising oleh klakson pengemudi. Sudah hampir 1 jam Nara berjalan menyusuri trotoar yang ditumbuhi rindangnya pohon berukuran besar. Tepat di depan sebuah toko, terdapat sebuah halte bus yang kini nampak kosong melompong.

Nara memilih beristirahat di halte itu sembari menunggu Uta yang akan tiba 15 menit lagi. Rey Panduta, memang terbiasa menjemput Nara selepas ia kembali dari Surabaya. Mereka telah bersahabat sejak usia mereka 10 tahun.

Ayah Nara yang kebetulan seorang pejabat daerah terbiasa mendapat tugas di luar kota sehingga membuat keluarga Nara menetap di Surabaya hampir 3 tahun lamanya.

Nara menatap deretan kedai yang berjajar rapi seolah mata disuguhkan oleh kilauan warna menyala. Tak biasanya Uta selambat ini membuat polesan bedak di pipi ranum itu memudar. "Astaga,panas banget! Uta kemana sih?!" Ucap Nara kesal. Sedari tadi,Nara tak bisa menghubungi Uta sebab ponsel yang ia bawa kehabisan baterai. Detik seolah terlalu lama memutar lebih dari 15 menit yang Uta janjikan. Nara mengendus kesal seolah resah menanti Uta yang tak kunjung tiba "tahu gini,gue gak usah susulin Uta kesini" ujar Nara

Gadis bertubuh tinggi itu kini berkacak pinggang dan sesekali kembali duduk menahan semburan asap yang kian melekat pada topi yang ia kenakan. Memang,sejak lama Uta begitu menyebalkan dan acap kali membuat kesabaran Nara direnggut paksa oleh ulah Uta. Sahabat nya itu benar-benar membuat nya kewalahan.

Nara memilih tinggal bersama sang nenek di kota tempat dimana ia dilahirkan. Sementara itu,kedua orang tua nya harus tetap tinggal di Surabaya karena tugas sang ayah sebagai pejabat daerah belum usai. Ditambah,ibunya harus merawat Aghata adik Nara yang kini mengidap leukimia sejak usia 2 tahun. Sang ayah sengaja mendaftarkan Nara di SMA ternama bersama Uta yang kebetulan setingkat lebih tinggi darinya. Usia mereka terpaut 1 tahun sehingga mereka layaknya seperti saudara kandung. Nara yang manja,nampak serasi dengan Uta yang  lebih dewasa. Baginya, Uta bukan hanya sekedar sahabat, melainkan sebagai seorang kakak yang dapat memberinya rasa aman.

Jam menunjuk pukul 12 lebih,wajah cantik Nara berubah masam. Lesung di pipinya tak lagi tergambar sebab senyumnya tak lagi merekah. perlahan Nara merasa lelah. Kantuk di matanya sudah tak tertahankan lagi. Di sebrang, jalanan kini lengang. Angin berembus menjatuhkan dedaunan kering yang termakan waktu agar berlalu menjemput sesuatu yang baru. Nara menyandarkan tubuh pada dinding sebuah halte yang sedikit pudar warnanya itu. Sekejap, lelap. Dari arah berbeda,Uta mengendarai sepeda motor dengan kecepatan sedang. Ia melihat gadis berbaju putih itu tengah terlelap di sebuah halte sendiri. Tak begitu lama,Uta langsung memarkir motor kesayangannya tepat di depan sebuah halte tersebut. Tanpa sempat membuka helm yang terpasang di kepalanya,kini Uta kembali berulah dengan mengusik lelapnya Nara siang ini. "Pftttt, astaga Nara, kebiasaan lama gapernah ilang.dasar tukang tidur!" Uta sontak mengejutkan Nara yang tak sadar jika dirinya tengah dikerjai sahabat nya itu. 1,2,3 Daaaaaaaaarrrrrrr!!!!! Teriak Uta kencang.

Seketika Nara terbangun dan begitu terkejut. "Aaaaaaa!!!!!" Teriak Nara panik. "Hahahaha,tenang ra tenang. Ini gue Uta" ucap Uta yang masih tertawa puas. Mendengar nama Uta disebut,Nara membuka matanya bulat-bulat "ishh,apaan si ta.untung gue gak jantungan!" Omel Nara. "Yaampun ra,dari dulu emang lu gak pernah sedikit pun berubah hahahaha" ujarnya terkekeh sembari memegang perut untuk menahan tawa "berisik! Udah ngaret,usil juga. dasar!" Cibirnya. "Baik-baik lu ra cepet tua nanti kalau marah-marah terus. Lihat tuh,muka lu udah berkeriput kayak nenek-nenek hahahaha" ejek Uta. "Ihh, Uta sumpah ya lu ngeselin banget jadi orang. Auah!" Ujarnya sebal. "Yauda,ayo jangan kelamaan disini panas nih" ucap uta. "Suruh siapa telat!" Timpa Nara. "Sorry, jalanan macet banget ra" bela uta. "Udahlah, alasan lu basi malas rasanya buat denger" jelas Nara.

Uta menarik tangan Nara dan meraih koper yang berisi tumpukan baju itu. Tangan Uta seolah enggan melepas genggaman pada tangan Nara. Kini,mereka menaiki motor menerobos panasnya hari. Di sepanjang jalan,Uta bak wartawan yang sibuk menanyakan segelintir pertanyaan untuk Nara. Nara tak lagi marah, seperti ada yang merubah semuanya menjadi tawa yang tak dapat di sembunyikan lagi. "Udah lama banget ya kita gak ketemu ra" ucapnya. "Ya, kira-kira 3 tahun deh ya. Asli,gue kangen banget sama kota ini" jawab Nara. "Ya,maksud pertanyaan gue tuh kenapa lu balik lagi kesini si? Kan gue gak usah repot-repot jemput lu panas-panas gini" goda Uta. PLETAKKKKK!! Sebuah pukulan keras mendarat sempurna di helm yang Uta kenakan. "Aduuuh,sakit tau ra" protesnya. "Ya, abisnya. Gue tau sebenarnya lu juga kangen gue kan? Buktinya setiap malam lu nelpon gue terus" ujar Nara. "Kalau tau lu masih tetep galak,sorry deh gak sudi kangen juga hahahaha" "utaaaa...." Teriak Nara sebal.

Mereka berdua seperti memecahkan tebing pembatas yang membuat mereka di hantui rasa rindu 3 tahun lamanya. Di bawah teriknya,kedua sahabat itu kembali di pertemukan oleh sang waktu. Di sisa langkah,tak ada lagi obrolan tercipta,senyap menepi membaur akrab dengan rindu yang kini terobati oleh deru angin yang menyisir langit.

Tepat di depan sebuah rumah sederhana nan asri,Nara kecil di lahirkan. Rumah yang nampak segar dengan balutan cat berwarna putih itu sepadan dengan lukisan abstrak yang menempel di dinding rumah. Di teras yang cukup luas itu, sebuah kursi kayu yang terbuat dari jati terlihat antik dengan ukiran yang di pahat oleh tangan andal pengrajin. Semerbak nya bau khas dari tumbuhan yang sengaja di gantung di teras rumah,menambah kesan baik saat menginjak kan kaki di sana.Bunganya mulai menampakkan paduan warna yang menyala. Sungguh sedap di pandang mata saat melangkahkan kaki. Beberapa jenis bunga pun sengaja di tanam di halaman yang nampak hijau itu beberapa diantaranya deretan anggrek,mawar dan tak lupa sun flower yang di hinggapi kawanan lebah itu menyambut Nara dan Uta saat memasuki gerbang putih yang di tumbuhi tanaman merambat tertata rapi.

Uta kembali memarkir motornya di depan halaman berukuran luas. Nara bergegas turun dan berjalan menuju ambang pintu. Tak lupa,Uta setia mengekor Nara yang kini mulai mengetuk pintu kaca tertutup gorden putih. Tuktuktukkk.. "assalamu'alaikum nek" ucap Nara semangat. Hening,tak ada jawaban. "Assalamu'alaikum,nenek ini aku Inara" ucapnya sekali lagi. Dari dalam,suara langkah kaki terdengar mendekat "waalaikumussalam" jawab wanita setengah baya yang terlihat mengenakan jilbab biru itu. Sesaat setelah pintu terbuka,sontak nenek Arum sangat terkejut dengan kedatangan Nara. Wajahnya menampakkan binar, menyambut cucunya datang kembali kerumahnya.

Pelukan dan ciuman hangat serta merta menambah kedekatan diantara mereka. Nara yang nampak lebih tinggi itu, membalas pelukan sang nenek yang sedikit lebih kurus. "Yaampun ra,nenek kangen banget sama kamu" ucap nenek. "Iya,nek. Aku juga kangen banget. Dapat salam dari mama dan papa maaf belum bisa datang kesini lagi" jawab Nara. "Gak apa-apa nak, yang penting semua nya baik". Uta kemudian menyalami nenek Arum yang sudah di anggapnya seperti keluarga sendiri. "Eh,Uta mari masuk. Kebetulan,nenek udah nyiapin opor ayam kesukaan kalian" ajaknya lembut.

Uta dan Nara saling berpandangan tanda mengiyakan ajakan dari sang nenek. Keduanya pun masuk kerumah yang masih terlihat sama oleh kenangan yang terlukis pada gambar diri yang ditempel di dinding rumah. Foto bersama Uta pun masih terawat dengan baik di balik kaca yang sedikit berdebu. Nara mengembangkan senyum indah. "Ta,lihat deh foto kita" merasa namanya di panggil,uta menghampiri Nara yang tengah memegang sebuah bingkai cokelat berukuran sedang tersebut.

"Ingat banget foto ini diambil sama paman Dadi di taman kota"ucap Uta mengingat. "Iya, waktu itu Risa sepupu gue ngambek karena gak diajak dan akhirnya dia malah mecahin jendela kamar nenek pakai batu" jawab nya sembari menceritakan kisah dibalik foto lamanya. Suara nenek Arum memecah suasana diantara mereka berdua. Uta pun menaruh koper milik Nara pada sofa panjang yang berada di ruangan tempat mereka berdiri.

Keduanya pun bergegas menghampiri sumber suara dan menemui sang nenek yang tengah menunggu dimeja makan lengkap dengan opor ayam panas yang aromanya menggiurkan. Nenek Arum,tahu betul makanan favorit cucunya. Maka tak jarang, semangkuk besar kuah panas opor dan lauk pendamping selalu tersaji di meja makan seolah menyambut kedatangan Nata. Mereka kini menyantap masakan sang nenek yang tak pernah berubah rasanya. Di tengah sela acara makan siang kali ini, sesekali obrolan hangat menambah kedekatan diantara mereka. Sang nenek,tak henti-hentinya memuji kemolekan Nara saat ini. Tak lupa nenek berterima kasih kepada Uta yang rasanya di repotkan terus oleh keluarga Nara. "Oiya nek,gimana kabar Risa,tante Rina dan om Wira?" Tanya Nara. "Mm,mereka baik. Baru aja kemarin kesini" jawab nenek santai. "Syukurlah" "oiya,gimana keadaan Agatha disana? Nenek selalu cemas sama dia" "ya, gitu nek. Minggu lalu kondisinya sempet drop,tapi beruntung lah membaik setelah mama bawa check up. Tak apa nek,gausah terlalu dipikirin penting juga kesehatan nenek sekarang. Lihat tuh, nenekku yang seksi ini berubah jadi kurus" ujar Nara.

"Kamu ini bisa aja" jawab nenek sembari mengelus rambut Nara yang ikal.

Acara makan siang selesai tepat pukul 1 lebih 5. Nara dan Uta tengah mengobrol di sofa dengan segelas teh hangat yang sengaja Nara buatkan untuk sahabatnya. Celotehan dan pukulan kecil menambah keseruan diantara mereka berdua. Agaknya,hari ini mereka berhasil melampiaskan rindu yang terus menderu itu. Nenek baru saja berpamitan keluar untuk menjaga toko kue legendaris miliknya. Lama tak menyambangi toko kue antik sang nenek, rasanya Nara ingin sekali kesana. Di temani Uta yang selalu pasrah saat wajah tampan nya itu dipenuhi tepung yang memutih sempurna. Astaga,Nara benar-benar senang berada disana.

"Woi,ngelamun aja lu! Bae bae kerasukan" teriak Uta mengejutkan. "Ta,gila ya lu. Sejak kapan sih hobi lu ngagetin orang?" Omelnya. "Ya lagian lu tiba-tiba ngelamun. Mikirin apasi?" Tanya Uta memastikan jika sahabatnya baik-baik saja. "Eh ta,besok ke toko kue nenek yuk asli gue kangen banget main kesana" ajak Nara. "Ogah banget. Mending gue tidur seharian daripada harus kena tepung" "parah lu,serius ta sekalian ajak gue jalan" pinta Nara. Sejenak,Uta hening. "Oke" jawab Uta mengiyakan. "Yeayy!! Emang lu sahabat terbest deh" Puji Nara "Udah deh,gue mau pulang dulu males lama-lama sama lu bau" ejek Uta.

Mereka berpisah di depan sebuah gerbang cantik itu, menyisakan debu yang terbawa menyaksikan Uta yang kini menjauh dari mata Nara.

***

Nara menunggu Uta di depan teras rumah. Hari ini, Nara terlihat begitu cantik dengan polesan bedak tipis dan sentuhan lipbalm di bibir mungilnya. Seperti biasa, Nara selalu bergaya cassual namun nampak memesona. Parfum beraroma floral semerbak seolah baunya mengudara. Lesung di pipinya,membulat saat Uta tiba untuk menjemputnya. Uta begitu menawan dari biasanya. Meski Nara tahu,Uta memang berparas rupawan. Pernah satu waktu, sahabatnya menjadi rebutan perempuan kaya raya bertampang aduhai. Anehnya,Uta tak bergeming dan terkesan mengabaikan perempuan yang menggilainya itu.

"Hayo,nunggu lama ya?" Tanya Uta. "Enggak sih baru aja gue duduk nih" "Oya? Bagus deh,jadi gue gausah nunggu lagi" "iyalah,kurang baik apalagi coba gue ta sama lu" "btw,dandan lama-lama tapi muka lu tetep sama? Buang-buang waktu aja" cela Uta. "Kenapa muka gue? Cantik? Jelas dong ta lu juga tau kan kalau gue tuh cantik" Gumam Nara Pede. "What???? Udah deh, mending lu cepetan naik motor gue yang keren ini" seru Uta.

Mereka menyusuri jalanan kota yang padat. Ada banyak pertanyaan yang Nara lontarkan untuk Uta. Namun,beberapa tanya hanya dijawab dengan nada bercanda. Kebiasaan lama yang tak bisa hilang dari Uta hingga sekarang. Nara hanya bisa memaklumi tingkah sahabatnya,ia tahu betul jika Uta memanglah tipikal manusia yang tak terlalu serius menanggapi suatu hal yang terjadi.

Uta mengajak Nara kesebuah kafe milik seorang teman sekelasnya yang kini ramai oleh pengunjung berusia remaja. Kafe bergaya unik terlihat elegan dengan hiasan lampu yang berpijar dengan balutan aksen lilitan daun cemara menjuntai. Warna dinding yang begitu soft, menambah kesan teduh disana. Gaya interior disetiap sudutnya,sedap dipandang. Hebat betul teman Uta, memiliki penghasilan sendiri di usia belia. Aroma seduhan kopi sang barista,menusuk hidung saat langkah kaki memasuki ruang yang sejuk. Sungguh,begitu membuat nyaman. Uta memilih kursi disudut ruang dekat sebuah jendela kaca yang menghadap langsung ke jalan Baduga. Sejumlah makanan telah lebih dulu di pesan dan tak lama,baunya mengetuk lembut hidung seolah perut tak kuasa menahan rasa lapar. Makanan yang disajikan,sungguh menggiurkan dan ramah sekali di kantong remaja yang lebih mendominasi kafe tersebut. Tak heran,kafe yang baru saja buka satu Minggu yang lalu ini mampu membuat betah berlama-lama disana. "Oiya ta, pemilik kafe ini beneran temen sekelas lu?" Tanya Nara dengan makanan yang memenuhi mulutnya. "Astaga Nara,mulut lu penuh gitu telen dulu baru nanya" jawabnya ketus. "Well,jadi?" "Iya, namanya Ellena" "gue tebak ta,pasti dia cantik" tanya Nara. "Ya,selain cantik dia juga berbakat" puji Uta. "Pasti cowok baik sampe brengsek rebutan buat deketin dia ya ta?" "Mungkin, gue gak peduli" jawab Uta sembari mengangkat bahu. "Jangan gitu ta,nanti lu tiba-tiba cinta ke dia" "secara gue ganteng hahaha" "sialan" umpat Nara.

Live music tengah berlangsung sejak 20 menit lalu. Uta bilang,setiap weekend grup musik sekolahnya biasa manggung di kafe milik anak pengusaha batu bara itu. Tak hanya enak didengar, grup musik yang memiliki 4 personil itu berwajah tampan bak Arjuna dalam cerita Mahabarata. Semua mata memandang ke 4 punggawa itu tak terkecuali Nara yang sedari tadi tak henti memandang salah satu diantara mereka. Sudah dipastikan,cinta pandangan pertama bersemi untuk pertama kalinya pada sang gitaris itu. Diam-diam,Nara mencuri pandang lalu sesekali melontarkan senyum manisnya. Uta hanya terkekeh melihat sahabatnya sembari menggelengkan kepala tanda tak menyangka jika Nara kini sudah tumbuh menjadi remaja yang haus akan kata cinta.

Semakin sore,kafe tempat mereka berada semakin ramai saja. Alunan musik pop membius semua pengunjung larut dalam nada. Uta dan Nara, merasakan hal yang sama. Senang berada disana. "Mulai besok,gue bakal jemput lu ra" suara Uta memecah suasana. "Haa? Kemana?" Tanya Nara bingung. "Ya, kesekolah dong Inara Mentari" jawab Uta gemas. "Oiya astaga gue hampir lupa ta hehe" Ujar Nara polos. "dasar" "ta, pulang dari sini kita gausah ke toko kue nenek ya anterin gue ke toko buku" "iya" "nah gitu dong,itu baru namanya sahabat ta hahahaha" jawab Nara girang.

Uta terdiam disisa gelas yang menyisakan setengah kopi miliknya. Waktu cepat sekali berotasi,Nara memandang sebuah jam klasik yang di pampang pada dinding kafe. Jarum menunjuk angka 6.30,selama itukah ia dan Uta berada ditempat ini? Berbincang dengan Uta, menyaksikan live music sang Arjuna dan mengintip lalu lalang pengendara dari celah jendela. Uta nampak resah menanti seseorang, terlihat dari matanya yang lebih sering menatap pintu daripada sahabatnya yang manja itu. Hp Uta bergetar, terlihat sebuah notif menandakan adanya pesan dari seseorang. Perempuan bernama Ellena rupanya yang mengirimkan kabar untuk sahabatnya. Nara kaget saat melihat Uta yang sontak memilih untuk tidak membalas pesan dari sang pemilik kafe ini. Belum 2 menit pesan tersebut disingkirkan,hp nya kembali bergetar. Nara kian penasaran dengan uta saat dengan cepat raut wajahnya menampakkan binar. "Aneh sekali Uta" batin Nara. Uta tersenyum menatap layar hp nya. Untuk pertama kalinya,Nara bingung dibuatnya. Pertanyaan seketika merasuki kepala dan menyerbu pikiran. Apakah Uta jatuh cinta? Siapa Bi? Apakah Bi orang yang berhasil menaklukkan Uta? Entahlah,pikirnya.

Saat Uta tengah sibuk dengan bincang di hp nya, Nara memilih menatap lamat ke arah jendela yang menghadap jalanan yang kini lengang. Lampu pijar yang memancar, bersahutan dengan lampu kendaraan di malam yang semakin meremang. Gerimis datang menyambut dingin yang menyapa. Begitu senyap disisa kopi terakhir seolah redup aromanya. Nara mematung di deretan alunan petikan gitar yang menggema rasa. Dari arah luar, seorang gadis berpayung hitam menepi ke sudut kafe yang benderang. Ia menutup payung yang sedikit basah oleh gerimis tipis yang mendera. Sejenak ia tertegun, sebelum akhirnya berpaling ke arah singgasana sang Arjuna. Secepat kilat, Uta sudah tak lagi di tempat sesaat setelah Nara memandang wajah manis sang gitaris itu. Nara tersentak Uta sudah tak ada di depannya kini. Dengan cepat, Nara mengawasi sekitar mencari Uta. "Ah,mungkin Uta ke toilet" batinnya.

3 menit berlalu tanpa Uta. Akhirnya ia bisa bernafas lega saat Uta kembali. "Uta,lu kemana ajasih? Gue kira lu ninggalin gue" tanya Nara kesal. "Gue abis ke toilet yaampun" jawab Uta terkekeh. "Rese!" Celetuk Nara. "Sorry ra,tadi lu lagi fokus banget nonton live music. Gue kebelet banget" jelas Uta. "Hm"

Dari luar sebuah pintu,gadis berpayung itu berjalan menerobos derasnya hujan. Aneh sekali gadis itu,hanya berdiri di ambang pintu kemudian pergi saat hujan menderas turun. Sudahlah.

***

Tepat pukul 8 malam hujan mereda. Uta dan Nara memutuskan untuk meninggalkan kafe yang menampungnya selama berjam-jam lamanya. Sebelum mereka kembali pulang, terlebih dulu mereka menginjakkan kaki di sebuah toko buku yang bersebelahan dengan toko bunga yang semerbak harumnya. Uta menunggu di luar toko, sementara Nara sibuk mencari buku dan perlengkapan sekolah untuk ia gunakan di hari pertamanya sebagai seorang murid di SMA ternama. Tak butuh lama untuk memilih beberapa jenis pena,Nara bergegas menuju kasir untuk membayar belanjaannya. Saat ia tengah mengantre,Uta menghilang lagi. "Sejak kapan Uta memiliki kebiasaan baru setelah 3 tahun tak bertemu?" Pikirnya. Setelah membayar semua perlengkapan, Nara berlalu ke luar toko dan mencari Uta yang meninggalkan Nara juga motor kerenya. Nara berdesis sebal dengan tingkah sahabatnya itu. Lagi dan lagi,enyah. Nara memutuskan menyusuri deretan toko yang memanjang dan menatap sekitar untuk mencari Uta. Tepat di depan sebuah toko bunga, sahabatnya itu tengah asyik berbincang dengan seseorang tak dikenal yang sepertinya gadis berpayung tadi. Benar sekali,payung berwarna hitam sengaja di simpan di dekat toko bunga tersebut. Nara kemudian mendekat lalu memanggil uta.

"Utaaaaaaa" teriak Nara. Merasa namanya dipanggil,Uta pun menoleh kearah sumber suara. "Eh ra, sini" ajak Uta. Dengan langkah kasar, Nara menghampiri Uta yang tengah terbahak dengan seseorang. Yap,gadis berpayung itu. Gadis itu menatap hangat Nara kemudian tersenyum kearahnya. "Hai" sapanya lembut. Nara tersenyum kearah gadis berpayung itu. Tanpa basa-basi, Nara langsung menarik tangan Uta. "Uta,ayo kenapa sih lu malah disini bukanya nunggu di motor coba. Gue kan jadi nyari lu. Sumpah ya ta,gue kesel banget sama lu kali ini!" Gadis itu hanya tertawa kecil melihat Uta diomeli Nara. "Ma..maaf ra,gue..." "Udah deh gue ngambek sama lu bete!" Potong Nara. Dengan perasaan kesal,Nara meninggalkan Uta dan gadis berpayung itu. Ia duduk didekat motor keren Uta yang kini basah oleh gerimis yang datang lagi. "Apa-apaan Uta, ninggalin gue gitu aja!" Hiksssss!!! Umpat Nara. Tak lama, gadis berpayung dan Uta keluar dari toko bunga itu dengan membawa sebuah bunga yang dirangkai sedemikian rupa. Uta berlari menghampiri Nara disusul gadis berpayung itu. Nara melongos menatap keduanya. "Benar-benar tak dapat ditoleransi ini Uta!" Pekiknya. Uta menarik tangan Nara dan menyuruhnya untuk segera berdiri. Gadis berpayung kembali tersenyum melihat tingkah Nara. Sebuah bucket berwarna ungu lengkap dengan bunga matahari favorit Nara bsengaja Uta pesan khusus untuk Nara yang baru tiba di kota kelahirannya. "Ini ra buat lu. Sorry gue ninggalin lu 2 kali tadi. Gimana? Lu suka kan?" Tanya Uta. Nara terdiam menatap bunga matahari pemberian uta. Ia menoleh kearah gadis berpayung itu, tersenyum mengantarkan langkah gadis itu berlalu. "Apaan si ta sejak kapan lu ngasih bunga-bunga segala" "eh parah ya lu sini balikin kalo gak suka. Inituh sengaja gue pesen yaa khusus buat lu. Suka gak?!" "Yeu,ko maksa sih. Perlu banget nih gue jawab?" Tanya Nara "Audeh males gue sama lu" ujar Uta bernada kesal. "Lho,gitu aja ko ngambek ta ta hahaha" timpa Nara. "Ayo pulang, keburu hujan nya makin deres" ajak Uta.

Pelukan hangat sang sahabat mengusir dinginnya malam dibawah gerimis yang datang. Uta terkejut saat tiba-tiba gisa memeluk tubuhnya yang lebih tinggi dari Nara. "Thanks ta,gue suka bunga nya" ucap Nara.

Sejenak,Uta membalas pelukan Nara dengan erat sehingga Nara kesulitan untuk bernafas. "Pftttt.. sialan ta. Lepasin gue,lu pengen gue mati? Serius gue gak bisa nafas" protes Nara. "Hahahaha" Uta terkekeh.

Hari pertama yang mereka lalui,begitu sempurna sebagai seorang sahabat yang tengah berbagi cerita. Sang waktu seolah mempertemukan 2 orang yang sejak lama menahan rindu setelah melawan jarak yang menyekat keduanya.

"Terima kasih Uta,sudah memberikan mentari yang tetap bersinar meski gelap datang"

Chapitre suivant