webnovel

Love Me or Hate Me?

Dibalik sifatnya yang ramah tersimpan duka yang mendalam. Kau tahu, dibalik sifat yang ceria sebenarnya tersimpan luka yang sangat dalam. Begitu juga dengan Alga. Begitu pandai dalam menyembunyikan lukanya. Dibalik sifatnya yang urakan tetapi ceria. --------- Algavino Arsya Danadyaksa. Seorang cowok yang bisa dibilang urakan. Tidak pernah serius dalam belajar. Wajah tampan, putih, serta hidung yang terpahat dengan sangat sempurna. Semua itu seakan tidak ada artinya ketika dikalahkan dengan sifatnya yang suka tebar pesona. Bahkan hampir satu sekolah membenci tingkah lakunya. Namun dibalik semua itu, dia memiliki sifat yang ceria dan tidak mudah sakit hati. Salsa Elvira Samudra. Cewek kaku dan dingin. Hatinya sangat tidak tersentuh semenjak kepergian seseorang yang ia cintai. Pergi untuk selamanya hingga meninggalkan kenangan pahit untuk Salsa. Kepergian yang menimbulkan tanda tanya. Sejak saat itu hatinya seolah terkunci rapat dan tidak ada satupun yang berhasil membuka hatinya. Akankah Alga berhasil menaklukkan hati Salsa? Atau justru gagal dan ikut terhanyut dalam masa lalu Salsa? Cerita ini gua buat hanya fiktif belaka dan bahasa yang nggak baku. Serta sudut pandang orang pertama. So I hope you enjoy it

Deva_setya · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
7 Chs

Part 4 (Rasa yang Dulu Ada)

Now playing

  [ I Like You So Much and You'll   Know it - cover by Arvian dwi]

Nggak tau kenapa lagi suka banget sama lagu ini apalagi yang ngecover arvian.

Entah sejak kapan

Mengagumimu dari kejauhan menjadi hobi buatku--Alga

                          -----------

Dia memegang erat lenganku. Tepat saat aku menoleh kearahnya.

Tiba-tiba...

Deg..

Tanpa dia sadari dia menarik lenganku begitu kuat hingga saat aku membalikkan badan kearahnya tepat saat itu juga jarakku dan dia begitu dekat. Bahkan kening kami hampir bersentuhan.

Sungguh. Aku begitu benci dengan suasana canggung seperti ini. Tapi tidak memungkiri aku juga senang karena bisa bersama doi dengan jarak sedekat ini.

Aku yakin yang jomblo pasti iri.

Cukup lama kami terdiam dengan suasana canggung seperti ini. Entah ini hanya perasaanku atau bagaimana. Tapi aku merasa dia menatap mataku begitu lama. Entah itu tersirat kebencian atau sebaliknya, aku nggak tau. Ingat. Ekspresi mukanya itu selalu sama seperti saudara kembarku. Lempeng kayak aspal.

Tapi sebaik apapun dia menyembunyikan kegugupan dibalik sifat cueknya nyatanya saat itulah sangat terlihat sekali kalau dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa dia tidak gugup. Bahkan selama sepuluh detik lamanya kami saling tatap tanpa ada kata yang terucap dari masing-masing, selama itulah dia selalu menelan ludahnya kasar.

Jujur. Kalau harus memandangnya sebegitu lamanya, aku ikhlas. Emang awalnya doang sih aku gugup nggak karuan. Tapi lama kelamaan rasa gugup itu beralih menjadi rasa nyaman. Ya. Aku akui gue nyaman dengan dia.

Semua itu berawal ketika masa orientasi siswa dulu.

Flasback

Aku berjalan di lorong kelas 10 bersama sahabatku sejak SMP, Arfan. Saat itu kelas masih dibagi berdasarkan gugus dan masih menjadi kelas sementara sebelum diadakan tes.

Aku yang notabene pendiam sekaligus pemalu hanya mengandalkan Arfan ketika pergi kemanapun. Itu semata-mata karena aku takut jadi bahan hinaan karena penampilanku yang culun waktu itu.

Tak jarang teman-teman sekelaspun sering menghinaku. Hampir semua. Hanya satu orang yang seakan tak peduli dengan suasana gaduh yang diciptakan gara-gara kehadiranku.

Dia. Cewek yang fokus dengan buku dan memakai headset serta duduk di pojok dekat jendela. Sesekali melirikku dengan acuh. Mungkin.

Saat kelas dimulai dan kakak senior yang mengisi kegiatan di kelas kami, ketika suntuk pun mereka menjadikanku sebagai bahan tertawaan untuk mengusir rasa suntuk. Bahkan Arfan sendiri pun juga ikut menertawakanku. Tak apa. Arfan tidak seperti yang lain yang tertawa mengejekku. Justru dia mengajakku untuk ikut tertawa.

Aku melirik dia sebentar. Siapa ya namanya? Ingin sekali untuk sekedar menyapanya. Sepertinya dia begitu sibuk dengan dunianya sendiri.

Bisa ku tebak dia sedang membaca novel. Terbukti saat dia tiba-tiba tersenyum tipis memandang bukunya. Senyum yang begitu cerah. Dengan lesung pipit yang begitu dalam di pipi sebelah kanannya. Manis. Saat itulah aku ikut tersenyum.

"Ekhem, adek yang lagi baca buku. Sini kamu. Maju"

Tanpa bantahan apapun dia langsung berjalan kearah senior-senior yang sedang memberikan materi tentang wawasan sekolah.

"Kamu tau apa kesalahanmu?!"

Salah satu senior cewek menegurnya

"Iya kak, saya tau"

Jawabnya tanpa ada rasa takut. Tapi juga tidak menghilangkan rasa sopannya.

"Siapa nama kamu?"

"Salsa kak"

Ooh namanya Salsa to. Cantik. Selaras dengan wajahnya.

"Baiklah, Salsa. Sebagai hukuman karena kamu sejak tadi tidak memperhatikan kami. Kamu saya hukum. Kamu harus drama saat ini juga didepan teman-teman kamu. Kamu boleh pilih salah satu buat jadi lawan mainmu"

Dia tampak bingung memandangi kami satu persatu.

"Dia kak"

Apa? Aku nggak salah lihat kan? Telunjukknya mengarah ke aku?

Awalnya aku pura-pura nggak lihat. Karena aku yakin bukan aku yang ditunjuk. Melainkan cowok yang ada disampingku, Ezra. Cowok populer bahkan dikalangan senior.

Tapi seketika suasana kelas kembali ricuh. Mereka saling tertawa. Saat itu juga aku menyadari bahwa aku yang ditunjuk Salsa.

"Lo pasti bisa bro" ucap Arfan sambil menepuk punggungku untuk memberi semangat.

"Cuih, dasar'' terdengar ucapan Ezra sambil bersedekap melirikku.

"Wah pilihan yang cocok yaa rupanya. Kamu mau drama apa dek?"

"Saya ingin memainkan drama berdasarkan novel yang saya baca tadi. Beauty and the beast"

Langsung disambut gelak tawa bahkan lebih kencang dari sebelumnya. Asli. Malunya sampai ke urat-urat.

Aku menoleh sebentar ke Ezra. Dan benar. Dia begitu tertawa dengan begitu puasnya mengejekku.

Drama yang kami lakukan bukan seperti film aslinya yang terlihat romantis. Tapi jatuhnya menjadi komedi. Terbukti selalu ada tawaan dari masing-masing orang.

Diakhiri dengan dansa. Aku menggenggam tangannya erat. Perlahan rasa malu yang sejak tadi kutampilkan didepan banyak orang seakan hilang begitu saja entah kemana. Aku nggak peduli dengan orang-orang yang selalu menertawakanku.

Berawal dari tatapannya yang seolah mampu meyakinkanku. Bahwa aku nggak lemah. Aku justru bisa membuat orang tertawa.

Flasback off

Lamunanku terbuyar saat dia tiba-tiba ngedorong bahuku begitu kuatnya.

"Apa-apaan lo. Lo mau berbuat yang nggak-nggak kan sama gue? Ngaku lo!"

"Idih perasaan dari tadi suudzon mulu lo. Kan lo sendiri yang narik lengan gue tadi. Kalau sayang tuh ngomong. Jangan pas orangnya nggak ada baru bilang sayang"

"GUE NGGAK SAYANG SAMA LO!"

teriaknya begitu kencang sampai-sampai ada guru yang sengaja lewat langsung ngegedor pintu.

"Ada orang didalam?"

Aku sengaja membekap mulutnya supaya nggak bersuara. Bisa gawat kan kalau dikira nanti kami melakukan yang iya-iya.

Selang beberapa menit kemudian sudah nggak ada suara guru tadi. Aku pun menurunkan posisi tanganku yang ngebekap dia.

"Blewh, tangan lo baunya nggak enak"

"Cielah yang tadi masih sempat-sempatnya nyium tangan suami" aku nyengir sambil ngegoda dia.

"Suami lo bilang? Mimpi apa gue semalam. Dengerin ya. Lo sampai kapanpun nggak bakal bisa jadi pacar atau bahkan suami gue!"

"Iya-iyaa. Punya istri kok jutek banget sih. Mana sini tugasnya. Biar abang yang ngerjain"

"Nggak! Gue bisa sendiri!" ketusnya sambil berlalu dari hadapanku.

"Udah sini gue bantu, bentar lagi bel istirahat. Gue yakin lo belum makan. Udah sini" karena kesel nggak diserahin buku miliknya, aku inisiatif buat ngerebut bukunya.

"Sok tahu lo!" ucapnya tanpa merebut buku yang sudah aku kerjain.

Sambil sepik-sepik ngelirik si doi. Aku pikir saat aku berpose sok keren sambil ngerjain tugasnya terus dia bakal bertopang dagu sambil memandangku dengan kagumnya gitu. Tapi balik lagi. Ekspektasi nyatanya tak seindah realita. Dia bahkan nggak peduli sama sekali denganku. Malah justru asik chattingan dengan Ezra.

Kenapa aku bisa tahu?

Karena aku sengaja lirik-lirik kearah layar ponselnya.

Cckk, sama Ezra aja bisa sebegitu mudahnya tersenyum. Giliran sama gue aja bawaannya gedeg mulu

"Nih udah selesai" aku nyodorin bukunya di meja tepat didepannya dengan keras. Sengaja aku tunjukkin ke dia rasa kekesalanku.

"Eumm, Makasih" ucapnya tersenyum. Jangan kira itu senyum buatku. Lagi-lagi aku kalah sama Ezra. Yang bahkan cuma di ponsel aja bisa nyaingin aku yang jelas-jelas saat ini berkorban nyata buatnya.

"Kuylah kita kumpulin ke Pak Nur" ajakku.

"Lo duluan aja nggak papa. Bentar lagi Ezra bakal nemenin gue kok"

"Eehh nggak bisa. Tadi kata Pak Nur kalau ngumpulin harus berdua gini. Kan yang dihukum kita. Kalau ada orang lain yang mau nemenin bisa-bisa malah orang itu yang bakal dihukum. Emangnya mau kalau Ezra yang nggak salah apa-apa terus dihukum gitu? Nggak kan. Yaudah makanya ayo"

Sungguh nyesek sendiri pas aku ngomong gitu. Tapi demi bisa jalan bareng Salsa kenapa nggak?

"Lhoh iya? Kok gue nggak tau ya"

"Iya lah, makanya tadi aja sohib-sohib gue suruh ke kelas aja"

"Ooh gitu, yaudah ayo"

Sambil berdiri dan refleks menggandeng tanganku. Tapi doi langsung sadar dan melepas genggaman tangannya yang mulus dan hangat.😖😖

"Eumm, sorry. Gue nggak sengaja"

Ucapnya begitu canggung menurutku.

"Gapapa santuy aja kali. Udah biasa mah cowok ganteng gini dipenggang sama cewek" cengirku.

Tapi kok raut mukanya tiba-tiba berubah gitu ya. Kayak ekspresi nggak suka gitu. Atau mungkin cuma perasaanku aja kali ya?

Aku emang berjalan berdampingan bersama dia menuju ruang guru. Tapi jarak kami lumayan jauh. Apalagi Salsa sepanjang perjalanan selalu menatap layar ponselnya mulu. Sambil sesekali tersenyum menampakkan lesung pipitnya yang begitu manis. Sayangnya senyum itu bukan buatku.

Nih cewek nyadar nggak sih kalau dari tadi mendapat tatapan jengkel dari siswa-siswi yang lewat bersimpangan dengannya. Pasalnya sudah beberapa orang hampir saja ditabrak oleh Salsa. Itupun aku yang harus tersenyum canggung sambil meminta maaf.

Karena aku sebel sendiri sama Salsa yang dari tadi tidak peka. Sebegitu butakah cintanya pada Ezra sampai-sampai dia beneran buta dengan jalan didepannya. Aku seketika menarik lengannya setelah itu lenganku seolah memeluk bahunya.

Dia langsung mendelik tajam padaku. Aku acuh aja. Berulang kali dia mencoba melepaskan lenganku. Tapi sekuat apapun yang dia lakukan masih tetap kalah sama tenagaku.

"Udah diam aja. Dengan begini lo tetap aman walaupun berjalan sambil chattingan sama cowok itu" tatapan mataku lurus kedepan. Sengaja ku lakuin. Karena kalau aku memandang dia yang lagi-lagi sayang-sayangan dengan Ezra. Aku nggak rela. Yaa walaupun aku nggak ada status apapun dengannya. Tapi sungguh hatiku nyesek dan nggak rela kalau orang yang  aku suka sejak dulu secara terang-terangan bahagia bersama orang lain. Kalian pasti juga pernah begitu.

"Udah nggak tertib, berangkat sering terlambat. Penampilan acak-acakan. Dan sekarang baju kamu kotor kayak gitu. Mau jadi apa kamu!" ucap Pak Nur ketika kami sudah sampai di ruang guru sambil menyerahkan tugas.

"Ehhe, ya maaf pak. Besok-besok janji deh nggak bakal saya ulangi lagi. Suer" aku nyengir seperti biasa. Mau gimana lagi. Ikutan ngegas juga nggak mungkin. Selain latar tempat yang nggak memungkinkan, disini aku juga salah.

"Janji-janji mulu kamu. Cowok itu nggak boleh ngobral janji kalau besok-besok masih diulangi. Dan lagi. Kenapa kalian dari tadi gandengan begitu"

Hah? Masa? Kok aku baru ngeh ya?

Lagi-lagi tanpa sengaja aku bergandengan dengannya. Ini aku emang nggak sengaja atau tanganku yang sebenarnya ganjen?

Karena ketahuan, aku tunjukin aja sekalian ke Pak Nur.

"Ngehhe, iya pak. Kenalin, dia pacar saya" sambil nunjukin tangan kami yang sengaja aku eratin genggamannya tepat kearah Pak Nur.

Dari raut mukanya sih udah dongkol banget sama aku kayaknya.

"Jadi saya ngehukum dua orang di sebuah ruangan rehabilitasi buat pacaran?!"

"Ehh nggak kok pak, dia bukan pacar saya"

"UDAH SANA KALIAN PERGI. BESOK-BESOK SAYA TIDAK AKAN MEMBIARKAN KALIAN DIHUKUM LAGI. BERDUAAN!"

Sebegitu ngegaskah ketika orang berhadapan denganku?

Mulai dari Mama, Salsa, sekarang Pak Nur. Entar siapa lagi?

"Yaudah sayang ayo kita pergi. Susah ngomong sama manusia yang sudah menunjukkan tanda-tanda penuaan dini"

Tepat setelah keluar dari ruang guru, Salsa menghentakkan tanganku begitu kencangnya.

"Cukup Al. Lo itu bukan pacar gue. Dan selamanya nggak akan pernah jadi pacar gue. Jadi stop bertingkah laku layaknya lo pacar yang baik buat gue. Dan satu hal. Gue nggak suka ya kalau tingkah laku lo cengengesan kayak tadi. Gue benar-benar jijik tau nggak! Asalkan lo tau ya lo secara nggak langsung udah bersikap nggak sopan sama bokap gue!" finalnya sebelum meninggalkanku termenung sendirian.

Bokap? Jangan bilang selama ini Pak Nur itu?

Woahh! Ommo! Jinjja! Daebak!

             Bersambung...

Gua sebenarnya agak sedih sih kalau cerita ini sedikit yang baca. Tapi balik lagi. Mungkin karena ini awal gua nulis kali ya.

Karena gua yakin. Penulis-penulis profesional juga pasti dulunya pernah ada di tahap kek gini. Mungkin, ehhe.

Oh iya, tiba-tiba aja gua kepikiran buat ganti castnya Alga dan otomatis castnya Varo juga berubah.

Menurut gua lebih cocok aja sih cast baru ini sama tokoh Alga. Dari segi wajah dan sifat sangat klop.😂

Kecup jauh dari Deva 😘