webnovel

Love 360°

Lilistia Atyati, Seorang Gadis muda yang jatuh cinta secara sepihak kepada Rhys Haizal selama 8 tahun terakhir itu tiba-tiba memutuskan untuk move on! Tentu saja perubahan itu sangat berdampak besar pada Rhys karena dari dulu Dia meyakini kalau Gadis cantik itu takkan pernah berpaling dari dirinya. Saat Lilis yang sudah berubah sebanyak 180° tak seperti sebelumnya, kejadian ajaib menimpa Mereka berdua! Lilis dan Rhys ternyata bertukar tubuh setelah jatuh dari pohon jengkol! Akankah perasaan Lilis pada Rhys kembali ke titik awal sehingga menjadi putaran cinta 360°? Atau Lilis akan tetap bersikeras move on dari Rhys meskipun jiwa Mereka kembali kepada raga masing-masing?

Aerina_No_7 · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
9 Chs

CH 9 - Friends Huh?

Note : Karena Author tidak mau ceritanya monoton gara-gara bersudut pandang pada si tokoh utama aja, jadi untuk beberapa chapter kedepannya akan memasuki cerita beberapa character yang ada disekitar tokoh utama. ><

.

.

.

.

Chapter 9 - Raven Untold Story.

'Ada yang bilang, jika Kau bersama dengan Seseorang yang cocok dengan kepribadianmu, maka itu akan berdampak besar pada perubahan sikapmu dari sebelumnya. Hm yeah semacam beradaptasi dengan lingkungan atau semacamnya mungkin? Ah entahlah.'

TUKKK!

"Duh, gini amat jadi Anak nolep."

Aku menggerutu pelan sambil menyepak batu-batu kerikil jalanan, Aku kesal karena hari ini adalah hari kelulusan sekolah SD. Bukan karena Aku tak lulus sekolah atau apa, tapi karena tidak ada Orang dari keluargaku untuk menjadi wali dan menemaniku sekarang.

Aku punya Seorang Kakak perempuan yang lebih tua dariku 4 tahun, Dia putus sekolah setelah lulus SMP hanya gara-gara bekerja serabutan selama seharian untuk biaya hidup Kami berdua.

Ada yang bertanya ke mana kedua Orang tuaku? Ah geez, Aku tak peduli sama Mereka lagi. Mereka berdua bertengkar hebat lalu bercerai saat Aku masih berumur 2 tahun, karena Mereka berdua bersikukuh tak ada yang mau mengalah untuk mengurus Kami, Aku dan Kakakku di buang oleh kedua Orang tuaku ke panti asuhan sejak dini. Karena waktu itu Aku masih balita, Aku tak benar-benar mengingat seperti apa wajah Mereka yang tega membuang Kami.

"Gah, menyebalkan. Kalau sudah lulus yah tinggal kasih rapotnya doang ribet amat. Kenapa coba harus merayakannya segala, gak ada yang perlu dirayain juga."

BHAKKK!

"Acckk!"

'Ada yang bilang, Kau bisa akrab dengan cepat jika bersama dengan Orang yang paham betul dengan penderitaanmu. Orang yang tahu betul tentang seluk beluk akar permasalahanmu karena Dia juga mengalaminya sendiri.'

"Hei, punya mata gak sih?! Matamu yang gede tuh harus di pake! Buat apa dipajang doang dan gak di gunain, useless."

Aku mengumpati Orang yang baru saja menabrakku tanpa sempat melihatnya dengan jelas, bagaimana tidak marah? Padahal jalan di sampingku itu terpampang lebar untuk dilewati Orang tapi Orang ini malah sengaja mengambil jalan tempatku berdiri lalu menabrakku!

"Ah sorry, gak lihat."

Mataku membelalak lebar mendengar jawabannya itu, apa Dia baru saja bilang kalau Dia tak melihatku yang segede gaban ini?!

"Apa-apaan itu? Apa Kau katarak? Dan tunggu, kenapa ekspresimu tak ada tanda-tanda penyesalan sama sekali?!"

Kulihat dengan seksama Orang yang baru saja 'sengaja' menabrakku barusan. Dia adalah Seorang Anak Laki-laki yang sepertinya satu angkatan denganku sedang menatapku datar, tak ada penyesalan sama sekali dari raut wajahnya. Mungkin Dia sekelas denganku namun karena Aku tak peduli dengan Orang sekitar, jadi Aku tak tahu siapa pun tentang teman sekelasku.

"Apa Kau benar-benar serius meminta maaf padaku dengan wajah itu? Sepertinya Kau tak mau meminta maaf yah."

"Ugh, cerewet. Kau itu Laki-laki tapi kenapa banyak bicara seperti Perempuan hah?!"

BHAKK!

"Minggir sana."

"Ap--? Hei!"

Anak nakal itu kembali menabrakku, namun kali ini Aku yakin kalau Dia melakukannya dengan sengaja. Dia berjalan cepat menghindari kerumunan para murid yang merayakan hari kelulusan bersama Orang tua Mereka, Aku yang masih belum terima dengan perlakuannya itu pun segera mengejarnya dan terus mengekorinya.

"Woi, Kau mau kemana sih?!"

"Keluar sebentar, disana berisik."

Aku ngos-ngosan saat mengikutinya keluar dari lingkungan sekolah, Dia berhenti berjalan sebentar lalu berbalik melihatku dengan matanya yang melotot.

"Kenapa Kau mengikutiku?!"

"Aku? Tentu saja untuk membuat perhitungan denganmu idiot!"

"Ha, sok-sokan bilang begitu. Namaku saja Kau pasti tidak tahu iyakan?"

"Uhmp! I-itu...."

Damn it! Bagaimana bisa Dia memojokkanku semudah ini?

"Kembali ke acara sekolahan saja sana, Ravi Revansyah."

SWOSHH~

Aku membeku di tempat tatkala Dia menyebutkan Namaku, ekspresinya tetap sama dan tak ada perubahan meskipun baru saja memanggil nama Orang asing yang tak dikenal. Benar, Aku selalu membatasi diriku dengan Orang di sekitar, tak ada yang peduli ataupun mau peduli padaku meskipun Aku mencoba bersikap sewajarnya Anak Laki-laki di umur segini. Bicara pada Seseorang pun hanya seperlunya saja, itu pun kalau dalam situasi mendesak.

"Ba-bagaimana Kau tahu namaku?"

"Kau pikir kalau Aku itu adalah Kau hah?! Tentu saja Aku tahu itu, karena Kau...."

Mata sipit Anak Laki-laki itu sedikit melengkung, sebuah senyuman samar terukir menyamarkan ekspresi datar tadi. Tangan kanannya terangkat sedikit dan telapaknya terbuka lebar menyambut tanganku untuk menyahuti sebuah salam darinya.

".... Adalah temanku."

Mata coklat terangku membulat, bibirku terkatup rapat tak tahu harus bilang apa. Tanpa sadar, tanganku pun meraih uluran tangannya dan membuat tangan Kami berdua saling bersalaman.

"Salam kenal, Aku Rhys Haizal."

"Yeah...."

'Teman, adalah suatu gelar untuk Orang yang tadinya asing di kehidupanmu namun perlahan Dia masuk secara diam-diam dan menjadi bagian dari Orang yang Kau sebut dengan keluarga.'

".... Salam kenal, Rhys."

~~~~~~

"Apa Kau datang bersama Orang tuamu ke sini? Dilihat dari penampilanmu sepertinya Kau Anak Orang kaya."

"Tidak, Aku datang sendiri. Mereka berdua tak peduli padaku jadi jika ikut ke sini pun tak ada gunanya, lagi pula untuk apa kaya kalau tak bahagia? Cinta dan kasih sayang kan tidak bisa dibeli oleh uang."

"Begitu ya... Sebelas dua belas lah sama Orang tuaku. Makanya Aku juga datang ke sekolah hari ini sendirian."

"...."

"...."

Keadaan dalam sekejap menjadi hening, Aku dan Rhys terdiam tak tahu harus berbicara apalagi. Hm tapi sayang sekali yah, kenapa coba Aku baru berkenalan dengannya di saat-saat hari kelulusan.

"Sayang sekali Kita berkenalan sekarang, kalau saja Aku lebih dulu berkenalan denganmu dari awal-awal. Sepertinya Kita tak akan bertemu lagi, apalagi berteman... Haha."

"Omong kosong, Kita kan masih bisa berinteraksi di luar lingkungan sekolah. Di mana rumahmu? Rumahku ada di distrik pohon pinus."

Di-distrik pohon pinus? Jelas sekali itu adalah distrik kumpulan orang-orang kaya! Apa Aku serius bisa bersanding dengannya?! Levelku jauh lebih rendah darinya.

"A-aku tinggal di panti asuhan kampung jambu air haha."

Aku tertawa canggung sambil menundukkan kepalaku menatap tanah karena merasa malu, bisa-bisanya Orang rendahan sepertiku berharap menjadi teman Tuan muda ini!

"Oh di sana? Baiklah, Aku akan main ke sana sore nanti. Ayo balik ke sekolah, sepertinya rapotnya sudah mau dibagikan."

Huh?! Tunggu, Kau serius? Kenapa Kau tak mengejekku?! Yang Aku dengar kan kalau anak orang kaya itu sering merendahkan anak yang derajatnya lebih rendah darinya. Tapi kenapa ini? Apa Dia benar-benar tulus mau berteman denganku? Itu bukan bullshit kan?

"Oke, Aku akan menanti kedatanganmu."

Benar, Dia mau bicara omong kosong atau bukan Aku akan membuktikannya nanti sore. Mungkin karena Dia orang pertama yang kuterima sebagai teman atau karena Dia lebih dulu mengajakku untuk berteman, Aku jadi mempercayainya.

***

"Oh hei, Evan!"

Aku menolehkan kepalaku menyahuti Orang yang memanggilku di tengah jalan pulang menuju panti asuhan, suara familiar yang kurindukan saat sedang sekolah. Satu-satunya Orang yang tulus menyayangiku juga membesarkanku dengan limpahan kasih sayang.

"Kakak! Kakak sudah pulang? Tumben sekali pulangnya lebih awal? Ini kan masih jam 1 siang."

"Ohoho, apa Kau tak suka Aku pulang lebih awal hm?"

Kakakku terkekeh kecil lalu merangkulku, Dia mengelus-elus rambutku dan menuntun tanganku untuk pulang ke panti asuhan secara bergandengan tangan. Geez, kenapa Dia masih terus memperlakukanku seperti anak kecil?! Aku kan sudah mulai beranjak remaja! Tapi entah kenapa ini hanya perasaanku saja, kulihat Kakakku berjalan dengan terpincang-pincang.

"Maaf ya, Kakak gak bisa datang tadi untuk mengambil rapotmu."

"Tidak masalah, lagi pula tadi sangat menyenangkan kok. Ada yang ingin berteman denganku Kak!"

"Woah beneran? Kyaaah, Kakak turut bahagia untukmu Evan."

TAP...

Loh? Kakak tiba-tiba berhenti berjalan ketika Kami baru saja melewati gerbang panti asuhan, Dia menggenggam tanganku erat sekali sampai-sampai Aku kesakitan. Saat kutengadahkan wajahku untuk melihatnya, raut mukanya terlihat terguncang dengan wajah pucat pasi dialiri buliran-buliran keringat dingin.

Kupalingkan wajahku menuju apa yang dilihat Kakak, di sana terdapat 2 mobil sedan hitam dan abu-abu terparkir di depan rumah panti. Apanya yang salah dengan mobil itu? Kenapa Kakakku sebegitu tercengangnya saat melihat 2 orang dari masing-masing mobil itu menghampiri Kami berdua.

"Kakak? Uakkh—"

Secara tiba-tiba Kakakku menyembunyikanku ke belakang punggungnya, Dia juga mengambil langkah mundur di setiap detik kedua orang itu mendekati Kami. Aku bertanya-tanya siapa orang yang ditakuti Kakak, namun sepertinya ini bukan waktu yang tepat.

"Haha, ada urusan apa tiba-tiba menemui Kami berdua setelah sekian lamanya huh? Wahai Tuan dan Nyonya sekalian?"

Kakak semakin erat menggenggam tanganku dan bersikeras menyembunyikanku agar tak terlihat oleh kedua orang itu, suaranya terdengar bergetar namun sepertinya Kakak berusaha untuk terlihat tegar.

"Anak haram sepertimu tak berhak bertanya padaku, tidak, melihatku pun Kau tak boleh."

Seorang Wanita paruh baya yang datang tiba-tiba tadi, langsung to the point menyebut Kakak 'Anak haram'. Sementara satu orang lagi yang merupakan Seorang Pria berumur secara terus-menerus memperhatikanku seolah-olah ingin menarikku dari genggaman Kakak kapan saja.

"Sudah 10 tahun lamanya Kalian membuang Kami, padahal Kalian tak pernah peduli apapun tentang kehidupan Kami. Aku membesarkan Evan dengan keringat, darah, dan air mata menggantikan tugas yang seharusnya Kalian lakukan. Dan kini, Kalian ingin membawa Evan pergi dariku? Jangan bercanda dasar sialan!"

GRRTTT...

Aku tertohok dengan perkataan Kakakku, kucengkeram erat bajunya dengan tangan gemetar lalu kususupkan wajahku pada punggungnya. Mata coklatku mulai berair dan tenggorokanku terasa berat untuk menelan ludah, bukan hanya diriku saja yang tubuhnya terasa gemetar seperti kedinginan, nyatanya Kakakku juga mengalaminya namun Dia tak menghiraukannya. Dari perilaku Kakak terhadap kedua Orang itu dan pembicaraannya barusan, Kakak ini sedang berbicara dengan... Orang tua Kami kan?

"Benar, seperti yang Kau bilang kalau Aku ini adalah anak haram yang tercipta dari kesalahan Kalian berdua semasa masih muda. Aku mengerti jika Kalian membuangku karena keberadaanku tak diinginkan, tapi bagaimana bisa Kalian membuang Evan juga? Evan kan lahir setelah Kalian menikah! Itu artinya kelahirannya tak menjijikkan dibandingkan denganku!"

Tidak Kakak, jangan berkata seperti itu. Kakak adalah anugerah terindah yang Tuhan berikan untukku sebagai bidadari penjagaku, bagaimana bisa Kau merendahkan diri pada orang yang jauh lebih rendah darimu?!

"Diamlah Shiori Claudia! Dan juga siapa Evan? Bukankah Aku menamai Adikmu dengan nama Aldrich Callister?"

"Hah, peduli amat. Pergi saja sana dan tak usah memperhatikan Kami sama seperti sebelumnya. Ah dan juga tak usah repot-repot memanggil Kami dengan nama jelek itu, Kami memiliki nama sendiri yang tak ada hubungannya dengan Kalian."

Shiori Claudia? Aldrich Callister? Tidak, Aku tak kenal dengan dua nama aneh itu! Yang kukenal dan kusuka dari sebuah nama adalah. Ravi Revansyah dan...

"Kak Eva, sebaiknya Kita masuk."

.... Reva Cahya Syntha, nama yang cocok untuk Kakakku yang cantik.

"Kau bicara omong kosong terus Shiori, Kau pikir anak itu ingin hidup melarat lebih lama lagi bersamamu? Dah sini Aldrich, ayo ikut Ayah. Jika Kau tinggal dengan Ayah mulai dari sekarang, maka hidup susahmu akan berubah jadi kebahagiaan."

Pria tua itu tiba-tiba menarik lenganku secara serentak, Aku segera menarik tangan Kak Reva dengan tanganku yang satu lagi. Kau bilang hidup melaratku akan berakhir jika mengikutimu huh? Tidak, justru hidupku terasa melarat itu ketika Kalian membuangku dan Kakak! Dan sekarang setelah hidupku jauh lebih baik, Kalian datang lagi karena ingin membuatku kembali menderita?

"Tidak lepaskan! Aku tak mau ikut dengan Kalian! Aku ingin tinggal bersama Kakak!"

Kutendang-tendang kaki Pria itu dengan kemarahan yang memuncak. Kak Reva adalah segala-galanya bagiku, Dia sudah seperti seorang Ayah, Ibu, dan Kakak dalam satu jiwa raga. Lalu Mereka ingin memisahkanku dengan Kak Reva?! Enak sekali Mereka mempermainkan hidup orang!

"Aku tidak kenal Kalian! Lepaskan Aku!"

"Huh Kau tak kenal Kami? Kami ini Orang tuamu! Ayo pergi!"

"Apanya yang Orang tua?! Orang tua mana yang tega membuang anaknya dan mengatai anaknya Anak haram?!"

Aku berteriak kencang, tangisku pecah karena tak bisa ditahan lagi. Aku menggigit tangan Pria itu lalu berlari menyambar tangan Kakakku, kuajak Dia kabur dari Mereka berdua melewati semak belukar menuju hutan bambu besar di sekitar sini. Jika Kami kabur ke jalanan maka akan mudah ditangkap oleh Mereka, lagi pula bisa saja Mereka punya anak buah yang banyak atau semacamnya. Selagi Mereka tak tahu kawasan hutan sini, jadi Aku rasa akan aman untuk bersembunyi sebentar lalu kembali ke panti.

"T-tunggu Evan! H-huh?! Huwaaahh!"

BRUKKK~ KRUSUKK!

"Owwie...."

Kak Reva jatuh tersungkur dan mengaduh sakit, Dia terus-terusan memegangi betisnya yang berbalutkan celana legging hitam. Saat Aku berjongkok hendak melihat apanya yang sakit, Kak Reva meresponnya dengan bilang kalau Dia baik-baik saja. Dia terus menepis tanganku yang berusaha melihat betisnya, hal itu membuat kecurigaanku semakin bertambah.

"Kak, sini Aku lihat!"

"Eh nggak, jangan! Oww...."

Saat kupegang betisnya, Dia terlihat kesakitan. Lalu kain celana leggingnya yang baru saja kusentuh itu terasa basah, kudapati noda merah menyala yang kuyakini kalau itu adalah darah.

"Ya ampun Kak! Ini darah!"

Segera kusibakkan celana legging yang menutupi kaki kirinya sampai sebatas lutut, betapa terkejutnya Aku ketika mendapati luka robek melintang dari bawah lutut sampai atas mata kakinya. Mungkin karena celananya berwarna hitam jadi rembesan darah dari luka sebesar ini tidak kelihatan.

"Kak! Kok Kakak bisa luka gini?!"

Di tengah sunyinya belantara hutan bambu, hanya suara khawatir dariku lah yang terdengar menggema.