webnovel

Kejutan malam minggu

Evan kembali tersenyum melihat tingkah kikuk Sandra. Disisi lain Sandra hanya diam saja, menundukkan kepalanya, menyembunyikan rona malu di wajahnya, dia memilih diam, toh percuma menolak lelaki ini, ia punya sejuta cara untuk membuat Sandra berkata "iya".

Sandra berdehem.

"Ok, hanya saya enggak suka kalau menyusahkan orang lain, kalau memang dr. Evan lagi sibuk, tolong jangan dipaksakan," jawabnya pelan, masih menghindari kontak mata dengan Evan.

Evan tertawa kecil mendengar jawaban Sandra.

"Pasti tidak, kan saya yang menawarkan diri," ujarnya sambil mengedipkan sebelah matanya, sedikit menggoda Sandra.

Seorang pelayan datang membawa pesanan makanan mereka, "syukurlah" ucap Sandra dalam hati. Dia beruntung tidak harus bertingkah kikuk didepan Evan.

Selesai makan Evan mengantarkan Sandra pulang. Mobil Sandra sudah terparkir manis di halaman depan rumahnya. Sandra baru ingat, janji Evan untuk membawa mobilnya pulang.

"Sesuai janji ya," ujar Evan, sambil mengembalikan kunci mobil Sandra.

"Terimakasih banyak," balas Sandra pelan, bergegas turun dari mobil.

Evan menahan lengan Sandra, sebelum pergi. Sandra terkejut, tidak sengaja ia dengan cepat menarik lengannya dari genggaman Evan.

"Sori, aku cuman ingetin, besok pagi aku jeput ya, see u " ujarnya masih tetap dengan senyum manisnya.

"Iya, tapi kalau saya ada keperluan mendadak, saya pergi duluan ya" balas Sandra sambil bergegas turun sebelum Evan menahannya lagi.

Esok paginya, Sandra sudah berusaha bersiap-siap di pagi hari untuk menghindari Evan, tapi tampaknya usahanya sia-sia, Evan sudah didepan rumahnya, kembali menyapanya ditemani senyuman manis khas Evan,

"Percuma, laki-laki ini datang jauh lebih pagi sepertinya" pikir Sandra. Hari ini pun Sandra kembali mengikuti kemauan Evan untuk ditemani Sandra makan siang dan malam, serta pulang bersama.

Akhirnya tak terasa sudah dua minggu Sandra selalu ditemani Evan, hal ini sungguh tidak biasa bagi Sandra, karena biasanya dia menghabiskan hari-harinya sendiri. Hari -hari bersama Evan benar-benar menyenangkan, Evan sering bertingkah konyol atau melontarkan candaan-candaan yang bisa membuat Sandra tertawa. lJumat malam ini Sandra tidak diantar oleh Evan, karena Evan harus operasi cito (¹) malam harinya, Sandra langsung pulang setelah menerima pesan dari Evan, dengan perasaan sedikit kecewa tentunya. Hari Sabtu ini, Sandra kembali ke hari-hari sepinya. Luka-luka di badannya sudah hampir sembuh, untuk mengisi waktu dia berpikir untuk memulai hari dengan olah raga, sudah lama dia tidak berolah raga terutama semenjak peristiwa tabrakan dua minggu lalu.

Pagi-pagi sekali Sandra mengeluarkan sepatu jogingnya yang baru dibelinya 1 bulan yang lalu, sepatu itu terlihat bersih karena hampir tidak pernah digunakan. Sandra berjalannya pelan menuju jogging track di perumahannya. Setelah melakukan peregangan ia langsung memulai joging, sebelumnya Sandra memasangkan earphone untuk mendengarkan lagu, ia sama sekali tidak menyadari ada sepasang mata yang mengawasinya sejak tadi. Seseorang menepuknya saat berlari, Sandra sedikit terkejut, ia berhenti sebentar dan menoleh ke kiri, ternyata itu Keenan. Pria itu memakai kaus olah raga dan celana pendek.

"Loh dok, olah raga disini juga?" sapa Sandra sambil melepas earphonenya. Ia sedikit heran menemui Keenan disana.

Keenan mengangguk.

"Dokter berarti tinggal dekat sini?" tanya Sandra lagi.

"Iya, hanya beberapa rumah dari rumah kamu,"

"Ohya?" Sandra cukup terkejut, tiba-tiba ia teringat, dulu saat Sena SMA, Keenan sering sekali main ke rumahnya karena mereka berdua satu kelas dan bertetangga. Dia juga teringat, ayah Keenan meninggal beberapa tahun setelah Keenan lulus SMA, ibu nya menikah lagi dengan seorang pengusaha dan tinggal di Jerman, setelah itu rumah mereka selalu disewakan.

Keenan mengangguk, "iya, dulu kan kita tetangga, " jelasnya singkat.

*Mau lari bareng?" ajaknya.

Awalnya Sandra ingin menolak, tapi Keenan keburu berlari sambil mengajak Sandra ikut.

Sandra bukan pelari yang baik, ia tidak rutin berolahraga, dengan susah payah ia berusaha menyamai kecepatan Keenan, ditambah lagi tubuh Keenan dengan tinggi sekitar 180 cm, jelas berbeda dengan tinggi Sandra yang hanya 163cm, masuk putaran ke empat, Sandra mulai melambat, perutnya mulai berbunyi, kelaparan. Sandra baru sadar, semalam ia melewatkan makan malam setelah Evan mengabarkan tidak bisa mengantar pulang. Teriknya matahari di pagi hari ini menambah kesulitan Sandra untuk berlari. Tanpa Sandra sadari Keenan mulai menyesuaikan kecepatan larinya, dia ikut melambat menyesuaikan kecepatan Sandra. Sandra berusaha kembali mempercepat larinya, tapi hanya berlangsung sekitar 15 menit, ia berhenti mendadak mengatur napasnya. Keenan tidak menyadari Sandra berhenti, ia tetap berlari. Sandra menyadari perlahan punggung Keenan mulai menjauh.

"Lelaki ini cepat sekali" pikir Sandra sambil terengah-engah. Dia tidak memperdulikan lagi Keenan yang meninggalkan dia. Sandra berjalan pelan menuju kursi tempat Istirahat yang tidak jauh dari tempat dia berhenti, diluruskannya kedua kakinya, matahari kini terik sekali, Sandra menunduk, sambil melihat jam dilayar handphonenya,

"Ya ampun," pekik Sandra terkejut. Dia baru sadar kalau sudah berlari selama 40 menit tapi sudah mengitari jogging track ini sebanyak 4 kali, ini bahkan sudah hampir menuju putaran kelima, biasanya dia menghabiskan 30 menit hanya untuk dua putaran saja, pantas saja dia sudah tidak kuat, ditambah lagi kemarin siang adalah makanan terakhir yang masuk ke perutnya, untung saja dia tidak pingsan saat berlari tadi. Sandra teringat Keenan, "kemana perginya dia, aneh sekali, mengajak lari bersama tapi malah meninggalkan yang diajak," ujar Sandra dalam hati dengan kesal, kalau saja Keenan bukan teman Sena, pasti sudah ia tolak ajakannya. Lamunan Sandra kembali kepada Evan, kalau saat ini ia berlari bersama Evan, pasti Evan sudah menggenggam tangan Sandra untuk lari bersama, atau sudah mengejek Sandra karena baru 40 menit tapi sudah kelelahan. Sandra tersenyum membayangkan hal itu.

"Ah, apa-apaan aku ini," pikir Sandra, malu sendiri, dengan cepat ia menepis khayalan manisnya.

Terik matahari tiba-tiba berubah menjadi teduh, membuat Sandra terheran dan mendongakkan wajahnya. Ternyata Keenan berdiri dihadapannya, menutupi teriknya matahari dari wajah Sandra.

"Kamu ga apa?" tanyanya, ada perasaan khawatir disana.

"Saya ga tau kalau kamu tadi berhenti, baru sadar setelah lari lumayan jauh, maaf" sambungnya lagi.

Sandra hanya menggeleng.

"Ga apa" jawabnya singkat. Sebenarnya Sandra kesal sekali, tapi mau bagaimana lagi, mana mungkin dia marah dengan Keenan.

Keenan mengulurkan botol minuman, rupanya tadi dia menyempatkan untuk membeli minuman sebelum kembali ke Sandra. Sandra mengambil minuman itu, dia ingin menolaknya, tapi disaat yang bersamaan dia benar lelah dan haus. Setelah meminum beberapa teguk, Sandra berniat untuk pulang, rasanya dia tidak mampu untuk melanjutkan berlari. Saat Sandra akan pamit untuk pulang kepada Keenan, tiba-tiba perutnya berbunyi, cukup keras sehingga Keenan pun bisa mendengarnya. Sandra spontan memegang perutnya.

"Ah, lagi-lagi perut ini berbunyi disaat yang ga tepat," ujarnya dalam hati, malu.

Keenan terlihat menahan senyumnya, dia tampak berusaha membuat wajahnya tetap terlihat datar, seperti biasa.

"Belum makan?" tanyanya.

Sandra sebenarnya ingin menggeleng, tapi perutnya berbunyi sekali lagi, bahkan lebih keras dari sebelumnya, sehingga mau tak mau dia mengangguk pelan, mengiyakan pertanyaan Keenan.

"Rumah saya ga begitu jauh, kita ke rumah saya ya, nanti saya masakin sarapan, rasanya kamu jangan lari lagi," ujar Keenan. Sandra hanya mengangguk, lagi pula rumahnya hanya berjarak sekitar 5 rumah dari rumah Keenan, sekalian ia pulang, pikir Sandra. Melihat anggukan Sandra, Keenan langsung berjalan pergi, seolah-seolah ia lupa kalau Sandra sebenarnya masih merasa kelelahan. Sandra buru-buru berdiri mengejar langkah Keenan.

"Kalau saja ini bukan teman Sena, pasti sudah kutinggalkan dari tadi," pikir Sandra dalam hati. Beberapa saat kemudian Sandra merasakan Keenan mulai menurunkan kecepatan berjalannya, hingga akhirnya mereka berjalan beriringan. Sepanjang jalan menuju rumah Keenan, mereka sama sekali tidak berbicara.

"Ayo masuk," ajak Keenan, setelah memasuki pintu depan rumahnya.

"Maaf berantakan ya, kamu istirahat disini aja," sambungnya lagi sambil menunjukkan sofa di depan tv. Keenan dengan cepat membereskan beberapa majalah di meja dan sofa yang tergeletak tidak beraturan, menghidupkan tv, mendekatkan remote tv kepada Sandra, sedetik kemudian, dia kembali dengan minuman dingin dan gelas di kedua tangannya.

"Minum ini dulu sambil tunggu masakannya ya, " ujarnya. Sandra hanya menjawab dengan anggukan. Keenan pun meninggalkan Sandra sendirian, menuju dapur untuk mulai memasak.

Sandra memperhatikan ruangan disekitarnya, rumah ini tidak terlalu besar, seingat Sandra, Keenan anak satu-satunya dikeluarganya. Itu sebabnya Keenan dulu sering sekali bermain bersama Sena. Ada beberapa foto keluarga Keenan disana. Setelah capai nya hilang, Sandra mulai berkeliling di rumah itu, dia memperhatikan satu per satu foto yang dipajang rapi di rumah itu. Sandra terus berkeliling sampai menuju dapur, ia mendapati Keenan sedang memotong bawang merah dan beberapa bumbu dapur lain, di satu sisi ada mangkok dengan telur yang sudah dikocok. Sandra tidak menyangka lelaki ini bisa memasak. Tubuhnya bergerak kesana kemari dengan cepat.

Sandra berdehem, berusaha memberi tahu Keenan kehadirannya.

"Ada yang bisa dibantu?" tanya Sandra pelan. Keenan menoleh kearahnya, lalu menggeleng.

"Duduk aja disana, sebentar lagi selesai" tolaknya, sambil menunjuk meja makan didekat dapur, Sandra menjawab dengan anggukan.

"Kamu masih suka telur dadar kan?" tanya Keenan. Sandra mengernyitkan dahinya, "bagaimana dia tahu ya," pikir Sandra dalam hati.

"Kan dulu kalau ikutan makan malam atau sarapan di rumah, ibu kamu selalu memasak telur dadar khusus untuk kamu," lanjut Keenan lagi, seolah-olah membaca pikiran Sandra.

Sedikit terkejut, Sandra tersenyum, pikirannya mendadak kembali pada saat dia kelas 6 SD, saat itu Sandra sulit sekali makan, ia hanya akan makan telur dadar buatan ibunya, kata-kata tadi Keenan membuat Sandra rindu dengan ibunya yang sudah meninggal saat Sandra baru masuk SMP. Wajah Sandra mendadak muram.

"Maaf, saya ga bermaksud untuk.."

"Ga apa dok, " potong Sandra, cepat-cepat tersenyum. Keenan kembali memasak, Sandra hanya duduk sambil memandangi punggung Keenan dari belakang. Sepuluh menit kemudian Keenan sudah selesai memasak dua piring nasi goreng. Sandra ikut membantu menyiapkan alat makan di meja.

"Aku ga tau kalau dokter bisa masak" ujar Sandra membuka pembicaraan. Sandra mulai tidak nyaman karena Keenan cenderung diam, mungkin Keenan masih tidak enak dengan obrolannya yang mengingatkan Sandra pada ibunya, pikir Sandra.

Keenan menatap Sandra, "iya, saya lama tinggal sendiri, saat mulai kuliah di Jerman, orang tua saya pindah ke Singapura, otomatis saya sendirian, terpaksa belajar masak." jawab Keenan.

"Anyway, kenapa panggil saya dokter?" lanjutnya.

"Dulu kamu panggil saya Abang, kenapa ga balik panggil itu aja?" pintanya.

Sandra mengangguk. "Ok" jawabnya.

Keduanya kembali diam, hanya beberapa obrolan basa-basi menemani sarapan pagi mereka. Sandra menawarkan untuk mencuci piring, dia merasa tidak enak karena sudah dimasakkan Keenan sarapan pagi. Selesai membereskan piring, Sandra buru-buru pulang, Keenan cenderung pendiam, ditambah Sandra tidak terlalu senang memulai pembicaraan, mereka berdua terlalu pendiam, Sandra hampir mati kebosanan, dia bahkan sudah tidak tahu lagi topik apa yang harus mereka bicarakan.

Sampai di rumah, Sandra langsung mandi dan merebahkan badannya di kursi malas di depan tv, kursi itu kesayangan ayahnya, rambutnya yang masih basah dibiarkannya tergerai, TV nya menyala dengan suara pelan, Sandra akhirnya tertidur.

Baru sekitar dua jam, tidur Sandra terusik oleh bunyi bel rumahnya disertai beberapa ketukan yang lumayan keras.

Sandra buru-buru berjalan ke pintu depan. Betapa terkejutnya ia mendapati Evan didepan pintu. Evan memamerkan senyuman manisnya, tapi mendadak hilang saat melihat penampilan Sandra.

"Kok belum siap?" gerutunya.

Sandra melongo, setengah dari otaknya masih berada di alam mimpi, setengah lagi tidak mengerti maksud pertanyaan Evan.

"Maksudnya?siap apa?" tanya Sandra bingung.

Evan menghela napas, dia yakin Sandra pasti tidak membaca pesannya.

"Nonton, aku kirim pesan ke kamu satu jam yang lalu, ajakin kamu nonton," jelasnya.

"Aku ketiduran, belum cek hp" jawab Sandra, sedikit menyesal, tapi mau bagaimana lagi, "lomba lari" bersama Keenan pagi ini benar-benar membuat seluruh badannya terasa pegal sehingga tak sadar dia tertidur, lagipula kenapa laki-laki tiba-tiba muncul dan mengajak nonton, pikir Sandra.

"Ya udah, masih ada waktu 30 menitan, filmnya masih satu jam lebih, ayo cepetan siap-siap, dandan yang cantik ya," jawab Evan sambil membalikkan badan Sandra, lalu mendorongnya pelan, menandakan untuk bersiap. Sandra dengan patuh berjalan menuju kamarnya, langkahnya terhenti sebentar, ada rasa penasaran dibenaknya.

"Sebentar, kenapa kamu datang hari ini? kita kan perjanjiannya tidak ada di hari libur atau weekend?" tanya Sandra.

"Ini bayaran karena ga temenin kamu makan malam dan anterin pulang kemarin, jadi aku beli tiket nonton buat kita kencan sore ini," jelas Evan sambil mengedipkan matanya.

Sandra hampir tersedak mendengar kata kencan, dia langsung berniat untuk protes, tapi Evan dengan cepat mengingatkannya untuk segera bersiap karena ini tiket premiere film yang sulit sekali didapat. Sandra kembali menurut. Dia masuk ke kamarnya, lalu mulai mengaduk-aduk isi lemarinya, dia bingung pakaian apa yang harus dikenakan di kencan perdananya ini, yah setidaknya Evan merasa ini sebuah kencan. Mata Sandra tertuju pada sebuah terusan sederhana tapi sangat cantik dengan panjang dibawah lutut berwarna hijau tosca, baju ini baru dibelinya 1 bulan yang lalu dan seminggu lalu baru selesai diambil Sandra dari binatu, dia blm pernah memakainya, rasanya terusan ini cukup sempurna untuk menutupi bekas luka di lututnya sisa kecelakaan kemarin. Sandra menemukan beberapa luka gores yang masih terlihat jelas di betisnya,

"aah, jelek sekali pasti," pikirnya, tapi dia tidak punya atasan yang pas untuk dipadukan dengan celana panjang atau jins. Akhirnya Sandra menemukan ide untuk menutupi luka-luka betisnya itu dengan make up sederhana. 15 menit kemudian Sandra sibuk merias wajah juga betisnya, tak lupa dia memakai sedikit perona pipi, dia pun tak lupa memblow rambut panjangnya. Dalam 20 menit Sandra sudah siap, dandanannya terkesan natural, Sandra bersyukur punya kulit mulus dan putih, sehingga dia tidak pernah mengenakan make up tebal. Sandra lalu keluar dari kamarnya. Matanya tidak sengaja melihat sebuah kotak sepatu yang dia beli bersama dengan terusan yang sedang dia pakai, sepatu itu bertumit sedang, manis sekali bila dipadukan dengan terusan ini, Sandra baru sadar betapa sibuknya dia satu bulan ini, sehingga banyak sekali barang yang dia beli belum sama sekali dipakai. Mengenakan sepatu bertumit sedang sepertinya bukan pilihan yang baik bagi Sandra saat ini, bisa-bisa kakinya bertambah pegal, tak sadar dia merasa menyesal memutuskan olah raga pagi ini, akhirnya Sandra harus merelakan sepatu cantiknya itu.

Sepatu flat rasanya lebih nyaman untuk saat ini, pikirnya sambil menyambar sepatu di rak sepatunya. Sandra keluar dari kamarnya menuju ruang tamu dengan segera.

"Ayo, aku udah siap," ujarnya sambil menepuk lengan Evan yang sedang sibuk dengan handphonenya.

Mulut Evan sedikit ternganga melihat penampilan Sandra. Selama dua minggu bersama Sandra, Evan tidak pernah melihat Sandra memakai terusan, ditambah lagi Sandra selalu mengikat rambutnya, dan hampir tidak mengenakan make up, walaupun begitu Sandra selalu terlihat cantik. Dengan rambut panjang tergerai dan sedikit make up, Sandra jelas berbeda, dia terlihat cantik sekali. Evan menatap Sandra dengan seksama, terkagum.

Di sisi lain, Sandra terlihat kikuk dan bingung dengan reaksi Evan,

"Apa make up aku terlalu menor?atau blush on ketebalan ya?atau jangan-jangan ada robekan di baju ini?" pikirannya bertanya-tanya dalam hati sambil mengecek penampilannya dari pantulan lemari kaca didekatnya.

"Eehhmm.. ada yang salah ya?" tanya Sandra ragu-ragu.

Evan mengangguk.

"Salah, kamu.. Kamu salah banget ga pernah dandan kalau ke rumah sakit, kamu cantik sekali Sandra," jelas Evan terus terang.

Jantung Sandra berdetak dua sampai tiga kali lebih cepat mendengar pujian Evan. Wajahnya juga terasa memerah dan panas, Sandra bahkan tidak mampu membalas tatapan mata Evan yang masih tertuju kepadanya.

Bab baru, semoga senang dengan ceritanya, jangan lupa komentarnya, kritik atau sarannya ya, dan berikan bintang ya.. terimakasih..☺️☺️

rizka_hamicreators' thoughts
Chapitre suivant