webnovel

Chapter 6 Pindah Rumah

Setelah 1 tahun sejak kematian suaminya, ibu peter menikah dengan seorang pengusaha dari Surabaya. Pernikahan itu dihadiri oleh beberapa kerabat ayahnya dan temen-temennya.

Di pesta pernikahan ibu Peter atau yang biasanya disebut resepsi , Mia mengungkapkan isi hatinya.

"Hei," sapa Mia yang saat itu melihat Peter sedang di luar. "Sedang apa kamu disini. Bukankah ini hari berbahagia kalian sekeluarga."

"Aku hanya ingin menghitung bintang dilangit. Bukankah jika kita bisa menghitung seribu bintang di langit permohonan kita dapat dikabulkan," ujar Peter yang masih menghitung bintang. Mia hanya bisa tersenyum melihat ulah Peter.

"Permohonan apa yang ingin dikabulkan?" tanya Mia.

"Aku berharap bisa bertemu Miki nanti saat aku tinggal di Surabaya," jawab Peter. Mia merasa sedih karena Peter masih belum dapat melupakan Miki.

"Peter aku suka kamu," ungkap Mia tanpa ragu-ragu. Dia sadar dia sudah tidak punya waktu untuk mengungkapkannya.

Peter kaget saat mendengar pengungkapan isi hati Mia yang cepat. Sampai-sampai dia lupa menghitung bintang.

"Kau bilang apa?" tanya Peter yang mengira dia salah denger.

"Aku bilang aku suka kamu. Sudah sejak dulu aku punya rasa ke kamu tapi yang ada di matamu hanya Miki. Aku berusaha untuk menyembunyikan perasaan ini darimu dan berusaha hanya menjadi sahabat bagimu.Tapi setiap hari rasa sukaku ke kamu semakin kuat seiring dengan pertumbuhanku, cinta ini semakin lama tak terbendung. Tapi cintamu kepada Miki juga sepertinya bertambah kuat sehingga kamu tidak menyadari aku yang selalu disampingmu. Kau tak pernah tahu ada orang yang terluka dengan pengabdian cintamu itu,"

"Maaf Mia aku tak bisa menyukaimu karena di hatiku hanya ada Miki. Aku takakan bisa membalas cintamu itu. Aku hanya bisa berdoa agar kamu dapat cowok yang lebih baik dariku. Aku berterima kasih atas perhatianmu selama ini. Kalau bukan karena perhatianmu aku mungkin tidak akan bangkit dari kesedihanku. Kau membuatku bisa kembali dari jurang yang dibuat oleh setan. Kalau tidak ada kau mungkin aku bisa membuang diriku sendiri," ujar Peter dengan wajah menyesal.

"Bagaimanapun aku tetap harus pergi dari kota ini. Aku tidak akan melupakan kamu dan temen-temen kita yang ada disini. Jika ada waktu aku akan mengunjungi kalian. "

Setelah pernikahan ibunya selesai Peter dan ibunya dibawa pengusaha itu ke Surabaya. Mereka tinggal di perumahan elit Laguna Indah.

"Ini rumah baru kalian," ujar ayah tiri Peter sambil menunjukan rumah baru mereka yang besar dan tingkat.

"Dina, besok telepon Iwan, suruh dia tinggal disini aja bersama kita," suruh ayah tiri Peter pada istrinya.

"Om Adi boleh aku lihat kamarku," tanya Peter yang canggung dengan suasana yang baru.

"Frans, mulai sekarang jangan panggil om, panggil saja ayah atau papa. Biar terlihat lebih akrab. Lagi pula om kan sudah jadi suami ibumu," ujar Adi.

"Biarkan saja dulu mas. Peter kan belum terbiasa dengan keadaan ini. Beri dia waktu untuk menerima kamu jadi ayahnya,"ujar ibu Peter.

"Aku tidak masalah dengan waktu. Aku cuma ingin membiasakan dia dengan panggilan itu. Kalau dia belum mau memangilku papa itu tidak masalah," ujar Adi.

"Peter sana kamu lihat kamar barumu," suruh Ibu Peter.

"Ayo pak, kita lihat rumah baru kita," ajak Ibu Peter.

"Baik."

Adi dan istri barunya melihat-lihat rumah baru mereka. Sementara itu Peter membereskan kamar barunya. Ia melihat kamarnya lebih luas dari kamarnya dulu. Peter tahu ayahnya bukan orang kaya. Ayahnya hanya seorang karyawan tetap di perusahaan. Gaji hanya cukup buat membeli rumah kecil sederhana.

"Bagaimana? Kamu suka dengan kamar barumu," tanya ibu Peter.

"Suka," jawab Peter. "Apa kakak mau tinggal disini bersama kita?"

"Tadi ibu sudah telepon dia dan dia setuju tinggal dengan kita. Ibu tidak melihatnya lagi sejak pernikahan ibu. Ibu senang kita bertiga dapat kumpul lagi. Oya Peter, ayahmu sudah mendaftarkanmu ke sekolah. Mulai besok kamu masuk ke sekolah," ujar ibunya. "Kamu tidak senang dengar kabar gembira ini."

"Senang tapi aku hanya teringat dengan teman-temanku di Kudus," ujar Peter.

"Ya udah. Lain kali kita ke sana saat liburan, bagaimana?" tanya ibu Peter.

Peter senang sekali karena ibunya sangat perhatian dengan keinginannya.

"Ibu, sekolah apa sih yang dipilih sama ayah baru Peter," tanya Peter yang penasaran dengan sekolahnya.

"Ibu lupa apa namanya ya…" Ibu Peter berusaha mengingat nama sekolah baru Peter. Habis nama sekolahnya sangat susah untuk diingat.

"Namanya SMA ST Stanislauss," ujar ayah tiri Peter yang dari tadi mendengar pembicaraan mereka dengan tidak sengaja. "Sekolah itu yang paling dekat dari rumah kita."

"Ya benar itu," ujar ibunya setelah ingat.

"Din…din masa gitu saja bisa lupa. Padahal baru tadi aku beritahu sekarang sudah lupa," ujar Adi.

"Habis namanya susah. Lagi pula kamu juga tidak pernah ingat nama panggilan anakku. Masa kamu panggil Peter dengan Frans sih," balas Dina.

"Sorry…sorry aku salah. Habisnya lebih gampang manggil anakmu dengan panggilan Frans daripada Peter," ujar Adi.

"Kalian bisa berhenti bertengkar tidak sih," tanya Peter yang mulai sebel melihat tingkah laku ibu dan ayah tirinya. "Masa sudah sebesar ini kalian masih suka bertengkar sih."

"Ya udah kita ke kebawah aja ma," ajak suami Dina. "Kurasa Frans butuh waktu untuk membereskan kamarnya."

"Peter, kalau sudah kamu kebawah. Ibu sudah membelikan makanan kesukaanmu," ujar ibunya sambil menutup pintu kamar.

"Peter membereskan kamar barunya. Selesai membereskan kamarnya, dia pergi ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Ia mandi selama beberapa menit. Peter melihat kalung kenangannya itu tergantung di lehernya. Peter tidak pernah melepaskan kalung kesayangannya itu walau saat mandi. Kalung itu berfungsi mengingatkan Peter dengan janjinya pada Miki.

"Miki aku tidak akan pernah melupakan janjiku. Aku akan mencari kamu walau harus mengelilingi kota ini. Aku pasti akan menemukanmu," ujar Peter sambil memegang kalung kupu-kupu pelanginya.

"Peter kamu lagi ngapain," tanya ibu Peter dari bawah. "Cepat turun, nanti makananmu keburu dingin."

"Sebentar ma. Peter lagi di kamar madi," jawab Peter sambil memakai baju santainya.

Peter segera ke bawah dan duduk di samping ibunya. Ayahnya sedang makan gado-gado sambil membaca proposal.

"Peter, ini ayam goreng kesukaanmu dan ada lalapannya lho," ujar ibunya sambil mengambilkan makanannya.

"Sudahlah bu, Frans kan sudah besar. Biar dia ambil sendiri," suruh ayah tirinya.

"Tidak apa-apa kan pak. Frans kan juga perlu diperhatikan," ujar ibunya.

"Tidak apa-apa bu. Biar Peter ambil sendiri. Betul kata om Adi, Peter sudah besar tidak perlu di perlakukan seperti anak kecil lagi," ujar Peter sambil mengambil nasi.

"Gitu baru anak om," ujar Ayah tiri Peter.

Selesai makan ibu Peter membereskan meja makan dan sisa makanan. Setelah itu dia pergi ke kamar menyusul suaminya. Sedangkan Peter masuk ke kamar dan tidur di kasur barunya. Dari tempat tidur ia dapat melihat ke luar. Peter memandang langit malam yang penuh dengan bintang-bintang. Tanpa terasa akhirnya ia tertidur.

Sementara ayah dan ibunya sedang merencanakan bulan madu mereka.

"Pak apa tidak apa-apa kita meninggalkan Peter sendirian saat kita bulan madu?" tanya ibu Peter yang tidak tega meninggalkan putra kesayangannya itu.

"Kan nanti ada iwan yang menemaninya. Dan lagian ayah akan memesan pembantu untuk menjaganya," jawab Ayahnya. "Nanti saat kita pulang dari bulan madu kita ajak anak-anak kita jalan-jalan bersama ke Malang."

"Lalu siapa yang mengantar jemput Peter ke sekolah?" tanya istrinya lagi.

"Nanti ayah cari supir untuk mengantar Peter kemana dia mau pergi, "jawab suaminya. "Kamu jangan kuatir begitu. Peter sudah besar. Dia bisa jaga diri sendiri. Sekarang kamu tidur aja. "

Mereka akhinya tidur dengan nyenyak.