webnovel

JIKA KITA TIDAK PERNAH JATUH

Jika perpisahan adalah luka, lalu bagaimana dengan pertemuan? Pernahkah kita bertanya pada setiap temu sebelum akhirnya kita menyalahkan perpisahan? "Lalu akan tiba waktunya, bagi kita menertawakan sebuah tangis dan menangisi seluruh tawa. Entah ketika rindu itu telah usai atau disaat rindu itu datang secara tiba-tiba"- Rara Setelah melalui begitu banyak perpisahan, akankah Rara bisa memandang dunia dengan cara yang berbeda? Digenggam oleh orang-orang yang begitu berharga, sedikit demi sedikit ia mengerti arti dari kata bahagia. hingga akhirnya semua itu sirna dan ia terjatuh untuk kali kedua. Haruskah aku berhenti saja? Ku harap kau menjawab, lewat apapun itu perantaranya

Kamja_ · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
5 Chs

DI TELAN MIMPI

Tidak sengaja sorot gadis itu menangkap seorang pengendara sepeda yang tengah melintas di hadapannya. Kemudian netranya mengikuti arah pesepeda itu melaju, tanpa disadari, kedua matanya melengkungkan sebuah senyum indah, seindah garis merah bibirnya.

Seketika ia melompati waktu dan melihat dirinya yang juga sedang berdiri persis seperti dia saat ini. Rara yang usianya masih lebih muda dari hari ini. dari balik punggung Rara muda itu. Ia mematung, memperhatikan detail dirinya dari bawah kaki hingga ujung kepala. Rasanya seperti seseorang yang sedang menonton film virtual 3D

Rara muda yang masih tidak terlalu mengerti tentang apa-apa di kota ini, ia berdiri begitu canggung di pinggir jalan yang ramai sendirian.

'Aku ingat sekali, saat itu kamu dengan cerobohnya menjatuhkan sebuah dompet tipis tepat di bawah kaki ku, sedangkan engkau malah mengayuh sepeda klasik itu begitu kencang tanpa menyadari sesuatu yang engkau hilangkan di tengah perjalanan. Apakah karena agak tipis jadi tidak terasa?'

'Padahal hari itu adalah hari yang penting bagiku. Padahal seharusnya aku membiarkannya saja. Padahal sudah tidak ada waktu. Padahal kesempatan tidak pernah datang kembali untuk mengulang, dan aku cukup tahu itu. Tapi dengan bodohnya, aku malah memungut benda hitam persegi tersebut tanpa memperdulikan padahal-padahal yang sudah aku hafal barusan'

Lima tahun lalu

"MAS.EEEEEEEE?!!!!!!!"

Rara berlari sekencang yang ia bisa sembari mencuri udara sebanyak-banyaknya demi memenuhi kebutuhan oksigen di kedua paru-parunya yang terasa mulai menciut. Sementara keringat mulai bercucuran dari kening, tapi ia biarkan saja.

'Padahal belom sepuluh menit gue lari' "Mas... Masnya!!!..."

Sambil memanggil, ia masih belum menyerah dengan langkahnya. Tetapi orang itu tetap saja mengayuh sepedanya cukup cepat sehingga membuat Rara kualahan. Yah, namanya juga sudah terlanjur mengejar, mau tidak mau harus di teruskan dong. toh mau balik lagi ke tempat semula juga sudah lumayan jauh jaraknya.

'Gila, tuh kaki ada mesinnya apa gimana sih?gowesnya cepet banget' Rara berdecak, rasanya mau pinjam toa saja biar dia dengar. Setelah semua keputusasaan itu Rara tersadar, bukan saatnya baginya untuk ngedumel dalam hati. 'toh nggak kedengeran juga'. lalu dengan tekadnya yang semakin menyala-nyala ia memutuskan kembali mengejar.

'Sekalian lepek deh' Pikirnya. Capek tidak capek, mau tidak mau ia harus melaju lebih kencang lagi. Lari secapek ini ternyata. Setelah beberapa saat kemudian si pengendara itu berbelok ke kanan pada pertigaan jalan di hadapannya. Rara pun menjadi panik, bola matanya seperti ingin keluar saking paniknya.

Nggak bisa kayak gini nih! Rara menaikkan speed menggunakan kekuatan terakhirnya. memaksakan otot-otot kedua organ kaki kecilnya itu bekerja lebih keras daripada biasanya.

Lalu hal tak terduga justru datang. Ketika Rara baru saja belok kanan memasuki salah satu jalan persimpangan di pertigaan jalan tersebut, orang itu bersama dengan sepeda ontelnya sudah lenyap. Membuat Rara kebingungan menoleh ke sana-kemari, karena ternyata di dalam jalan itu , ada jalan yang bercabang lagi.

'Ini jalan apa rambut?, bercabang terus elah Mampus aja gue'. Tanpa disadari ia meremas dompet tersebut saat sedang terengah-engah, sambil bola matanya bergantian melihat ke jalan yang membelah jadi dua sekitar lima belas meter di depan dari tempatnya berdiri sekarang. Dan disitulah dunia mulai membuka tirai pertunjukkan.

'Seolah semesta memaksaku memainkan peran menjadi seseorang yang AGAK kurang beruntung saat itu. sudah lepek, basah, capek, nafas tidak karuan, bahkan baju yang tadinya rapi sudah tidak jelas bentuknya. Sehingga tidak ada satupun detail yang terlewat dari skenarionya. Lalu aku mulai menyesali tindakanku waktu itu. Jika saja dompet itu aku biarkan. Bukankah jalan yang aku ambil akan berbeda?'

Rara yang sudah kelelahan dan tidak tahu mau ke arah mana hanya memandangi dompet tersebut. Terjadi pertikaian dalam batinnya, antara menyalahkan si pemilik dompet atau dirinya sendiri.

"Kalo tadi nggak gue pungut.. Eh tapi siapa suruh lo jatoh di depan kaki gue?" Sesaat ia memaki benda mati tersebut. lalu tak butuh waktu lama tiba-tiba ucapannya berubah

"Nggak Ra, ini wajar. Namanya lo manusiawi" dengan senyum agak dipaksakan. I'sss.. Tapi nggak gini caranya dong!' Batinnya setelah kembali sadar.

"Dompet sialan! Gara-gara lo!" Kembali ia memaki benda mati itu. Perdebatan batin yang tidak kunjung usai. Bukan waktu yang pas Ra. Inget lo mau ngapain abis ini.Ia memeriksa jam tangannya. Masih ada waktu empat puluh lima menit. Untung saja Rara sengaja berangkat lebih pasgi satu jam dari waktu yang seharusnya

'tarik nafas Ra.. Oke calm' Tapi segera lagi-lagi Rara menggeleng "Nggak, nggak, kan gue bisa biarin aja. Iya kan?"

Tidak tahu harus kesal kepada siapa, ia pun mengacak rambutnya dengan frustasi. Ini salah siapa sebenarnya sih? Tidak butuh waktu lama ia memutuskan kembali bertekad. Tapi setelahnya menyerah lagi, dan bertekad lagi, begitu saja seterusnya hingga akhirnya ia sadar, berpikir hanya akan membuang waktu.

"Bisa, bisa! RARA BISA!!" 'yang penting maju dulu'.

Buru-buru ia melaju ke arah jalan bercabang di depannya. Tapi sialnya. Belum sampai memilih untuk berbelok kanan atau ke kiri, Rara merasakan hantaman yang lumayan keras hingga tubuhnya terpental. Entah ia yang di tabrak atau dia yang menabrak seseorang yang pas sekali baru keluar dari sisi kiri di jalan bercabang itu. Bahkan kronologinya terlalu cepat untuk diingat.

"Aw!" Rara meringis. Hembusan udara seolah menyayat kulitnya, dan ia pun memeriksa sebentar sumber rasa perih tersebut. Dan benar saja. dengkulnya lecet berdarah.

Andai saja Rara terjatuh pada situasi yang normal, ia pasti langsung mengkhawatirkan bagian tubuhnya yang terluka. Sayangnya saat ini dia sedang dalam situasi yang sedikit tidak normal. Ia disibukkan pada sesuatu yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan dirinya. Sesuatu yang entah itu penting atau tidak tapi malah memilih terlibat di dalamnya.

Rara jadi gelapan sendiri. Dalam posisi terduduk ia meradarkan pandangan ke aspal di sekitarnya, ke kanan, ke kiri, ke belakang. tubuhnya tidak bisa diam memutar ke segala arah. Karena dompet tipis itu sudah tidak lagi di genggamannya. 'Mampus gue!'

'Apakah harus sia-sia pengorbanan kaki gue dari tadi? Kalo aja gue nggak sampe se-lepek ini sih nggak papa deh'. Jelas sekali rautnya kecewa dan bingung.

"M-Mbak?"

"Mbak nggak papa?" Tanya seseorang dengan suara sedikit panik. Tanpa memandang yang bertanya Rara mengangguk

"Nggak papa, nggak papa"

"A- Anu.. Bisa bangun?" Rara yang masih meradar mencari dompet tidak memperhatikan.

"Hm?" Sahutnya asal.

Orang itu jadi serba salah "Mbaknya bisa bangun?" Tanyanya sekali lagi.

Orang itu kemudian berjongkok di hadapan Rara. Rara yang masih kebingungan memandangi aspal pun melihat sepasang sepatu di depan matanya. Agak kaget ia pun mendongak, kedua mata Rara mengerjap dan akhirnya ia menyadari keberadaan manusia lain selain dirinya.

"Mbaknya bener nggak papa,'kan?" Tanyanya sekali lagi. Setengah bengong Rara mengangguk 'Kapan dia di depan gue?' Pikirnya.

"Iya mas saya nggak papa" Kali ini Rara menyahut dengan benar dan sadar. Lalu lelaki itu pun menjulurkan tangannya

"Bisa bangun?" Rara mengangguk lagi kali ini dengan menatap telapak tangan kosong orang itu

"Buat pegangan Mbak" Jelasnya, takut barangkali Rara salah paham. Sadar akan hal itu, Secepat kilat Rara mengangguk dan menyambut tangan tersebut. merasa sedikit malu ia pun mencoba berdiri. 'Gue juga paham tanpa di jelasin'

Rara bangkit sedikit kesulitan karena menahan perih di lututnya, tapi untungnya tidak separah kelihatannya, ia pun kini sudah dalam posisi berdiri dan sibuk mengkibaskan setiap bagian bajunya yang tertempel pasir dari aspal. sedangkan lelaki itu diam-diam memeriksa ke setiap inchi tubuh Rara.

"Mbaknya luka"

"Ya?"

"Itu" Lelaki itu menunjuk telapak tangan Rara

"Mbaknya luka" Rara mengikuti arah tunjuk lelaki itu.

"Oh iya" Sahutnya sambil manggut-manggut tanda setuju. Kemudian kembali lelaki itu meradar, dan menemukan luka lainnya

"Mbak kakinya—"

"Mas liat dompet cokelat nggak?" Potong Rara

"Ya??"

"Dompet Mas. D.o.m.p.e.t" Ulang Rara

"Oh. Ini?" lelaki tersebut menjulurkan benda yang Rara eja barusan. Kedua mata Rara pun berbinar

"Nah iya, ini!" Antusiasnya

"Tadi saya pungut—"

"Thanks Mas" Potong Rara lagi. Lelaki itu jadi manggut-manggut saja

"Anu.. tapi dengk—"

"Mas tadi liat orang naik sepeda lewat?, mm.. yang naik pake kemeja kotak-kotak biru, gendong ransel gitu, lewat sini nggak?" Cerocos Rara sambil mengingat-ngingat.

Baru saja mulut lelaki itu membentuk huruf O bermaksud menjawab, tapi Rara potong lagi karena dikira lelaki itu hendak menjawab 'Oiya saya lihat'

"Iya betul. Kemana ya mas?" Samber Rara. Lelaki itu pun menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Ragu-ragu ia lalu menjawab

"Anu, tadi saya mau bilang 'Oh, nggak lihat mbak' gitu mbak"

"Yah, kirain!" Bahu Rara melemas selagi lelaki itu manggut-manggut.

Agak kecewa dan malu Rara bergerak sedikit dari pijakannya karena menahan perih sambil menyayangkan 'Perjuangan gue lari-larian, cuma dapet dengkul doang bonyok'. Ia pun menghela nafas pendek sembari menyeka keringat di pelipisnya. Tapi tiba-tiba dia teringat sesuatu. Reflek Rara menepuk jidatnya

'Wes sadar dengkule lecet toh?' Pikir lelaki itu

"Nah iya mbak, itu dengkul—" Baru mau menjelaskan tapi tidak jadi, kali ini bukan karena Rara memotong ucapannya, tapi Rara malah sibuk mengeluarkan hp dari tas dengan tergesa-gesa setelah itu ia memeriksa hpnya, dan ia pun terbelalak

"Oh no!" Ujarnya sambil memandang lelaki di hadapannya dengan mata yang begitu memelas

"Telat" Gumam Rara lemas.

"Ya?" Bingung lelaki tersebut tidak paham.

Rara hanya diam saja. Sepertinya ia masih berkutat pada pikirannya sendiri, sedangkan lelaki itu mengira Rara kaget karena baru menyadari luka di lutunya.

"Iya jangan kaget mbak, makanya itu dari tadi saya mau bilang dengkulnya—"

Rara terjongkok lemas, ia memeluk kedua kaki dan menenggelamkan kepalanya disana. Lelaki tersebut jadi serba salah lagi tidak tahu harus berbuat apa. malihat Rara seperti itu ia hanya bisa modar-mandir tidak jelas. Ia berjongkok kemudian berdiri, jongkok lagi, berdiri lagi, mengelilingi Rara, dan membuat gerakan-gerakan kecil lainnya

"Aduh, anu, pasti sakit banget ya mbak" Bingungnya

Ditambah Rara hanya menyesap hidungnya yang berair tanpa menjawab. Antara ingin memanggil dengan cara menyentuh pundak, tapi tidak jadi karena pasti dikira takut tidak sopan, ingin mengintip wajah tapi tidak bisa karena tertutup kedua kakinya. lelaki itu dibuatnya tambah merasa bersalah. Hingga satu-satunya jalan yang tersisa baginya hanyalah memanggil-manggil Rara dengan sebutan 'mbak' sambil mencari celah memeriksa keadaannya.

Setelah agak lama. Lelaki itu bicara dengan hati-hati berkata "Sa-Saya tanggung jawab kok mbak. Jangan nangis mbak, cep ya" Ia terlihat berpikir

"Atau gini aja. Mbaknya rumahnya dimana. Biar saya anterin, terus saya obatin" Lagi-lagi Rara menyesap air di hidungnya hingga membuat si lelaki itu harus berpikir lebih keras

"Mmm.. atau mbaknya mau diobatin dulu baru dianterin. Gimana?" Bujuknya penuh harap. Namun Rara belum juga mengeluarkan suara. membuat lelaki itu khawatir setengah mati, setelah semua yang bisa dia katakan telah ia lakukan, kini lelaki itu mengambil tempat dan ikut berjongkok di samping Rara. Gerakannya membuat Rara tersentak hingga ia mulai menunjukkan wajahnya ketika entah sejak kapan lelaki itu tidak lagi bertanya, melainkan menepuk pelan dan hati-hati punggung Rara dengan lembut.

Rara memandang sedikit kaget lelaki yang sedang berjongkok disampingnya sambil menatapnya penuh kekhawatiran.

"Jadi mbaknya mau gimana?" Tanyanya lagi saat ia memastikan bahwa Rara sudah tenang

"Maksudnya?" Suara Rara agak serak

"Mau pulang dulu baru diobatin, apa diobatin dulu baru pulang?"

Rara diam karena tidak paham arah dan tujuan pertanyaan tersebut. Wajah bingung Rara terbaca sehingga lelaki itu pun menunjuk lutut Rara yang terluka.

"Oh, ini? Udah nggak perih kok" Sahutnya

"Tapi tetep aja kan.." Timpal lelaki itu dengan hati-hati. 'Tadi kamu sampe nangis' sambungnya dalam hati

"Saya harus balikin dompet. Tapi orangnya hilang" Lagi-lagi pembicaraan Rara tidak sesuai jalur pembahasan, tapi ya sudah ia tanggapi saja. Dari pada nangis lagi?

"Kok bisa hilang? Emang kemana?"

"Tadi" Rara menjawab dengan satu kata saja. tapi anehnya lelaki itu langsung connect maksud Rara

"Oh, yang mbaknya tanya orang sepedaan?" Rara pun mengangguk

"Mungkin udah jauh orangnya mbak. Gini aja, kalo nggak besok aja balikinnya gimana?"

"Gak bisa"

"Kenapa?"

"Belom tentu ketemu" Kecewa Rara

"di sms, atau telpon aja nanti"

"Nggak punya"

"Apanya?"

"Nomornya"

"Emang tadi bukan temen mbaknya?" Rara menggeleng

"Atau kerumahnya aja"

"Siapa?"

"Mbaknya"

"rumah saya?"

"Mbaknya ke rumah yang tadi naik sepeda"

"Nggak tau"

"Kan ada KTP nya" Seketika bibir Rara membentuk huruf O, 'nggak kepikiran'

"Oh iya, ya" dengan cepat Rara pun membuka dompetnya sambil permisi

"Permisi, mau liat ktp" setelah diintip untungnya ada KTP di sana, diam-diam ia merasa sangat lega hingga membuatnya tersenyum tipis. ia pun menutup lagi dompet tersebut dengan nafas cukup yang berat

"Kenapa mbak? KTP nya burem?" Tebak lelaki itu

Rara menggeleng lalu memasukkan dompet itu ke dalam tasnya "Telat"

"Apanya?"

"Saya"

"Mbak?" Rara mengangguk

"Iya, saya telat" Matanya mulai berkaca-kaca lagi

"Maaf tanya, mbak yakin?" Rara mengangguk lagi

Lelaki itu pun kebingungan. Dalam situasi yang seperti ini, tidak tahu respon apa dan ekspresi apa yang paling tepat yang harus ia keluarkan. Ia hanya sedikit menunduk dan mengusap tengkuknya yang tidak kenapa-kenapa. Lalu akhirnya setelah beberapa saat ragu-ragu. ia pun memberanikan diri untuk bertanya. Tak lupa di awali dengan bismillah, agar terlihat lebih natural ia pun berdehem dulu.

"Sudah berapa lama?" Tanyanya setelah memilih pertanyaan dengan sangat hati-hati

Dengan lirih Rara menjawab"Setengah—" 'Tadi pas cek HP udah kelewat setengah jam'.

"Hah?" kaget lelaki itu memotong ucapan Rara. 'Setengah bulan kok baru sadar?'

"Hah??" Rara kebingungan dengan responnya

"Ya???" Sahut lelaki itu tak kalah bingung dengan ekspresi bingung Rara

Rara jadi menatapnya aneh, sedangkan lelaki itu tampak gelisah sembari menggaruk belakang kepalanya

"Anu— Sudah cek belum? Dipastikan lagi saja"

"Udah pasti mas, nggak perlu dicek lagi. Kan udah" 'tadi cek di jam di hp udah pasti kelewat interviewnya. Gara-gara dompet sialan' sesal Rara

'Innalillahi..' "Cek sendiri Mbaknya?" Tanya lelaki itu dengan wajah yang khawatir. 'Apa gue bawa ke dokter aja ya, biar akurat?' Inisiatifnya

"Iya, cek sendiri lah"

"Ng.. mau ke dokter?" Ragu-ragu lelaki itu 'Duh sopan nggak nanya gini? gak tau deh'

"Ha? Nggak perlu kok kan gini doang" 'luka kecil doang kok'. Rara melirik lututnya

"Gini doang?" Kaget lelaki itu. 'kuat mental tenan cah!'

"Kenapa kok masnya kaget?"

"Mbaknya nggak papa memang?"

Rara kembali lemas "Mau gimana lagi, waktu nggak bisa diulang" mungkin belom rejeki. Dengan sangat sangat sopan dan hati-hati lelaki itu memberanikan diri untuk bertanya lebih jauh lagi

"Maaf saya nanya mungkin kurang sopan. Ng, anu.. Ayahnya kemana?"

Rara kaget spontan menaikkan sebelah alisnya "Kenapa nanya-nanya ayah saya?" Suaranya sedikit tinggi

"Anu, bukan ayahnya mbak"

"Terus?" 'Ayahnya situ maksudnya? mana saya tau' kesal Rara

"Nggak, anu mbak.. itu— kan katanya tadi telat" Jelasnya dengan salah tingkah. Rara mengangguk mengiyakan

"Emang" Rara sungguh menyayangkan, kesempatan yang ia buang secara sia-sia.

"Semoga lain kali nggak telat lagi. Kalau bisa" Harap Rara sungguh-sungguh. Spontan lelaki itu terbelalak

"Ya? Lain kali?" Tanyanya. Lalu Rara pun mengangguk

"Iya, kalau ada interview lagi itu juga" Sahut Rara datar

"Oh walah!" refleks dia mengelus dada. dan lelaki itu pun tertawa selepas-lepasnya. Meruntuki pikirannya yang kemana-mana. sedangkan Rara memandangi keheranan dan memilih diam saja tanpa bertanya.

***

Sambil berjalan, Rara senyum-senyum sendiri tidak jelas, ia masih tidak habis pikir. Bagaimana bisa sejauh itu perbedaan topik pembicaraan di antara mereka?

Ari melirik heran. "Duh jangan kumat dong Ra"

"Justru kapan lagi lo liat gue kumat?" Balas Rara

Tiba-tiba mereka sudah sampai di persimpangan jalan pertigaan. tempat dimana Rara menghadapi situasi aneh di hari terpenting dalam hidupnya saat itu. Tempat dimana semua kisah bermula secara tidak sengaja, yang di dalangi oleh sebuah dompet dan kesalah pahaman yang tidak biasa.

"Disini Ri" Rara menunjuk aspal di bawah kakinya sambil tersenyum rindu menatap Ari.

'Disini aku menikmati sebuah tragedi yang tidak pernah bisa mati. setiap lekuk dan sudut kota ini adalah saksi hangat di sepanjang dinginnya detak jantung kita dulu. Bangunan-bangunan dan plang jalan tua. Mengantarkanku pada sebuah keinginan untuk bisa kembali ke lima tahun lalu'

Happy reading, seikhlasnya hehe

Salam kentang

Kamja_creators' thoughts