1 Bulan Kemudian.
Amar tengah sibuk mempersiapkan kejutan yang akan ia berikan untuk istri tercintanya. Di temani beberapa anak yatim piatu, Amar mendekorasi tiap sudut ruangan menggunakan balon dan juga pernak-pernik burung dari kertas origami. Amar sengaja membuat kejutan ini untuk membahagiakan hati istrinya yang sedang murung akibat sertifikat rumahnya yang di ambil oleh Rena.
"Om Amar, ini aku bikin bunga mawar dari kertas origami". Ujar seorang anak kecil.
Amar meraih bunga tersebut dan tersenyum. "Wah cantiknya, terima kasih ya sayang. Oh iya, nama kamu siapa cantik?".
"Nama aku Aina Syafiqha Jauhara, om bisa panggil aku Aina".
"Nama yang cantik, Tante Sabila pasti suka nanti sama bunga buatan Aina".
"Iya om semoga, yaudah Aina mau lanjutin bikin bunganya ya om".
"Iya sayang". Sahut Amar.
Sementara Aina bergegas kembali ke tempat duduknya semula bersama teman-teman yang lainnya. Amar sangat senang melihat anak-anak ini yang terlihat sangat lucu dan menggemaskan. Bahkan Amar berencana untuk mengadopsi salah satu dari mereka. Tak lama kemudian pengurus panti asuhan datang menghampiri Amar, untuk memberitahu Amar jika catering yang Amar pesan sudah tiba.
Amar pun segera bergegas menemui pihak catering untuk membayar sisa uang yang belum di bayarkan. Kini semua yang Amar butuhkan sudah siap, ia tinggal menjemput Sabila di rumah dan memberikan kejutan ini untuknya. Amar langsung meraih ponsel yang ia letakkan di saku celana, dengan cepat ia segera menelepon Sabila.
"Hallo, assalamualaikum sayang".
"Wa'alaikumsalam, ada apa mas? Apa kamu hari ini lembur? ". Tanya Sabila.
"Nggak, kebetulan hari ini aku pulang cepat. Aku mau kasih surprise sama kamu, jadi kalau bisa kamu siap-siap sekarang ya. Karena lima belas menit lagi aku sampai rumah".
"Surprise apa sih mas? Aku jadi penasaran".
"Nanti kamu juga tau kok, yaudah sampai ketemu di rumah ya sayang. Assalamualaikum".
"Iya mas, hati-hati ya. Wa'alaikumsalam".
Amar segera menutup teleponnya dan kembali fokus menyetir, sementara Sabila yang sedang sibuk bersiap-siap menunggu kedatangan Amar, sangat di buat penasaran dengan kejutan yang Amar janjikan.
Kejutan apa sih yang mau Mas Amar kasih ke aku, bikin penasaran aja deh. Gumam Sabila sambil membandingkan gamis yang akan ia kenakan.
Tak lama kemudian Amar tiba di rumah, sementara Sabila segera bergegas menemui suaminya di teras. Amar tersenyum dan langsung memeluk Sabila dengan erat. Hal itu membuat Sabila bingung, karena suaminya melakukan hal yang tak biasa.
"Kenapa sih mas, kok tumben banget sampe rumah langsung peluk aku".
"Emang gak boleh peluk istri sendiri? ". Protes Amar.
"Ya boleh, cuma tumben aja gak biasanya kan".
"Aku lagi seneng aja dan udah gak sabar buat ngasih kejutan sama kamu".
"Kamu tuh bikin aku penasaran tau gak sih mas, kejutannya apa sih mas? ". Gumam Sabila.
"Pokoknya ada, yaudah yuk kita jalan sekarang". Ajak Amar.
"Sebentar mas, aku ambil tas aku dulu".
Sabila segera mengambil tas miliknya lalu bergegas kembali menghampiri Amar. Amar segera melajukan mobilnya dan sepanjang perjalanan Sabila benar-benar di buat penasaran oleh Amar. 500 meter sebelum tiba di panti asuhan, Amar menepikan mobilnya lalu menutup mata Sabila dengan kain.
"Loh kok berhenti di sini, mas? Mana kejutannya?". Tanya Sabila bingung.
"Sebentar lagi sampe, jadi aku mau kamu tutup mata kamu pakai kain ini ya. Sini aku pasangin, janji ya gak boleh ngintip loh".
Sabila tersenyum. "Iya mas, aku makin penasaran deh".
Amar kembali melajukan mobilnya dan sesampainya di panti asuhan, Amar segera turun dari dalam mobil dan menutun Sabila sampai ke depan panti asuhan tersebut.
"Masih jauh gak mas?". Gumam Sabila .
"Nggak ini udah sampe kok, awas pelan-pelan ya jalannya".
Sabila mengangguk, sementara Amar dengan Setia menuntunnya sampai di depan panti.
"Apa kamu udah siap?".
"Iya sudah mas".
"Bismillahirahmanirahim, aku buka ya kainnya".
Assalamualaikum, Tante Sabila. Ujar anak-anak panti tersebut.
Sabila tercengang melihat apa yang ada di depannya, tak jauh dari tempatnya berdiri tertulis papan nama "Rumah Yatim Piatu Tommy Permana". Sabila berkaca-kaca membaca tulisan tersebut, ia menoleh ke arah Amar yang berdiri tepat di samping kanannya. Sabila langsung memeluk Amar dan menangis haru di pelukan suaminya.
"Terima kasih, mas. Aku gak nyangka kalau kejutannya seperti ini, aku gak tau lagi mau bilang apa sama kamu. Mas Tommy pasti seneng lihat ini dan pastinya dia juga sangat berterima kasih sama kamu".
"Iya sayang, sama-sama. Aku niatkan semua ini untuk ibadah, karena bagaimanapun almarhum Tommy yang sudah menyatukan kita. Semoga dengan di bukanya rumah yatim piatu ini bisa menambah ladang pahala untuk almarhum Tommy".
Tak lama kemudian seorang Aina datang menghampiri Sabila. "Selamat datang di rumah kami Tante Sabila, ini bunga Mawar untuk tante. Aku bikin ini khusus buat tante".
Sabila melepas pelukannya pada Amar dan melihat ke arah anak kecil tersebut. "Wah terima kasih, bagus banget bunganya, tante suka. Makasih sayang". Ujar Sabila yang langsung memeluk anak Aina.
"Sama-sama tante, oh ya nama aku Aina Syafiqha Jauhara. Tante bisa panggil aku Aina".
"Wah, nama yang bagus. Terima kasih ya Aina, tante bakal simpen bunga dari Aina".
"Selamat datang Ibu Sabila, perkenalkan saya Ibu Rahmi yang akan mengurus panti asuhan ini".
"Terima kasih Ibu Rahmi".
"Selamat ya Sabila, aku terharu banget waktu Amar ngasih tau aku soal ini. Oh ya kamu yang sabar ya, ikhlaskan saja rumah yang sudah di ambil oleh Rena".
"Terima kasih, Mas Rahman. Iya mas, Insha Allah aku sudah mengikhlaskan nya".
"Sabila, Amar terima kasih ya kalian sudah berbaik hati memdirikan panti asuhan ini untu Tommy". Ujar Ibunda Rahman.
"Sama-sama bu". Sahut Amar. "Yaudah yuk kita masuk sekarang sebentar lagi acara pengajiannya di mulai".
Mereka semua langsung bergegas masuk dan memulai untuk mengikuti pengajian, Sabila sangat bersyukur karena impiannya mendirikan panti asuhan untuk almarhum suaminya sudah terwujud.
"Alhamdulillah, Mas Tommy semua keinginan ku sudah terwujud. Semoga kamu bahagia disana mas". Ujar Sabila lirih dalam hati.
Acara pengajian pun selesai dan di lanjut dengan acara makan bersama, tak lama kemudian seseorang menghampiri Amar dan juga Sabila.
"Assalamualaikum, Amar, Sabila maaf ya aku terlambat".
"Waalaikumsalam". Sahut Amar dan Sabila berbarengan.
"Iya Diana, gak apa-apa. Kita baru aja selesai pengajian, ayo silahkan di cobain menunya". Ujar Amar.
"Duh, jadi gak enak. Dateng-dateng udah langsung makan, oh ya Sabila selamat ya untuk pembukaan panti asuhannya. Semoga berkah dan menambah ladang pahala".
"Aamiin, makasih Diana. Yuk di cicipi masakannya". Ajak Sabila.
Tak lama kemudian terdengar suara seseorang memanggil nama Diana.
"Diana".
Diana menoleh ke arah belakang. "Mas Rahman, loh kok kamu bisa ada disini". Tanya Diana bingung.
"Kamu kenal sama Mas Rahman?". Tanya Sabila.
"Iya, Sabil kebetulan Mas Rahman ini pasien aku. Terus apa kalian berdua juga berteman?".
"Oh gitu, Mas Rahman ini kakak nya almarhum mantan suami aku".
"Oh gitu, aku malah baru tau. Ya ampun ternyata dunia itu sempit banget ya".
"Kamu udah makan?". Tanya Rahman.
"Belum, kebetulan aku baru sampe. Yaudah makan yuk mas".
"Yuk". Ujar Rahman.
Hal itu sontak membuat Sabila bingung, ia takut jika Rahman berpaling dari Santi. Sementara Amar yang melihat ekspresi sang istri, langsung menghampirinya dan mencoba untuk menenangkannya.
"Hei, udah jangan di pikirin. Mereka kan cuma sebatas dokter dan pasien, jangan mikir yang macem-macem ya".
Sabila menghela nafas. " Iya mas". Ujar Sabila lirih.
Amar segera mengajaka istrinya untuk melihat situasi area panti, sementara Diana dan juga Rahman segera mengambil menu makanan prasmanan yang sudah tersedia. Lalu mereka berdua mencari tempat untuk mengobrol sambil menikmati makanannya.
"Aku gak nyangka banget loh kalau kamu itu kakak iparnya Sabila".
"Iya aku juga gak nyangka kalau kamu itu juga kenal sama Sabila".
"Kebetulan aku ini dulu teman kuliahnya Amar waktu di New york".
"Oh begitu, makanya kamu juga kenal sama Sabil".
"Iya, malah awal aku kenal sama Sabila berawal dari kesalahpahaman".
Rahman mengernyitkan dahinya. "Maksudnya?".
"Waktu hari pertama aku praktek di rumah sakit, gak segaja aku lagi ngobrol sama Amar. Tiba-tiba Sabila dateng dan dia langsung salah paham sama aku, dia pikir aku ini mencoba untuk merebut Amar".
Rahman menghela nafas. "Sabila bersikap seperti itu karena trauma di masa lalu?".
"Trauma?".
"Iya, dulu almarhum mantan suaminya pernah selingkuh sama istri aku. Pas mereka ketahuan selingkuh, sayangnya istri aku bunuh diri karena mantan suami Sabila tidak mau bertanggung jawab, tapi setelah istri ku meninggal, mantan suami Sabila kembali selingkuh dengan sekretarisnya dan akhirnya mereka menikah. Namun sayang, pernikahannya gak bertahan lama. Istrinya pergi bersama pria lain membawa seluruh harta benda miliknya dan akhirnya meninggal karena menderita stroke".
"Ya ampun mas, kok tragis banget sih ceritanya. Jadi sebelumnya kamu sudah pernah menikah mas?".
Rahman tersenyum. "Iya, kenapa pasti kamu kaget ya".
"Nggak kok, terus apa kamu udah punya anak?".
"Sayangnya belum, mungkin Allah belum percaya menitipkan seorang anak kepada ku".
"Yang sabar ya mas, Insha Allah Mas Rahman dapet jodoh terbaik nantinya". Ujar Diana sambil memegang tangan Rahman, sementara Rahman hanya terpaku melihat pemandangan itu.
"Eh, maaf Mas Rahman". Gumam Diana.
"Gak apa-apa, oh ya besok kamu ada acara gak?".
"Besok kebetulan aku libur praktek, kenapa memangnya mas?".
"Aku mau ajak kamu jalan, gimana? bisa?".
"Boleh, kamu jemput aku di rumah ya".
"Siap".
Diana tersenyum dan kembali melanjutkan makannya, sementara itu di lain tempat sepasang mata masih memperhatikan mereka berdua. Sabila sangat gelisah melihat Rahman yang begitu dekat dengan Diana, Sabila yang melihat Rahman sedang pergi dari tempat duduknya langsung bergegas mengikuti Rahman.
"Mas Rahman". Panggil Sabila.
Rahman membalikkan tubuhnya. "Sabila, ada apa?".
"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu".
"Mau ngomong apa? tapi aku ijin ke toilet bentar ya".
Sabila hanya mengangguk, sementara Rahman bergegas masuk ke dalam toilet. Tak lama kemudian Rahman keluar dari dalam toilet dan langsung menghampiri Sabila.
"Sabila ada apa?".
"Kamu ada hubungan apa sama Diana?". Tanya Sabila ketus.
Rahman mengernyitkan dahinya. "Maksud kamu?".
"Aku perhatikan kayanya kamu dekat banget sama Diana".
Rahman tertawa. "Jadi ceritanya calon mertua aku lagi mata-matain aku ya". Gerling Rahman.
"Mas Rahman, aku serius gak lagi bercanda".
"Ya aku juga serius, aku gak ada hubungan apa-apa sama Diana. Kebetulan papanya Diana adalah kolega ku dan kita hanya berteman biasa gak lebih".
Sabila menghela nafas. "Syukurlah kalau gitu, pokoknya kamu harus inget Santi loh mas".
"Iya aku inget kok, tadi pas mau kesini aku video call dulu sama dia".
"Oh yaudah".
"Sabil, Mas Rahman kok kalian disini". Ujar Amar.
"Abis di interogasi sama calon ibu mertua". Gerling Rahman yang langsung bergegas pergi dari hadapan Sabila dan Amar.
"Sayang, tadi aku bilang apa sama kamu". Ujar Amar.
"Maaf mas, aku gemes abisnya. Aku cuma ngingetin Mas Rahman aja kok".
"Terus gimana? apa kesimpulan dari Mas Rahman?".
"Katanya cuma temen, kebetulan papanya Diana itu koleganya Mas Rahman".
"Nah kan, kamu udah denger sendiri kan".
Sabila mengangguk dan langsung kembali ke tempat semula, masih ada rasa penasaran yang menggelayut di hati Sabila. Bahkan ia sampai tidak fokus dengan para tamu undangan yang datang, karena harus terus menerus mengawasi Rahman.
Diana
Diana baru saja tiba di rumahnya, ia langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa. Tak lama kemudian sang mama datang menghampirinya.
"Kamu sudah pulang".
"Sudah ma, kebetulan tadi aku juga ketemu sama Mas Rahman".
"Oh ya? kok bisa? memang Amar juga berteman sama Rahman?".
"Rahman itu ternyata kakak iparnya istrinya Amar, ma".
"Maksud kamu, gimana?".
"Jadi sebelum nikah sama Amar, istrinya Amar itu sudah pernah nikah sebelumnya ma. Dan Mas Rahman itu kakak kandung mantan suami istrinya Amar, ma".
"Jadi maksud kamu, Amar nikah sama janda?".
"Iya ma".
"Gimana sih ya si Amar itu, masih perjaka masa nikah sama janda".
"Mama, gak boleh gitu. Ma, Mas Rahman itu duda loh. Apa mama masih mau jodohin anaknya sama duda?".
"Iya, mama tau kok kalau Rahman itu duda".
"Lah terus kenapa mama mau jodohin anaknya sama Duda?".
"Rahman itu duda tapi belum punya anak".
Istrinya Amar juga janda belum punya anak, ma. Terus apa bedanya?".
"Ya beda dong, kalau perempuan udah jadi janda itu ada bekasnya. Kalau duda kan nggak kelihatan bekasnya".
"Mama apaan sih, emangnya mama serius mau jodohin aku sama dia?".
"Iya, kamu mau kan?".
"Mau gak ya?". Ujar Diana menggerling sang mama.
"Harus mau pokoknya".
"Ya liat nanti deh, ma. Oh ya ma kebetulan besok Mas Rahman mau ngajak aku jalan".
"Loh kebetulan kalau gitu, malam nya biar mama ajak makan malam bersama disini. Untuk membicarakan perjodohan kalian, gimana?".
"Boleh ma".
"Yaudah nanti kamu kasih tau dia ya".
"Iya ma, siap. Yaudah kalau gitu Diana mau ke kamar dulu ya ma".
"Iya sayang".
Keesokan Harinya
Diana sedang memoles wajah ya dengan bedak padat favoritenya, lalu menyapukan lipstick matte berwarna soft pink dan hal itu semakin mempertegas tampilannya yang semakin terlihat natural kecantikannya. Ia segera berganti pakaian dan kali ini pilihannya jatuh pada dress berwarna navy. Tak lama kemudian pintu kamarnya di ketuk, ia segera membukakan pintu dan terlihat sang mama sudah ada di hadapannya.
"Mama".
"Rahman sudah menunggu di bawah".
"Apa? dia udah dateng ma?"
"Iya udah, cepetan ya dandan yang cantik. Mama tunggu di bawah ya". Diana mengangguk dan mempecepat gerakannya.
5 menit kemudian Diana bergegas turun menemui Rahman dan kedua orang tuanya, Rahman di buat terpesona melihat penampilan Diana yang begitu mempersona.
"Maaf ya mas jadi nunggu lama".
"Gak apa-apa kok lagian juga aku baru dateng".
"Diana inget ya jangan ngerepotin Nak Rahman". Ujar sang papa.
"Ih, papa udah kaya nitipin anak kecil aja".
Mereka bertiga tertawa mendengar ucapanku. "Nggak ngerepotin kok pak, malah saya yang makasih banget udah di ijinin ngajak Diana jalan-jalan".
"Iya nak sama-sama, saya senang kalau ada yang mau berteman sama Diana. Karena selama ini teman-temannya takut sama Diana karena Diana itu galak".
"Papa". Protes ku lagi.
"Yaudah yuk mas kita pergi sekarang aja, tar kalau lama-lama disini yang ada semua aib ku di bongkar sama papa".
Rahman tertawa dan langsung berpamitan dengan kedua orang tua Diana, mereka berdua langsung bergegas menuju restoran yang sudah di booking oleh Rahman.
"Mas, maaf ya kalau orang tua ku cerewet".
"Ah nggak kok, malah mereka itu asik loh menurut ku".
"Oh ya mas, nanti malam mama ngundang kamu buat makan malem bareng".
"Iya tadi mama kamu juga udah bilang sama aku".
"Kamu bisa kan?".
"Bisa, kenapa emang?".
"Gak apa-apa, soalnya semalem aku suruh ngasih tau kamu sama mama. Tapi aku malah ketiduran dan lupa ngasih tau kamu".
"Ah kamu ini ya, di titipin amanah masa tidak di sampaikan".
"Namanya juga ketiduran mas".
"Diana".
"Kenapa mas?".
"Kamu cantik". Ujar Rahman dan hal itu membuat jantung Diana berdegup kencang. Tidak tau kenapa setiap berada di dekat Rahman, perasaannya selalu merasakan hal yang tak biasa. Bahkan jantungnya tak hentinya berdegup dan hal itu membuat aliran darahnya mengalir begitu cepat.
"Kamu bisa aja mas". Diana tersipu malu.
Sabila
Kegelisahan masih menyelimuti hati Sabila, bagaimana tidak karena sejak pertama kali ia melihat kakak iparnya dekat dengan Diana, hal itu selalu mengusik pikirannya.
"Sayang". Ujar Amar.
"Iya mas".
"Kamu kenapa ngelamun? masih mikirin Mas Rahman?".
"Nggak kok".
Amar tersenyum. "Jangan bohong, kamu memang tidak pandai berbohong sayang".
"Mas Amar apaan sih". Protes Sabila.
"Menurut kamu, Aina gimana?". Tanya Amar.
"Aina?".
"Iya, Aina. Yang ngasih mawar origami ini". Ujar Amar sambil menunjuk ke arah mawar kertas tersebut.
"Oh Aina kecil, dia lucu. Pinter lagi".
Amar tersenyum. "Gimana kalau kita Aina kita adopsi jadi anak kita?".
Sabila terbelalak. "Apa? kamu serius mas?".
"Iya serius".
"Mau banget mas". Ujar Sabila yang langsung memeluk Amar.
"Yaudah kita pergi ke panti sekarang ya".
Sabila menganggukan kepalanya, ia sangat senang karena Amar memutuskan untuk mengadopsi anak. Anak memang lah hal yang sudah sangat Sabila inginkan, namun sampai saat ini Allah belum juga memberikannya kesempatan untuk memiliki anak. Sesampainya di panti. Amar segera menemui pengurus panti untuk membicarakan maksud kedatangannya, tak lama kemudian Aina datang menghampiri mereka.
"Tante Sabil". Panggil Aina.
"Aina, kamu abis dari mana sayang?".
"Aku sama teman-teman abis ngaji di musholla sama pak ustad".
"Masha Allah, pinter banget ya Aina".
"Iya tante, aku kan mau doain bapak sama ibu di surga". Perkataan Aina membuat hati Sabila terenyuh.
"Aina pengin gak kalau punya orang tua lagi?".
"Mau tante, emangnya bisa?".
"Bisa, kalau Aina mau".
"Iya tante, Aina mau. Terus gimana caranya tante?".
"Aina mau kan kalau jadi anak Tante Sabil dan juga Om Amar?".
"Apa? serius tante?".
"Iya, Aina mau kan? karena tante sama om sayang banget sama Aina".
"Iya aku mau tante, horeeee aku punya orang tua lagi". Gumam Aina berjingkrak kegirangan.
Sabila tersenyum melihat tingkah Aina yang sangat lucu, bocah 3 Tahun itu sudah menjadi yatim piatu ketika usianya masih menginjak 3 Bulan. Orang tuanya adalah korban kecelakaan mobil dan sayangnya nyawa mereka tidak bisa di selamatkan dan dalam kecelakaan itu Aina yang masih berusia 3 bulan di temukan selamat di dalam mobil tersebut.
"Sayang, gimana? apa Aina mau jadi anak kita?".
"Iya mas, alhamdulilah Aina mau. Aku jadi gak sabar pengen cepet-cepet bawa Aina pulang".
"Tapi kita gak bisa bawa Aina pulang sekarang, karena berkas-berkasnya belum selesai".
"Kalau misalnya kita ajak Aina buat nginep di rumah kita satu malam boleh gak ya mas, aku mau Aina terbiasa nantinya".
"Nanti aku tanya dulu sama Bu Rahmi ya sayang".
Sabila mengangguk pelan, Amar kembali menemui Bu Rahmi. Sementara Sabila kembali bermain dengan anak-anak panti lainnya. Sabila bersyukur memiliki suami sebaik Amar, ia selalu di manjakan oleh suaminya. Bahkan Amar selalu meminta dirinya untuk tidak terlalu cape mengurus pekerjaan rumah, sebenarnya ini sudah kesekian kalinya Amar menawari dirinya untuk memakai jasa asisten rumah tangga. Namun Sabila menolak dengan alasan ia masih bisa menghandle pekerjaan rumahnya seorang diri.
Setelah berdiskusi dengan Bu Rahmi, akhirnya Amar dan juga Sabila di ijinkan untuk membawa Aina menginap di rumah mereka. Mendengar hal itu Aina sangat antusias dan sudah tidak sabar ingin menginap di rumah calon orang tuanya tersebut, setelah pengurus panti selesai mengemasi barang-barang milik Aina. Sabila dan juga Amar segera bergegas kembali untuk pulang ke rumah, sepanjang perjalanan tak henti-hentinya Aina berceloteh ria dengan kedua calon orang tuanya.
Guratan bahagia sangat tergambar jelas di wajah Sabila dan hal itu membuat Amar senang, sebenarnya sudah sejak lama Amar merencanakan untuk mengadopsi anak. Karena Amar sangat memperhatikan kondisi psikis sang istri, Amar tidak mau kalau istrinya masih di bayang-bayangi rasa trauma di masa lalu.
"Mas, terima kasih ya sudah bawa Aina untuk melengkapi pernikahan kita".
"Iya sayang, sama-sama. Kapan-kapan kita bawa Aina ke Jogja ya, kita kenalin sama kakek neneknya dan juga kakaknya Santi dan juga Fira".
"Iya mas, aku setuju. Aku jadi gak sabar pengen bawa Aina ke jogja, dia pasti senang ya mas disana".
Amar tersenyum dan hanya mengangguk, ia segera melajukan mobilnya menuju rumah.