Shen Qinglan langsung pergi ke stasiun kereta api, dia tidak memilih untuk naik pesawat. Dia suka menikmati pemandangan di sepanjang jalan.
Shen Qinglan tidak punya tujuan, jadi dia membeli sebuah tiket kereta yang waktunya paling dekat. Ketika tiket itu sampai di tangannya, dia baru menyadari bahwa itu adalah sebuah tiket ke Hangzhou.
Yang dibeli Shen Qinglan adalah tiket kereta cepat. Keberuntungannya bagus, dia mendapat tempat duduk di dekat jendela. Jika ingin melihat keluar dari posisinya itu, dia bisa melihat pemandangan di sepanjang jalan.
Setelah dia naik ke kereta, datang seorang gadis yang berusia tujuh belas hingga delapan belas tahun dengan riasan tebal di wajahnya dan rambut panjang berwarna merah anggur. Dia membawa ransel dan menarik sebuah koper troli besar lalu berhenti di depan Shen Qinglan. Shen Qinglan hanya mengira bahwa dia adalah orang di sebelahnya dan tidak peduli.
Hanya saja orang itu terus menatapnya tanpa melakukan tindakan apa-apa. Shen Qinglan menatapnya tanpa mengetahui apa yang diinginkannya.
Melihat Shen Qinglan yang memperhatikannya, gadis itu memandang Shen Qinglan sambil tersenyum kecil, "Aku tidak suka duduk di samping lorong, bisakah aku tukar tempat duduk denganmu? Aku bisa menambahkan uang kepadamu."
Walaupun kata-katanya sopan, namun kesombongan di matanya tidak dapat disembunyikan. Menurut pandangannya, Shen Qinglan berpakaian biasa, latar belakang keluarganya seharusnya biasa saja. Asal dia mau menambah uang, maka pihak lawan pasti akan setuju.
Kalau bukan karena tidak berhasil membeli tiket pesawat dan sedang terburu-buru, maka dia tidak mungkin menumpang kereta bobrok ini. Bukan hanya naik kereta, ternyata tempat duduknya juga di dekat lorong. Orang datang dan pergi, dia benci setengah mati.
Shen Qinglan memperhatikan ekspresi wajah orang di depannya dengan wajah tenang. Sebelum pergi dia merias wajahnya, tapi tipis saja dan hanya membuat penampilannya menjadi jauh lebih polos namun tetap terlihat cantik. Tapi itu tidak akan membuat orang merasa kagum saat melihatnya.
Shen Qinglan menatap lawan bicaranya dengan datar lalu berpaling tanpa mengatakan apa-apa.
Melihat Shen Qinglan mengabaikannya, gadis itu pun merasa agak tidak senang, "Hei, aku bicara denganmu, apa kamu tidak dengar?"
"Dengar, lalu kenapa?" Terdengar suara yang jernih dan merdu.
"Sudah mendengar tapi tidak bicara, tidak sopan. Aku tadi berkata kalau aku mau tukar tempat denganmu, aku akan menambah uang untukmu." Dia berbicara sambil mengulurkan dua jari, "Dua ratus."
Shen Qinglan bahkan tidak mengangkat matanya, apakah dia terlihat sangat kekurangan uang? Shen Qinglan menunduk dan melirik pakaiannya dengan serius.
Dua ratus. Total harga tiketnya hanya lima ratus lebih, dua ratus memang tidak sedikit. Shen Qinglan tidak bergerak, tapi orang lain samar-samar sedikit bergerak. Kalau dia tidak setuju untuk menukarnya, kami setuju. Kami tidak keberatan duduk di dekat lorong.
Gadis itu jelas juga telah memperhatikan ekspresi bersedia orang lain. Kesombongan di wajahnya semakin bertambah jelas. Dia sudah bilang, tidak ada hal yang tidak bisa diselesaikan dengan uang.
Di saat gadis itu menunggu Shen Qinglan memberikan kursinya, bibir merah itu melontarkan kata-kata dengan acuh tak acuh, "Tidak mau tukar."
Senyuman gadis itu menjadi kaku, dia menatap Shen Qinglan dengan tidak percaya, "Hei, jangan serakah. Dua ratus sudah banyak."
Dia mengira Shen Qinglan tidak mau karena uang yang diberikannya kurang dan ingin menaikkan harga.
Shen Qinglan merasa geli. Dia tidak menjelaskan dan memejamkan matanya, malas berurusan dengan orang di depannya lagi. Orang di depannya ini adalah gadis kecil yang manja.
Melihat Shen Qinglan mengabaikannya, wajah gadis itu menjadi merah karena marah. Dia memelototi Shen Qinglan dengan marah seakan-akan ingin melubangi tubuhnya.
Untungnya gadis ini adalah orang yang paling terakhir naik ke gerbong kereta. Kalau tidak, dengan berdiri di lorong seperti ini dia hanya akan membuat orang yang berada di belakangnya kesal.
Gadis itu keras kepala. Melihat Shen Qinglan yang tidak mau bertukar tempat dengannya, dia memelototinya, tidak mau duduk, dan bersikap seperti akan bersikeras sampai akhir dengan Shen Qinglan.
Orang lain yang tidak tahan lagi melihatnya, seorang pria paruh baya melambaikan tangannya kepada gadis itu, "Gadis Kecil, aku akan tukar denganmu, berikan uangnya kepadaku."
Gadis itu memandang mengikuti arah suara, di samping pria paruh baya itu duduk seorang wanita muda yang sedang menggendong seorang anak berumur satu tahun.
Gadis itu mengerutkan bibirnya dengan pandangan menghina. Dia paling benci anak-anak, kalau ribut sangat menyebalkan.
Wanita muda itu juga telah melihat pandangan si gadis, raut wajahnya sedikit memburuk. Dia menarik-narik baju pria paruh baya itu. Pria itu tersenyum penuh penyesalan, dia mengira bisa mendapatkan uang dua ratus yuan dengan mudah.
"Gadis Kecil, aku saja yang tukar denganmu." Seorang wanita paruh baya yang duduk di dua baris pertama berkata. Di sampingnya duduk seorang pria tua berambut putih.
Gadis itu sekali lagi mengerutkan bibirnya dengan tidak senang. Dia memang menginginkan tempat di samping jendela, tapi dia lebih butuh ketenangan.
Tatapannya sekali lagi tertuju kepada Shen Qinglan, lalu dia mengulurkan tiga jari, "Aku akan memberimu tiga ratus, kamu tukar denganku." Tiga ratus adalah batasnya, tidak bisa lebih tinggi lagi.
Kali ini Shen Qinglan tidak repot-repot membuka matanya, "Tidak mau."
Gadis itu marah dan menunjuk-nunjuk Shen Qinglan, namun dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Tempat itu adalah milik Shen Qinglan, kalau dia tidak mau tukar, maka dirinya juga tidak bisa apa-apa.
Setelah berdiri dengan marah selama beberapa saat, akhirnya dia pun duduk. Kalau tidak mau tukar ya sudah, gadis ini juga menghemat tiga ratus yuan.
Akhirnya suasana di dalam gerbong pun tenang. Ada orang yang bernapas lega, ada juga yang menyesalinya.
Hanya saja gadis di samping Shen Qinglan itu terus berwajah marah di sepanjang perjalanan. Mulutnya menggerutu, kebanyakan mengeluhkan udara yang kotor di dalam gerbong kereta ini, tidak senyaman naik pesawat, dan semacamnya.
Shen Qinglan tetap memandang ke luar jendela dan sama sekali tidak menghiraukannya.