Sejak Nenek Shen mengeksposnya secara langsung hari itu, Shen Xitong menjadi lebih tahu diri. Walaupun setiap hari dia tetap akan menjenguk Nenek Shen, namun dia tidak akan tinggal terlalu lama. Pada dasarnya dia hanya berbicara satu atau dua kalimat saja lalu pergi. Nenek Shen juga tidak peduli.
Shen Qinglan masih menemani Nenek Shen setiap hari untuk berbicara, mengobrol, terkadang dia hanya akan mengambil sebuah buku yang disukai Nenek Shen lalu duduk di sampingnya dan membacakannya untuknya.
Namun Shen Qinglan menyadari bahwa Nenek Shen sering menatapnya dengan sorot mata khawatir, ada kesedihan di tatapannya itu.
"Lanlan, mungkin nenek tidak akan melihat hari ketika kamu menikah dan mempunyai anak." Hari ini ketika Shen Qinglan baru akan membacakan buku untuknya, Nenek Shen berkata sambil menggenggam tangannya.
Shen Qinglan tersenyum samar, "Nenek, nenek bicara sembarangan. Dulu waktu kita pergi berdoa di kuil, bukankah kita pernah meramal nasib? Guru berkata kalau dalam hidup ini nenek pasti akan berumur panjang."
Nenek Shen tersenyum, "Bagaimana kamu bisa percaya dengan kebohongan biksu tua?"
"Kupikir biksu tua itu kali ini tidak membohongiku. Nenekku pasti berumur panjang sampai seratus tahun."
Nenek Shen tersenyum dan menepuk-nepuk punggung tangan Shen Qinglan, "Kamu ini, bisa saja membuat nenek senang. Tapi Lanlan, tubuh nenek tidak bisa bertahan sampai seratus tahun. Dalam hidup ini nenek tidak mempunyai keinginan lainnya, nenek hanya berharap agar Lanlan nenek bisa bertemu dengan seorang pria yang bisa menyayangi, mencintai, dan melindungimu selama hidupmu. Dengan begitu, nenek pun akan mati dengan tenang."
Sekali lagi mendengar perkataan Nenek Shen ini, ada rasa sakit di hati Shen Qinglan, matanya pun panas, "Nenek…"
Nenek Shen menghela napas dan menepuk ringan punggung Shen Qinglan, seperti ketika dia membujuk Shen Qinglan waktu kecil dulu.
**
Larut malam, Fu Hengyi kembali ke asrama dari tempat pelatihan. Hari ini adalah hari pertama pelatihan rekrutmen baru. Sebagai kapten dan instruktur kepala, dia tetap harus muncul.
Melihat ponsel yang masih tergeletak tenang di dalam laci, jejak ketidakberdayaan muncul di kening Fu Hengyi.
Berpikir bahwa dia sudah lama tidak menelepon kakeknya, maka dia pun menelepon ke rumah.
"Kakek."
"Hengyi." Terdengar suara renta Kakek Fu dari telepon.
Fu Hengyi terdiam, lalu dia meminggirkan ponsel dan melirik nomor di layarnya, memang benar itu nomor telepon rumahnya.
"Apakah kamu sudah menelepon Qinglan?" Kakek Fu bertanya.
Hati Fu Hengyi tenggelam. Nada suara kakek agak tidak benar, samar-samar dia merasakan firasat buruk di hatinya.
"Belum, apa ada sesuatu yang terjadi di rumah?"
"Apa yang bisa terjadi di rumah kita? Di rumah Kakek Shen yang terjadi sesuatu. Nenek Shen pagi ini tidak sadarkan diri dan dibawa ke rumah sakit untuk diselamatkan. Walaupun dia selamat, tapi situasinya kali ini sangat buruk, mungkin tidak akan bertahan. Paman Shen hari ini sudah kembali dari kemiliteran. Kalau ada waktu luang, teleponlah Qinglan. Dia yang memiliki hubungan terbaik dengan neneknya, mungkin ini akan memberikan pukulan yang berat untuknya."
Hati Fu Hengyi langsung tenggelam sampai ke dasar. Sosok Shen Qinglan yang dingin dan terasing itu pun muncul dalam benaknya.
Setelah memutuskan telepon dengan Kakek Fu, Fu Hengyi melihat nama Shen Qinglan di ponselnya. Dia pun menghubunginya.
Telepon tersambung dengan cepat. Terdengar suara jernih namun lelah Shen Qinglan dari telepon. Hati Fu Hengyi pun terasa sakit tanpa alasan.
"Halo."
"Aku Fu Hengyi."
"Aku tahu."
Selain itu tidak ada kata-kata lagi. Suasananya sunyi dan hanya terdengar suara napas satu sama lainnya.
"Apa ada perlu?" Pada akhirnya Shen Qinglan yang berbicara. Hari ini dia telah berada di rumah sakit seharian. Dia baru saja pulang untuk mengambil pakaian ganti lalu pergi lagi.
"Apa kamu baik-baik saja?" Fu Hengyi bertanya.
Shen Qinglan terdiam sejenak, "Aku baik-baik saja, terima kasih."
"Kalau ada sesuatu, telepon aku kapan saja."
"Baik."
Sekali lagi hening.
Tepat di saat Shen Qinglan ingin mematikan telepon, tiba-tiba dia teringat dengan wajah penuh kasih sayang Nenek Shen. Lalu dia pun bicara tanpa berpikir.
"Maukah kamu menikah denganku?"
Setelah berbicara, dia baru menyadari apa yang telah diucapkannya. Namun dia sudah mengatakannya dan hanya bisa menunggu respon dari lawan bicara. Tapi setelah cukup lama, dia tidak bisa menunggu jawabannya lagi, logikanya pun kembali. Dia berkata dengan suara yang acuh tak acuh, "Maaf, aku tidak sopan."
"Tunggu sebentar." Fu Hengyi bersuara, "Apakah tadi kamu serius?"
Shen Qinglan mencengkeram erat ponselnya, matanya memandang kejauhan menembus kegelapan, "Ya."
"Kamu seharusnya tahu, aku adalah tentara. Kalau menikah denganku, selama aku tidak setuju untuk bercerai, maka kelak kamu tidak akan bisa bercerai denganku. Apakah dengan begitu kamu masih bersedia menikah denganku?" Fu Hengyi berkata dengan serius.
"Aku bersedia."
"Sudah dipikirkan matang-matang?"
"Sudah."
"Baik. Malam ini aku akan melapor ke atasan, paling lambat besok siang aku pasti akan kembali. Siapkan kartu identitas dan surat kependudukan milikmu. Pukul dua belas siang besok kita bertemu di depan Kantor Catatan Sipil."
"Baik."
Setelah menutup telepon, tangan Shen Qinglan terjatuh lemas. Dia juga tidak tahu apakah keputusannya ini adalah sebuah kesalahan. Tapi melihat neneknya yang sekarat itu, dia tidak tega membiarkan nenek yang menyayanginya ini pergi dengan tidak tenang.
Shen Qinglan sangat berterima kasih atas kerja sama Fu Hengyi. Dia bahkan tidak sedikit pun bertanya mengapa.
Shen Qinglan berjalan memasuki kamar Kakek dan Nenek Shen. Hari ini Kakek Shen juga sudah berada di rumah sakit seharian. Walaupun sudah larut dan tubuhnya juga sangat lelah, tetapi dia tidak sedikit pun mengantuk.
"Kakek, apa kakek sudah tidur?" Terdengar suara pintu kamar dibuka, wajah Shen Qinglan muncul di pintu.
Kakek Shen melambaikan tangannya, "Masuklah."
Shen Qinglan duduk di samping tempat tidur, "Kakek, mengapa kakek tidak tidur?"
"Orang tua sedikit tidur." Kelelahan memenuhi wajah Kakek Shen, kesedihan berkilat di sorot matanya.
"Kakek, Qinglan ingin memohon satu hal kepadamu, semoga kakek bisa memenuhinya." Shen Qinglan berbicara dengan tenang dan tidak tergesa-gesa. Dia tidak yakin Kakek Shen akan menyetujui hal ini.
"Ada apa? Katakanlah."
"Aku ingin menikah dengan Fu Hengyi, besok."
"Ngawur!" Kakek Shen langsung marah begitu mendengarnya. Ini adalah pertama kalinya selama bertahun-tahun ini Kakek Shen memarahi cucunya dengan begitu keras.
Shen Qinglan berlutut di lantai dan menatap Kakek Shen, ekspresinya terlihat keras, "Mohon kakek merestui."
Kakek Shen memelototi cucunya. Api amarah terlihat jelas di matanya, dia sangat murka.
Shen Qinglan berlutut di lantai tanpa bergerak. Sepasang kakek dan cucunya itu tidak ada yang berbicara. Suasana di kamar pun tenggelam dalam kesunyian yang mematikan.
"Apakah kamu tahu sedang melakukan apa?" Kakek Shen menegur dengan suara pelan, dia sulit menutupi kemarahannya.
"Qinglan tahu. Ini bukan keputusan yang kubuat secara impulsif melainkan hasil dari pertimbangan yang matang."
"Kentut." Kakek Shen marah, "Kamu dan Fu Hengyi baru bertemu beberapa kali, tapi kamu mau menikah dengannya. Apa kamu tahu dia orang seperti apa? Apa kamu memahaminya?"
"Aku percaya dengan pandangan kakek. Orang yang bisa mendapat pujian dari kakek pasti tidak akan salah."
"Shen Qinglan, kurasa kamu sudah gila. Apa kamu tidak tahu berapa tahun lebih tua umur Fu Hengyi darimu? Kamu bahkan bisa memanggilnya paman." Kakek Shen marah dan memelototi cucu perempuan di depannya.
"Kakek, mohon kakek merestui."
Shen Qinglan tidak berkata-kata, dia berlutut di lantai dengan sorot mata keras kepala.
"Shen Qinglan, kukatakan kepadamu, menyerahlah dengan pikiran itu. Aku sama sekali tidak akan menyetujuinya."