webnovel

I was born to be a God

Aku sudah lelah bersaing menjadi Dewa di Awaland. Kini aku ingin menjadi manusia normal seperti kebanyakan orang lainnya setelah aku kembali ke dunia Nyata. Ya... Aku sudah pernah bersaing untuk menjadi Dewa di dunia lain. Dan itu melelahkan. Kau akan sadar betapa gilanya orang-orang yang terpilih untuk mengisi posisi Dewa. Dan ketika mengingatnya, itu Mengerikan. Jadi oke, masa kejayaanku sebagai Calon Dewa sudah berakhir, aku kalah, dan saatnya aku kembali ke Dunia Nyata. Tapi, aku merasa ini tidak akan berakhir secepat itu. Rasanya seperti... Aku dilahirkan kembali untuk menjadi Dewa di Dunia ini!

Mowly · Romance
Pas assez d’évaluations
25 Chs

Fase dan Fuse

"Aku masih nggak yakin dengan ceritamu, Masriz.

Walaupun banyak kesamaan dari apa yang kau ceritakan dengan apa yang kulihat selama tertidur."

Masriz dan temannya hanya menyampaikan sedikit petunjuk, dan karena saat itu aku belum pulih sepenuhnya, tak banyak yang bisa kuingat.

.

..

...

Berdiri di depan kaca dan membayangkan tubuhku Menghilang.

Teorinya gampang sekali.

Tapi ternyata melakukannya di dunia nyata tak semudah didalam mimpi.

"Kak, belakangan kamu sering berdiri depan kaca, ngapain..."

Suara Leon yang keluar dari kamar mandi secara tiba-tiba mengejutkanku.

"Wah, aku mensyukuri bentuk tubuhku yang indah Leon."

"Kuntet dan Cungkring? Hahaha!"

Aku melemparkan botol parfum kalengan kosong persis sebelum ia sempat menutup pintu kamar mandi.

Kalo latihan jam segini pasti akan terganggu. Selain itu jika kemampuanku terlihat oleh keluargaku akan terjadi keributan.

"Kemampuan... Apa aku benar-benar memilikinya?"

Jika dipikir-pikir lagi, itu semua nggak masuk akal. Aku akan dikira gila jika membahas hal ini dengan orang lain.

Jam 3 pagi kugunakan untuk menghafal kosakata bahasa asing sampai jam 4.

Jam 4 hingga jam 5 pagi Jogging.

Jam 5 persiapan sekolah.

Jam setengah 7 tiba di sekolah.

Jam 7 pagi hingga Jam 1 siang belajar di sekolah.

Jam 1 hingga Jam 2 perjalanan pulang.

Jam 2 siang tiba di rumah, makan siang, tidur siang.

Jam 3 sore mandi, Jogging, mengulangi pelajaran di sekolah sampai jam 5 sore.

Jam 5 sore bersih-bersih kamar dan halaman rumah.

Jam 6 sore mempelajari materi baru sampai jam 7 malam.

Jam 7 sampai jam 9 malam berlatih konsentrasi.

Jam 9 malam tidur sampai jam 3 pagi.

Setelah 2 hari kulakukan secara disiplin ada sedikit perubahan yang kurasakan.

"Oi, kak... Sejak mati suri, kok rasanya hidupmu lebih teratur ya..."

"Tertidur dek, bukan mati suri..."

"Mati..."

Kulemparkan bantal kearahnya, dengan cepat ditangkapnya dan dikembalikan kepadaku.

Aku bisa melihatnya, tapi reaksiku kurang cepat sehingga tanganku hanya bisa menangkisnya, tanpa bisa menangkap dan melempar balik kearahnya.

"Aku perlu permainan yang melatih insting dan refleks seperti ini..."

BUAKK!!!

Leon mengembalikan lemparan bantalnya kearahku.

"Bangke!!!"

.

..

...

"Juan ternyata pintar juga ya? Semua tugas semester awal yang tertinggal diselesaikan dengan cepat!"

Sena memujiku saat banyak Teman-teman berkumpul.

"Bahkan tugas yang belum dibahas dan tugas yang belum diberikan untuk kita sudah diselesaikan!"

Via menambahkan pujian yang membuatku makin jenuh.

"Aku menghadap ke ruang guru, meminta kepada mereka agar memberikanku tugas seluruh Semester, agar aku bisa menyelesaikannya dengan cepat."

"Kalo sudah selesai semua, trus kamu nganggur dong Juan?"

Vera menanggapi ucapanku.

"Kemarin sepulang sekolah aku datang ke SMK Tehnologi, menanyakan Jurusan, Silabus, juga Ruang lingkup materi yang bisa dipelajari."

"Wow! Berarti sisa waktunya mau digunakan buat belajar itu ya?"

Karen dengan cepat dan antusias menyikapi balasanku.

"Beruntung ya kalo bisa jadi pacar apalagi istrinya Juan!"

"KYAAAA!!! CIHUIIII!!!"

Cewek-cewek yang iseng dan terbiasa bercanda di belakang sana bersahutan mendengar kata-kata itu.

Itu semua adalah naluri alami setelah beban yang kurasakan setelah melewati 3 hari di Awaland.

Naluri Alami seorang Calon Dewa yang bersaing agar tidak tertinggal bahkan mampu mengejar ketertinggalan.

Selanjutnya aku akan melatih kemampuanku untuk menghilang.

Semalaman aku berlatih, setelah beberapa kali melakukannya aku sadar bahwa setidaknya kemampuan ini kucoba dengan hal kecil.

Tadi malam aku menarik satu ujung rambut disekitar poni, berkaca sambil berkonsentrasi untuk menghilangkan diri.

Dalam hitungan detik hal itu berhasil.

Percobaan kedua dimalam yang sama, aku mencoba menghilangkan lebih banyak helai rambut.

Dalam 10 detik semuanya berhasil menghilang.

Kali ini, kesempatan kehidupanku yang sesungguhnya, setelah aku yakin bahwa semua hal yang kupikir tidak nyata ini terbukti ada, maka berikutnya aku akan mengejar ketertinggalanku selama 3 tahun ini!

.

..

...

Ibu dan Bapak kembali ke kampung halaman.

Sebelumnya Ibu membayar tenaga untuk membantuku dan Leon. Tapi karena mungkin baginya kami sudah cukup mandiri mereka tak lagi membayar tenaga tambahan.

Kami berdua duduk menonton TV diruang keluarga.

"Setelah tertidur selama 3 tahun, seorang pemuda terluka karena diincar oleh seseorang yang misterius!"

Leon membaca dengan lantang tema berita yang tertulis di acara yang kami tonton.

"Kak, belakangan terungkap kalo kasus yang mirip sepertimu terjadi di nyaris seluruh dunia lho."

Tanpa merubah arah pandangan kami ke Televisi Leon membuka topik bahasan.

"Kebetulan mungkin dek..."

Info seperti ini membuatku akan semakin waspada. Dan itu yang membuatku teringat ucapan Masriz agar berhati-hati dengan orang-orang yang mendekatiku dengan cara yang mencurigakan.

"Kak, kalo ada apa-apa jangan sungkan..."

BUAKKK...

Aku melemparkan bantal sofa kearahnya, ia menangkapnya dengan cepat lalu melemparkannya kearahku, begitu berlangsung hingga tak terasa jarak diantara kami melebar hingga 3 meter dan kecepatan lemparan kami tetap stabil.

Ini bisa jadi latihan yang bagus.

"Sepertinya kita bisa ikut Klub Badminton dek!"

Kami berdua tertawa.

.

..

...

"Juan, pagi ini tadi aku ngelihat ada tamu yang cantik banget deh, rambutnya pendek sebahu!"

Jam pelajaran kedua berakhir dan diantara peralihan jam itu Sena membuka bahasan diantara kami berempat.

Aku dan Sena yang duduk dibangku kedua dari depan dan kiri kelas berada dibelakang Vocalie sang Ketua kelas yang sebangku dengan Nana sang Sekretaris.

Kami berempat dijuluki 4 Kaisar Seni.

Julukan konyol bagi remaja berusia 17 tahun sepertiku.

"Tamu ya, semoga saja sponsor minuman ringan yang promosi untuk memasarkan produknya hingga memotong jam pelajaran..."

Tanpa pikir panjang aku mengutarakan isi pikiranku.

"Ih, Juan kejam! Enak kamu udah siap dengan seluruh materi, kami ini lho yang kelabakan klo kehilangan jam pelajaran!"

Nana bicara dengan tegas seperti biasa.

"Ya kalo kalian mau berusaha lebih keras seperti yang kulakukan, mestinya nggak akan ada masalah."

Persis setelah aku menjawab ucapan Nana seseorang membuka pintu kelas.

Dia adalah Bu Ratna, Pengajar Matematika.

"Pelajaran pagi ini dipotong oleh sponsor minuman bergizi yang membuat kalian bisa mengejar materi pelajaran yang tertunda...

Silahkan pergi ke lapangan basket anak-anak..."

Wajahnya yang muram karena kata-katanya tidak sesuai dengan perasaannya membuat penampilannya acak-acakan.

Tapi bagi mereka yang merasa pelajaran Matematika membosankan, sorakan lantang adalah jawaban mereka, dan itu artinya nyaris dari separuh kelas.

"HOREEEE!!!"

Mereka berebut keluar dari kelas. Sena yang biasanya menunggukupun tak mau ketinggalan mengejar kesempatan minum gratis.

Aku keluar dari kelas paling akhir.

"Hai, Juan... Apa kabar?"

Suara seorang wanita mendadak muncul persis dibelakangku dan membuat bulu kudukku berdiri.

Dengan cepat aku menghindar mundur.

Kulihat sosok wanita dengan pakaian rapi, berambut pendek sebahu, ciri-ciri yang sama seperti yang dikatakan Sena.

"Siapa kau?"

Sosoknya memancarkan hawa keberadaan yang kuat.

Dari sikap tubuhnya yang tenang namun waspada membuatku sadar bahwa dia bukan orang biasa.

.

..

...

....

Siang ini beban pikiranku bertambah.

Tapi aku semakin sadar bahwa kenyataan yang kutanggung semakin berat dan berbahaya.

"Kita harus bekerjasama."

Itu adalah kata-kata sederhana yang bagiku terdengar sangat kuat dan berarti hingga tak boleh kulupakan.

Wanita itu pergi meninggalkanku dengan menyisakan lebih banyak pertanyaan.

Tapi justru karena kehadirannya membuatku sadar bahwa latihanku masih kurang.

Lebih dari itu, Informasi mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada orang-orang yang juga mengalami hal sepertiku masih minim.

Ugh...

Disaat seperti ini aku benar-benar membutuhkan informasi dari Masriz.

DEGG...

Muncul perasaan aneh.

Tiba-tiba instingku membuat bulu kudukku berdiri. Menjadikan kewaspadaanku meningkat dan beberapa anggota tubuhku menjadi lebih siaga.

"Kak!"

Suara Leon membuat konsentrasiku buyar dan kewaspadaanku menurun.

Ia muncul mengendarai sepeda motor dan menghampiriku.

Aku menoleh ke berbagai arah, memastikan sosok yang mencurigakan.

"Ayo buruan naik!"

Tak ada seorangpun di jalanan dekat sekolah yang sudah cukup sepi ini. Aku berjalan kearah Leon dan bersiap untuk naik.

"Kakak yang setir. Aku capek!"

Entah kenapa sejak Leon muncul hingga keputusannya untuk membiarkanku menyetir sepeda motor membuat perasaanku sedikit tenang.

Kenapa seolah-olah hal berbahaya akan terjadi jika aku pulang sendiri.

Atau mungkin itu hanya perasaanku karena berita yang kebetulan terjadi pada orang-orang yang mengalami kejadian seperti yang kualami?

"Mulai sekarang kita berangkat dan pulang sekolah bersama kak!"

Tidak seperti sebelumnya, suara Leon kali ini terdengar sangat dalam dan dingin.

"Ya!"

Aku menanggapinya dengan serius.

.

..

...

"Kak, kita mampir ke 'Flying Feather' sebentar."

Leon memberi arahan sebelum stadion Badminton yang berjarak kurang lebih 500m didepan itu terlewat.

"Disini tempat para Calon Atlet dilatih dengan intensif 'kan, dek."

Kami tiba di Flying Feather. Setelah turun dari sepeda motor dan meletakkan helm kami berbincang sambil berjalan masuk ke stadion.

"Benar kak, pelatihnya disiplin, metodenya ketat, dan hasilnya maksimal."

Leon menanggapi ucapanku dengan tenang.

Kenapa aku jadi merasa adikku terlihat terlalu dewasa ya?

.

..

...

"Biaya pendaftaran dan bulanannya bisa dilunasi dengan tabungan yang terkumpul dari uang saku kita."

Leon menyerahkan nota pembayaran yang berisi total biaya pendaftaran dan bulanan latihan Badminton di stadion ini.

Kami meninggalkan stadion itu dan pulang kerumah.

"Meskipun badanmu Pendek dan Cungkring, jangan kira aku bakalan mengalah kak!"

Kami mengobrol sambil memacu kendaraan dengan kecepatan sedang.

"Seharusnya aku yang bilang begitu, meskipun kamu adikku aku nggak bakal mengalah!"

Bagus, dengan awal seperti ini aku yakin latihan kami akan terasa semakin seru tanpa menyurutkan semangat kami!

BRUAKK!!!

Ugh!!!

Kami kehilangan keseimbangan.

Semua berlalu sangat cepat. Tubuhku terpelanting hingga seolah bumi ini berputar

Setelah terjatuh dan menghantam tanah aku baru sadar bahwa sesuatu menabrak kami.

Beberapa bagian tubuhku terasa perih, pasti karena bergesekan dengan aspal.

Tubuhku terasa berat.

Aku mencoba menumpu tubuh dengan kedua tangan.

Sepertinya siku dan lenganku tergores cukup parah.

Dengan susah payah aku berhasil duduk.

Leon...

Setelah membenahi posisi duduk, aku melihat sekeliling untuk memastikan kondisi kendaraan dan juga Leon.

Dua buah kendaraan saling tumpang tindih, salah satunya adalah sepeda motor kami.

Tidak...

Darah tergenang disekitar kedua kendaraan itu.

Semoga itu bukan berasal dari tubuh Leon!