"Kau bisa mengambil beberapa sayuran di belakang halaman rumahku. Karena ini bukan hari Minggu jadi kau tidak bisa ke pasar. Pasar hanya ada di hari Minggu," kata perempuan bernama Stella ini yang menurutku kurus sekali.
Sebenarnya aku heran. Kenapa dia ini sangat terlihat tidak baik. Maksudku. Kenapa dia tidak merawat diri. Ya dia berbeda dari perempuan yang aku lihat disini. Perempuan di desa ini kulihat banyak juga yang badannya berisi dan terlihat segar bahkan wajah naturalnya benar benar bersih sekali. Tetapi kenapa Stella seperti tidak mengurus dirinya. Memang sih, aku belum pernah bertemu dengan suaminya. Aneh juga padahal aku juga menyewa rumahku dari Stella ini. Harusnya dia mempunyai uang yang cukup banyak.
Anak Stella juga hanya satu dan baru berumur tiga tahun.
"Oh oke, baiklah, bolehkah aku langsung saja ke halaman belakangmu, Stella?" tanyaku dengan sopan.
"Oh, ya kau langsung saja ke sana," kata Stella dengan gusar. Karena terdengar suara rengekan anaknya yang bernama Dani.
Aku langsung saja berterimakasih kepada Stella degan cepat dan berjalan ke halaman belakang melalui samping rumah ini. Desain rumah milik Stella sama seperti rumah yang aku sewa. Tapi rumahku yang disewa lebih buruk dari ini.
Kini kulihat ada wortel dan juga kol ungu. Aku langsung saja mengambilnya dengan secukupnya.
"Bukan begitu cara mengambilnya," kata suara pria di belakangku. Aku kenal sekali dengan suara ini. Steven, heh. Kenapa dia harus muncul sih. Apa dia tidak sadar dia. Dia sudah membuat aku menangis beberapa jam lalu. Sekarang malah datang dengan sok tahu.
Aku tidak menengok dan langsung dengan cepat membawa sayuran milikku untuk di bawa pulang.
"Nanti kau bisa di marahin oleh suami Stella yang bernama Robert," kata Steven dengan berkata keras
Aku terpaksan menghentikan jalan ku. Aku menengok kepadanya.
"apa maksudmu?" tanyaku dengan cuek.
"Itu lihat saja, tanah yang ada di dekat sayuran yang kau petik itu jadi berantakan. Kau bereskan dulu, jangan terlalu terburu-buru," kata Steven sambil berjongkok dan membereskan apa yang berantakan tadi olehku.
"Apa suami Stella benar benar akan marah kepadaku?" tanyaku dengan lirih dan takut.
"Kalau kau bisa membereskan ini dengan benar..pasti Robert tidak akan marah," kata Steven dengan percaya diri.
Lalu aku langsung saja melaksanakan apa yang di perintah oleh Steven. Aku membereskan semua ini dengan susah payah. Kini kulihat halaman belakang ini tampak lebih rapi dari biasanya.
"kau belum pernah melihat suami Stella kan? Dia itu begitu garang. Robert nama itu sangat terkenal di desa ini," ujar Steven dengan lirih. Ia tampak hati hati mengucapkan kalimatnya.
"Oh ya? Serem sekali kayaknya," ucapku dengan meringis polos. Dalam bayanganku Robert adalah sosok yang tinggi besar dan berwajah garang.
"Jihan, apa kau sudah selesai?" suara tinggi Stella terdengar. Kini aku langsung saja bergegas untuk pergi dari halaman ini. Aku bahkan bersikap cuek kepada Steven. Biarkan saja. Dia sangat menyebalkan.
"Hei? Apa kau tidak berterimakasih padaku?" seru Steven dengan keras. Tapi aku tidak memperdulikannya sama sekali.
Kini aku langsung menuju ke pintu depan rumah Stella.
"Stella, makasih banyak. Ini nanti aku akan membuat makanan untuk aku makan," kata ku dengan ramah kepada perempuan berumur 45 tahun ini.
"Ya ini juga untukmu," katanya dengan memberikan wadah berbahan plastik yang di dalamnya berisi telur bebek lima butir.
"Wah! Hari ini aku sangat beruntung," seruku dengan senang hati.
"Kakau begitu terimakasih banyak Stella," seruku dan langsung balik badan. Namun aku mendengar suara Dani yang berteriak teriak dengan tidak jelas. Seperti meminta sesuatu. Aku menghentikan langkahku. Karena perasaanku tidak enak.
Suara telepon yang ada di dalam rumah Stella. Terdengar oleh telingaku.
"Ya, baik aku akan segera kesana memberikan uang kepadamu Robert," kata Stella dengan tergesa-gesa. Lalu Stella tiba tiba membentak Dani.
"Diam! Kau bisa diam tidak sih! Kalau seperti ini aku tidak bisa membawamu ke tempat kerja Robert!" bentakan itu membuat aku jadi langsung kembali ke rumah Stella.
"Ma-maaf Stella. Sebaiknya kau tidak melakukan itu. Aku mungkin bisa menjaga Dani. Apa kau perlu bantuanmu?" tanyaku dengan hati hati kepada Stella. Kulihat wajah Dani anak berumur tiga tahun itu yang pipi ya penuh dengan air mata.
Stella menghela nafas dengan berat sambil memegangi keningnya yang berkerut. Tampak ada kekesalan dan pengelasan dari raut wajah itu yang tertunduk.
Kini Stella mendekat kepadaku dengan kedua sorot matanya yang tajam.
"Baiklah, aku percaya kepadamu. Tolong urusi Dani ya? Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Aku harus pergi menemui Robert. Kalau tidak, aku bisa mati," seru Stella dengan wajah takut.
"Aku percaya padamu, jaga Dani ya?" kata Stella dengan memegang kedua lenganku dengan tegas.
Aku mengangguk cepat. Seakan mengikuti dia yang buru buru. Kini Stella pergi ke kamar sebenatr dan kulihat dia membawa tas kecil. Mungkin berisi uang yang di minta oleh Robert. Terakhir Stella mencium Dani dan dia langsung pergi begitu saja. Aku bahkan hanya bisa Mandang Stella yang berlari di antara tanah berumput itu.
Kulihat wajah Dani yang berantakan. Dia tampak berwajah polos sekali. Wajahnya mematung. Mungkin dia malu denganku. Atau tidak suka aku berada disini.
Kedua kakiku mencoba mendekat kepada Dani. Dia yang duduk di sofa berwarna abu abu itu membuang muka. Kucoba untuk duduk di dekatnya dengan pelan.
Aku tidak menyentuhnya. Karena pasti dia akan berontak. Ku hembuskan nafas untuk mengumpulkan kesabaran. Meski aku belum pernah menjaga anak kecil. Tapi aku sering melihat ketika di kota. Ketika aku berada di taman. Aku sering melihat semua yang berhubungan dengan anak kecil. Mungkin aku bisa tahu sedikit bagaimana memperlakukan anak kecil.
"Dani, apa kau lapar?" tanyaku dengan pelan.
Dia sama sekali tidak menjawab dan malah diam seperti patung.
"Dani, kau sudah pernah melihatku sebelumnya kan? Memang aku ini mungkin tidak menyenangkan seperti ibumu. Tapi aku bisa menjadi temanmu. Aku berjanji Dani. Hem, begini saja. Sekarang kau ingin apa? Aku akan menuruti permintaanku. Ya selagi itu adalah permintaan yang wajar bagiku," ucapku dengan berharap Dani bisa setuju denganku.
Kini kulihat Dani menggelar nafas dan menengokdengan pelan. Dia melihat wajahku dengan memperhatikan penuh.
Aku memperlihatkan senyum manisku. Sangat menyenangkan sekali bisa seperti ini dengan anak kecil.
Dani melihat penampilanku yang duduk di sampingnya. Penampilan aku yang menggunakan jeans dan kaos dengan tulisan Nirvana ini membuatnya mungkin agak bingung.
"Ya ini pakaianku sewaktu aku di kota. Jadi mungkin kau baru melihatnya kan?" tanyaku dengan pelan.
"Siapa namamu?" tanya Dani dengan cuek. Bahkan dia tidak melihat ke wajahku lagi. Dia melihat ke depan dengan kedua telapak tangan di taruh di pahanya.
"Namaki Jihan, kau sepertinya lupa ya," kataku mencoba mencairkan suasana dengan nada ringan.
"Bagaimana kalau kita main kejar kejaran? Kau kejar aku ya?" seru Dani dengan wajah bercahaya melihatku. Ternyata Dani gampang sekali bermain denganku.
"Oke, oke aku siap!" jawabku dengan tegas.