webnovel

Mistisisme dan Tanggungjawab Sosial

Kalau saja tak ada harapan dan cinta, peradapan model apa yang akan muncul di hari esok? Mungkin sekali suatu sosok kehidupan yang penuh kebengisan, peperangan, penaklukan, kejenuhan, dan keputusasaan. Karena masih tersisa benih harapan dan cinta, barangkali, kita pun murah senyum dan optimistis menapaki waktu. Sementara itu orang lain bisa saja tengah dihimpit keputusasaan dan rasa jijik serta benci pada kehidupan ini karena kegagalan demi kegagalan. Benih cinta dan harapan barang kali tak tumbuh di hati mereka karena kezhaliman melihat ruang geraknya, dan nurani tak lagi memiliki forum bersuara. Ketika seseorang merasa kalah dan tak ada lagi harapan untuk menang, bukanlah hal itu kematian yang nista?

Tetapi sebagaimana sejarah menunjukkan, manusia adalah sepsis yang paling mampu survive dan beradaptasi dengan segala macam situasi. Tak ada jalan buntu. Disaat-saat kebuntuan menghadang, di saat itu pula jalan keluar di bangun. Manusia, secara sadar biologis tak beda dengan sepsis hewan lain, adalah makhuk yang mampu melakukan transedensi kealam kudus. Gerak keluar dari dunia kasat mata ini (transedensi) adalah mi'raj spiritual para mistikus, karena ini dirasakan amat mengasyikan. Dalam suasana transedensi, seorang sufi tiba-tiba memasuki realitas baru, realitas yang terbebaskan dari hidup yang penuh kebengisan, kezaliman, dan kejenuhan. Dengan memasuki dunia tradisional, ia merasa hidup di alam cinta, di dalam kemenangan. Bagi kaum sufi, realitas spiritual yang dimasuki bukanlah realitas semu, sebagaimana ketika kita berada di bioskop dan hanyut dalam alur cerita film. Namun muncul pertanyaan mengganjal. Adakah transedensi itu adalah suatu realitas dan pengembaraan spiritual yang terpisah dan terpenggal dari dunia ini dan sekarang? Adakah kemenangan dan ketenangan spiritual itu merupakan terminal akhir dambaan muslim?

Tampaknya, tak ada jawaban tunggal untuk itu. Kajian historis-sosiologis bahkan memberi jawaban yang cenderung negatif: kecenderungan memasuki kehidupan mistik kadangkala merupakan pelarian dari kekalahan politik. Mereka cari kompensasi untuk menang dalam dunia spiritual ketika kalah dalam perjuangan keduniaan. Lain kata, ritual keagamaan saat itu dihayati sebagai asylum dan penawar kekecewaan. Ketika cinta dan harapan sulit didapat dalam realitas sosial ini, mereka membangun dunia lain yang didalamnya mudah dihirup udara cinta dan penuh harap mendapat kemenangan. Tidak hanya kekalahan politis. Paham keagamaan yang begitu normatif dan formalistik pun ikut menggiring umat Islam untuk mencari alam yang terbebaskan dari pagar-pagar normatif yang dirasa menyesakkan, bahkan menghalangi komunikasi intim dan persoalan antara mukmin dengan Sang Kekasih. Tetapi, sekali lagi, kalau penyebab utama keasyikan itu adalah kekalahan politis, ekonomi dan sosial, bukankah itu –kalau berkepanjangan- sama saja dengan pemasungan etos Islam untuk melakukan transformasi sosial? Bukankah misi Muhammad saw adalah menciptakan peradaban riil di bawah al-Quran?

Sejarah penyebaran Islam begitu jelas mengajarkan kita bahwa doktrin tauhid selalu dihubungkan dengan misi perubahan sosial. Lihat saja beberapa surat al-Quran yang turun di mekkah. Disana terlihat betapa tegas al-Quran mengaitkan doktrin itu dengan sikap peduli terhadap kepincangan sosial akibat berbagai bentuk kezaliman. Lalu bagaimana sebaiknya kita memahami mistisisme dalam konteks dunia Islam saat ini? Pertama kita perlu melihat lagi petunjuk dan semangat Quran tentang dimensi spiritualitas. Kedua, paham dan gerakan mistik dalam Islam tidak muncul begitu saja. Maka, perlu dikaji ulang fenomena ini dari aspek historis-sosiologis hingga bisa diperoleh pemahaman yang lebih tepat.

Pentingnya spiritualitas dalam Islam tak bisa dipungkiri. Namun al-Quran tegas menyatakan, dunia ini adalah riil, bukan maya. Beberapa ayat yang berulang kali menegaskan agar kita beriman kepada Allah, hari akhir, dan amal shaleh, merupakan isyarat dan sekaligus formulasi yang menyatukan dimensi kehidupan spiritual –yang mengarah pada realitas transendental- dan aktivitas konkret dalam sejarah. Amal shaleh selalu mengasumsikan tiga hal secara terpadu dan serentak. Pertama, amal shaleh mengharuskan adanya kesadaran spiritual suatu perjuangan dan pendakian spiritual yang berorientasi pada penyucian diri. Kedua, amal shaleh adalah juga beramal buat peningkatan dan perbaikan kualitas diri. Tidak ada amal dalam Islam yang jika ditaati akan merusak pelaku, melainkan justru menyehatkannya. Ketiga, amal shaleh mengansumsikan munculnya dampak riil positif bagi perbaikan sosial.

Jadi, kalau kita mencari tokoh ideal sufi dalam Islam, itulah Muhammad. Jalan sufi bukanlah jalan berbalik untuk membangun mahligai di langit, melainkan jalan turun dari kesadaran langit untuk memenangkan perjuangan di bumi.

Cerita dalam belantara

kitab pembebasan