webnovel

Dua Orang Asing

Lisa berjengit kaget dari atas sofa, saat mendengar gedoran pintu yang cukup keras. Ia melihat jam dinding sekilas. Sudah lewat tengah malam. Sepertinya ia ketiduran cukup lama tadi.

Dengan langkah gontai, Lisa mendekati pintu. Seseorang di luar sana terus mengetuk tak sabaran.

Tok, tok, tok!!!

"Iya, tunggu sebentar!" seru Lisa, berusaha memutar kunci yang mendadak terasa seret. Tangannya sampai berkeringat. Di saat seperti ini, mengapa semesta seolah mendukung kemurkaan manusia di balik pintu itu semakin menjadi?

Cklek!

Akhirnya pintu terbuka, menampakkan seraut wajah kemerahan seorang pria. Lisa menunduk dalam, ketakutan. Ia tak ingin suatu hal yang buruk terjadi malam ini.

"Kenapa lama sekali?! Dasar tidak becus!" Bram, suami Lisa, menendang pintu di depannya hingga terdengar bunyi bedebam yang cukup kencang. Para tetangga sudah biasa mendengar keributan dari rumah ini.

"Mas, makan malam dulu? Aku sudah menyiapkan." Lisa mengejar langkah tergesa suaminya. Setelah mereka cukup dekat, ia pun memegang lengan Bram lembut.

Sayangnya, Bram tidak suka Lisa menyentuh bagian tubuhnya sedikit pun. Ia menepis tangan Lisa kasar, hingga istrinya nyaris terjengkang.

Lisa berusaha menyeimbangkan tubuhnya kembali. "Mas, tunggu!"

Bram seolah tak mendengar. Ia berderap menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua. Di belakangnya, Lisa masih terus mengikuti suaminya.

Akhirnya, Bram menghentikan langkah. Mereka sama-sama bergeming di posisinya masing-masing.

Jantung Lisa masih berdegup kencang dengan napas tersengal. Namun, ia cukup senang Bram menunjukkan itikad baik dengan tidak terus-menerus menghindar darinya.

"Mas ...." ucapan Lisa mengambang.

"Berapa kali harus kubilang jangan pernah ganggu diriku lagi?!" Bram mengucapkannya dengan nada rendah tetapi dingin dan tajam.

Sebagai istri, Lisa cukup tahu diri untuk tidak mengusik Bram lagi. Setidaknya sampai amarah sang suami mereda. Ia membiarkan suaminya mengunci diri di dalam kamar--kamar pribadinya. Meski sudah berstatus suami istri, mereka tidak tidur di tempat yang sama. Kamar Lisa di bawah, sedangkan Bram memilih tidur di lantai atas.

Sambil melangkah tanpa tenaga, Lisa mengenang kembali bagaimana kehidupan pernikahan mereka selama ini.

Lisa menjalani sebuah pernikahan yang memang tidak didasari cinta dari kedua belah pihak. Baik Lisa maupun Bram sama-sama memiliki kekasih ketika masing-masing orang tua menjodohkan keduanya.

Sebagai anak yang berbakti pada orang tua, Lisa tak kuasa melawan kehendak ayah dan ibunya. Dia pun setuju untuk menikah dengan pria yang baru pertama kali ditemuinya saat perkenalan itu.

Sementara Bram. Dengan terpaksa ia menikahi Lisa lantaran mama dan papanya mengancam tidak akan mewariskan harta apa pun pada Bram jika pria itu menolak perjodohan tersebut.

Maka, inilah yang terjadi. Seberapa keras pun usaha Lisa untuk membuat suaminya jatuh cinta, ia tidak pernah berhasil. Bram tetap manusia asing, dingin dan tidak terjangkau.

***

Pukul sepuluh pagi, Lisa mengendap-endap mendekati pintu kamar Bram. Sekadar memastikan apakah suaminya sudah bangun atau belum.

Lisa menempelkan daun telinganya pada pintu kamar.

Sunyi. Sepertinya Bram masih terlelap. Bunyi dengkuran yang terdengar sesekali, menandakan bahwa pemilik kamar tersebut masih berada di atas tempat tidur.

"Mas Bram pasti sangat kelelahan kemarin," batin Lisa sambil berjalan kembali ke ruang makan.

Seketika pandangan Lisa terpaku pada aneka hidangan yang tersaji di atas meja. Apakah makanan-makanan itu akan terbuang juga seperti makanan semalam?

Lisa tersenyum miris. Mengapa untuk mempertahankan pernikahan terasa sesulit ini? Padahal, dia sudah berusaha untuk mencintai Bram layaknya ia mencintai mantan kekasihnya dulu. Padahal, dia sudah mengorbankan karir dan pendidikannya demi seorang Bram Pratama. Padahal, dia telah banyak belajar bagaimana menjadi istri yang baik, termasuk belajar memasak salah satunya.

Tapi mengapa? Mengapa semua usahanya berakhir sia-sia? Mengapa?!

"Lisa!"

Lisa terperanjat. Bram sudah bangun rupanya. Cepat-cepat dia berlari ke arah kamar sang suami. Seperti semboyan salah satu partai politik beberapa tahun silam 'lebih cepat, lebih baik'. Karena, kalau sampai ada panggilan kedua, habislah sudah Lisa.

"Y-Ya, Mas?" tanya Lisa dengan napas terengah.

Pintu kamar Bram sudah dalam kondisi terbuka lebar ketika Lisa tiba di sana, dengan posisi Bram berdiri membelakangi Lisa. Pria itu menatap ke luar jendela kamar.

"Hari ini Stevi akan datang."

Wajah Lisa muram seketika.

Stevi ... mengapa wanita itu masih hadir dalam kehidupan Lisa dan Bram?

"Hari ini Stevi akan datang. KAU DENGAR TIDAK?!" sentak Bram seraya berbalik menghadap Lisa yang masih terpaku di ambang pintu. Ekspresi wanita itu begitu nelangsa juga terkejut dalam waktu bersamaan. Namun sayang, Bram sama sekali tidak iba.

"I-iya, Mas. Aku dengar ...," jawab Lisa takut-takut.

"Kau sudah paham, apa yang harus kau lakukan?"

Lisa mengangguk. "Pa-paham, Mas ...."

"Sekarang, bersihkan kamarku karena Stevi lebih senang tinggal di dalam kamar."

"B-baik, Mas ...."

"Setelah itu, siapkan makanan yang lezat untuk aku dan Stevi. Ingat, jangan berikan dia makanan yang mengandung minyak. Stevi sedang diet."

"B-baik ...."

"Stevi akan tinggal di sini selama satu minggu. Selama satu minggu itu pula, kau berhenti memanggilku Mas. Stevi sangat cemburuan."

Dengan hati teriris, lagi-lagi Lisa terpaksa menjawab 'baik'.

"Kalau begitu, silakan kau mulai bekerja," titah Bram sambil berjalan keluar dari kamar, bergantian posisi dengan Lisa. Dia sangat menghindari berada satu ruangan yang sama dengan wanita tersebut.

Lisa mengangguk sambil menunduk dalam.

Merasa perintahnya sudah cukup jelas, Bram bergegas meninggalkan Lisa. Namun, belum sampai lima langkah berjalan, tiba-tiba terdengar Lisa memanggil namanya.

"Tunggu sebentar, Mas!"

"Ada apa lagi?!" sahut Bram jengkel.

"A-anu, Mas ...." Lisa mendadak kehilangan keberaniannya lagi.

"Anu-anu apa?!"

"I-itu, Mas ... apa ... apa tidak sebaiknya Stevi jangan bertamu dulu untuk sementara waktu? Bukankah belakangan ini orang tua kita sedang sering berkunjung ke sini?" tanya Lisa dengan suara yang makin lama makin menghilang. Bagaimana tidak? Mata Bram makin melebar seiring dengan kalimat yang meluncur dari bibir Lisa.

"Apa hakmu melarang wanitaku datang menemuiku?"

"Bu-bukan, Mas. Aku sama sekali tidak keberatan andai Stevi mau tinggal di sini selamanya pun," elak Lisa. "Tapi orang tua kita tidak akan mengerti. Mereka kira, kita sudah saling mencintai. Seperti yang sering kita tunjukkan di depan mereka."

Bram tidak langsung menjawab. Dia menatap Lisa lurus. Tatapan yang tajam dan mengintimidasi.

"Dengar, Lisa Rahardian." Bram menyebut nama lengkap Lisa—atau nama gadis Lisa tepatnya. "Meski sudah dua tahun menikah, kau mesti sadar bahwa kita tetaplah dua orang asing," sambungnya. "Aku tidak peduli apakah sekarang kau mencintaiku atau tidak. Bahkan aku tidak peduli andai kau masih mencintai mantan kekasihmu yang miskin itu! Yang jelas, aku melarang keras kau mengusik kehidupan pribadiku. Terutama kisah percintaanku dengan Stevi. Ingat itu!"

Dan Bram benar-benar pergi meninggalkan Lisa.

Chapitre suivant