Aku dan Mahesa masih tetap terdiam, tak ada satu pun dari kami yang memulai pembicaraan. Dia yang fokus menumbuk tanaman obat, sedangkan aku yang lebih memilih menatap ke mana saja yang penting tidak menatap ke arahnya.
"Maaf, ya."
Tiba-tiba saja suara baritone-nya mengalum, aku pun refleks menoleh ke arah Mahesa. "Maaf untuk apa?" tanyaku tak paham.
"Untuk perkataan ibuku tadi. Jangan didengarkan, ibu memang seperti itu orangnya. Mudah dekat dengan orang lain."
"Tidak apa-apa, aku justru senang berbincang dengan ibumu. Dia orang yang menyenangkan."
Mahesa tersenyum, aku menilai dia pria yang ramah. Sangat jauh berbeda dengan Zero yang ... hah, kenapa pula aku harus membanding-bandingkan Zero dengan Mahesa. Jelas mereka dua orang yang berbeda.
"Kau sendirian mengendarai kereta kuda, memangnya kau mau ke mana?" tanyanya tiba-tiba, yang membuatku kembali teringat pada kejadian menyebalkan di mana aku dan Zero bertengkar hebat sehingga aku memutuskan untuk pergi.
Soutenez vos auteurs et traducteurs préférés dans webnovel.com