Siang ini Emely baru sampai di kampus. Dalam langkahnya menuju kelas ia hanya diam membisu, mendengarkan bisikan beberapa orang yang menatapnya dengan kasihan karena telah ditinggal sang pacar. Rasanya, sekarang sangat berbeda. Biasanya Emely pulang pergi bersama Roland, tapi kini itu tidak akan terjadi lagi. Dia harus membiasakan diri walaupun hatinya enggan.
"Hai, Em. Kau datang sedikit terlambat." Alice menyambut saat Emely baru saja memasuki kelas. Gadis yang masih dilanda kesedihan itu sadar, kalau ia datang ke kampus dengan waktu yang lumayan mendesak.
"Aku bangun terlalu siang tadi," gumam Emely berbohong. Padahal, faktanya ia sibuk menangis di pojok ruangan sedari pagi.
Tanpa permisi, tiba-tiba seorang dosen datang memasuki ruangan. Langkahnya yang pincang dengan tubuh yang tegap disertai tatapan tidak bersahabat membuat dosen itu semakin kental dicap sebagai dosen killer di kampus ini.
"Ini kelas atau pasar, hah?" tanya Mr. Ex dengan nada tinggi. Semua orang yang tadinya asik berbincang kini langsung terdiam. Mereka tidak menyadari kedatangan Mr. Ex tadi.
"Saya tidak suka, jika saat saya masuk, keadaan kelas belum rapi! Sekarang semuanya duduk!" Semua mahasiswa di sana kalang kabut menyerbu tempat duduknya masing-masing.
Suasana kelas hening, tidak ada seorang pun yang berani berkata walau sekadar berbisik saja. Di depan sana Mr. Ex sedang sibuk menarik layar proyektor, lalu ia tampak memencet tombol pada remote dan diarahkan menuju in focus yang tergantung di langit-langit ruangan. Tak lama setelah itu, terpampanglah gambar yang dipenuhi tulisan di depan layar.
Secara tidak langsung, dosen itu menyuruh peserta didiknya untuk mencatat sekaligus mengerjakan tugas yang diperintahkan melalui deretan tulisan di depan.
"Selesai dalam waktu sepuluh menit." Hanya itu ucapan pelengkap yang keluar dari mulut Mr. Ex. Membuat mahasiswa di sana menelan ludah dengan susah payah.
"Sial! Hari pertama belajar sudah mendapat tugas seperti ini!" gerutu Carlos menjitak kepalanya sendiri dengan bolpoin. Berbeda dengan Emely, dia sudah berkutat dengan buku menyalin tulisan di layar sana lalu mengerjakan tugasnya.
Waktu terus berputar, hingga akhirnya sepuluh menit sudah tinggal hitungan detik.
"Waktu habis!" seru Mr. Ex, "lanjut ke tugas berikutnya. Saya akan membuat kelompok masing-masing dua orang untuk mengerjakan proyek karya ilmiah. Waktunya satu minggu." Penuturan Mr. Ex terdengar sangat tenang, tidak seperti para mahasiswa yang malah merasa kesal.
Melalui ponselnya, dosen killer itu melihat semua nama mahasiswa di kelas tersebut dan mulai berkumandang menyebutkan satu per satu untuk pembentukan kelompok.
Namun, saat nama Emely terdengar, ternyata dia berpasangan dengan Chris, pria yang selalu membuat emosinya mencuat. Tatapan kedua manusia itu pun beradu dengan masing-masing memberikan kesan benci dan pada saat itu juga Mr. Ex melihatnya. Ia menyunggingkan senyum miring yang entah apa maksudnya.
ΦΦΦ
Sore hari paling membosankan bagi Emely. Dia hanya berdiri di balkon apartemen, menyaksikan lambaian matahari yang semakin meredup. Biasanya sore-sore begini gadis itu pasti pergi jalan-jalan bersama Roland atau hanya sekadar bersenda gurau bersama. Namun, semua itu hanya tinggal kenangan.
"Senja, tolong sampaikan salam rinduku pada Roland." Emely bermonolog, tatapannya penuh harap pada sang mentari di ujung barat.
Kepala Emely mulai menunduk merenungi setiap masalah yang datang tiada henti. Ia menyangka kalau kedatangannya ke negeri ini adalah sebuah kesalahan. Semenjak dia berada di sini, semua kejadian aneh terus datang dan sekarang kekasihnya sendiri yang menjadi korban.
Seketika pikiran gadis umur delapan belas tahun itu mengingat sesuatu. Otaknya tertuju pada kejadian tempo hari saat Emely mendengar hal yang dapat mengubah nasibnya.
"Buku XVIII. Aku harus mendapatkan buku itu!" Ia langsung berganti pakaian dan segera pergi keluar, padahal hari sudah hampir malam.
Tepat pukul 18.30 Emely sampai di pelataran kampus. Ia berbaur dengan mahasiswa di sana yang mengambil kelas malam. Tudung kepala dari jaketnya berhasil menyembunyikan wajah Emely agar tidak dicurigai.
Dia harus bergerak cepat sebelum jadwal kelas malam berakhir. Kini langkah Emely terayun ke arah perpustakaan tua dan dia mulai beraksi.
"Semoga saja pintu perpustakaannya tidak terkunci," ucapnya pelan.
Bibir bervolume itu tersenyum lebar saat sampai di depan perpustakaan. Emely sudah tidak sabar untuk mengetahui semuanya. Namun, saat dirinya mencoba membuka pintu besar itu, ternyata tidak ada pergerakan sedikit pun.
"Ayolah!" Dia terus mendorong pintunya dengan keras. Pun dengan kakinya yang sampai ikut menendang-nendang agar pintu tersebut terbuka, tapi hasilnya tetap saja nihil. "Ck, bagaimana ini?" Emely mulai panik.
Kini ide untuk menghancurkan pintu itu pun terbesit di benaknya. Tangan yang selama ini hanya menghancurkan benda apa pun tanpa disengaja dan Emely harap sekarang kekuatan itu bisa berguna.
"Aku mohon, bantu aku," gumam Emely pada telapak tangannya.
Tangan gadis itu mulai menarik knop pintu dan menekannya keras-keras. Ia sampai mengeluarkan tenaga penuh untuk membuatnya hancur. Namun, tidak ada hasil sedikit pun.
"Setidaknya bergunalah sedikit!" amuk Emely. Kenapa di saat ia membutuhkannya, kekuatan itu malah tidak ada?
Emely menghela napas berat, ia harus sabar. Sekali lagi tangan mulua itu ia tekan pada pintu dan mendorongnya. Bahkan, kini tangannya sampai mengepal demi memberi pukulan agar pintu itu terbuka.
"Ah, sial!" Emely mulai tersungut. Pintunya tetap saja tidak bisa dibuka.
Gadis itu pasrah, tubuhnya yang lemas mulai merosot dan duduk dengan lesu di depan pintu itu. Ia tidak tahu harus berbuat apa.
"Sepertinya ... hidupku memang ditakdirkan untuk menderita," ucap Emely dengan air mata yang mulai menetes. Tangannya pun terus mengusap lembut pada pintu perpustakaan, berharap buku itu bisa datang dengan sendirinya.
Tak lama setelah itu, Emely malah dibuat tercengang. "Kenapa ini?" Ia terkejut saat pintu berbahan kayu itu tiba-tiba retak disertai serpihan kayu kecil yang beterbangan dengan perlahan. Membuat pintu tersebut terkikis dan menciptakan sebuah lubang yang lumayan besar.
"Astaga! Ini mustahil!" Emely takjub sekaligus tak percaya. Lagi-lagi itu karena ulah tangannya.
Akan tetapi, gadis itu masih bingung. Tadi saat ia dengan sengaja ingin menggunakan kekuatannya, hal itu malah tidak berfungsi. Sementara saat tidak disengaja seperti ini, kekuatan itu malah selalu datang. Sungguh, Emely tidak tahu cara mengendalikannya.
Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas, ia langsung masuk menyelundup pada lubang yang memang cukup untuk dirinya. Sepertinya, sekarang alam memang sedang berpihak pada Emely.
Gelap, itulah yang Emely rasakan setelah berada di dalam perpustakaan. Dia tidak bisa melihat apa pun di sana. Setelah beberapa menit, baru ia melihat setitik cahaya yang meremang dari sudut ruangan. Ternyata dari sebuah lilin. Emely tersenyum, setidaknya ada alat penerang untuk membantunya mencari buku XVIII.
Dengan hati-hati Emely mengambil lilin tersebut, menjadikannya penerang saat menyusuri setiap lorong yang tercipta oleh rak-rak buku di sana.
"Buku XVIII ... buku XVIII ...," ucap Emely terus melafalkan nama buku itu di tengah-tengah aksinya saat mengecek setiap buku di rak yang sudah berdebu.
"Ayolah, di mana kau buku XVIII? Aku mencarimu." Gadis itu terlihat mulai patah semangat. Karena sedari tadi ia tak kunjung mendapatkan bukunya.
Di sisi lain, ada seseorang yang memandang curiga pada perpustakaan tua akibat cahaya lilin yang terus bergerak.
"Kenapa ada cahaya di sana? Bukannya ... perpustakaan itu sudah tidak terpakai?" Dengan berani, Chris merubah arah jalannya menuju perpustakaan. Ia tidak peduli dengan niatnya datang ke kampus, karena sebenarnya ia diperintahkan sang ayah untuk mengambil barang yang tertinggal.
Langkah Emely terus terayun dengan perlahan. Kini dia sampai di bagian belakang perpustakaan, menampilkan tembok dengan beberapa lukisan unik yang terpajang. Gadis blasteran itu tidak begitu peduli dengan hal tersebut, matanya kembali mengamati buku-buku di sana dengan jeli. Hingga pandangannya malah teralih pada sebuah patung kecil yang berdiri di pojok ruangan.
"Patung apa ini?" Ia mendelik, tangannya terulur bermaksud menyentuh patung itu. Namun, tumpukan buku yang tergeletak di sampingnya berhasil mengalihkan pandangan Emely.
"Kenapa buku-buku ini terpisah? Perasaan ... buku yang lain tersusun di rak semua," ujar Emely bingung. Gadis yang memang menyukai kerapian ini akhirnya berniat untuk memindahkan tumpukan buku tersebut ke tempat yang seharusnya.
Emely mengangkat semua buku yang terasa lumayan berat, tetapi buku-buku itu malah terjatuh berserakan. "Ck, ya ampun!" ia mengumpat kesal.
Dengan malas Emely harus memunguti bukunya satu per satu. Namun, alangkah terkejutnya dia saat menemukan sebuah buku bersampul cokelat tua bercorak klasik dengan bentuk tepian yang tidak beraturan. Ditambah pernik timbul dari kedua bola kristal berwarna biru yang terpasang di bagian atas bawah buku itu. Serta tulisan XVIII yang tercetak jelas di tengah dengan sayap kecil sebagai hiasan di sisinya. Benda unik tersebut tergeletak di antara buku lainnya yang berserakan.
"Ini dia!" Spontan Emely memeluk buku itu cukup lama karena terlalu bahagia.
Akan tetapi, suatu kejanggalan lagi-lagi datang menyerang. Tubuh gadis itu menegang dengan mata yang terbelalak tajam. Kejadian satu hari yang lalu di hutan kini kembali ia rasakan. Emely terus meronta seperti sedang melawan, tapi itu percuma. Dirinya tetap saja berubah menjadi sosok mengerikan yang mengeluarkan jeritan kencang.
"Aarghhh!"
Sontak jeritan itu membuat langkah Chris terhenti tepat di depan pintu perpustakaan. Jeritan yang sangat kencang tersebut membuatnya sampai menutup telinga dengan kedua tangan.
"Suara apa ini? Membuat telingaku sakit saja!"
Tiba-tiba suara reruntuhan terdengar tak jauh dari sana, seketika Chris terlonjak saat melihat sesuatu terbang keluar dari atap perpustakaan.
"Makhluk apa itu? Hantu?" terka Chris masih tidak yakin. Matanya terus mengikuti sosok yang terbang semakin jauh itu.