Panorama kota di sore hari memang selalu memanjakan mata. Ia tak pernah surut memberikan ketenangan di setiap penglihatan. Apalagi dengan hamparan danau yang menambah suasana kesejukan.
Gedung yang menjulang tinggi pun tak luput melengkapi keindahan sore itu, mereka berjejer rapi mencakar langit yang tinggi. Ditambah adanya background senja yang memantau dari pelupuk barat, menampakan separuh matahari yang akan menyusup undur diri.
Semua itu kini tengah dirasakan oleh Emely, Alice, dan Lucy yang sedang berbincang ria di salah satu taman di tepi danau. Ketiganya baru saja menghabiskan waktu dengan mencari bekal untuk persiapan camping esok hari. Namun, mereka memutuskan untuk menyaksikan terlebih dulu senja sore ini.
"Em, Roland tidak marah jika kau terus bersama kami?" tanya Lucy sembari memasukan makanan ringan ke mulutnya.
Emely menggeleng dengan tatapan masih sibuk pada layar ponsel yang sedang ia genggam. "Aku bosan jika terus bersama Roland. Lagipula, ini waktunya aku bersama kalian." Emely menimpali dengan tawa yang mengekor di akhir ucapannya.
"Tapi sedari tadi kau malah sibuk dengan ponsel itu." Perkataan Alice membuat jemari Emely yang sedang berkutat pada keyboard di ponselnya terhenti.
Tanpa izin, Lucy membaca sederet kalimat yang terpampang di layar ponsel gadis itu. "Apa penyebab keanehan yang terjadi pada tubuh manusia?"
Penuturan Lucy membuat sang empu terperanjat dan langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku hoddie yang ia gunakan. "Lucy, kau sangat tidak sopan mengintip ponsel orang lain seperti itu!"
"Kau searching itu untuk apa, Em?" Dengan santai Lucy bertanya tanpa menghiraukan teguran Emely tadi.
"Bukan apa-apa. Itu hanya ... situs yang tidak sengaja kubuka," papar Emely dengan wajah datar.
Lucy sedikit mengembuskan napas lalu berucap, "Aku kira ada sesuatu yang terjadi padamu, sehingga kau mengunjungi situs seperti itu."
"Tentu saja tidak. Kau lihat sendiri, aku tidak kenapa-kenapa, 'kan?" Gadis berambut pirang itu menggerakan tubuhnya pelan agar Lucy percaya bahwa dirinya baik-baik saja.
"Tunggu, tunggu! Itu apa, Em?" Alice meraih kedua tangan Emely dan melihat sesuatu pada pergelangan tangannya. Tanda bergaris yang membentuk sebuah pola aneh terukir di sana, terlihat seperti sebuah tulisan tangan biasa tapi ini sangat berbeda.

"Itu tanda lahirku." Emely hanya bergumam tanpa memperhatikan raut wajah Alice yang terus mengamatinya.
ΦΦΦ
Cahaya matahari mulai menyapa bumi dengan menyongsong semangat untuk mengawali hari. Dengan menerpa beberapa pasang mata melalui silaunya, matahari juga membuat permukaan kulit merasakan kehangatan yang menyehatkan.
Seperti sekarang ini, seluruh mahasiswa baru sedang berkumpul di lapangan dengan sorotan lampu alami dari sang mentari. Mereka sedang diberi penjelasan untuk perjalanan menuju spot camping yang sebentar lagi akan berlangsung.
Beberapa bus juga sudah berjejer rapi menanti para mahasiswa untuk segera pergi. Tak lama kemudian, semua mahasiswa berhamburan menaiki bus yang sudah mereka pilih. Untungnya, setiap bus tidak diisi dari kelas masing-masing. Melainkan bebas memilih dari fakultas mana pun dan duduk dengan siapa pun.
"Em, kau harus duduk bersamaku." Roland yang berdiri tepat di belakang Emely terus berbisik mengatakan hal yang sama.
Emely terkekeh. "Iya, kau tenang saja."
Kini semua mahasiswa sudah memasuki bus dan duduk di tempat masing-masing. Mereka saling berkenalan dan bercakap-cakap dengan mahasiswa dari berbagai fakultas. Semua itu membuat suasana di dalam bus menjadi ramai dan menyenangkan.
"Kenapa Dosen aneh itu masuk ke bus ini?" Ucapan Lucy membuat pandangan Emely terarah pada dua orang yang baru saja memasuki bus dan salah satunya adalah Mr. Ex.
"Pelankan suaramu! Nanti kalau dia dengar bagaimana?" sarkas Emely sedikit berbisik sambil menolehkan wajah tepat pada tempat duduk Lucy yang berada di belakangnya.
"Sepertinya ... dia sudah mendengar ucapanku, Em." Lucy segera menundukkan kepala dalam-dalam, ternyata Mr. Ex sedang menatapnya lekat.
Namun, nyatanya tatapan tersebut tertuju pada Emely, membuat gadis itu takut karena diberi tatapan maut. Ia langsung menyunggingkan senyuman dengan ragu, seolah ingin menunjukkan kalau dirinya tidak sedang dalam keadaan tegang.
ΦΦΦ
Perjalanan menuju Pegunungan Glendalough yang berada di County Wicklow bagian Mid-East atau daerah Irlandia bagian Timur Tengah, sudah berakhir dengan memakan waktu kurang lebih tiga puluh menit. Medan yang liar dan romantis ini begitu penuh dengan hutan, sungai, gua, dan deretan bukit yang hijau. Pegunungan Glendalough memang selalu berhasil mengoyak rasa setiap orang yang melihatnya.
Senyuman Emely mengembang saat dirinya telah sampai di atas perbukitan. Ia merasakan angin sepoi-sepoi menerpa permukaan kulitnya, tatapan takjub pun tak lepas dari mata indah gadis itu. Hingga suara seseorang datang membuat titik fokus Emely buyar.
"Gatalnya belum hilang juga?" tanya Roland yang tak pernah luput dari gerak-gerik sang kekasih. Ia sampai tahu kalau sudah sepuluh menit ini Emely terus menggaruk pada bagian tatonya.
"Iya, tapi ini tidak masalah," ungkap Emely sambil memamerkan senyum palsu. Padahal, sebenarnya ia sedang bertanya-tanya, kenapa gatal pada tatonya datang lagi?
"Lucy dan Alice ke mana?" Carlos datang dengan menenteng dua tas yang cukup besar.
"Mereka di sana, mengambil barang Lucy yang tertinggal di bus." Emely menunjuk dua gadis yang sedang berjalan ke arah bus yang terparkir di jalan tanjakan curam. Karena di sini sangat minim jalanan rata, jadi terpaksa semua bus terpakir dengan posisi seperti itu.
Carlos hanya mengangguk lalu membuka tas besarnya. "Ayo, Roland. Kita bangun tenda sekarang." Mereka berdua beranjak meninggalkan Emely menuju tempat yang sudah ditentukan untuk membangun tenda.
Emely hanya duduk termangu di sebuah batu dengan tangan yang masih menggaruk pangkal lengannya. Ia masih menunggu Lucy dan Alice untuk membangun tenda bersama.
"Lihat itu!" Teriakan salah satu mahasiswa membuat semua pasang mata menoleh ke arahnya dan mengikuti pandangan pria itu.
"Astaga!" Emely terkejut, begitu pula dengan mahasiswa lain setelah melihat bus yang terparkir paling akhir bergerak meluncur ke bawah dengan tidak terkendali.
"Lucy dan Alice di sana!" pekik Emely dengan keras. Semua orang panik dan segera berlari menuju tempat kejadian.
Dari kejauhan, Alice terlihat melompat dari pintu bus, ia terguling-guling di rumput tinggi yang menghiasai setiap sisi jalanan. Melihat itu, Emely segera berlari tanpa peduli teriakan Roland yang mencegahnya.
Langkah Emely yang cepat menciptakan getaran besar yang membuat keadaan semakin kacau. Sehingga Lucy yang sudah bersiap melompat keluar dari pintu bus, kini malah goyah dan kembali terpental ke dalam akibat getaran tersebut.
Semua orang di sana pun berteriak histeris merasakan apa yang terjadi. Ditambah bus itu meluncur semakin jauh tanpa arah dan pada akhirnya menabrak tebing besar yang menjulang penuh bebatuan. Bunyi keras pun terdengar seketika, bus itu terbalik dengan kepulan asap yang merekah.
"Alice, kau tidak apa-apa?" Emely datang dengan napas terengah-engah, lalu gempa itu langsung berhenti seketika. Ternyata Alice masih tergeletak di antara ilalang-ilalang yang panjang. Dengan keadaan yang belum tenang, Emely berusaha membantu Alice untuk bangkit.
"Auwh ...." Alice mendesah seraya memegangi kepala. "Lucy!" jeritnya spontan mengedarkan pandangan dengan gelisah. "Di mana Lucy?" Wajah Alice semakin pucat kala perasaan syok menyerangnya.
Belum juga Emely menjawab, mereka sudah dikejutkan dengan langkah orang-orang yang berlarian. Gadis bermanik abu itu sontak menutup mulut tak percaya, ia baru sadar kalau bus itu sudah terbalik tidak karuan.
"Apa Lucy masih di dalam bus?" tanya Emely memastikan.
Alice bersusah payah menelan saliva karena cemas, jangan sampai pertanyaan Emely benar adanya. "Entahlah ...." Dengan hati-hati, Emely memapah Alice untuk berjalan menuju bus yang sudah dikerumuni orang-orang.
Emely dan Alice dikejutkan dengan beberapa orang yang sedang membopong tubuh Lucy dari dalam bus. Lucy tampak terkulai lemas tak berdaya dengan beberapa luka.
"Lucy! Bangun!" Emely dan Alice langsung memeluk tubuh Lucy tanpa peduli ada darah segar yang keluar dari mulutnya. Roland dan Carlos datang, tapi mereka langsung membuang muka setelah melihat keadaan Lucy yang mengenaskan.
"Dia ... tewas, tadi lehernya terhimpit di bawah kursi. Ditambah, tubuhnya juga pasti terbanting," jelas salah seorang yang membopong Lucy. Itu cukup membuat jantung Emely berhenti untuk sesaat.
Panasnya matahari sudah tak terasa lagi, suasana riang kini tergantikan dengan rasa haru yang menyelimuti. Semua mata mulai membendung cairan yang siap meluncur menghujani bumi. Isak tangis pun mulai terdengar mendominasi awal camping hari ini.
Wajah Emely tertunduk dalam, ia terus mengusap wajah Lucy dengan kucuran air mata yang mampu membersihkan sedikit darah yang bercerakan. Begitu pun Alice, ia tak sanggup menerima kejadian itu. Tangisannya pecah di dalam pelukan Carlos.
Kenapa pertemuan kami begitu singkat.
"Semuanya bubar!" Suara tegas terdengar nyaring dari balik kerumunan. "Lanjutkan kegiatan kalian, biarkan ini menjadi urusan saya," anjur Mr. Ex dengan tangan yang ditautkan ke belakang serta tatapan lurus ke depan.
Semua mahasiswa langsung melangkah lemas menuju atas dan kembali melanjutkan aktivitas. Namun, Emely, Alice, Carlos, dan Roland, mereka tetap setia dengan posisinya.
Mr. Ex mulai melangkah mendekati jasad Lucy, tapi tatapannya malah terkunci pada Emely. Gadis itu segera berdiri dengan tangisan yang seketika berhenti. Membuat Roland yang berada di sampingnya langsung memeluk Emely dengan lembut.
Tanpa basa-basi, Mr. Ex mengangkat tubuh Lucy dan membawanya pergi.
"Sudah, kalian tenang saja. Mr. Ex pasti akan mengurus ini dan memulangkan Lucy pada keluarganya." Carlos berujar memberi ucapan penenang.
ΦΦΦ
See yeo, guys.