webnovel

Biasa saja

Gadis berparas biasa saja itu kini mempunyai kesibukan selain rebahan. Ya begitulah. Bisa dibayangkan sendiri. Dia kini sedang berdiri tegap, dibawah pohon yang ditopang oleh bambu agar tidak roboh. Terlihat fokus dengan deretan kalimat yang tertulis di kertas putih didalam map bergambar batik. Diperhatikan dengan seksama dan diucapkan berulang-ulang agar lanyah.

Namanya Zeline Zakeisha. Biasa temannya memanggil Zeline atau Lin. Tinggal di kamar yang kini digunakan untuk karantina. Alhamdulillah, setelah beberapa kali tes rapid, Zeline dinyatakan negatif covid.

Pada hari ini sekitar pukul sembilan lebih, halaman pesantren masih ramai oleh suara para petugas upacara yang sedang berlatih. Termasuk Zeline sendiri. Dia diberi amanah oleh pelatih menjadi pembaca susunan acara pada upacara Agustusan nanti atau biasa orang menyebutnya sebagai protokol.

Sebenarnya, amanah yang diterima Zeline seperti sebuah kejutan. Ya. Datang tak diundang.

Singkat cerita, pada waktu pendataan anak kamar untuk menjadi petugas upacara, Zeline sendiri tidak mengajukan diri. Dia ingat, sedang sibuk. Satu, mengurus wawancara calon anggota OSIM. Kedua, dia ikut menulis memori abah Kyai. Begitulah pilihan Zeline. Tidak ingin membebani sendiri dengan ikut sana-sani.

Tetapi pada suatu pagi, Zeline dikejutkan dengan adanya grup bertuliskan 'Petugas Upacara 17-an' di aplikasi hijaunya.

"Mba Salma! Aku masa dimasukin ke grup petugas agustusan? Padahal kemarin kan ngga ikut pendataan anak kamar." tuturnya pada mba Salma, mantan petugas agustusan tahun kemarin.

Mba Salma yang sedang fokus pada ponselnya menoleh. "Coba tanya ke orang yang masukin kamu ke grupnya, Lin." perintahnya.

Zeline pun menuruti perintah dari mba Salma. Dia segera menghubungi mba Fania, admin grup. Balasan tak terduga pun didapat Zeline.

{Kamu rekomendasi dari pelatih.}

Terkejut? Jelas.

Ternyata dan ternyata, pelatih upacara agustusan adalah pelatih khataman. Pantas saja jadi rekomendasi, mungkin saja karena pernah mendengar suara Zeline. Dan itu, pas untuk menjadi protokol upacara.

"Ingat ngga, kamu kan pernah latihan nge-MC satu kali? Mungkin karena itu, jadi mas Alwi rekomendasiin kamu jadi petugas upacara." kata mba Salma mengingatkan Zeline pada malam dimana Zeline untuk pertama kalinya berlatih menjadi MC khataman, khusus pemanggil nama.

"Ooo, jadi karena itu. Mungkin juga si ya mba?" gumam Zeline saat kembali mengingat waktu pertama kali dia latihan.

Kembali ke halaman pesantren. Zeline terlihat fokus dengan kata dan apa yang dia ucapkan. Sesekali ketika break untuk latihan sendiri-sendiri, dia terkadang mencuri pandang pada seseorang.

Entahlah, rasanya Zeline sendiri ingin melakukan itu. Apalagi saat orang yang dia curi pandang itu sedang bertugas. Seperti halnya saat ini.

Mata Zeline terfokuskan pada laki-laki yang kini berdiri di depan pelatih yang berpura-pura menjadi pembina upacara. Laporannya tegas, siap melaksanakan tugas.

"Proklamasi..." Dengan suara beratnya, dia mulai menjalankan tugas. Membacakan teks proklamasi layaknya pak Soekarno.

Saat mendengar kata 'proklamasi' terkadang tubuh Zeline menegang. Bayangan masa penjajahan terkadang menghampiri. Sampai bulu kuduknya ikut berdiri, karena saking menghayati.

"Jakarta, 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia. Soekarno-hatta." map bergambar batik itu ditutup. Lalu, kembali diapit oleh tangan kiri seperti biasa.

Senyum Zeline mengembang dibalik masker. Tugas membaca terlaksana tanpa kendala. Patut diacungi jempol.

Terkadang Zeline berpikir, kenapa tidak dia saja yang menjadi pemimpin upacara?

Dari langkahnya, suaranya dan wibawanya pun sudah dipastikan masuk untuk menjadi pemimpin upacara. Namun kembali lagi, semua ini juga keputusan para pelatih. Tidak sembarangan pelatih mengganti orang tanpa adanya kejelasan. Mungkin itu alasannya. Banyak pertimbangan.

"Pembacaan proklamasi telah dilaksanakan. Laporan selesai." ucapnya dengan suara tegas. Pandangan lurus dengan tubuh tegapnya. Terlihat berwibawa.

"Laporan saya terima. Kembali ke tempat!"

Rangkaian upacara akhirnya usai setelah kalimat "Upacara selesai, barisan dibubarkan" dibaca oleh Zeline dengan suara tegas dan intonasi yang pas. Walau masih banyak kekurangan, itu adalah hal yang wajar. Yang terpenting tetap berlatih dan jangan menyerah.

Pelatihan kedua kembali dimulai setelah evaluasi. Kali ini harus lebih fokus dan tidak boleh ada kesalahan. Maklum, sudah H- berapa hari menuju hari H.

"Pembina upacara memasuki lapangan upacara."

Saat pelatih yang berpura-pura menjadi pembina naik ke atas meja, bayangkan saja itu adalah mimbar. Diikuti oleh pembawa teks pancasila dibelakangnya.

"Pembacaan teks Pancasila, oleh pembina upacara, diikuti oleh seluruh peserta upacara."

Saat ini, fokus Zeline sedikit disita oleh si pembawa teks pancasila. Ada rasa kagum yang muncul. Alasannya hanya satu. Sederhana.

Dia, orang yang sangat jarang berbicara. Baik saat latihan bertugas maupun saat evaluasi. Tak banyak yang dilakukannya. Hanya berdiri dibelakang pembina, kemudian memberikan teks pancasila dan teks amanat. Itu saja.

Pertama kali melihatnya, Zeline mengira jika dia seumuran dengannya. Nyatanya tidak. Umur Zeline dan dia, terpaut dua tahun. Hanya saja, mereka satu kelas mengaji. Menjadikan itu sebagai patokan. Padahal tidak selalu begitu kenyataannya.

"Ternyata namanya Aiman. Bukan Rio." tutur Zeline pada dua teman dekatnya saat mengaji sore.

Diana dan Natalia menganguk bersama. Paham dengan apa yang dikatakan oleh Zeline.

Iseng-iseng, Zeline mencari Instagram milik dua laki-laki yang menyita perhatiannya. Setelah menemukannya, Zeline pun mem-follow keduanya. Berharap akan di foll-back. Walau pada realitanya tak seperti ekspetasinya.

"Ya Allah, di foll-back napa ya." ujar Zeline berharap.

Chapitre suivant