webnovel

Kak Setya

Semakin hari, kami semakin akrab dengan para mahasiswa. Bagiku, terutama Kak Setya.

Mereka sering datang ke rumahku untuk menemui dan berkonsultasi dengan bapak. Aku pun kini tak takut lagi untuk menemui mereka. Sudah berani menyuguhkan makanan dan minuman. Bahkan turut nimbrung mengobrol bersama mereka. Maya dan Indah tentu ikut pula.

Mungkin kami sudah ketularan jadi orang kota. Berani akrab dengan orang asing. Atau, apakah karena orang desa hanya berani kepada mereka yang sudah dikenal saja?

Para mahasiswa mengadakan program mengentaskan warga dari kemiskinan. Salah-satunya dengan mengajarkan berbagai ketrampilan memasak makanan untuk dijual.

Kata mereka, makanan olahan apapun, asal menarik dan enak, bisa dijual di kota. Sementara di desaku, jajanan yang dijual oleh ibu-ibu rumah tangga hanyalah cilok.

Daerah kami memang dikenal sebagai penghasil emping dan telur asin. Namun para mahasiswa berpendapat jika warga harus bisa mengembangkan olahan lain. Jangan itu-itu saja. Harus kreatif.

Dan mereka mengadakan pelatihan itu di rumahku saat acara perkumpulan ibu-ibu RW. Itulah yang membuat kami semakin akrab.

Mereka juga melatih senam lansia di halaman sekolah Maya. Aku dan anak-anak lain turut serta memeriahkannya. Meski senam lansia, namun pada kenyataannya justru para ibu muda yang ikut. Termasuk ibu dan tante-tanteku.

Orang desa memang kurang berolahraga. Terlalu banyak bekerja di sawah dan di rumah. Jogging dianggap aneh oleh orang desa. Kurang kerjaan, kata mereka; lari-lari kok dianggap olahraga?! Bersepeda pun bagi kami bukanlah olahraga. Melainkan transportasi utama. Maka jadilah, warga berinisiatif meminta diajari senam.

Warga juga sering mengundang mahasiswa KKN ke berbagai kegiatan desa. Seperti latihan grup rebana.

Desa kami memiliki dua grup rebana dan beberapa kesenian lain. Grup rebana kami memiliki vokalis Kak Nisa, ibu Maya dan seorang lagi; sang ibu ketua.

Kami senang mengundang para mahasiswa datang saat latihan. Selain menambah keakraban, juga ingin menunjukkan kemampuan kami kepada mereka. Sedikit unjuk gigi dari orang desa. Para ibu pun mulai senang bergaul dengan mereka.

Aku sendiri tak ikut grup rebana itu. Tak begitu suka menyanyi dan bermusik. Lebih suka menari. Hanya Kak Nisa saja yang ikut. Si Ima, baru belajar menabuh rebana.

Dan Kak Nisa begitu malu ditonton para mahasiswa begitu. Ia sempat menolak keras untuk ikut latihan. Namun ibu-ibu terus memaksanya. Bahkan ia didandani hingga cantik.

"Siapa tahu jodoh!" goda ibu-ibu merias kakakku di kamarnya.

Kak Nisa hanya merengek kesal dan terus menolak untuk ikut latihan.

Sedangkan ibuku turut memaksanya, "Iya, biar berani! Masa sudah perawan begitu masih pemalu! Putri saja sudah berani bergaul dengan mereka!"

Alhasil, Kak Nisa terdiam mematung sepanjang latihan. Membuka mulut hanya pada saat menyanyi saja. Namun begitu, rupanya ia berhasil memikat para mahasiswa. Ia memang terlihat paling cantik di antara ibu-ibu rebana.

Para mahasiswa pun mulai menanyakan petihal kakakku di lain hari. Termasuk Kak Setya.

Mereka bilang, kakakku cantik. Dan mereka pun menanyakan di mana ia bersekolah, kelas berapa, bahkan sampai; sudah punya pacar atau belum!

Waduh, jangan-jangan Kak Setya menyukai kakakku?! Mungkinkah orang kota terpikat dengan gadis desa yang cantik dan pemalu begitu?

Kuceritakan pertanyaan-pertanyaan dari para mahasiswa itu kepada kakak dan keluargaku. Spontan, ibu bapakku kegirangan.

"Tuh kan, pada nanyain!" sahut bapakku.

"Iya, bener," timpal ibuku, "kamu itu cantik, Nis! Siapa tahu mereka suka kamu!"

Ah, mungkinkah strategi orang desa ini berhasil? Mempersembahkan kembang desa yang masih kelas satu SMA untuk memikat orang kota?

Kak Nisa pun jengkel menghadapi berbagai godaan kami dan masuk ke kamarnya.

Saat latihan berikutnya, ia harus dipaksa lagi agar mau ikut. Dan ia pun kembali didandani secantik mungkin. Kali ini, Ima - si penabuh rebana pemula, juga turut didandani.

"Bintang-bintangnya desa ini!" seloroh salah-satu ibu-ibu saat mendadani mereka di kamar Kak Nisa, "Vokalis kita! Penabuh cantik kita! Harus membanggakan desa dong!"

"Iya," balas ibu Maya, "kita kan ikut senang kalau warga sini dapat suami orang kota! Terpelajar lagi, calon sarjana!"

Aku, Maya dan Indah terus cekikikan menggoda Kak Nisa dan Ima.

"Salah sendiri," imbuh Maya, "diajak main ke tempat kakak-kakak mahasiswa nggak mau! Pemalu banget sih, Mbak Nisa!"

Para ibu pun gemas dengan kelakar Maya dan mencubiti pipinya. "Sudah perawan memang jangan gampang main ke tempat lelaki, Maya!" jawab seorang ibu.

"Siapa yang kamu pilih, Nis?" goda ibu Maya, "Mas Setya atau Mas Fendi?"

"Nggak pilih semuanya!" jawab Kak Nisa ketus.

"Aih, kamu ini, jadi perawan jangan galak-galak!" balas ibu yang lain, "Bikin takut lelaki!"

"Satu-satu aja!" sahut ibu yang lain, "Nisa sama Mas Setya, Ima sama Mas Fendi. Pas!"

"Aku masih kelas satu SMP," jawab Ima polos, "masa mau dijodoh-jodohin?! Kenapa bukan Putri aja tuh?!"

"Aku masih kecil!" balasku tertawa.

"Emang aku enggak? Huhu!" sahut Ima hampir menangis.

"Kalau ganteng sih, emang ganteng Mas Setya," sambung ibu yang lain tak henti-hentinya. Jangan-jangan justru mereka yang naksir para mahasiswa, "Kalau Mas Fendi kelihatan lebih kalem dan suka bekerja. Ototnya lebih kelihatan."

Dan mereka pun mulai berdebat membandingkan kedua mahasiswa itu.

"Tapi bukankah Mas Setya sudah punya pacar?" tanya ibu Maya, "Si Mbak Desi itu?"

"Iya, yang cantik dari Sumatera itu ya?" sahut yang lain, "Kelihatan dekat banget sih emang! Apa benar mereka pacaran?!"

"Nggak tahu juga Bu, tapi kalau dilihat dari aura dan cara mereka saling bicara, kelihatannya punya hubungan spesial!"

"Kita kan juga pernah muda," imbuh yang lain, "masa nggak paham?! Haha."

Ah! Benarkah Kak Setya berpacaran dengan Kak Desi?

"Tapi memang cocok sih mereka berdua!" timpal seorang ibu, "Makanya kamu jangan kalah, Nis! Harus lebih cantik dari Mbak Desi! Malam ini kalian harus tampil dengan baik! Tunjukkan pesona kalian!"

"Dan jangan diam saja!" sambung yang lain, "Sesekali ikut ngobrol!"

Kak Nisa lagi-lagi hanya melengos. Sedangkan Ima kelihatan pasrah seperti perawan desa yang mau dikawinkan.

Mungkinkah Kak Setya benar-benar pacaran dengan Kak Desi? Dan ibu-ibu rebana berusaha memikat hatinya untuk Kak Nisa! Lalu bagaimana denganku?!

Tak adakah kesempatan bagiku untuk memikat Kak Setya? Aku yang pertama kali melihatnya! Bukan Kak Nisa maupun Ima!

Sepanjang latihan malam itupun, Kak Setya tampak terpana kepada Kak Nisa. Ia terus menyutingnya dengan kamera handycam. Para mahasiswa yang lain juga tak kalah terpesonanya.

Mereka berusaha mengajak mengobrol dengan Kak Nisa di sela-sela latihan. Namun kakakku hanya menjawab singkat setiap pertanyaan mereka.

Ima sudah cukup sering bergaul dengan mereka. Jadi tak begitu canggung. Namun rupanya perhatian para mahasiswa tetap tertuju pada kakakku.

Lalu aku? Bagaimana denganku? Aku tak secantik Kak Nisa! Tubuhku pun tak seseksi tubuhnya. Dada dan pinggul kakakku itu sedang tumbuh dengan indahnya. Payudara orang desa memang kebanyakan besar dan segar. Mungkin karena makanannya masih alami dan jauh dari polusi.

Aku juga tak pintar menyanyi. Bukan vokalis. Dan tak ada bakat untuk menjadi bintang atau kembang desa!

Dianggap apa aku oleh Kak Setya? Pernahkah ia sekali saja melirikku? Melihatku sebagai seorang wanita?

Atau hanya dianggapnya aku seperti anak-anak saja? Seperti layaknya Maya dan Indah? Ah, kenapa hatiku begitu gundah?

Apalagi sekarang Kak Setya dan para mahasiswa selalu menanyakan kakakku!

"Ajaklah kakakmu main kemari, Put!" pinta mereka seringkali.

"Nggak mau dia, Kak!" jawabku, "Malu katanya!"

"Dirayu dong!"

"Susah merayu perawan desa, Kak! Kalau tak percaya, coba aja sendiri! Hehe!"

Ah, sudahlah! Kembang dan bintang desa seperti kakakku mungkin memang layak menjadi idola mereka.

Jadi benar, orang kota suka pada gadis desa yang pemalu dan tertutup. Bukan perempuan yang cerewet dan masih kekanak-kanakan seperti diriku!

Atau, apakah mungkin karena aku masih kelas satu SMP? Barangkali jika sudah SMA nanti aku juga bisa menjadi idola? Namun pada saat itu tiba, apakah aku juga bakal jadi pemalu dan pendiam seperti Kak Nisa? Bisa jadi! Orang desa memang pelik. Kadang cerewet, kadang pemalu, dan kadang agresif!

Sudahlah, kurelakan perasaanku pada Kak Setya pupus! Punah sebelum berkembang. Biarlah ia menyukai kakakku! Atau, mungkin memang ia sudah berpacaran dengan Kak Desi? Aku tak peduli lagi!

Bisa memandang dan berbincang dengannya saja sudah cukup. Tak mungkin aku bisa menggapainya! Sang Arjuna itu!

Aku tak bisa berharap banyak. Aku hanyalah seorang gadis desa tanpa potensi. Masih kekanak-kanakan pula! Dadaku pun masih kecil! Mana mungkin ada orang kota yang menyukaiku?!

****

Hingga pada suatu sore di hari Minggu, Kak Setya datang ke rumahku.

"Bapak ada, Put?" tanyanya setelah kusambut.

"Oh, bapak dan semua sedang pergi ke (kabupaten sebelah), Kak. Ada perlu apa?"

"Ini, aku mau minta data kemarin. Pulang jam berapa nanti?"

"Belum tahu Kak, mungkin malam! Agak jauh, kan?"

"Oh, semua ikut? Kamu sendirian di rumah?"

"Hehe, iya Kak. Tuh Maya dan Indah juga ikut. Aku di rumah aja karena besok ada ulangan."

"Oh, begitu, ya sudah. Nanti malam atau besok saja aku kembali!"

Tiba-tiba saja hujan turun dengan deras.

"Waduh, hujan!" keluh Kak Setya, "Di sini memang begini, ya? Sering hujan tiba-tiba!"

"Hehe, iya Kak. Tunggu aja dulu di sini sampai reda. Sambil nemenin Putri. Hehe."

"Iya deh!"

"Asyik! Ayo masuk, Kak! Aku buatin minum!"

Ia pun masuk ke dalam rumah mengikutiku. Wah, ini rejeki!

"Emang ada acara apa, kok semuanya ikut?" tanyanya sambil berjalan masuk.

"Syukuran, Kak! Pamanku ada yang menang pemilihan lurah!"

"Wah, hebat! Selamat, ya!"

"Makasih Kak! Silakan duduk, aku buatin minum dulu! Kok sendirian aja, Kak? Mana yang lain?"

"Oke, makasih. Pada bagi-bagi tugas ke RW yang lain, ngambil data juga."

Dengan desa seluas ini; memiliki enam RW, tentu para mahasiswa berbagi tugas. Dan untunglah Kak Setya mendapatkan tugas di sini. Kesempatan!

Aku memang belum pernah berduaan saja dengannya. Biasanya selalu ramai bersama para mahasiswa atau anak-anak. Ini kesempatan langka! Apalagi seluruh keluargaku sedang pergi! Anugerah! Anugerah, Put!

"Maaf ya Kak, akhir-akhir ini aku jarang main ke pondokan," kataku menyuguhkan teh hangat dan beberapa camilan, "lagi banyak ulangan. Mau ada pertandingan juga!"

"Nggak papa, wah, pertandingan apa?"

"Marching band dan basket, Kak!"

"Wow, kamu ikut drum band dan basket? Keren! Main apa di drum band?"

"Anu, itu, jadi mayoret, Kak!" jawabku malu.

"Wah, keren! Keren! Nggak nyangka! Kamu cantik sih! Tinggi juga! Cocok jadi mayoret!"

"Ahh, Kak Setya bisa aja! Aku jadi malu!"

"Bener kok! Sini, duduk dong, masa berdiri terus?!"

Dan seperti terhipnotis, aku pun duduk di sofa agak jauh darinya. Malu!

"Kapan lombanya? Semangat, ya! Boleh nonton, nggak?"

"Masih satu bulan lagi sih Kak. Tapi mulai serius persiapan!"

"Keren kamu, Put!"

Pujiannya membuatku melambung tinggi. Aku bisa pingsan kalau begini terus.

"Selain basket dan drum band, kamu ikut kegiatan apalagi?"

"Voli, Kak. Baris-berbaris, sama menari juga!" jawabku penuh rasa malu.

"Wow, hebat! Ternyata kamu aktif banget, Put! Harus dipertahankan tuh, keren!"

"Ah, Kak Setya, aku jadi malu nih!"

"Kenapa malu? Harus dipertahankan! Kalau bisa ditingkatkan! Aku pengin lihat kamu menari dan jadi mayoret!"

"Haha, malu Kak! Jangan lihat!"

"Ahh, aku harus lihat! Di mana besok lombanya?"

"Di kecamatan sih, Kak! Dekat sekolah juga!"

"Besok kasih tahu, lho! Kita harus lihat!"

"Iya, Kak! Ayo, silakan diminum, Kak! Maaf, cuma ada camilan itu!"

Ia pun meminum teh buatanku. "Manis nggak, Kak?" tanyaku konyol. Aku bingung harus mengobrol apa dengan lelaki ini. Grogi!

"Manis, kayak yang bikin!" jawabnya tersenyum sambil mengambil rempeyek.

"Ah, Kak Setya pinter bohong!" jawabku tersipu. Mungkin wajahku sudah memerah semua. Dadaku pun berdegub kencang.

"Nggak bohong kok!" sahutnya memakan rempeyek, "Kamu memang manis! Pantas dipilih jadi mayoret! Ini rempeyek kamu juga yang bikin?"

"Manis apaan, Kak?! Asem, iya! Hehe. Itu ibuku yang goreng!"

"Bener manis, kok! Enak nih rempeyeknya!"

Perasaanku semakin melambung tinggi. Sekaligus risih! Masa iya aku manis?! Ada-ada saja Kak Setya ini!

"Sama Kak Nisa, manis mana?" tanyaku sedikit menyindirnya, "Manis dia, kan? Kak Setya suka sama kakakku, ya?!"

"Iya sih, dia cantik! Tapi pemalu banget! Lain sama kamu!"

"Dia emang pemalu, tapi baik kok Kak. Pintar menyanyi lagi! Aku kirimin salam buat dia, ya? Hehe!"

"Eh, jangan!"

"Kenapa? Kan Kak Setya suka sama dia?"

"Ah, enggak!"

"Masa? Kok nanyain dia terus?"

"Ah, bisa aja kamu! Besok ulangan apa? Sini, aku ajarin!"

"Matematika, Kak! Mau Kak Setya ajarin aku?!"

"Mau dong! Biasanya kan, aku ajarin!"

"Yess, asyik! Aku ambil buku dulu ya, Kak!"

Kuambil buku di kamar dan segera kembali ke ruang tamu. Aku duduk lesehan di depan meja. Sementara Kak Setya mengajariku sambil duduk di sofa.

Ini benar-benar kesempatan emas! Perasaanku sungguh bahagia. Tak pernah aku sedekat ini dengannya. Cuma berdua pula! Apalagi yang bisa terjadi? Ini hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku! Bersyukurlah, Put! Semoga hujan tak cepat berhenti!

Dan benar, hujan semakin deras! Suaraku sesekali tak terdengar olehnya. Maklum, suara gadis desa memang agak lirih.

"Apa?!" tanya Kak Setya tak mendengarku, "Sini, duduk sini aja deh, aku nggak dengar!"

Kesempatan! Aku pun beranjak duduk di sampingnya. Kursi yang kami duduki hanyalah sebuah sofa lama yang agak lapuk di beberapa bagian. Orang desa mana bisa beli sofa mahal? Dan sofa setengah bobrok ini pun serasa menjadi kursi pelaminan!

Ah, mimpi apa semalam kau, Put?! Duduk di samping pangeran ini! Seperti raja dan ratu saja!

Kak Setya pun mengajariku dengan telaten. Ia memang pintar menjelaskan. Aku jadi mengerti rumus-rumus sulit.

Ah, betapa sempurna lelaki ini. Ganteng, pintar, gagah dan baik hati. Apalagi yang kurang? Bersyukurlah, Put! Ini hari terindah sepanjang hidupmu!

Perasaan gugup sekaligus bahagia menerbangkanku entah sampai ke mana! Mungkin sudah dibawanya hatiku ke puncak bukit. Ke negeri di atas awan.

Oh, Kak Setya! Kuingin selamanya begini. Jangan biarkan ini cepat berlalu! Tolong!

Namun sekali lagi, aku tak tahu isi hatinya! Siapa sebenarnya yang ia sukai? Apakah Kak Nisa, atau Kak Desi? Atau mungkinkah ada perempuan lain di kota?

Ah, cinta memang sulit dipahami.

Pelajaran sudah selesai dan hujan masih turun. Entah sungai yang membelah desaku bakal meluap atau tidak! Yang jelas, hatiku sedang meluap-luap. Dan jika terjadi banjir, aku tak peduli lagi asalkan bersama Kak Setya.

Ah, apa yang kau pikirkan, Put! Ingat, kau ini gadis desa! Masih kecil pula! Hentikan imajinasi konyolmu untuk menyatu dengan Kak Setya. Dia jauh di atasmu. Baik secara kualitas, keterpelajaran, dan umur! Ingat itu!

Dan sekarang, hanya berdua begini, apa yang harus kulakukan? Dadaku berdegub tak karuan!

****

(Bersambung)

Chapitre suivant