webnovel

Broken White

Kirana Agniya menghadapi masalah klasik bagi perempuan yang berusia hampir 30 tahun. Dia diharapkan segera menikah, tapi trauma di masa lalu membuatnya enggan berkomitmen. Kirana dijodohkan dengan Birendra Wijaya, lelaki yang dua tahun sebelumnya menolak perjodohan mereka. Kini, pria itu mendadak ingin menikah dengan Kirana. "Kenapa Mas tiba-tiba berubah pikiran?" tanya Kirana. "Memangnya, kenapa tidak bisa?" pria itu justru balik bertanya. Kirana tak berniat menolak perjodohan ulang. Namun, dia harus tahu mengapa calon suaminya bisa berubah pikiran. Mungkinkah dia hanya pelarian? *** "Kenapa Bos memilih dia?" "Karena dia sepertinya juga tidak mungkin jatuh cinta kepada saya," tutur Rendra. "Jadi, tidak akan ada pihak yang terluka saat ikatan itu berakhir."

Sekarani · Urbain
Pas assez d’évaluations
282 Chs

Harga Diri Sebatas Kopi

Ini adalah hari pertama Kirana kembali bekerja setelah cuti sepekan. Menurutnya, hal pertama yang harus segera dia lakukan adalah mencari tahu tentang gosip apa saja yang dia lewatkan selama dia tidak ke kantor. Gosip memang selalu lebih menarik dan seru ketimbang apapun, kan?

Sayangnya, baru juga masuk kantor, Kirana keburu dipanggil bosnya duluan. Harapannya untuk bergosip ria jelas langsung hilang, dia pasti bakal diajak bicara soal kerjaan.

"Saya sudah kirimkan daftar orang-orang yang berpotensi kita wawancarai ke email kamu. Kalau bisa, minggu ini langsung mulai eksekusi, ya. Bisa, kan?" tanya Pak Bayu, sang pemimpin redaksi.

"Saya sudah kabur seminggu, ternyata masih dapat tugas ini juga. Saya pikir Pak Bayu bakal pilih orang lain karena proyek ini katanya lebih cepat lebih baik."

Pak Bayu tersenyum mendengar keluhan Kirana. "Wawancara khusus kayak begini, saya paling percaya sama kamu. Hahaha…."

Kirana pada akhirnya ikut tersenyum sambil mengecek email via ponselnya. Masih sambil duduk manis di kursi lobi kantor bareng Pak Bayu, dia mulai membaca nama-nama calon narasumber yang barusan dikirim bosnya.

Sebuah nama yang begitu familiar langsung menarik perhatiannya. "Wah, nama nomer 12 ini kayaknya kalau saya minta waktunya besok, hampir pasti bakal mau, deh."

Kirana memperlihatkan layar ponselnya kepada Pak Bayu, menunjukkan nama orang yang dia maksud.

"Kok, bisa? Kamu kenal dia?" Pak Bayu kelihatan agak terkejut begitu mengetahui nama yang ditunjuk Kirana.

"Katanya sejak dua tahun lalu dia jadi GM di Mandala Mall, belum ada satupun media di Jogja yang bisa wawancara eksklusif sama dia. Katanya, dia nggak suka diekspos. Jadi paling mentok cuma pada bikin profil manajer marketing."

"Kantor kita baru buka cabang setahunan ini di Jogja. Tadinya saya pikir dia bakal menolak karena kita terbilang pendatang baru, makanya nama dia nggak saya taruh di daftar prioritas. Terus sekarang tiba-tiba kamu seolah bilang kalau dia bisa jadi orang pertama yang kita wawancarai. Wah, nggak salah saya pilih kamu. Hahaha…."

Kirana dengan entengnya menjawab, "Kebetulan kami kenal sejak kecil, Pak. Abis ini langsung saya chat dia, deh. Siapa tahu besok dia beneran ada waktu luang."

"Mantep, Na! Segampang itu?" Pak Bayu keliatan sumringah. "Mau saya beliin kopi?"

Mendengar tawaran bosnya, tentu saja Kirana senang. Kesempatan emas kayak begini harus dimanfaatkan secara optimal.

"Boleh minta dibeliin lima gelas, Pak? Biar bisa buat temen rapat tim saya nanti. Sama camilan apa gitu juga boleh banget, Pak. Hehehe…."

Tak lama kemudian, Kirana bisa pamit meninggalkan Pak Bayu yang masih ingin duduk-duduk di lobi. Dia tersenyum bahagia karena membayangkan bakal dapat kopi gratis hari ini. Namun, begitu sampai di mejanya, dia tersadar akan sesuatu.

Bukankah hubungannya dengan GM Mandala Mall, Birendra Wijaya, sedang dia anggap tidak baik-baik saja sejak acara makan siang kemarin?

'Duh, malas banget chat dia duluan!'

***

"Bos ngajakin makan malam tapi ditolak? Wah, keren juga dia," seorang pria berkacamata menanggapi cerita Rendra dengan antusias.

"Mood dia tiba-tiba jelek. Saya salah ngomong kayaknya, Bob. Ribet banget, ya. Udah lama nggak pacaran, makin nggak paham sama pola pikir perempuan."

Rendra sedang berkeliling mall ditemani sekretaris andalannya, Bobby. Dia baru saja memulai cerita tentang seseorang yang kemarin menolak ajakan makan malam darinya. Siapa lagi kalau bukan Kirana?

"Memang Bos bilang apa sama dia? Eh, maaf, namanya siapa kalau boleh tahu, Bos?"

"Kirana. Namanya Kirana," jawab Rendra. "Saya bilang, kata ibu saya, dia yang terbaik. Memang salah, ya? Dia kayak nggak terima gitu."

Bobby manggut-manggut lalu menghela napas. Dia seakan langsung tahu apa yang membuat Kirana kecewa, padahal aslinya cuma sok tahu. "Menurut Bos sendiri, dia yang terbaik, bukan?"

"Nggak tahu, Bob. Setahu saya dia orangnya baik, tapi…."

Rendra terdiam. Dia juga tiba-tiba menghentikan langkahnya. Bukan gara-gara bingung mau memberikan jawaban apa untuk pertanyaan Bobby, melainkan karena melihat seorang wanita paruh baya yang tampak kebingungan.

Rendra segera mendekati wanita tersebut. Melihat kelakuan bosnya, Bobby langsung memberi isyarat kepada petugas keamanan kebetulan sedang patroli tak jauh dari mereka. Tahu apa yang akan dilakukan si bos, Bobby meminta petugas itu menyusul Rendra bersama dirinya.

Benar saja, ternyata wanita itu bingung mencari letak sebuah toko kue. Rendra pun mengatakan dengan ramah menjelaskan lokasinya. Namun begitu melihat petugas keamanan datang bersama Bobby, dia sekalian saja meminta agar si ibu diantarkan sekalian.

"Tolong bilang ke staf untuk lebih peka sama gerak-gerik pengunjung. Mall kita ini gede banget, lho. Kasian, kan, kalau tadi si ibu nyasar kelamaan? Nanti dia juga bisa jadi kapok ke sini."

"Siap, Bos. Nanti saya sampaikan ke semua staf," jawab Bobby.

Mereka kembali berjalan mengelilingi mall. Rutinitas Rendra memang seperti ini setiap hari. Bagi Bobby, rasanya lebih mirip olahraga pagi yang melelahkan, tapi dia tentu saja tak punya pilihan selain selalu menemani.

"Bos memang peka dengan kebutuhan pelanggan. Coba lebih peka juga dengan sikap Mbak Kirana. Omongan bos kemarin memang wajar bikin dia jadi bete, sih," kata Bobby yang jelas-jelas masih ingin mendengarkan cerita tentang perempuan yang berhasil menarik perhatian bosnya.

Namun, komentar Bobby malah bikin Rendra bingung. Bagian mana yang bikin dia dianggap tidak peka?

"Jadi penasaran kayak gimana orangnya. Setelah sekian lama, ini pertama kali Bos cerita soal perempuan. Terharu saya dengernya, nih."

Rendra memang bisa dibilang tidak punya teman yang cukup dekat untuk mendengar cerita semacam itu. Selama ini, teman mengobrolnya hanya Bobby. Sekretarisnya itu tahu banyak hal tentang kehidupan Rendra, termasuk kenapa pria 32 tahun tersebut tidak pernah membahas soal perempuan selama beberapa tahun terakhir.

"Jadwal saya hari ini apa saja selain rapat nanti siang? Setelah itu, pasti bakal banyak dokumen yang perlu diperiksa, kan?" Enggan meneruskan ceritanya, Rendra mengalihkan topik.

Bobby sebenarnya kecewa karena sadar bosnya tidak mau melanjutkan curhatannya. Dia terlanjur penasaran. Meski begitu, tentu saja dia tahu bahwa dirinya harus kembali bersikap profesional.

Jadwal Rendra hari ini tidak begitu padat dan Bobby sudah mengingat semua detailnya. Tanpa harus membuka tablet yang selalu dia bawa saat bersama bosnya, Bobby langsung memberikan jawaban secara terperinci.

"Nanti jam setengah 4 sore, ada Media Gathering sekalian jumpa pers untuk acara Wedding Fair. Bos berkenan hadir sebentar atau cukup diserahkan sepenuhnya ke tim public relation & marketing kayak biasanya aja?"

***

"Ngapain juga kamu bilang kayak gitu? Dia itu maksudnya mau memuji, tapi kamunya aja yang terlalu sensitif. Parah kamu, Na. Kayak begini, nih, efeknya kelamaan nggak pacaran."

Saat jam makan siang, Kirana menelepon Firda untuk meminta saran, tapi malah berakhir kena omelan. Firda bilang, Kirana sudah keterlaluan karena membuat sedikit kekacauan pada kencan pertama.

Kencan pertama? Tentu saja itu hanyalah klaim Firda. Kirana sendiri tidak mau menyebutnya begitu. Dia hanya makan siang bersama dengan Rendra. Itu saja.

Begitulah Kirana. Sebagai lifestyle editor yang hampir setiap hari menulis dan mengedit berbagai artikel dan tips tentang hubungan asmara, dia memang terlihat sangat ahli dalam percintaan. Nyatanya, kehidupan cinta Kirana sendiri tidak berjalan mulus.

"Terus gimana, dong? Dia terkenal nggak mau ngeladeni wawancara eksklusif dari media apapun. Ini kalau aku minta reporter buat hubungin dia atau bawahannya, pasti ditolak juga, deh," ujar Kirana.

"Gengsi banget kalau sekarang chat dia buat minta tolong soal kerjaan. Cuma tadi udah terlanjur pamer sama pemred. Serius, bingung banget aku sekarang," keluh Kirana kemudian.

"Gengsi aja terus, Na. Nanti juga tugasnya bisa kelar sendiri, kok."

"Terima kasih atas nyinyiran Anda, ya. Sungguh solutif dan mencerahkan."

Terdengar suara Firda yang tertawa puas di seberang sana. "Ya, terus? Nggak ada solusi lain, Na. Kamu cuma harus chat dia duluan, minta maaf, terus minta tolong soal kerjaanmu itu. Sesimpel itu."

Saat ingin kembali membalas omongan Firda, Kirana mendengar seseorang memanggil namanya. Ternyata itu adalah Pak Bayu.

Si bos tidak menghampiri Kirana yang melipir ke parkiran dan terlihat sedang menelepon seseorang. Pak Bayu hanya lanjut bertanya dengan suara yang cukup lantang karena jarak mereka memang lumayan berjauhan.

"Saya mau order kopi, nih! Tim kamu jadinya mau kopi rasa apa?" teriak si bos.

Tak seperti sebelumnya, kali ini Kirana malah galau setelah mendengar Pak Bayu benar-benar akan membelikan kopi.

"Tuh, denger bosmu bilang apa, Na! Mau kopi gratisnya jadi nggak berkah?" celetuk Firda membuat suasana hati Kirana semakin kacau.

Kirana langsung memutuskan sambungan telepon dan berjalan cepat mendekati Pak Bayu. Sebaik apapun bosnya, dia tahu bahwa tidak semestinya menjawab pertanyaan Pak Bayu dengan berteriak juga.

'Jadi, harga dirimu cuma sebatas lima gelas kopi, Na? Murah!'

Kirana mengatai dirinya sendiri dalam hati sebelum akhirnya tersenyum kepada Pak Bayu dan berkata, "Minta empat caffe latte sama satu americano, Pak. Dingin semua, ya. Makasih, Pak Bayu. Hehehe…."

Lain kali, Kirana harus lebih berhati-hati saat berbicara dengan siapapun. Sebab, dia sempat lupa bahwa saat bekerja, siapapun bisa menjadi narasumbernya, bahkan tak terkecuali Rendra.