webnovel

Prolog (Part 1)

The Hero not The Hero

Seorang anak laki-laki berjalan di dalam kegelapan. Sambil membawa obor di tangan kanannya dan selembar peta usang di lengan kirinya, bocah berambut hitam itu berjalan menyusuri lorong gelap yang kelihatannya adalah sebuah goa.

"Orang-orang kampung itu bilang kalau di sini adalah tempat terbaik untuk menambang bijih besi merah. Tapi sampai sekarang, aku tak melihat satupun yang bisa disebut sebagai bijih besi merah itu. Apa orang-orang kampung itu berbohong padaku ya?" keluh sang bocah laki-laki.

Meski begitu, anak laki-laki berpakaian serba putih itu tetap berjalan dan mencari bijih besi merah yang ia inginkan. Tak berapa lama kemudian, ia melihat kalau remang-remang ada cahaya lain jauh di depannya.

"Sepertinya ada orang lain yang juga mencari bijih besi merah. Sebaiknya aku tidak mengganggu mereka. Aku akan menjaga jarak" gumam sang bocah.

Sambil memperlambat langkah kakinya, anak laki-laki itu memasukan peta di tangan kirinya ke dalam tas selempangnya. Kemudian sebagai gantinya ia mengeluarkan sebuah kantong air dan mulai meminum beberapa teguk isinya. Setelah itu ia masukan lagi kantong air tersebut ke dalam tas selempangnya.

"Aaarrrgghhh!! Monster!! Kenapa bisa ada monster di sini!!!"

Terdengar jeritan laki-laki dari arah depannya secara tiba-tiba.

"Kenapa kalian malah ketakutan!? Kalian adalah pengawalku! Cepat habisi monster-monster itu!!"

Lalu disusul dengan suara perempuan dan kemudian benturan benda logam ke suatu benda keras berkali-kali. Suasana lorong pun jadi ribut dipenuhi suara teriakan orang-orang dan suara benturan-benturan benda logam yang saling bergaung satu sama lain akibat efek lorong sempit.

"Kuharap mereka tidak kenapa-napa dan berhasil mengalahkan semua monster yang mereka lawan. Kalau sampai tidak, dan ada monster yang berlari ke sini, bisa-bisa aku dalam bahaya" gumam anak laki-laki yang bermata bening mengkilap seperti kaca itu dalam hatinya.

Namun baru saja mengatakannya, tiba-tiba ada seekor tikus besar berlari tepat ke arahnya. Ukuran besarnya tikus itu bukanlah sekedar besar biasa. Melainkan tikus itu memiliki tubuh sebesar seekor kambing dan juga memiliki gigi yang tajam. Di tambah dengan cakarnya yang terlihat panjang dan runcing, semakin menambah kengerian dari tikus besar itu.

"Sial sekali aku, baru juga tadi ngomong!" gerutu sang bocah langsung menodongkan obornya ke arah si tikus besar.

Tetapi tanpa ragu sama sekali, tikus besar itu melompat ke arah sang bocah.

"Dia tidak takut api!? Monster ini tidak biasa!" ucap sang bocah terkejut.

Sebuah buku putih muncul di depan sang bocah. Buku itu melayang di udara dan tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Terbuka hingga lembaran ke 3.

"Tunjukanlah aku ke jalan yang ENGKAU kehendaki atas diriku. "Guiding Light""

Lalu seketika mata sang bocah yang tadinya berwarna bening itu kini mengeluarkan cahaya putih. Bersamaan dengan itu, mulutnya tersenyum. Kemudian obor yang ditodongkan ke arah tikus itu kini di angkat tinggi ke atas. Dan ketika tikus itu hampir sampai untuk mengunyah wajahnya, sang bocah memukulkan obor itu dengan keras kepala si tikus. Saking kerasnya sampai ujung obor yang berapi itu hancur dan membakar kepala berbulu si tikus. Tikus itu terjatuh ke tanah dan berlarian tak terkendali karena kepanasan.

"Ini kesempatanku" ujar sang bocah yang lantas berlari maju meninggalkan si tikus yang sedang terbakar secepat yang ia bisa.

Ia berlari menuju ke arah datangnya suara ribut benturan logam. Dan tak lama kemudian, ia pun sampai di sebuah ruangan yang luas. Atapnya pun tampak lebih tinggi daripada lorong sebelumnya. Lalu di tengah ruangan tersebut ia bisa melihat beberapa orang terlihat sedang bertarung dengan seekor tikus yang ukurannya sebesar seekor sapi dewasa. Tapi anehnya tikus itu tidak seperti tikus yang lain, karena tikus ini berdiri dengan dua kaki dan memakai armor logam. Selain itu kedua kaki depannya berfungsi sebagai tangan yang masing-masing memegang sebuah tameng dan sebuah pedang besar yang biasa disebut Greatsword.

"Apa lagi sekarang?" gerutu sang bocah ketika melihat tikus tak biasa itu.

Bagi anak laki-laki itu, saat ini keadaan sekitar terlihat terang benderang seakan siang hari akibat penggunaan "Guiding Light". Efek ini akan terus aktif hingga ia sendiri yang memutuskan untuk menon-aktifkannya. Sehingga ia dapat melihat semuanya dengan jelas.

"Sebaiknya aku tak ikut campur. Soalnya diriku yang tak memiliki kemampuan bertarung ini hanya akan dijadikan umpan atau perisai daging jika sampai terlibat" pikir sang bocah yang lalu mencoba bergerak merapat ke dinding.

Ia tidak menghiraukan pertarungan yang ada di belakangnya. Ia malah memfokuskan dirinya untuk mencari bijih besi merah yang memang menjadi tujuannya ada di sini.

Ketika sedang mencari, tiba-tiba dari belakang terdengar suara teriakan.

"Awas!"

"Kyyaaaaaa!! Tolong aku!!"

Mendengar itu, sang bocah yang tadi terus tak menghiraukan semua yang terjadi di belakangnya pun akhirnya menoleh ke belakang. Dan ia pun akhirnya melihat kalau keadaannya saat ini sedang mencekam. Beberapa prajurit yang menjadi pengawal seorang perempuan berjubah penyihir kini sudah bergelimpangan dengan bagian tubuh mereka terpisah-pisah. Yang tersisa hanya seorang perempuan yang nampak sudah terdesak dan terus mencoba menembakkan bola api dari magic wand miliknya namun sayangnya terus-terusan ditahan oleh tameng sang tikus raksasa.

"Aku harus bagaimana? Kalau aku ke sana, kemungkinan aku hanya akan setor nyawa. Dan itu pun belum tentu bisa menyelamatkannya. Jika aku kabur dari sini sih, aku mungkin bisa selamat, tapi itu tidak akan berakhir baik untuk moral dan penilaian logikaku setelahnya. Jadi, bagaimana sebaiknya aku harus bertindak?" pikir sang bocah sambil merogoh tas selempangnya.

Tapi secara tiba-tiba, seorang laki-laki berambut pirang keemasan melompat dari samping dan melesat dengan kecepatan tinggi ke arah sang tikus.

"[Lightblade]!!!" pekiknya sambil menebaskan pedangnya.

Kemudian dari tebasan pedang itu, melesat cahaya berbentuk sabit dan membelah tikus itu menjadi dua bagian beserta armor yang dikenakannya tanpa terkecuali. Tubuh tikus yang telah terpisah bagian depan dan belakangnya itu pun jatuh tergeletak di genangan kolam darahnya sendiri.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya laki-laki berambut pirang itu dengan nada ramah.

"Ya, terima kasih telah menolongku, pangeran Aruthor" jawab perempuan yang ditolongnya.

"Tak perlu menggunakan pangeran, cukup Aruthor saja" pinta laki-laki berambut pirang itu.

Melihat semuanya telah selesai, sang bocah bernapas lega.

"Ah~ syukurlah aku tak perlu turun tangan. Terima kasih penolong misterius. Aku akan kembali melanjutkan pekerjaanku" ujar bocah tersebut dalam benaknya sambil mengeluarkan tangannya lagi dari tas selempangnya.

Lalu bocah itu kembali melanjutkan pekerjaannya mencari bijih besi merah. Sementara itu terlihat beberapa orang lain datang. Mereka berlarian menghampiri Aruthor dan perempuan yang ditolongnya. Wajah-wajah mereka tampak menunjukkan kekhawatiran.

"Kamu terlalu cepat Aruthor! Bisakah kamu lebih menyeimbangkan dengan kecepatan kami?" gerutu seorang laki-laki berambut cokelat berbadan penuh otot yang nampak membawa sebuah perisai besar dan sebuah pentungan sambil terlihat terengah-engah kelelahan.

"Jika aku menyeimbangkan dengan kecepatan kalian, aku akan terlambat menyelamatkan Fellin, Cardion" sahut Aruthor.

"Yang dikatakan oleh tuan Aruthor itu benar. Jika beliau menyeimbangkan kecepatan dengan dirimu yang lambat itu, maka Fellin akan celaka. Sadarilah posisimu, Cardion!" bentak perempuan berambut biru dengan topi kerucut dan membawa sebuah magic rod.

"Kamu diam saja, Ring!" bentak balik Cardion.

"…" seorang gadis yang berambut hijau dan membawa busur beserta panah di punggungnya tampak diam saja dan melihat ke sudut ruangan.

"Ada apa, Midari? Apa kamu mendeteksi musuh yang bersembunyi?" tanya Aruthor menyadari keanehan pada gadis berambut hijau itu.

Midari menggelengkan kepalanya.

"Aku tak tahu dia musuh atau bukan. Tapi ada anak kecil di sana" jawab Midari sambil menunjuk ke arah yang dimaksud.

Sementara itu sang bocah terlihat sedang fokus mencari bijih besi merah.

"Aku merasa kalau itu ada di sekitar sini. Tapi bagaimana caranya aku membedakannya dengan batuan atau tanah keras biasa? Seandainya saja aku tahu ciri khususnya atau keunikannya" gerutu bocah itu tanpa tahu Aruthor dan kawan-kawannya mendekat dari belakang.

Bocah itu pun kemudian mengambil sebuah batu merah. Batu yang lebih mirip bongkahan tanah merah yang mengeras itu pun ditatapnya sambil memiringkan kepalanya penuh kebingungan. Tapi tiba-tiba saja sebuah tangan menyentuh pundaknya, yang tentu saja membuatnya terperanjat kaget dan buru-buru berbalik. Hingga saking buru-burunya, sampai-sampai punggungnya menghantam dinding dengan cukup keras.

"Aduh! Sakiiitt" rintih bocah itu setelah terbentur.

"Ma—maaf aku membuatmu terkejut. Aku tak menyangka kamu akan seterkejut itu" ujar Aruthor, orang yang menyentuh pundaknya.

"Ah, ti—tidak apa-apa" sahut sang bocah.

"Kamu sedang apa di sini sendirian?" tanya Aruthor.

"A—aku…" sahut bocah itu yang terbata-bata.

"Dia terlihat mencurigakan. Dia berkeringat banyak sekali. Jangan bilang dia memanfaatkan Fellin untuk bersembunyi dari monster" tukas Cardion.

"Hah? A—aku tidak—" sanggah sang bocah.

"Eh itu!" ucap Fellin menyadari sesuatu yang dipegang oleh sang bocah.

"Ada apa, Fellin?" tanya Cardion yang heran pada kekagetan Fellin.

"Di tangannya, itu bijih besi merah yang kucari" jawab Fellin menunjuk benda di tangan sang bocah.

"Bijih besi merah?" ulang Aruthor.

"Ya. Bijih besi merah adalah bahan membuat [Scarlet Steel] yang jadi bahan utama [Red Phoenix Wand]. Itu adalah bahan yang kucari-cari hingga datang kemari" jelas Fellin.

"Jadi karena itu kamu sampai meninggalkan akademi dan datang kemari hanya dengan prajurit pengawalmu? Kenapa kamu tidak bilang sebelumnya pada kami?" protes Aruthor.

"A—aku… sebenarnya aku tidak ingin merepotkan pangeran Aruthor" jawab Fellin dengan ragu-ragu.

"…" sang bocah hanya bisa terdiam ketika melihat beberapa orang yang 3 atau 4 tahun lebih tua darinya itu terlihat sedang berdebat satu sama lain.

"Tapi itu semua tidak penting sekarang. Yang penting saat ini adalah bagaimana caranya kamu bisa mendapatkan bijih besi merah itu? Apa kamu mencarinya ketika aku dan para pengawalku diserang oleh monster?" tukas Fellin dengan wajah marah menatap sang bocah.

"Aku harus menjawab apa? Apabila aku jujur dan menjawab "ya", maka ia akan marah padaku. Tapi apabila aku berbohong dan menjawab "tidak", aku malah akan dimurkai oleh Tuhanku. Dan lagipula tak ada jaminannya dia akan percaya padaku kalau aku berbohong sekalipun" pikir sang bocah yang terlihat panik dan semakin berkeringat dingin.

"Oh, dengan kata lain anak ini mengumpankan Fellin ke monster supaya dia bisa tenang mencari benda yang disebut bijih besi merah ini? Benar-benar bocah tak tahu diri!" bentak Cardion sambil mendekati sang bocah yang gemetar ketakutan.

"Begitu rupanya. Itu masuk akal sekarang! Jadi itu alasan ia berada dalam kegelapan tanpa bantuan penerangan sedikitpun. Itu supaya aku yang di serang monster dan ia bisa leluasa mencari bijih besi merah. Masih kecil saja sudah licik, apalagi kalau sudah dewasa nanti. Anak seperti kamu mesti diberi pelajaran!" ujar Fellin sambil menodongkan magic wand-nya ke arah sang bocah.

"Tunggu, Fellin! Kamu tak perlu berlebihan seperti itu! Dia masih anak-anak. Maafkanlah dia!" pinta Aruthor mencoba membujuk perempuan berambut pirang itu.

"Memaafkannya? Jika dia dimaafkan sekarang, dia malah akan merasa benar dan ia akan mengulanginya lagi! Dia harus diberi pelajaran supaya kapok!" protes Fellin.

"Tapi Fellin—" ucap Aruthor.

"Maaf tuan Aruthor, tapi yang dikatakan Fellin benar. Jika dibiarkan bocah ini malah akan ngelunjak nantinya!" potong Cardion yang langsung saja menendang tubuh sang bocah dengan kuat tanpa ragu sedikitpun.

Tubuh sang bocah hingga terpental sejauh 10 meter menghantam dinding lalu baru setelah itu mendarat di tanah dan terseret beberapa meter lagi. Bijih besi merah di tangannya terlepas dan jatuh ke tanah tepat sebelum dirinya terpental ke dinding.

"Cardion!" panggil Aruthor dengan nada keberatan.

"Rasakan ini! [Fireball]!" pekik Fellin menembakan bola api dari magic wand miliknya.

Bola api melesat ke arah tubuh sang bocah yang tampak sedang meringkuk tak berdaya karena merasakan kesakitan di seluruh bagian tubuhnya.

"Kenapa? Kenapa jadi begini? Kenapa ini terjadi padaku?" pikir sang bocah sambil menggeliat kesakitan.

Bola api pun menghantam tubuhnya. Dan seketika meledaklah bola api itu. Ledakan itu mementalkan lagi tubuh sang bocah dan membakar pakaiannya. Kini tubuhnya berguling-guling sambil diselimuti api yang membara.

"Arrgghh!!! P—panas!!" jerit sang bocah.

"Fellin! Apa yang kamu lakukan!? Seseorang cepat bawakan kain dan air!" pekik Aruthor tampak panik dan khawatir buru-buru menghampiri tubuh sang bocah.

"Aruthor, kamu terlalu baik. Jika kamu terus begitu, orang-orang akan mulai memanfaatkan kebaikanmu itu! Kamu harus lebih pilih-pilih dan lebih curigaan, kamu mengerti?" gerutu Ring sambil mengarahkan ujung magic rod miliknya ke arah tubuh sang bocah, "[Water Splash]!" lanjutnya merapalkan sihir.

Dari ujung magic rod itu pun tersembur air yang kemudian memadamkan api di tubuh sang bocah. Sehingga tubuh sang bocah itu kini basah kuyup dengan pakaian yang tersisa hanya celana pendeknya karena bajunya sudah hangus menghitam. Namun anehnya tas selempangnya terlihat tidak mengalami kerusakan sedikitpun meski nampak kulitnya mengalami luka bakar yang cukup parah.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Aruthor yang nampak khawatir berjongkok di sampingnya.

"Apanya yang "tidak apa-apa", jelas-jelas aku terbakar gini! Apa dia rabun?!" gerutu sang bocah dalam hatinya.

"Nona Ring, tolong berikan sihir penyembuhan dengan segera! Luka bakarnya sangat parah!" pinta Aruthor pada gadis penyihir yang berjalan mendekat.

"Ya-ya, aku mengerti" sahut Ring dengan santai.

"Dia mengatakannya seolah-olah menolongku adalah hal yang membuang-buang waktunya secara percuma. Apa-apaan dengan mereka ini? Seenaknya saja menyerangku, dan kemudian menolongku dengan setengah. Aku berterima kasih pada kakak laki-laki berambut pirang karena sudah khawatir padaku, tapi bisa kah kakak lebih baik lagi mengendalikan teman-teman kakak itu?" gerutu sang bocah dalam hatinya.

"[Minor Heal]" ucap Ring yang berbisik ketika mengucapkan "minor", lalu sinar hijau bersinar di ujung magic rod-nya.

Di saat yang bersamaan sinar hijau serupa juga bersinar di tubuh sang bocah. Perlahan terlihat luka bakar di tubuh sang bocah mulai menutup, namun dengan kecepatan yang sangat amat pelan.

"Sepertinya hanya segitu saja. Luka bakarnya terlalu parah. Dengan sihirku yang sekarang, aku takkan sanggup untuk menyembuhkannya" lanjut Ring menghentikan sihir penyembuhannya.

"Oh ayolah, nona Ring! Kamu adalah yang paling hebat dalam menggunakan sihir. Bisakah kamu sedikit lebih berusaha lagi?" pinta Aruthor.

"Tidak. Jika kamu memang ingin menyembuhkannya, maka kamu harus membawanya ke klinik orang-orang kuil yang memang hebat dalam penyembuhan. Sihir penyembuhan yang aku miliki hanyalah sihir penyembuhan biasa untuk pertolongan pertama saja!" tegas Ring.

"B—begitu ya…" ucap Aruthor terlihat sedikit kecewa.

"Klinik penyembuhan milik kuil ya? Bukankah penyembuhan di sana itu mahal? Punya uang dari mana coba aku? Sial sekali aku hari ini. Sudah mah aku dihajar tanpa alasan yang baik, disuruh bayar biaya pengobatan sendiri pula. Hal buruk apa yang telah kulakukan sampai aku menerima nasib semacam ini?" keluh sang bocah dalam hatinya.

"Sudahlah tuan Aruthor! Jangan hiraukan dia! Mari kita pergi saja dari sini! Aku sudah menemukan yang aku cari, urusanku di sini sudah selesai" ajak Fellin yang tampak melempar-lempar kecil bijih besi merah di tangan kanannya.

"T—tunggu… itu… mi—milikku" ujar sang bocah sambil mencoba meraihkan tangannya ke arah bijih besi di tangan Fellin.

"Hah? Kamu ngomong apa? Kamu mau kubakar lagi ya?" sahut Fellin dengan nada jengkel.

"Cukup, Fellin! Dia masih anak-anak" bentak Aruthor.

"Tapi, tuan Aruthor—" protes Fellin.

"Tidak ada tapi. Ayo kita bawa anak ini keluar dari sini. Kita harus segera membawanya ke klinik kuil" ajak Aruthor sambil mencoba mengangkat tubuh sang bocah.

"Aruthor, biar aku saja" potong Cardion yang merebut tubuh sang bocah dari Aruthor.

Cardion pun memanggul tubuh bocah itu di pundaknya layaknya sekantung beras.

"Ayo kita segera keluar dari tambang berbahaya ini!" ajak Aruthor.

"Baik!" sahut kawan-kawannya secara serentak.

Namun ada satu orang yang hanya diam dan menatap ke arah sang bocah yang kini sedang dipanggul menghadap ke belakang. Itu adalah gadis bernama Midari yang berpakaian serba hijau dan memiliki rambut yang juga berwarna hijau. Ia menatap ke arah mata sang bocah dengan seksama seakan dia sedang memperhatikan sesuatu yang penting.

"Ada apa dengannya? Kenapa ia menatapku seperti itu? Apa ada yang aneh di wajahku?" gumam sang bocah dalam benaknya bingung.

Rombongan Aruthor mulai berjalan untuk keluar dari goa tersebut.

"Aruthor, setelah keluar dari sini, bagaimana kalau kita melatih skill-skill elemen cahayamu lagi? Hanya kita berdua tentunya" ajak Ring sambil berjalan mendekat ke Aruthor.

"Nona Ring, kita tidak punya waktu untuk itu. Kita harus mengantarkan anak itu segera ke klinik kuil. Lalu setelah itu kita melapor ke dewan siswa akademi kalau kita telah menemukan Fellin. Soal melatih elemen cahaya, kita bisa melakukannya setelah kembali ke ibukota dan kembali ke akademi" tolak Aruthor dengan lembut.

"Ya itu benar, nona Ring. Tuan Aruthor tak punya waktu untuk anda. Lagipula setelah ini tuan Aruthor akan menemaniku mencari bahan lain untuk pembuatan [Red Phoenix Wand] milikku" tambah Fellin dengan sok tahu sambil merapat ke Aruthor.

"Tidak, prioritas kita adalah mengantarkan anak itu keluar dari sini dan segera membawanya ke klinik kuil. Setelah itu kita harus melapor ke akademi dan langsung kembali ke akademi" tegas Aruthor.

"Hmm… jadi ini semua gara-gara bocah itu, hah?" gerutu Fellin yang lalu menoleh ke arah bocah yang dimaksud dengan tatapan kesal.

Diikuti oleh Ring yang juga menatap tajam. Meski sang bocah sama sekali tak melihatnya karena tubuhnya dipanggul menghadap belakang. Ditambah saat ini ia sedang dalam situasi yang tak bisa mencemaskan hal lain kecuali yang ada di hadapannya. Soalnya ia saat ini sedang di tatap terus menerus oleh gadis yang berjalan paling belakang di rombongan tersebut. Apalagi saat ini mereka saling berhadapan satu sama lain.

"Apa gerangan yang membuatnya terus menatapku? Apa karena wajahku jelek dan ia heran kenapa wajahku bisa sejelek ini? Tidak, biasanya perempuan akan jijik pada wajah jelek jadi tidak mungkin dia bersedia menatap wajah yang dianggapnya jelek selama itu. Jangan bilang wajahku itu tampan? Tidak mungkin, aku tidak senarsis itu sampai mengganggap wajah biasa-biasaku ini sebagai tampan. Atau jangan-jangan karena wajahku yang sangat biasa-biasa saja dia sampai heran dan penasaran bagaimana bisa ada manusia berwajah sangat amat biasa sepertiku di dunia ini? Tidak, itu juga keliru. Perempuan cenderung takkan mempedulikan laki-laki berwajah biasa saja. Jika itu tidak menarik, maka itu hanya layak untuk dilihat sekilas dan lupakan. Lalu kenapa dia menatapku??" gumam sang bocah dalam benaknya berpikir sangat keras.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, perempuan berambut hijau itu terus menatap sang bocah. Malahan ia menyibak poni rambut sang bocah yang menutup hingga ke matanya untuk melihat bagaimana wajah sang bocah tersebut. Lalu ia menatap langsung ke mata yang bening bagaikan cermin tersebut.

"A—apa sekarang? Kenapa dia menyentuhku!?" pikir sang bocah panik dan kebingungan.

Gadis itu tiba-tiba saja langsung tersenyum.

"Dia tersenyum!? Kenapa?" lanjut pikir bocah itu yang sangat terkejut dan semakin bingung.

Kemudian Midari melepaskan kening sang bocah dan melesat ke depan Aruthor.

"Aku akan keluar duluan" ujar Midari sambil berjalan mundur.

"Tunggu Midari, terlalu berbahaya untuk pergi sendirian. Kamu bisa tersesat atau bertemu dengan monster" balas Aruthor memperingatkan.

"Tenang saja, aku ini sangat kuat dan cepat. Dan aku juga tahu jalan keluar dari sini" jawab Midari.

Kemudian Midari seketika seolah lenyap dari tempatnya berdiri karena bergerak dengan sangat cepat. Hal itu lantas saja membuat semua orang terkejut. Kecuali si bocah tentunya yang tak melihat apa-apa kecuali pemandangan di belakang rombongan tersebut.

"Aku tak tahu kalau Midari bisa bergerak secepat itu?" komentar Ring.

"Mungkin dia diam-diam melatih kecepatannya. Lagipula dia kan seorang {Mobile Archer} yang memang harus bisa menembak sambil bergerak cepat dari satu tempat ke tempat lain" ujar Fellin.

"Iya juga sih" sahut Ring.

"Midari memang selalu menakjubkan. Dia selalu bisa melebihi ekspektasi kita" ungkap Aruthor.

Mendengar komentar itu, dua gadis di sebelah Aruthor pun langsung cemberut menatap pemuda berwajah tampan rupawan itu.

"Ada apa? Kenapa tiba-tiba kalian menatapku?" tanya Aruthor bernada bingung.

"Tidak, bukan apa-apa" sahut keduanya sambil membuang muka.

****

Ketika keluar, Aruthor dan rombongannya langsung disambut oleh banyak orang. Terlihat orang-orang kampung berkumpul di depan jalan masuk tambang sambil bersorak sorai.

"Tuan pahlawan dan timnya sudah keluar!"

"Yeah! Hidup tuan pahlawan!"

"Tuan pahlawan pasti telah berhasil mengalahkan monster yang ada di dalam tambang!"

"Hidup tuan pahlawan!"

Aruthor sedikit terkejut dengan penyambutan warga kampung tersebut.

"Ka—kalian terlalu berlebihan memuji kami… kami hanya melaksanakan tugas. Lagipula kami ke sini untuk mencari tema—" ujar Aruthor sambil tersenyum.

"Ah terima kasih semuanya! Seperti yang kalian lihat, tuan Aruthor Sarazgar Üdine ini adalah salah satu kandidat pahlawan. Jadi jangan sungkan untuk meminta bantuan apapun yang berkaitan dengan monster, demon, atau demon king sekalipun. Beliau ini sangat bisa diandalkan. Jadi mohon bantuannya, semuanya!" potong Ring memberi orasi dengan suara lantang.

"Nona Ring, apa yang nona lakukan?" protes Aruthor terlihat keberatan.

"Kamu diam saja, Aruthor! Sekarang biar aku yang urus!" bentak Ring dengan suara berbisik.

Seorang laki-laki paruh baya berkumis tebal tampak menghampiri Aruthor.

"Jadi anda adalah kandidat pahlawan ya? Hmm… pantas saja saya merasakan aura yang agung dan suci dari diri anda. Izinkan saya sebagai tetua kampung ini untuk memberikan sedikit penyambutan untuk anda dan party anda ini. Mungkin bukan penyambutan yang megah, namun saya harap anda bersedia untuk menghadiri pesta yang akan kami adakan" ujar laki-laki paruh baya itu lalu membungkuk memberi hormat.

"Ah, tidak us—" ucap Aruthor.

"Terima kasih, kami pasti akan datang" potong Ring sambil membungkuk balik.

"Nona Ring…" panggil Aruthor setengah berbisik pada Ring.

"Jangan banyak bicara. Soal masalah seperti ini serahkan saja semuanya padaku. Kamu jangan ikut campur. Kamu itu hanya kandidat pahlawan yang terlalu naif, pangeran dari negara kecil yang direndahkan. Jadi jangan banyak protes!" gerutu Ring dengan suara berbisik.

"Tapi…" ucap Aruthor terlihat sedikit murung.

Bocah yang sedang dipanggul oleh Cardion tampak mendengarkan semua pembicaraan itu. Ia terlihat heran dengan semua pembicaraan yang didengarkannya.

"Kandidat pahlawan? Pangeran dari negara kecil? Kakak itu pasti sangat kerepotan ya. Apalagi dia diatur-atur oleh seorang perempuan yang kelihatannya mengetahui banyak hal tapi merahasiakan lebih banyak lagi. Tipe perempuan yang tak bisa dipercaya. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi di benua ini, tapi kelihatannya sesuatu yang amat merepotkan. Kuharap aku tak perlu terlibat dalam hal ini" pikir sang bocah lalu menghela napasnya lelah.

「Bab "The Hero Not The Hero" telah ditemukan.」

"Hm??" sang bocah bingung dan sedikit terkejut mendengar suara itu.

「"The One Who Have Guidance" diwajibkan untuk ikut serta dalam bab kisah ini apapun yang terjadi.」

"Kamu pasti bercanda" gerutu sang bocah.

「"The One Who Have Guidance" dilarang menggunakan nama-nama "The Creator of All Creations" dalam bab kisah ini berikut dengan kuasa yang berkaitan dengan nama-nama tersebut.」

"Aku diberikan semacam restriction rupanya. Walau aku tak tahu apa yang dimaksud dengan nama-nama itu. Tapi dari yang dikatakan oleh mereka. Sepertinya nama-nama itu memiliki semacam kekuasaan tertentu apabila digunakan" komentar sang bocah.

「"The One Who Have Guidance" diizinkan untuk memberikan 7 warna pada 7 entitas yang dikehendaki selama bab kisah ini berlangsung. 7 warna tersebut adalah Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila, serta Ungu.」

"7 warna itu, warna pelangi kah?! Tapi apa hubungannya warna dengan kisah ini? Bisakah memberikanku sedikit petunjuk di sini?" respon sang bocah kaget.

「Memulai bab kisah "The Hero Not The Hero". Prolog cerita telah didapatkan. Memulai kisah utama dari cerita.」

"Mereka tak mau menjawab kah" keluh sang bocah yang terlihat di hadapannya tiba-tiba saja ada sebuah buku yang terbuat dari cahaya tampak membuka.

Muncul satu halaman dan di sana mulailah tersusun berbagai huruf yang sukar untuk dipahami dan berbaris membentuk kalimat. Kalimat-kalimat berbaris membentuk paragraf. Dan paragraf-paragraf bersusun mengisi halaman tersebut hingga penuh.

Sementara itu Aruthor, tampak sedang sibuk dengan Ring dan juga Fellin.

"Silakan ikuti saya, tuan kandidat pahlawan" ajak tetua kampung.

"Ayo kita pergi, Aruthor!" ajak Ring menarik lengan kanan Aruthor.

"Jangan pergi dengan perempuan pemberi perintah itu, tuan Aruthor. Dia hanya akan mendiktemu sana-sini jika anda ikut dengannya. Lebih baik pergi bersamaku saja, ya kan?" ujar Fellin sambil melingkarkan lengannya ke lengan kiri Aruthor.

"Kamu diam saja, wanita bangsawan manja. Aruthor hanya akan kerepotan jika dia bersama denganmu" keluh Ring pada Fellin.

"Hah? Justru dia malah akan lebih kerepotan jika dia bersama dengan wanita tukang suruh sepertimu!" sanggah Fellin dengan sangat yakin sambil menunjuk-nunjuk Ring.

"Apa kamu bilang!?" sahut Ring tampak mulai kesal.

"Ka—kalian berdua…" ucap Aruthor mulai merasa risih.

"Wah-wah… tuan kandidat pahlawan ternyata sangat populer ya. Benar-benar masa muda yang membuat iri banget" singgung tetua kampung yang tersenyum sambil memainkan kumisnya.

"Ayo Aruthor, ikut denganku saja!" ajak Ring lagi.

"Tidak, bersamaku saja!" gerutu Fellin.

"Hei, jangan menarikku seperti ini!" protes Aruthor yang lengannya terus ditarik oleh mereka berdua.

Aruthor dibawa oleh kedua gadis itu untuk mengikuti tetua kampung.

"Oi, Aruthor! Bagaimana dengan anak ini!?" tanya Cardion tentang bocah yang ia bawa.

"Bawa ke klinik kuil! Katakan pada mereka nanti aku yang bayar semua biaya pengobatannya, jadi jangan menagih ke dia!" jawab Aruthor sambil dibawa pergi.

"Ah merepotkan… hei bocah, apa kamu tahu di mana kuil berada?" tanya Cardion pada sang bocah yang terlihat seperti sedang memperhatikan sesuatu dengan serius yang ada di depannya sambil memegang dagunya.

Namun bagi Cardion, bocah yang sedang dipanggulnya itu hanya seperti sedang melamun saja dan mengabaikan pertanyaannya. Merasa kesal karena dirinya diabaikan, Cardion pun mendengus kesal.

"Hei kau yang di sana!" panggil Cardion pada salah seorang warga yang terlihat seperti penjaga pintu masuk tambang.

"Y—ya?" sahut pemuda yang memiliki tubuh kurus dan tak cocok jadi penjaga itu dengan sedikit terkejut.

"Bawa anak ini ke kuil atau semacamnya! Dia terluka!" ujar Cardion sambil melempar tubuh si bocah tanpa peduli sedikit pun pada keadaan tubuh anak laki-laki yang tubuhnya dipenuhi luka bakar itu.

"Terluka? Apa dia diserang monster atau semacamnya?" tanya penjaga itu.

"Tidak. Dia menjebak salah satu kawan kami dan mencuri barang darinya" jawab Cardion.

"Apa!? Jadi dia telah berbuat buruk pada teman tuan kandidat pahlawan? Benar-benar tak bisa dimaafkan! Daripada dibawa ke kuil untuk diobati, lebih baik dia dibawa ke markas penjaga saja untuk dikerangkeng!" balas sang penjaga.

"Terserah lah!" sahut Cardion yang acuh tak acuh lalu pergi menyusul Aruthor.

"Tssshh… itu sakit sekali. Kenapa dia tiba-tiba melemparku seperti itu?" gerutu sang bocah.

"Hei bocah! Bangun, dasar pemalas! Ayo ikut dengan kami ke markas penjaga!" bentak sang penjaga sambil menarik lengan sang bocah dan mengangkat tubuhnya memaksanya berdiri.

"Hah? Markas penjaga? Kenapa malah markas penjaga?" gumam bocah itu dalam hatinya.

"Kenapa masih kecil saja sudah berbuat kriminal? Benar-benar merepotkan saja…" keluh penjaga yang lain yang nampaknya tak berniat ikut mengantar sang bocah.

"Hah!? Kriminal? Aku??" ucap sang bocah dalam hatinya semakin bingung.

"Ayo cepat berdiri! Atau kau mau aku seret begini?" tegas sang penjaga yang sedang mengangkatnya.

"Ma—maaf…" sahut sang bocah.

"Aku tak butuh maafmu, dasar kriminal! Kamu harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu di jeruji besi!" bentak penjaga tersebut.

"Ta—tapi aku tidak…" balas sang bocah.

"Oh mau menyanggah? Mau menghindar dari kesalahanmu? Masih kecil sudah punya niat jadi pembohong hah! Dasar anak tak tahu diri!" tukas penjaga itu lagi.

"Aku mau bilang kalau aku tidak minta maaf untuk perbuatan yang kalian tuduhkan itu, melainkan karena aku tak bisa langsung berdiri ketika kamu menyuruhku berdiri karena seluruh tubuhku sakit sekali, paman penjaga!! Aarrgghh!!! Kenapa pula aku tak bisa mengatakannya dengan lancar padahal aku bisa memikirkannya tanpa kendala sedikit pun!!!" gerutu bocah itu dalam batinnya.

Akhirnya dia pun dibawa oleh penjaga ke markas penjaga dengan cara sedikit diseret sambil diangkat supaya ia bisa berdiri. Meski berjalan dengan sedikit tertatih-tatih, namun ia akhirnya bisa sampai juga di markas penjaga. Di sana terlihat kepala penjaga yang ternyata seorang laki-laki bertubuh gemuk, namun memiliki tinggi di atas rata-rata penjaga yang lain. Kepalanya pelontos dan hanya memiliki rambut pada bagian sampingnya saja. Dan ia tampak duduk di kursi sambil menaikkan kedua kakinya ke atas meja.

"Paman Robert! Ini, ada seorang kriminal! Tolong segera hukum dia!" ucap penjaga yang membawa bocah yang ia sebut kriminal itu.

"Kriminal? Dia hanya seorang bocah, cukup pukul saja dia beberapa kali. Nanti dia juga kapok sendiri" jawab kepala penjaga yang bernama Robert itu dengan santai.

"Tapi, dia berbuat kriminal pada kandidat pahlawan beserta temannya" ungkap penjaga.

"Apa?! Kandidat pahlawan? Maksudmu kandidat pahlawan yang dikabarkan datang ke sini untuk membasmi monster tikus di dalam tambang itu?" tanya Robert.

"Iya, siapa lagi memangnya?" jawab si penjaga.

"Tch, jika urusannya dengan kandidat pahlawan, maka lain lagi urusannya. Karena jika aku sampai membiarkan hal buruk terjadi pada kandidat pahlawan, dan kabar tersebut sampai tersebar, maka aku takkan memiliki masa depan. Baik rakyat, negara, dan juga kuil sekalipun akan menganggapku sebagai musuh dan orang jahat yang harus disingkirkan" pikir Robert sambil menggaruk kepalanya yang tak berambut di bagian tengahnya itu.

"Paman Robert?" panggil si penjaga merasa heran dengan diamnya kepala penjaga.

"Baiklah, penjarakan dia! Tidak, potong tangannya! Bukan, lebih baik kita gantung saja dia! Ya, gantung dia! Siapkan tiang gantungan, kita akan segera mengeksekusinya! Kejahatan pada kandidat pahlawan adalah pelanggaran hukum berat sekaligus dosa besar pada The Creator of All Creations. Maka itu kita harus menghukumnya dengan seberat-beratnya!" tegas Robert.

"Baik, paman Robert" sahut si penjaga sambil melepaskan lengan sang bocah dan memberi salutatau hormat ala militer pada kepada kepala penjaga.

Sang bocah pun terjatuh ke lantai. Ia masih belum memiliki tenaga untuk menopang tubuhnya sendiri dengan kedua kakinya akibat rasa sakit dari luka-luka yang dideritanya.

"Aduh! Kenapa jadi begini? Aku akan digantung? Kejahatan pada kandidat pahlawan adalah dosa besar, mereka bilang? Apakah itu benar?" pikir sang bocah.

「Keliru. Takarannya hanya tergantung pada jenis perbuatannya. Bukan kepada bagaimana tingkat jabatannya di mata manusia, baik pelaku maupun korban.」

"Eh, aku mendapat jawaban? Kenapa kamu tak menjawab ketika aku bertanya sebelum ini?" tanya sang bocah lagi berbicara pada buku cahaya yang ternyata masih ada sejak tadi namun hanya dalam penglihatannya saja.

「….」

"Tak mau menjawab lagi? Sebenarnya apa syarat agar pertanyaanku ditanggapi?" gumam sang bocah dalam benaknya.

Di saat yang sama, Robert bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menghampiri sang bocah yang terbaring tak berdaya di lantai.

"Rasanya aku belum pernah melihat wajahnya. Dia bukan anak sini? Rambutnya berwarna hitam gelap. Apa dia berasal dari negeri timur? Kalau begitu dia pengembara? Tidak, aku rasa tidak mungkin dia mengembara sendirian dalam usia semuda ini. Tapi jika dia memiliki seorang wali, tidak mungkin dia dibiarkan berkeliaran ke dalam tambang penuh monster sendirian, bukan? Jangan bilang dia adalah seorang yatim piatu? Tapi jika memang begitu harusnya untuk seusianya, dia masih harus berada di dalam kuil. Hmm… apa dia seorang budak? Namun aku tak melihat ada tanda Slave Seal di lehernya. Itu berarti, dia hanya bocah gelandangan yang berkeliaran dari satu tempat ke tempat lain. Tapi jika ia tak menetap di satu tempat, itu artinya ada sesuatu yang terjadi yang mencegahnya menetap. Dan yang paling mungkin adalah karena dia telah melakukan kejahatan dan diusir dari setiap tempat yang telah disinggihainya. Kalau begitu dia adalah anak yang benar-benar berengsek!" pikir Robert yang kemudian menginjak tubuh sang bocah.

"Aarrgghh! S—sakit! He—hentikan!" ucap sang bocah merintih kesakitan.

Namun Robert tak menghiraukannya dan terus menginjak-injak tubuh sang bocah dengan keras.

"Diam! Anak sepertimu memang pantas menerimanya! Kau tidak layak untuk dibiarkan hidup! Kau hanya akan jadi beban di dunia ini, bocah kriminal!" pekik Robert.

****

Chapitre suivant