"ARRRGHH!" teriak Apo sebelum didorong jatuh Mile Phakpum. Mereka pun ambruk ke lantai dan berguling-guling dalam kondisi berpeluk, sementara para tamu undangan menjerit panik.
"ARRRRGHH!"
"AAAAAAAAAAAA!!"
"AAAAAAAAAAAAAAA!!"
Ketenangan pesta tadi kini hancur sudah. Mereka yang dekat dengan lokasi kejadian langsung bubar, sementara si penyusup langsung diteriaki bodyguard.
"BERHENTI! BRENGSEK!"
"HEI, MATI KAU JIKA SAMPAI KUTANGKAP!"
DOR!! DORRR!! DORR!! DORR!!
DORRR!! DORR!! DORR!! DOR!
"AAAAAAAAAAAAAAA!!"
Prang! Prang! Prang! Prakhhh!!
Mereka pun adu tembak satu sama lain. Diantara gelas dan botol wine yang kena peluru hingga pecah, sementara Abby yang menangis langsung dipeluk seorang tamu. Namun, mungkin karena kalah jumlah, si penyusup lari kabur lompat ke dek satu. Bodyguard-bodyguard pun cepat mengejarnya panik, sementara siapa pun yang syok langsung berusaha mengatur napas.
Ada yang pingsan karena punya penyakit jantung. Ada juga yang asmanya kambuh karena sedikit syok. Sementara Mile buru-buru bangun karena Apo berdarah.
"Arrghh! Akh!" jerit Apo atas lengannya yang juga terkilir. Tapi setidaknya dia tidak jadi mati! Mile lega sekali melihatnya napas meski ketakutan masih tampak pada mata lelaki itu. Bagaimana pun hanya dia yang melihat gambaran Apo tadi tertembak di kepala, punggung, dan kakinya sekaligus. Namun yang barusan sudah membuat peluru meleset, jadi hanya kena sisi lengan juga kakinya di bawah sana.
"Hei, hei. Lihat aku. Lihat sebentar. Apa kau baik-baik saja? Sakitnya di mana lagi?" tanya Mile.
Apo pun tersengal-sengal di bawah sang bungsu Romsaithong. Rasa paniknya perlahan turun karena menatap mata di depan, tapi berkaca-kaca karena rasanya sakit sekali. "Aku tidak bisa bergerak--" keluhnya dengan desisan. "Kakiku, tulangku tadi ada yang terbentur meja."
DEG
Mile pun buru-buru beranjak dari tubuh Apo, lalu memapah duduk sang penyanyi ke kursi terdekat. Dia menyandarkan Apo agar bisa bernapas lebih leluasa. Lalu berlutut untuk mengecek kakinya. "Permisi," kata lelaki itu sebelum membuka sepatu kanan Apo. Dia tidak peduli seberapa chaos situasi sekitar, lalu melipat celana hitamnya tiga kali.
Oh, gawat. Betis kecokelatan mulus itu pun ternoda luka. Ada peluru bersarang di dalam sana, dan darahnya mengalir cepat ke lantai.
"Tolong, Nona baju biru! Cepat ke dek terbawah dan suruh bawahanku mengeluarkan boat kecil!!" teriak Mile dengan wajah yang berkerut-kerut. "Tiga buah! Masing-masing yang butuh perawatan satu! Bawa yang kena jantung dan asma lebih dulu! SEKARANG!"
DEG
"BAIK! BAIK!" kata si wanita dengan gaun biru. Dia pun melepas heels demi gerak cepat. Sementara Apo melotot karena Mile melepas dasi untuk mengikat pendarahannya.
"Hei, Tuan ...."
"Diam dulu, kau itu kehilangan banyak darah," kata Mile dengan gerakan yang buru-buru.
Apo pun menurut sambil meremas lengannya yang juga terkena. Tapi tetap lebih parah kaki. Bagian itu hanya terserempet peluru, jadi Mile tinggal menata ototnya.
Krakh! Krakh!
"Aarrgh! Sakit--hhh ... hhh ... hh ...." keluh Apo.
Mile pun memandang lelaki manis ini hingga mereka saling menatap. Apo sepertinya malu begitu sadar reaksinya berlebihan, tapi memang sakit sekali. "Sudah, setidaknya langsung ditangani. Jadi nanti takkan ada masalah serius pada tulangmu," katanya.
Apo pun mengangguk, meski tetap penasaran. "Kau ... bukannya pengidap OCD," katanya. "Kenapa malah melakukan ini?"
"Oh, aku?" Mile pun terkekeh sambil memapahnya turun menuju boat kecil. Lelaki itu merangkul bahunya dengan sangat erat. Mungkin takut ambruk lagi kalau sampai ceroboh. "Ha ha ha, bukan. Lagipula S1 dan S2-ku kedokteran. Mana mungkin sampai begitu."
"Lalu yang S3?"
"Aku baru masuk bisnis sejak kakakku dan istrinya meninggal."
"Oh, maaf bertanya sejauh itu."
"Tak apa. Kejadiannya sudah cukup lama."
Mereka mengobrol sepanjang jalan. Mile pun bercerita sedikit soal keistimewaan yang dia miliki, sementara Apo mengangguk-angguk karena paham meski hanya sedikit. Dia dibawa ke RS terdekat dan diobati bersama dua pasien lain. Dan operasi singkat membuat kakinya dibalut perban.
"Ah, ini buruk. Kau tak akan bisa manggung untuk sementara waktu," kata Mile dengan raut menyesalnya.
Apo malah tersenyum manis, seolah itu bukan apa-apa. "Kau kan sudah menyelamatkan aku. Jadi, anggap saja itu gantinya. Aku juga tidak ada target keuangan."
"Begitu," kata Mile. Namun dia tetap saja prihatin. Padahal tadi sore Apo masih tampak baik-baik saja, tapi sekarang kesusahan bergerak meski dalam kondisi duduk. "Tapi sebenarnya dia tidak sedang mengincarmu."
DEG
"Iyakah?"
"Hm, tapi aku," kata Mile sembari duduk di kursi tunggal sebelah ranjang perawatan Apo. "Karena saat kau operasi, bawahanku tadi menelpon. Mereka bilang penyusup itu sudah ditangkap, dan tujuannya membunuhku selaku pewaris tunggal keluarga. Ya ... setidaknya untuk saat ini. Mereka sepertinya dari musuh bisnis Pa."
"Oh ... begitu."
"Harusnya pistol dia memang sudah mengincar aku, tapi di saat yang tepat kau berdiri. Jadi dalam penglihatanku, kau yang terkena dalam tembakan itu. Astaga ... kenapa malah pasang badan."
Meski terlihat syok karena hampir mati, Apo malah tertawa-tawa. "Ya artinya aku yang malaikat penyelamat di sini. Ha ha ha ha ha," candanya. Mungkin hanya agar suasana tidak tegang.
Mile pun hanya geleng-geleng kepala. Dia rasa, tak perlu lagi melihat orang lain saat ada satu yang menarik di depan mata. Jadi, pertemuan ini pasti bukan kebetulan. Mungkin malah takdir atau semacamnya. Karena Apo satu-satunya yang memiliki masa depan dengan gambaran yang berkaitan dengannya.
"Hoo, wajah Tuan Romsaithong terlihat tertekan," goda Apo. "Kalau begitu bayar ganti rugi saja! Naikkan gajiku selama 4 hari ke depan. Kan aku masih bisa menyanyi sambil pakai kursi roda. Yang sakit itu kakiku, bukan tenggorokan. Jadi ini tak masalah."
"Tidak akan, hmm ...." desah Mile tak habis pikir. Dia agak tak menyangka Apo ribut jika sudah merasa sedikit nyaman. Bahkan bisa tidur siang langsung meski ditemani Mile--yang statusnya hanya orang asing.
"UNCLEEEEE!! PHI NATTA BAGAIMANAAAAAA!!" teriak Abby pada sore harinya. Bocah itu buru-buru ikutan menjenguk masuk, padahal dia baru saja sampai. Sang keponakan menangis karena idolanya terluka, bahkan memonopoli pangkuan Mile agar bisa duduk paling depan.
"Hai, Abby," sapa Apo.
"Phi Natta, peluk ...." kata Abby manja. Dia mengusap mata yang sudah bengkak sejak masih perjalanan. Ketakutannya besar, bahkan dia menangis lagi waktu menyentuh perban kaki Apo. Dasar bocah, batin Mile. Dia membuat Apo bergeleng-geleng, tapi memaklumi kelakuan Abby.
"Biarkan. Dia itu cuma bocah. Kau tidak boleh terlalu keras padanya," kata Apo kepada Mile. "Tapi mungkin karena kau anak bungsu, jadi tidak paham perasaan itu."
"Kau benar."
Apo pun menarik selimut untuk terlelap kembali. "Ya, sudah. Aku tidur. Tidak usah makan karena badanku sakit semua. Setidaknya bisa lupa kalau kuhabiskan dengan mimpi."
Mile pun merasa bersalah sekali lagi. "Tunggu, bicara denganku sebentar saja. Soal ganti rugi tadi, tak masalah. Nanti akan kulipatkan gajimu."
Apo malah mendengus pelan di balik selimutnya. "Tidak perlu. Kalau pun diberi nanti akan kusuruh manajerku mengembalikannya."
Mile pun pening seketika. "Jangan mempersulit ini, tolong. Aku tidak mau kau merasa dirugikan."
Jeda yang sedikit lama. Mile tahu Apo belum benar-benar tidur, jadi dia menunggu hingga lelaki itu berkata pelan. "Baiklah, oke," katanya. "Ganti rugi saja tapi bukan dengan uang."
"Lalu?"
"Berkencanlah denganku seminggu. Setelah itu kau pergi tidak masalah. Aku hanya ingin menuntaskan rasa penasaranku."