webnovel

Balada Mahasiswa: FRNDS

Persahabatan bagai kepompong Mengubah ulat menjadi kupu-kupu . . . Meski aku benci kupu-kupu tak apalah karena mereka adalah teman-teman ajaib yang membuatku beruntung mengenal mereka.

giesalindri · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
22 Chs

Pencitraan Sang Gebetan

"Gila! Masa udah hampir satu semester kuliah gue belum nemu cowok ganteng di kampus ini?" Anty mendesah kecewa. Dia sibuk berebut permen Fox hasil kembalian dari fotokopi di kantin kampus dengan Silvi.

"Kan gue yang dapet kembaliannya jadi permen ini punya gue dong." Silvi mempertahankan permen itu seolah permen itu adalah harta berharga baginya.

"Gue minta dong. Ga bakal lo makan kan?" Anty berkeras merebut.

Aku geleng-geleng kepala melihat kelakuan ajaib mereka berdua. Ya Allah, kenapa Kau menganugerahkan teman-teman yang aneh begini untukku? 

"Emangnya kenapa kalo ada yang ganteng di kampus?" tanyaku.

"Ya kan kalo di kampus ada yang ganteng kuliah jadi lebih semangat." Anty berusaha memberikan alasan. Mulutnya membentuk cengiran lebar karena berhasil merebut permen Fox itu dari tangan Silvi. Sementara Silvi bersungut-sungut sebal di sebelahnya.

"Alasan diterima!" Silvi menyahut sambil mengacungkan tangan. Entah kenapa tiba-tiba saja dia bersekutu dengan Anty padahal baru beberapa detik lalu mereka baku hantam.

"Lo ngapain ikutan? Kan lo udah taken." Tita tampak tak terima.

"Lah, emang kenapa kalo udah taken? Kalo cuma ngeceng doang kan ga dosa."

"Pacaran tuh yang dosa," aku memotong.

"Iya, Ustadzah." Mereka serentak menyahut.

"Eh, ada kok yang ganteng. Pendiem dan alim pula. Kelas kita juga. Ya kan, Ty?" Aku mengerling pada Anty. Anty awalnya tampak bingung. Mungkin berusaha mengingat siapa gerangan cowok ganteng yang dimaksud olehku.

"Aahh iya bener," tiba-tiba Anty berseru. "Fiki namanya kalo ga salah. Fiki kan bener, Mir?"

"Yang pendiem itu?" Tita berusaha mengkonfirmasi. Aku dan Anty mengangguk semangat.

"Yang mana sih?" Silvi bertanya bingung. Ah, oke. Kalo untuk urusan ingat-mengingat Silvi emang juaranya. Juaranya lupa maksudnya.

"Cape deh!" Aku, Anty, dan Tita mendesah sebal.

"Nah, itu tuh itu. Arah jam dua belas," aku menepuk-nepuk pundak Silvi, Anty, dan Tita dengan heboh.

Aku melihat keberadaan Fiki di koridor seberang sedang berjalan dengan salah seorang teman sekelas kami yang aku lupa namanya.

"Mana sih?" Silvi menyipitkan matanya untuk memfokuskan pandangan padahal dia sudah sipit dan pakai kacamata. Berulangkali dia membetulkan letak kacamatanya seolah itu akan sedikit membantu indera penglihatannya yang sudah payah. Padahal mataku pun sudah minus tiga tapi gara-gara penglihatanku yang buruk ini aku mudah mengingat penampilan orang apalagi kalo modelan anak cowok yang bajunya itu-itu aja. Dari jauh pun sudah bisa ditebak. 

"Itu loh arah jam- Sekarang arah jam dua. Noh, yang lagi berhenti di depan sekre. Yang pake kaos polo warna putih sama celana jeans item," aku menjelaskan pada Silvi sementara Silvi masih sibuk mencari.

"Oh, itu-" Silvi menoleh ke arahku dan Anty bergantian. "Yang begitu selera lo pada?" Ada nada mengejek begini-doang-selera-lo dalam kata-katanya.

"Ah, cowok lo juga kagak ganteng-ganteng amat, Vi!" ejekku.

"Sialan!" umpat Silvi sambil menoyor kepalaku. "Yang penting duitnya banyak," cengirnya licik.

Aku, Anty, dan Tita ber-huu ria ke arah Silvi.

Perlu diketahui, pacar Silvi itu bodinya kayak gorila. Tinggi, gede, item, galak. Posesifnya minta ampun. Selain teman perempuan, Silvi tidak diperbolehkan pergi dengan siapapun. Ponsel Silvi pun hanya berisikan kontak keluarga Silvi dan teman-teman perempuannya. Pacar Silvi itu berstatus pengangguran karena tidak kuliah tapi punya ortu yang tajir sehingga Silvi selalu "dibiayai" oleh pacarnya. Dan karena menganggur itulah, Silvi diantar jemput oleh sang pacar dari rumah ke kampus dan sebaliknya. Aku sampai heran apa semua orang yang lagi jatuh cinta itu bodoh ya? Yang satu diporotin mau aja, yang satu lagi dikekang juga mau aja. Ckckck.

"Bu, mendoane pira? [Bu, mendoannya berapa?]" Tanya seseorang di sampingku pada ibu penjaga warung.

Ini sudah jam makan siang. Kuliah istirahat sebentar dan akan dimulai satu setengah jam lagi jadi aku dan Anty mampir dulu ke warung sebelum kembali ke kosan. Sementara Silvi dan Tita makan mi ayam di depan kampus baru nanti menyusul kami ke kos untuk menumpang salat dan rebahan.

"Siji mangatus [satu lima ratus]," jawab si ibu. Lalu orang itu mengambil beberapa lembar mendoan dan memasukkannya ke dalam plastik.

"Segane ora sisan? [Nasinya enggak sekalian?]" Tawar si ibu warung saat orang itu membayar mendoannya.

"Oh, ora, Bu. Miki wis tuku, [Oh, nggak, Bu. Tadi udah beli.]" tolak orang itu.

"Anty kan?" Orang itu tiba-tiba menyapa Anty yang ada di sebelahku. Aku dan Anty yang lagi asyik makan refleks menoleh.

"Oh, hai, Fik!" Anty tersipu malu. Sialan, aku mengumpat dalam hati. Aku yang ngejogrok di sebelah dia tapi kenapa Anty yang disapa duluan? Emang aku se-invisible itu apa? Aku mencibir iri.

"Samira ya?" Sapanya kemudian padaku.

"Hai!" Balasku malu. Bukan malu tersipu tapi malu karena aku merasa dia seolah mengerti isi hatiku yang protes atas ketidakadilannya yang kupikir hanya akan memanggil Anty saja.

"Aku duluan ya. Kalian met makan," katanya sambil menenteng plastik berisi mendoan.

"Iya," aku dan Anty membalas sambil mengangguk terpesona.

"Kyaaa... Fiki nyapa kita, Mir!" Anty heboh yang kusambut dengan acuh. "Dia tau nama kita, Mir." Aku masih abai. "Dia nyapa gue duluan, Mir!" Aku langsung noyor kepala Anty.

"Bu, saya udah!" Aku langsung berdiri dan hendak membayar makanku.

"Lo kenapa sih? Dia nyapa gue duluan gitu loh. Padahal kan gue duduk di sini. Deketan juga lo kan?"

Aku mendesah kesal, "justru itu yang bikin aku bete. Kenapa yang disapa dia duluan malah kamu?"

"Lo jeles?" Anty ngakak.

"Kagak lah. Pacar kamu bukan. Pacarku juga bukan. Kita kan janji mo bersaing secara sehat. Dan aku pegang kata-kata kamu."

Anty tersenyum, "Ok. Siapa takut?"

Beberapa hari kemudian...

Tulit tulit. Dering notifikasi pesan masuk berbunyi dari ponsel Anty.

"Assalamu'alaikum. Ini Anty ya?" Anty membaca keras-keras pesan yang masuk ke ponselnya.

"Lo kenal nomer ini?" Tanya Anty padaku. Aku menggeleng saat melihat nomer ponselnya.

"Bales aja sih kalo emang penasaran," aku memberi saran. "Mungkin itu dari mantan kamu yang mau nagih utang. Barangkali kamu masih punya sangkutan yang terlupakan," aku berkata santai pada Anty tapi justru dapet pelototan darinya. Aku salah apa, ya Rabb?

"Ini Fiki. Aku dapet nomer kamu dari Yudha. Aku selalu liatin kamu kalo di kampus dan di kelas. Ternyata kalo diliat-liat kamu manis juga ya. Aku jadi pengen kenal lebih deket sama kamu." Saat Anty membaca pesan balasan itu aku langsung berdiri mendekat ke arah Anty.

"Sumpah ini Fiki? Dia SMS begitu beneran ke kamu?" Aku merebut ponsel Anty dan membaca baik-baik pesan masuk itu.

"Kamu pasti punya hp lain kan buat SMS kayak gini? Atau kamu konspirasi sama orang lain, Silvi atau Tita misalnya, buat kirim SMS kayak gini ke hp kamu?" Aku menuduh.

"Dih, niat amat gue begitu. Lo suuzon banget sama gue mentang-mentang kita lagi bersaing?"

"Kamu sendiri yang bilang kita bersaing secara sehat kenapa jadi begini? Ini ga adil, Ty."

"Astaga! Lo masih ngira ini kerjaan gue? Demi Allah, Mir, ini bukan gue yang ngirim. Gue ga tau apa-apa."

"Ini pada ribut apa sih?" Tiba-tiba Tita masuk ke kamar. Mungkin dia mendengar keributan kami berdua dari luar. Tita memang tadi sempat izin mau ke kosan Nova, teman satu angkatan dan satu jurusan yang beda kelas yang indekos tidak jauh dari kosanku.

"Itu tuh si Samira jeles gue dapet SMS dari Fiki. Katanya gue pasti punya dua hp buat kirim SMS begini dari hp gue yang satunya atau gue nyuruh lo atau Silvi." Anty menyodorkan ponselnya pada Tita. "Padahal kan lo udah ada Tsubasa. Masih serakah aja lo!"

"Yeee, gebetan mah banyak juga ga papa," dalihku.

Tita membaca pesan di ponsel Anty sekilas lalu katanya, "Hhh, kalo yang kayak gini gue juga dapet."

"Apa?" Aku dan Anty sontak terkejut.

Tita mengeluarkan ponselnya.

"Assalamu'alaikum. Ini Tita, ya? Ini Fiki. Aku dapet nomer kamu dari Yudha. Aku selalu liatin kamu kalo di kampus dan di kelas. Ternyata kalo diliat-liat kamu manis juga ya. Aku jadi pengen kenal lebih deket sama kamu." Aku dan Anty saling pandang setelah membaca pesan di ponsel Tita itu.

"Yudha itu yang satu kosan sama Fiki kan?" Tanyaku pada Tita karena setahuku Tita akrab sama Yudha. Tita membalasnya dengan mengangguk.

"Berarti biang keroknya Yudha nih!" Anty geram.

"Ssstt...Aku dapet SMS dari nomer tak dikenal juga nih." Aku membuka pesan yang masuk ke ponselku.

"Assalamu'alaikum. Ini Samira, ya? Ini Fiki. Aku dapet nomer kamu dari Yudha. Aku selalu liatin kamu kalo di kampus dan di kelas. Ternyata kalo diliat-liat kamu manis juga ya. Aku jadi pengen kenal lebih deket sama kamu." Aku membaca pesan itu lambat-lambat. Anty dan Tita langsung merebut ponselku dan mencocokkan nomor yang tertera di pesan masuk.

"Ih, sumpah ya? Dia cuma copy paste SMS ini loh! Kata-katanya sama sekali ga diedit anjiirr!!" Anty gemas.

"Ngapain copy paste, Ty? Kan ada fitur send to many di hp. Dia bisa ketik trus klik send to many abis itu kirimin deh pesan itu ke semua cewek di kelas kita," aku menjawab dengan lemah. Ga nyangka seorang Fiki yang pendiem dan terlihat alim dan pemalu di kelas ternyata buaya juga. Bener berarti pepatah orang bule yang bilang don't judge a book by its cover itu.

"Oh iya ya..." Anty merespon dengan lambat. Aku yakin dia sepertinya juga syok dengan kenyataan ini.

Kami bertiga terdiam lama di kamar Anty. Gara-gara kejadian ini aku mendapat pelajaran. Jangan mudah percaya sama orang sekalipun dia terlihat kalem dan baik karena semua orang punya cara pencitraannya masing-masing.

***