Sejak kuliah aku terpaksa mengganti nomor ponselku agar satu operator dengan Anty, Silvi, dan Tita karena gara-gara beda operator aku jadi sering ketinggalan berita. Mereka bertiga berkirim SMS tanpa sepengetahuanku. Jadi ketika ada jeda libur hanya aku yang tak tahu info terbaru. Mereka hanya mengirimkan SMS sekali dua kali selama libur. Itupun kalau infonya sudah dalam level emergensi.
"SMS ke lo mahal sih, Mir, karena beda operator makanya kita jarang SMS lo." Begitu dalih Anty.
"Makanya lo ganti kartu dong. Ganti operator biar bisa dapet gratisan. Kan kalo SMS ke sesama tiga kali bisa langsung dapet gratisan sepuasnya selama 24 jam." Rayu Tita maut.
"Iya, biar ga dikacangin. Nanti kalo ada gosip terbaru kan kita bisa SMS lo terus." Bujukan Silvi tak kalah maut.
"Iya. Lagian katanya operator kartu lo itu sering ga ada sinyal kalo pas lagi di hutan belantara," nada bicara Anty setengah mengejek.
Tapi itu memang benar adanya. Setiap kali aku hendak ke Purwokerto dari Pekalongan dengan naik mobil travel, aku harus melewati hutan jati hampir sepanjang perjalanan. Sialnya, ponselku sering kehilangan sinyal. Nahasnya, itu berarti aku hampir tidak berkomunikasi dengan siapapun selama 4 jam perjalanan yang seringnya membosankan itu.
"Jadi aku harus ganti nomer nih?"
Anty, Tita, dan Silvi mengangguk antusias lalu bersorak, "ganti, ganti, ganti!!" dengan semangat.
Akhirnya akupun membeli nomor baru dengan operator yang sama dengan yang dipakai mereka bertiga. Anehnya, nomor baruku yang baru berumur seminggu- dan hanya diketahui oleh orang tuaku dan mereka bertiga- mendapat SMS dari nomor tak dikenal. Lucunya SMS itu berisi permintaan perkenalan.
Hai. Boleh kenalan ga?
Aku mengernyit heran tapi kupikir tak ada salahnya membalas pesan ini. Toh, misalkan iseng juga aku cuma menganggapnya tak pernah ada.
Boleh. Balasku.
Anak mana? Kuliah? Dimana? Si pengirim mengirim SMS balasan lagi.
Aku tersenyum. Aku membalas dengan jujur. Tak kusangka si pengirim membalasnya dengan sesuatu yang membuatku terkejut.
Loh, kamu kuliah disitu? Aku ngontrak deket situ loh. Cuma kuliahnya di kampus pusat. Ambil hukum.
Wah, FH? Di kepalaku langsung terbayang sosok cowok ganteng nan tajir karena stereotip mahasiswa FH pastilah kaya raya dan keren.
Besok ada kuliah? Tanya si pengirim.
Ada. Dari jam 7 sampe siang. Kenapa?
Gimana kalo kita ketemuan besok?
Mmm, tiba-tiba si pengirim SMS itu mengajakku ketemuan. Jujur aku tidak pernah mengalami hal-hal seperti ini sebelumnya karena aku belum pernah pacaran. Aku agak takut tapi Anty dan Tita mendukungku..
"Ga papa kali, Mir, cuma ketemuan aja mah. Kalo ga sesuai ya udah ga usah SMS-an lagi." Kata Anty santai.
"Mmm, gitu ya?" Aku masih ragu.
"Udah, iyain aja. Emang kalo ketemu doang bakal diapain sih? Apa yang lo takutin sih sebenernya?" Silvi yang memang lebih expert di dunia per-lelaki-an menyahut santai.
"Takut ga sesuai ekspektasi." Aku nyengir.
"Makanya ga usah expect apa-apa. Udah santai aja. Intinya kalo ga cocok ya bye aja." Silvi memberi dorongan.
Akhirnya aku mengiyakan permintaan si pengirim. Oh ya, dia menyebut namanya Nathan. Dia bilang agar nanti lebih mudah memastikan saat ketemu. Kami janji bertemu di warung mi ayam depan kampus sastra pukul dua belas begitu aku selesai kuliah dan saat makan siang.
Warung mi ayam depan kampus cukup ramai kalau waktunya makan siang seperti sekarang ini. Aku mencari-cari meja yang hanya diisi satu orang karena Nathan bilang sudah sampai lebih dulu. Aku cukup kesusahan mencari orang di antara meja-meja yang penuh oleh manusia ini. Sampai akhirnya...
"Samira?" Panggil seseorang di meja pojok paling dekat pintu masuk.
Aku menengok ke arah suara. "Nathan?"
Cowok itu mengangguk. Dia memang mengaku angkatan 2004. Berarti dia lebih tua dua tahun dariku. Dan, ya, cowok itu memang terlihat lebih tua dengan jambang kasar yang menghiasi wajahnya serta rambut jabrik berantakan. Meski dia akan jauh terlihat lebih tampan andaikan dia mau sedikit bercukur. Dia hanya mengenakan sweatshirt longgar warna salem dan celana boxer. Celana boxer, demi Tuhan! Astaga! Dia mau ketemuan dengan cewek yang baru dikenalnya dengan memakai celana boxer. Aku tak tahu harus mensugesti apa pada diriku sendiri melihat penampilan Nathan di depanku ini. Apa dia tipe orang dengan prinsip: Physical appearance doesn't matter but true self does? Ataukah dia hanya kehabisan celana yang lebih proper karena lupa mencuci?
"Hai," aku melambai ke arahnya.
Dia menggeser kursinya agar aku duduk di sebelahnya tapi aku justru memilih duduk di kursi di hadapannya.
"Sudah pesen?" Tanyaku.
"Udah. Dua. Kamu juga belum makan kan?"
Aku mengangguk sambil tersenyum. Aku berdeham kemudian tanyaku, "kamu baru bangun tidur?"
Dia nyengir sambil mengacak-acak rambutnya. "Ah, iya. Keliatan banget ya?"
Aku hanya tersenyum dan berharap dalam hati dia tak melewatkan gosok gigi sebelum kemari karena itu akan menghilangkan napsu makanku.
"Emang udah ga ada kuliah?" Tanyaku lagi.
"Oh, udah nggak. Udah mulai dikit kuliahnya. Kan aku udah semester lima."
Kami pun bercengkrama sambil menikmati mi ayam. Lalu ada satu percakapan yang membuatku terngiang.
"Aku ga nyangka kamu pake jilbab," katanya.
"Emang kenapa kalo aku pake? Kalo kamu yang pake baru aneh," gurauku.
Dia tersenyum. "Aku kristen."
"Terus kenapa?" Tanyaku dengan dahi berkerut karena bingung. "Mau islam atau kristen cowok emang ga boleh pake jilbab, Than." Aku terkekeh geli.
"Biasanya cewek-cewek muslim gitu maunya kenal sama cowok muslim juga."
Aku tergelak. "Kita kan cuma kenalan. Bukan mau nikah, Than. Apa ada rumusnya orang kalo berteman harus dengan pemeluk agama yang sama? Ga ada Bhinneka Tunggal Ika dong kalo gitu? Lagian cewek muslim mana yang begitu?"
Nathan mau tak mau ikut tersenyum. Kami mengobrol cukup banyak. Nathan sebenarnya pribadi yang cukup asyik diajak mengobrol karena punya wawasan luas. Mungkin karena dia kuliah di FH. Tapi obrolan kami harus berakhir karena aku harus kembali kuliah.
"Oke kalo gitu. Thanks, Mir, udah nemenin makan siang. Mi ayamnya biar aku yang bayar." Nathan sudah mengacungkan selembar lima puluh ribuan pada mas-mas penjual mi ayam sebelum aku mengeluarkan dompetku dari tas.
"Oh, makasih banget, Than. It's nice to know you," kataku.
Nathan tersenyum. Kami pun berpisah jalan. Aku menyeberang menuju kampus sedangkan Nathan mengendarai motor matic-nya pulang ke kontrakannya.
"Gimana gimana?" Tanya Anty, Tita, dan Silvi antusias setelah kami bertemu kembali di kampus.
Aku memberi isyarat dengan melintangkan tangan dari kiri ke kanan seolah sedang menggorok leher.
"Ga berhasil?" Tanya Anty entah kenapa seperti kecewa.
Aku menggeleng. "Nggak juga. Orangnya sebenernya asyik diajak ngobrol cuma masa penampilannya gitu sih?"
Aku menceritakan pada mereka soal pakaian yang dikenakan Nathan dan bagaimana keadaannya saat bertemu denganku.
"Jangan-jangan dia abis mabok?" Silvi menaruh kecurigaan.
Aku menggeleng. "Dia ga bau alkohol kok. Ga keliatan tipsy juga. Mungkin emang beneran abis bangun tidur. Ngegame mungkin?"
"Ah, bisa jadi!" Kata Silvi.
"Tapi masa pake boxer sih?" Kali ini Tita yang bersuara. "Mau ketemuan sama kenalan cewek masa gitu amat? Ga ada niat pengen bikin first impression apa gimana gitu?"
"Mungkin karena udah nebak bakal ketemu sama cewek yang biasa-biasa aja?" Kataku.
"Lo manis ah," puji Anty tumben-tumbenan.
"Ah, udahlah. Ngapain dipikirin sih?" Kataku lagi. "Kan cuma kenalan aja."
Sejak saat itu aku dan Nathan tak pernah berkomunikasi lagi. Apalagi aku mengganti ponselku sehingga nomor yang tersimpan di ponsel otomatis hilang termasuk nomor Nathan. Aku sempat mendapat permintaan pertemanan di Facebook dengan nama Nathanael Elka Ginting tapi karena setelah aku terima permintaan itu tak ada apapun akhirnya aku juga cuma diam saja. Toh, kami cuma memang sekadar kenal. Kalau kami berjodoh untuk menjalin pertemanan pasti akan ada jalan.
***