4 Sialnya Diriku ***

follow dan tinggalin jejak ya say

***

Akhirnya aku bisa bernafas lega setelah susah payah meminumkan pencegah kehamilan itu pada Anin. Meskipun harus beli sendok, minuman manis, permen, dan apapun itu aku rela. Setidaknya dengan begini aku tidak akan merasakan apa yang kak Ranu rasakan, menghamili anak umur 16 tahun. Memalukan.

Ketika kucermati wajahnya yang berangsur lega tapi tetap mencuri lirikan-lirikan ketakutan padaku, tiba-tiba saja muncul hembusan angin iba membelai peri kemanusiaanku. Teganya aku menyakiti gadis kecil ini. Teganya aku melontarkan kalimat-kalimat keji tadi.

Anindya.. Kenapa kamu harus bernasib seperti ini? Tapi harus bagaimana lagi, semua sudah terjadi di luar kehendak kita. Tanpa kita mau telah berada pada situasi yang salah. Pada akhirnya apapun yang terjadi, mari bersama-sama melupakan hal ini.

"Nin, mari lupakan semua." Tuturku lembut. Tenang bak air menggenang. "Anggap saja semalam tidak terjadi apa-apa. Jadi, jangan ceritakan hal ini pada siapapun. Cukup kita simpan sendiri sampai kapanpun."

Akibat permintaan itu, kembali beberapa lirikan menyambangiku. Dia ragu-ragu, masih ketakutan melihatku. Aku mengerti, untuk remaja puber seperti Anindya, yang lugu dan sepertinya kutu buku, katakan saja having sex sebagai hal yang tabu, aneh, bahkan mungkin menjijikkan.

"Nin.. Aku minta maaf. Kamu mau kan memaafkanku?" Tanyaku pelan sekali.

Anin masih terdiam seraya meremasi ujung rok birunya. Semakin menggunduk rasa bersalahku. Sakit sekali rasanya menodai anak kecil sepolos Anin. Seragamnya masih putih biru, logo OSIS-nya masih kuning, dan aku? Lelaki dewasa tak tahu malu, begitukah julukku?

"Nin, kamu punya pacar?" Selidikku. Kurasa perlu saja bertanya hal ini. Kalau Anin mengadu tindakanku pada pacarnya bisa berakibat bahaya juga. Atau kalau pacarnya bejat juga bisa ketahuan bahwa aku sudah mendahuluinya.

Anin menggeleng. Syukurlah. Ada kelegaan tersendiri di dadaku. Bisa kubuang nafas berikutnya dengan lebih santai.

"Kamu mau memaafkanku kan Nin?" Jika sudah begini aku lebih tampak bagai pengemis daripada penjahat kelamin.

Aku tahu pertanyaan semacam itu tolol. Menukar harga keperawanan dengan kata maaf semata, tapi memang tak ada lagi yang lebih cocok. Aku mau bilang akan menikahinya? Ah tidak mungkin, tidak mungkin! Lagi pula aku rasa Anin tidak akan punya keinginan kesana. Melihat seberapa besar ketakutannya padaku, jangankan ingin, berpikir pun mustahil.

"Nin.. Jangan menangis lagi. Mau kan memaafkanku?" Aku dehidrasi akan jawaban ya. "Aku tidak sengaja Nin.. Aku khilaf."

Pelan, kulihat anggukan kepalanya. Maaf. Dia mau memaafkanku, ikhlas atau tidak bukan lagi urusan, karena yang penting sekarang dia mau memaafkanku. Sementara itu cukup.

"Terima kasih Nin.." Balasku lirih.

Dia terdiam. Masih berkutat dengan ketakutan.

***

Esok hari.

Sejak kemarin Anin menghindari kontak mata denganku. Saat kusapa agar kekakuan di antara kami lebih mencair pun dia hanya mengangkat kepalanya sejenak lalu kembali menunduk.

Saat makan malam tadi pun dia tak banyak menyahuti pertanyaan Riri. Yah, orang tuaku mengundang pasangan calon pengantin itu makan di rumah. Kata Mama sekedar mencairkan ketegangan di antara kami. Sayangnya pemikiran itu salah besar. Aku malah semakin tegang menghadapi kakak, mantan kekasih, sekaligus gadis kecil yang kunodai dua hari lalu. Entahlah, semacam ada salah tingkah.

Rasanya muak. Semua rasa makanan pahit dan hambar. Perhatian Kakakku pada Riri dan putri kecil mereka membuatku ingin muntah. Tak tahu malu. Parahnya orang tuaku pun turut menjadikan anak haram itu pusat perhatian. Aku? Hanya pajangan yang dikesampingkan. Alasan berkedok mencairkan suasana sebenarnya justru akan membekukan semua.

Melihat tingkah mereka, ternyata mengalihkan perhatianku agar terpusat pada Anindya yang menunduk saja di sampingku. Mungkin dia risih karena kami berdekatan. Dia jadi semakin tak banyak bicara. Lagi-lagi muncul segelintir rasa ibaku padanya.

Aku menoleh, mengamati sisi wajahnya yang imut. Rambut halus di depan telinganya tampak pas melebur bersama putih kulitnya. Rambutnya diikat ke belakang menampilkan lehernya yang jenjang. Lengannya kecil, jarinya kecil, termasuk dadanya juga kecil.

Shit! Kenapa pikiranku lari ke dadanya? Dan sekarang tak bisa kukontrol mataku turun ke pahanya. Lalu membayangkan lipatannya di dalam. Ah diam-diam aku bahkan menelan ludah. Kurasakan isi celanaku sesak. Aku mengingat rasa ketat yang memijat Jack malam itu.

Ahh Nin semakin sesak isi celanaku.

Rama, kamu predator yang sesungguhnya. Bagaimana mungkin anak SMP yang masih kesulitan menelan obat dapat begitu menggodamu? Kamu ingin dia lagi?

Ya, aku ingin, tapi belum gila untuk melakukannya lagi.

***

Ruang tamu keluarga Aditya.

"Sebaiknya kamu cepat menikah.."

Masa bodoh dengan kalimat sok menggurui dari wanita di sampingku. Kukira dia masih takut padaku karena aku pernah mencoba memperkosanya tempo hari. Ternyata hari ini dia lebih tegar menghadapiku.

"Apa pedulimu? Pikirkan saja dirimu sendiri, juga bocah hasil kumpul kebo kalian itu." Pedas sekali jawabanku untuknya.

"Rama.. Coba kamu pikirkan, mana mungkin aku menikah denganmu jika aku sudah pernah melahirkan anak kak Ranu, kakak kandung kamu sendiri. Tolong ikhlaskan kami.." Kalimatnya mengiba.

Aku diam. Peduli setan!

"Baiklah, tidak masalah kamu tidak memaafkanku, asal jangan berpikir untuk mengulang masa lalu kami."

Alisku mengernyit. Tunggu, apa maksudnya dengan mengulang masa lalu kelam mereka?

"Jangan pernah berpikir bahwa dendam akan menuntaskan semua." Sepertinya Riri menyadari ketidakpahamanku.

"Maksudmu?" Tanyaku tak tahan.

"Aku melihat caramu memandang Anin, dan kutemukan tatapan yang berbeda. Jangan Rama, jangan berpikir untuk.."

"Untuk apa?" Potongku cepat. Keras. "Apapun yang kulakukan dengan Anin bukan urusanmu! Bukankah usiamu sama seperti Anin saat kalian melakukan hubungan badan dan menghasilkan anak haram itu huh??"

"RAMA!!"

Baiklah, aku mengenal bentakan keras itu meluncur dari bibir siapa. Seperti yang kuduga, aku menoleh ke belakang dan menemukan kak Ranu menghampiri dengan raut emosinya. Ia melewatiku lalu memeluk Riri yang tersedu di depanku. Pamer huh?

"Nora bukan anak haram! Nora anak kami, yang sengaja orang tua kami pisahkan dengan orang tuanya. Asal kamu tahu, Papa mengirimku ke Amerika sesaat setelah tahu aku meniduri Riri. Lalu ayah Riri sengaja memisahkan Nora hanya selang dua minggu setelah melahirkannya. Kurang tragis apa nasib kami??"

Aku tertawa. Lucu sekali kalimat kakakku ini. Drama yang dia buat sangat jauh dari kata sempurna.

"Kamu sangat menggelikan Kak, haruskah aku bertepuk tangan setelah mendengarnya?" Tawaku ironi. "Kenapa tidak sekalian kamu salahkan semua orang, hingga Papa dan Mama pun ikut kamu persalahkan padahal sudah jelas semua kesalahan ada pada kalian."

Kakakku memilih diam. Tampak menyiapkan kata yang akan mementahkan ucapanku.

"Aku akui kesalahanku menodai Riri di masa lalu. Tapi aku bersedia bertanggungjawab. Jadi silahkan pastikan sendiri kebenaran ucapanku." Kak Ranu mengggandeng Riri menjauhiku."

Dia tidak main-main. Aku bisa menemukan kejujuran yang tertahan di kedua kilau matanya yang menusukku dengan tajam. Benarkah Papa dan Mama pun terlibat dalam takdir kami? Artinya penyebab semua kekacauan ini adalah orang tuaku sendiri?

Aku harus memastikannya.

***

Langkahku gontai. Pembenaran seperti apapun tak sanggup kuiyakan. Ini tak benar. Ini salah. Namun ini kenyataannya.

Aku keluar dari ruang kerja Papa tanpa punya selera hidup. Ternyata kak Ranu benar. Papa mengirimnya ke Amerika sengaja untuk memisahkannya dengan Riri.

Damn! Andai hal itu tak terjadi, tidak perlu ada perasaanku yang sampai padanya. Tidak perlu ada waktu dimana aku dan Riri menjalin asmara. Tidak perlu ada cinta lama yang bersemi kembali antara dia dan Ranu kakakku. Tidak perlu ada penghianatan mereka yang menyakitiku. Tidak perlu, semua tidak perlu..

Aku bodoh, dan kurasa seluruh orang di dunia, termasuk keluargaku sendiri telah membodohiku. Betapa beruntungnya kak Ranu, dan betapa sialnya diriku.

***

Follow dan tinggalkan jejak ya say...

avataravatar
Chapitre suivant