"You are the rain. Which when it falls down, it will flush the earth swiftly."
[ANGELIC DEVIL: The Crown]
Apo pun tertegun sesaat. Dia coba mencerna apa yang Paling katakan, tapi cukup kesulitan. Bukankah seniornya ini sempat memberi batasan? Mengapa sekarang berubah?
"Ahaha, terima kasih, Phi," kata Apo. "Tapi, aku baik-baik saja kok. Ini tidak seperti yang Phi bayangkan."
"...."
"Mn, aku mungkin hanya banyak pikiran." Apo nyengir untuk meyakinkan. "Maksudku, ya ... badanku memang di sini, tapi kadang-kadang ingat rumah. Baby-baby-ku mungkin sedang mencari."
Paing pun menepuk bahu kiri sang Omega. "Alright, just prepare," katanya dengan senyum tipis. "Tetap kuat untuk mereka, hm?"
"Oke," kata Apo. Dia kemudian memberesi tisu-tisu yang sudah dipakai. Namun, saat melihat sapu tangan Paing penuh darah, dia sedikit merasa segan. Benda itu punya logo khusus pada pojokan. Warnanya keemasan dengan sulam apik. Terdiri tiga digit abjad RDT--yang merujuk pada Perusahaan Rachrood Dynamics Thailand--pertanda produk sendiri. (Oh, mungkin semua hal yang Paing kenakan juga begitu).
Demi apapun, harum parfumnya masih terhirup diantara anyir darah. Bukan seperti miliknya yang dibeli dari dari butik orang lain.
"Oh, iya. Soal ini ...."
"Hm?"
"Aku berhutang lagi pada Phi," kata Apo. Lalu menatap Paing lurus. "Maksudku, tolong hitung saja agar aku tidak bingung. Jadi, suatu saat mungkin bisa kubayar? Jangan membuatku mengurasmu terus menerus."
Kata-kata penolakan Paing pun berhenti. Dia paham Apo tipe yang menjunjung harga diri, maka tidak heran sang Omega memperjuangkannya. "Oke," katanya. "Keep it easy, Apo. Aku tidak terlalu memikirkannya."
"Hm."
Mereka pun keluar beberapa saat kemudian. Keduanya mengobrol normal seolah tak ada insiden. Toh mimisan itu tidak sampai mengenai outfit. Segala hal terkendali hingga Apo kembali duduk, tapi tidak untuk Paing Takhon.
Alpha itu mendadak dipanggil seorang presdir dari perusahaan lain. Namanya Fang Airattaron Thassabak, cukup tua, tapi masih sangat cekatan. Lelaki itu juga tersenyum lebar saat menyalami Paing. Namun, kehangatan obrolan mereka membuat Apo heran. Bukankah keduanya tak saling mengenal? Sayang tidak lagi setelah fakta didengarnya dengan jelas.
"Iya, iya. Puteraku sekarang di luar menunggu. Dia bisa ditemui sehabis acara, walau tidak bisa lama-lama. Apa Anda bersedia? Kalian bisa saja jadi pasangan yang baik."
DEG
"Oh, perjodohan?" batin Apo. Matanya pun refleks melirik sekilas, tapi cepat mengalihkan fokus ke panggung kembali. ".... itu memang kedengaran sangat normal, tapi agak tidak kusangka Phi mengambil cara seperti ini."
"Baik, itu bagus. Terima kasih sudah menyampaikan," kata Paing dengan senyum lebarnya. Alpha itu menekan jabatan pertanda menyambut baik. Bahkan meski tawaran ini datang mendadak. "Saya nanti pasti temui dia segera. Maaf juga sudah merepotkan Anda."
"Tidak apa-apa, ya ampun ...." kata Fang sambil menepuki bahu Paing. "Anda ini tidak perlu sungkan. Ha ha ha. Baiklah kita lanjut acaranya. Ayo."
"Hm, lewat sini," kata Paing. Alpha itu pun berpisah dengan Fang setelah melewati dua baris. Dia duduk di sisi Apo kembali. Lalu menyesap wine dengan santainya, seolah kejadian tadi merupakan hal sederhana.
"Mm, puteranya Tuan Fang itu ... yang namanya Bie Hsu Thassabak, kan?" kata Apo yang kepalang penasaran. Dia pun membuat Paing tertawa, walau kedengarannya sedikit segan.
"Iya, Bie Hsu," kata Paing membenarkan. "Apa obrolan kami sejelas itu? Tuan Fang memang orang yang sangat esktrover."
"Mm, ya. Begitulah. Beliau memang terkenal dengan supelnya."
Paing pun mengangguk-angguk. "Tapi, darimana kau tahu Bie Hsu? Bukankah dia tinggal di luar negeri selama ini? Apa aku hanya salah dengar."
Apo pun mengalihkan pandangan. "Mn, mungkin karena senasib?" katanya pelan. "Aku ingat karena dia Omega dengan perawakan Alpha sepertiku. Hanya saja versi lebih jujur. Kudengar dia senang berkeliling dunia. Tapi rumor yang tersebar mungkin tidak lama lagi."
"Oh ...."
"Selain karena Pa bersahabat dengan ibunya. Kami juga pernah bertemu, kok. Tapi di acara apa lupa. Mungkin show singing antar mahasiswa kampus? Jadi, aku agak iri saja," kata Apo, yang langsung memperbaiki kata-kata. "Ah! Maksudku, iri karena dia bisa percaya diri. Sementara aku, ya ... baru setelah mengenal suamiku."
Paing mengulum senyumnya yang memesona. "Tenang saja. Orang itu beda-beda," katanya. "Lagipula kalau tak begitu ... mungkin kau yang sekarang tak bertemu suamimu."
DEG
"Eh?"
Baru saja Apo ingin menanyakan sesuatu, Paing malah mendadak berdiri. "Mm, sebentar. Aku mengangkat telepon dulu," pamitnya sembari merogoh ponsel yang bergetar di dalam saku. "Permisi."
Apo pun mengangguk pelan. Dia bertepuk tangan bersama para hadirin. Karena MC bilang penutupan acara akan dimulai. Hal itu membuat langkah-langkah Paing makin tak terlihat, apalagi semua tamu diminta mengheningkan cipta sambil berdiri.
"Ah, jadi Phi akan menikah," batin Apo dengan tatapan menerawang ke depan. Dia tak menutup mata seperti yang lain, melainkan berimajinasi. Tentang betapa beruntungnya Bie Hsu, seandainya Omega itu benar-benar berdampingan dengan Paing di altar nantinya. "Karena mereka dipasangkan saat sama-sama siap, sukses, dan benar-benar serasi," lanjutnya mengakui. ".... mungkin harusnya aku dan Mile tidak terburu-buru seperti mereka."
Paing tidak masuk gedung lagi begitu panggilannya berakhir. Semua karena acara ikut selesai, apalagi Apo berjalan di sisi sang suami menuju parkiran. Dia tak perlu sungkan karena lupa mengatakan "Sampai jumpa", lalu segera menemui putera Tuan Fang.
"Halo, Tuan Takhon?" kata Bie Hsu coba memastikan.
"Ya, aku," kata Paing sembari menjabat tangan sang Omega. Mereka pun berjalan berdampingan sambil tersenyum. Sesekali mengobrol, meski belum mengenal secara resmi.
Sungguh, semua lancar-lancar saja karena keduanya orang terbuka. Jadi, komunikasi bukan lah hal sulit. Apalagi melakukannya sambil makan malam. Paing dan Bie Hsu bahkan mengangkat topik masa kini dengan nyaman. Tak lupa bertukar pikiran tentang beberapa ide.
"Ha ha ha ha ha, tak masalah, serius," kata Paing karena Bie mendadak meminta maaf. Sang Omega ternyata sungkan karena pertemuan mereka selarut ini. Ditambah ajakan makan di luar jadwal hidup sehatnya. "Toh aku belum makan malam juga. Sesekali jam segini takkan berpengaruh. Sekarang coba lanjutkan yang tadi? Kau bilang apa soal kejadian di Munich?"
Bie Hsu malah menggeleng pelan. "Tidak ada lanjutannya, kok. Hanya sampai aku mencoba dansa jalanan," katanya dengan nada jenaka. "Tapi itu salah satu pengalaman favoritku. Ha ha ha, wanita jerman memang banyak yang cantik."
"Mn, hm. Kudengar mereka juga pandai menari," kata Paing membenarkan. "Maksudku soal pertunjukan outdoor seperti itu. Aku sendiri pernah menonton."
"Oh, ya? Kapan?"
"Mungkin tahun 2009-an?" kata Paing. "Entahlah. Saat itu sedang libur jalan-jalan dengan teman."
"Oh .... so cool."
Mereka pun tertawa karena punya kesamaan selera hiburan. Tidak harus mahal, memang. Tapi unik hal yang tak boleh dihilangkan.
"Baiklah, kapan-kapan mau bertemu lagi?" tawar Paing yang sedikit tertarik. "Mungkin saat kau sudah tak sibuk di luar. Kita sesuaikan jadwal masing-masing saja."
Bie Hsu pun mengangguk dengan senyum tampannya. "Oke, oke. Tentu," katanya. "Lagipula siapa yang akan menolak Anda? Alpha tampan dengan segudang prestasi? Akan kuluangkan waktu selama bisa."
"Good," kata Paing sebelum mengadu gelasnya dengan Bie Hsu. Mereka pun saling melempar senyum, tapi tidak lagi saat Bie menerima panggilan.
"Ah, sebentar. Sepertinya Pa sedang butuh sesuatu," kata Bie Hsu sambil mengeluarkan ponselnya. "Iya, Pa? Aku masih bersama dengan beliau. Apa ada masalah."
Suara Fang kedengaran agak gugup. "Ya, Nak. Bisa kau pulang sekarang?" pintanya. "Tenangkan Mamamu di rumah. Dia sepertinya syok karena sahabatnya meninggal."
DEG
"Apa? Siapa?"
"Tuan Wattanagitiphat," kata Fang, yang membuat mata Paing ikut menegang. "Barusan jantungnya kambuh dan dibawa ke RS Bumrungrad, tetapi sudah terlambat."
"Ah ...."
"Intinya Pa minta tolong, ya. Kalau bisa antar sekalian untuk menyambangi keluarga mereka," pinta Fang. "Soalnya sopir rumah malah dimarahi waktu menanyai dia. Pa belum bisa pulang karena ada kerjaan."
"Oke, baik, Pa. Jangan khawatirkan soal itu," kata Bie Hsu yang ikutan panik. "Aku berangkat. Ini dalam perjalanan."
"Hm, sudah dulu. Sampaikan maafku untuk Tuan Takhon," kata Fang. "Padahal aku yang meminta kalian bertemu, tapi sekarang malah begini."
"Iya, tentu. Beliau pasti mengerti," kata Bie yang diangguki oleh Paing. Mereka pun menyelesaikan pertemuan itu lebih cepat. Tapi Bie Hsu dilarang Paing untuk naik taksi.
"Tunggu, denganku saja sekalian. Aku pun mengenal keluarga mereka," kata Paing seraya meraih tangan Bie.
"Eh? Iyakah, Phi? Kenapa aku baru tahu?"
Paing pun membukakan pintu untuk sang Omega. "Masuk saja. Nanti kuceritakan saat perjalanan."