25 Bab 25

Rupanya pelarian Airlangga di Desa Patakan cukup berguna. Prajurit Sriwijaya menyisir daerah-daerah di bagian timur tanpa hasil. Para pria yang sudah terlalu lama jauh dari rumah demi peperangan orang lain itu pun menarik kesimpulan bahwa keadaan sudah terkendali. Mereka kembali ke Lwaram sambil menyerahkan tanggung jawab pada Dyah Tulodong untuk terus mengawasi wilayah timur.

Namun, Airlangga itu ibarat rumput liar. Sebentar saja lepas dari pengamatan, maka ia akan tumbuh, lebih lebat dari sebelumnya.

Pemuda itu ditemani dua abdinya yang paling setia datang ke Kahuripan. Meski lokasinya relatif dekat dengan Watan Mas, tempat itu dipilih karena adipatinya masih setia pada Airlangga.

Di sana sang raja juga membuat keputusan yang mencengangkan.

"Watan dihancurkan. Watan Mas pun direbut," ujarnya di hadapan para pengikutnya. "Saya rasa sudah saatnya membuka lembaran baru. Saya tidak ingin mengembalikan kejayaan Medang. Yang lalu biarlah berlalu. Saya akan menuliskan kisah saya sendiri. Kahuripan akan menjadi ibukota baru bagi kemaharajaan saya kelak."

Maka berita segera disebar ke segala penjuru. Tak butuh waktu lama sampai para jendral, prajurit, dan orang-orang setia berkumpul kembali.

Sayangnya jumlah mereka masih tidak cukup untuk melawan Aji Wurawi.

Hanya ada lima ribu bala tentara yang berhasil digalang, sama seperti saat Airlangga pertama kali memulai ekspedisi militer. Sementara di Watan Mas, Dyah Tulodong memiliki pasukan yang hampir dua kali lebih banyak jumlahnya. Dan sang ratu telah mendengar kabar mengenai kebangkitan sang raja. Sesuai janjinya pada Aji Wurawi dan Sriwijaya, ia harus menggempur Kahuripan.

***

Di Kahuripan, rapat penting digelar.

'Bagaimana cara mengalahkan Dyah Tulodong, Panuda, Aji Wurawi, dan Laskar Sriwijaya' adalah topik utama yang dibahas. Para jendral mengajukan pendapat silih berganti, tapi belum ada yang benar-benar tepat sasaran. Tidak mudah merekrut, melatih, dan mencetak prajurit berpengalaman. Terlebih saat mereka kekurangan waktu dan sumber daya.

Narotama mengutarakan taktik menghabisi pemimpin lawan seperti yang dilakukan pada Wisnuprabawa, tapi Niti menolaknya. Sebab waktu itu mereka beruntung karena pria tua titisan Wisnu itu terlalu meremehkan Airlangga.

Kemudian seorang jendral mengemukakan ide yang semakin liar. Ia mengajak Airlangga memindahkan ibukota ke luar pulau agar bisa menghimpun kekuatan di sana.

"Kau gila, ya?" umpat Hasin. "Kalau kita mendirikan kerajaan di Kalimantan, bagaimana caranya Sri Raja menjadi penguasa Tanah Jawa?!"

Sang jendral pun ketakutan lalu memohon ampun.

"Saya pikir posisi kita di Kahuripan sudah strategis," ucap Sri Dewi.

"Kita semua sudah tahu itu tanpa perlu kau beri tahu, perempuan!" timpal seorang jendral.

Airlangga dari singgasananya sekilas sedang mengamati jalannya rapat. Padahal benaknya tengah memikirkan sesuatu yang lain. Sebuah solusi paling bagus, yang dulu ia tolak mentah-mentah karena keegoisannya sendiri. Namun, sekarang sudah bukan waktunya mengedepankan ego.

"Saya punya ide," Airlangga mengangkat tangan. Tadinya semua masih bicara, kemudian satu-persatu diam kala melihat gestur sang raja. Ruangan pun berangsur sunyi. Ketika orang-orang sudah siap mendengarkan, pemuda itu berkata, "Saya akan meminta bantuan Raja Udayana dari Bedahulu. Ayah saya."

Sebelum ada yang menyela, ia melanjutkan, "Tapi sejak dulu Raja Udayana membenci saya. Itu sebabnya saya tak pernah meminta bantuan kepada beliau, bahkan saat saya berada dalam pengasingan. Baginya saya tidak memenuhi syarat untuk menjadi pewaris tahta Bedahulu, oleh karenanya saya dibuang ke Medang sebagai alat politik.

"Sekarang situasinya sudah berbeda. Saya bukan lagi pangeran yang dibuang ke Medang. Saya adalah raja yang membangun Kahuripan.

"Hanya saja ada satu masalah. Selama saya pergi, harus ada yang memegang jalannya pemerintahan."

Para jendral dan pejabat segera menebak-nebak arah pembicaraan. Di sini Airlangga tak memiliki seorang pun yang bertalian darah dengannya. Dan kesetiaan para jendral, pejabat, juga adipati adalah pada Airlangga, bukan pada Narotama apalagi Hasin. Hal terburuk yang mungkin terjadi, mereka memanfaatkan kosongnya tampuk kekuasaan demi keuntungan pribadi. Masing-masing akan berusaha menjadi wakil Airlangga sehingga barisan terpecah sebelum perang.

Untungnya sang raja juga sudah memikirkan solusinya. Ia menarik napas dalam-dalam untuk membulatkan tekad.

"Saya akan menikahi Sri Dewi."

Seisi ruangan langsung terperangah menerima putusan tersebut—bahkan Sri Dewi sendiri.

"Dan sebagai ratu Kahuripan," lanjut Airlangga, "Sri Dewi yang akan mewakili menjaga kerajaan ini selama saya pergi."

Jelas banyak yang tidak terima. Dibandingkan seorang pengawal pribadi, banyak adipati yang ingin menikahkan anak gadisnya dengan sang raja.

Airlangga bisa melihat itu. Maka ia memanfaatkan posisinya sebagai manusia paling agung.

"Saya adalah titisan Wisnu. Titah saya adalah titah dewa. Barangsiapa yang melawan dewa, apakah sudah siap menerima karma?"

Semua orang pun terdiam. Mereka menutup mulutnya rapat-rapat.

"Sri Dewi adalah gadis cerdas dengan kepribadian kuat," jelas Airlangga. "Ia adalah putri dari Pandita Terep, pria yang sangat berjasa dalam pembangunan Watan Mas, serta menggalang dukungan dari penganut Siwa. Keberanian Sri Dewi juga tak perlu diragukan. Saya masih hidup sampai sekarang, adalah bukti pengabdiannya pada saya. Ia yang selama ini selalu berada di sisi saya. Sehingga dalam keadaan darurat ini, kalau ada orang yang bisa menggantikan posisi saya untuk sementara, Sri Dewi lah orangnya."

Selain itu, ada alasan pribadi yang mendorong keputusan ini. Hal yang mungkin sulit Airlangga lakukan dalam keadaan biasa. Sebab dalam hati ia ingin terus bersama Sri Dewi, tapi bukan sebagai raja dan pengawal.

Airlangga juga yakin Narotama akan melindungi Sri Dewi. Pria itu adalah pekerja di balik layar. Sri Dewi akan digunakan sebagai simbol, sementara ia yang menjalankan pemerintahan. Sama seperti bagaimana ia memanfaatkan Airlangga.

"Sri Dewi," ujarnya. "Apa kau bersedia?"

Lalu sang raja mengeratkan geraham. Ia tahu ini tiba-tiba, dan kacau sekali kalau sampai Sri Dewi menolak. Bukan karena rencananya berantakan tapi karena ia akan patah hati.

Sementara gadis itu merasakan panas di dada. Ada kupu-kupu yang terbang di dalam perutnya. Lucunya, ia tidak peduli dengan segala tetek bengek soal pemerintahan. Ia tidak peduli mengenai tampuk kekuasaan, apalagi menjaga kerajaan. Yang ia tahu adalah Airlangga meminta dirinya, dan ia mengangguk.

Airlangga mencelos lega. Kebahagiaannya tak tergambar dengan kata-kata. Kenapa harus mengejar-ngejar Sri Laksmi, sementara di sisinya ada seseorang yang sangat berharga.

Lalu terdengar suara tepuk tangan tunggal yang bertubi-tubi.

"Wooooo selamat, Sri Raja!" seru Narotama antusias.

Yang lain pun mulai mengikuti, memberikan selamat pada sang raja.

Tumanggala mengusap air matanya, berharapnya ayahnya ada di sini untuk menyaksikan pernikahan Sri Dewi.

***

Upacara pernikahan segera dilaksanakan.

Airlangga diarak iring-iringan yang memainkan musik tetabuhan menjemput Sri Dewi di rumah yang sudah disiapkan. Gadis itu mengenakan kain hijau bercorak bunga melilit pinggangnya. Rangkaian manik emas menghiasi kepalanya, sementara gelang emas dan perak bercahaya di pergelangan tangannya. Sang raja sempat terpaku menatap kecantikannya, dan mungkin akan terus begitu andai tak disadarkan oleh pengawalnya.

Kemudian mereka menuju pura untuk meminta berkat nikah dari dari para rohaniawan. Keduanya direstui, dan hubungan mereka diresmikan.

Bagi Airlangga prosesi ini adalah yang kedua kalinya. Namun, ia merasa pernikahan inilah yang sebenarnya.

Selanjutnya mereka ke Balairung, duduk di kursi pelaminan untuk menerima sembah penghormatan dari seluruh tamu yang hadir.

Para pujangga melantunkan himne-himne pujian, diiringi musik yang indah. Berbagai makanan disediakan untuk semua orang.

Umumnya pesta pernikahan raja berlangsung berhari-hari, tapi Airlangga meminta agar acara ini dibuat sehari saja. Karena besok ia harus berlayar ke Bedahulu.

Saat malam tiba, iring-iringan terakhir mengawal Airlangga dan Sri Dewi ke pondokan mereka—sebab istana belum dibangun.

Setelah keduanya masuk pondok, barulah semua orang membubarkan diri. Suasana pun tiba-tiba sunyi.

Ditinggal begini, mendadak membuat Airlangga canggung. Padahal biasanya juga ia selalu didampingi oleh Sri Dewi. Tapi sekarang berbeda.

"Capek ya…" Ia duduk bersandar ke dinding. Tatapannya kaku lurus ke depan. Sesekali ia melirik ke arah Sri Dewi, yang juga cuma duduk diam. Suatu kegelisahan tampak tersirat di wajah gadis tersebut.

"Uh… Sri Raja," gumam Sri Dewi. "Kalau begitu sekarang saya akan melakukan tugas saya."

"Eh…" Dada Airlangga langsung berdentum-dentum tidak karuan. Aliran darah di tubuhnya berdesir liar. Wajahnya panas bukan main. Ia bergerak mendekati Sri Dewi. "Benar, sebagai suami istri—"

"Saya akan menjaga baik-baik Kahuripan selama Sri Raja ke Bedahulu."

"Eh…" Airlangga duduk lagi. Sepertinya mereka punya persepsi berbeda mengenai 'tugas' yang dimaksud. "Iya, aku titipkan kerajaan ini. Mpu Narotama pasti akan membantu."

Sri Dewi mengangguk.

Lalu mereka diam lagi.

Airlangga merasa bodoh.

"Kalau begitu apa sebaiknya kita tidur?" ucapnya. "Aku harus berangkat besok pagi-pagi sekali."

Mungkin ia butuh waktu. Toh pernikahan ini juga politis. Ia tak yakin Sri Dewi memiliki perasaan yang sama dengannya.

Tapi tiba-tiba Sri Dewi mendekat, lalu duduk di sisinya. Kemudian tangan hangat gadis itu menggenggam tangannya. Airlangga tersentak. Ia menoleh. Sang gadis sedang menatap lantai dengan wajah bersemu.

"Maaf jika saya lancang, tapi karena sekarang saya adalah istri Sri Raja, bolehkah kita berpegangan tangan?"

"Ah… tentu saja."

Airlangga balas menggenggam tangan Sri Dewi.

"Kalau boleh, saya ingin mendampingi Sri Raja."

"Aku juga menginginkan itu. Tapi aku merasa harus menghadapi Ayah sendirian. Kalau tidak begitu, aku tidak akan bisa mengalahkan diriku sendiri."

Sri Dewi mengerti. "Saya akan setia menunggu Sri—"

"Panggil aku Airlangga saja. Aku hampir melupakan namaku sendiri karena tidak ada orang yang pernah menyebutnya—kecuali musuh-musuhku."

"Baik. A—" ucapan Sri Dewi menggantung. Ia akan melakukan sesuatu yang kurang ajar, menyebut nama rajanya tanpa gelar. Tapi sekarang sang raja juga merupakan suaminya. "Airlangga."

Siapa sangka sang raja harus menunggu bertahun-tahun sampai Sri Dewi mau menyebut namanya. Permintaan yang sudah ia ajukan di awal pertemuan mereka dulu.

Tiba-tiba kepala gadis itu jatuh di bahu Airlangga. Sang pemuda menoleh, mendapati Sri Dewi memejamkan mata. Ia pasti kelelahan setelah prosesi panjang hari ini.

Aneh, tadinya ia tak pernah membayangkan momen seperti ini akan terjadi. Setelah Mahapralaya, ia kira akan mati membusuk sebagai pertapa. Ia menikmati momen ini beberapa saat, lalu membaringkan Sri Dewi di dipan.

Airlangga merebahkan dirinya di samping gadis itu, memandangi wajahnya yang pulas. Pemuda itu sangat bahagia. Ia tak dikuasai ketakutan ataupun ambisi. Pada saat ini, di tempat ini, ia menikmati kedamaian.

Sang raja pun tersenyum. Sudah cukup. Ia ikut memejamkan mata.

***

Besoknya Airlangga diantar oleh Sri Dewi dan para pejabat ke dermaga. Ia naik sebuah kapal yang menuju Bedahulu.

"Kalian semua baik-baik, ya!" serunya sambil melambaikan tangan saat kapal mulai bergerak. "Mimpi kita untuk menyatukan Tanah Jawa belum berakhir. Baru dimulai, malah. Camkan itu!"

Dan angin segera membawanya menuju ke tanah kelahirannya, tempat yang dahulu mendatangkan kenangan buruk bagi sang raja.

avataravatar
Chapitre suivant