Pagi itu, Nadira keluar rumah dengan suasana hati yang cerah.
Setelah berpamitan kepada ibunya, dia melangkah ke luar dengan rencana sederhana yaitu menikmati udara segar di taman sambil menyelesaikan beberapa tugas yang tertunda.
"Jangan lupa makan siang, ya, Nak," pesan ibunya sebelum Nadira pergi.
"Iya, Bu. Pasti," jawab Nadira sambil tersenyum.
---
Saat berjalan menyusuri jalan kecil yang sepi, Nadira melihat lima laki-laki berdiri di tengah trotoar, mengobrol dengan nada santai tapi tatapan mereka segera tertuju padanya.
Salah satu dari mereka, yang berbadan agak besar, tiba-tiba berkata, "Kamu cantik banget sih, nona. Mau ke mana pagi-pagi gini?"
Nadira berhenti, mencoba tetap tenang. "Maaf, saya mau lewat," katanya singkat sambil melangkah maju.
Namun, salah satu dari mereka melangkah menghadangnya. "Pasti belum punya pacar, kan ? Kalau iya, kita siap nemenin kok."
Laki-laki lain, yang berwajah licik, malah mengambil langkah lebih jauh. Dia mendekati Nadira dan dengan kurang ajar meremas bagian ****.
"Ahh lembutnya" Gumam laki-laki kurang ajar itu.
"Eh, apaan sih lu !" teriak Nadira dengan nada marah.
Nadira langsung melancarkan pukulan ke wajah laki-laki itu.
Dia terjatuh ke belakang, sementara empat lainnya terkejut sejenak.
"Ayo, sini kalo berani !" tantang Nadira dengan nada dingin, tubuhnya siaga dalam posisi bertarung.
Salah satu dari mereka mencoba menyerangnya, tapi Nadira dengan sigap menghindar dan menjegal kakinya, membuat laki-laki itu jatuh tersungkur.
Dua lainnya mencoba menyerangnya bersamaan, tapi Nadira berhasil memanfaatkan teknik bela diri yang pernah ia pelajari saat masih tinggal di Jawa Tengah.
Dalam waktu singkat, kelima laki-laki itu terkapar kesakitan. Nadira segera mengambil tasnya dan melangkah pergi dengan cepat, merasa campuran antara marah dan lega.
---
Setelah berjalan lebih waspada, Nadira akhirnya sampai di taman. Udara segar dan suara burung-burung di sekitar sedikit membantu menenangkan pikirannya yang masih tegang. Dia duduk di salah satu bangku taman, membuka laptopnya, dan mulai menyelesaikan tugas-tugas klub seni yang masih menunggu.
Sambil mengetik, Nadira sesekali membuka folder foto di laptopnya.
Dia melihat kembali foto-foto liburannya bersama Arya di pantai beberapa waktu lalu. Senyum kecil muncul di wajahnya, mengingat momen-momen indah itu.
"Gue harus cerita ini ke Arya nanti," gumamnya sambil melanjutkan pekerjaannya.
---
Tanpa disadari, waktu berlalu begitu cepat.
Langit mulai gelap, dan Nadira memutuskan untuk memesan GOLEBA agar bisa pulang dengan selamat.
Setelah memasukkan alamat tujuan, dia menunggu di depan taman hingga pengemudi datang.
Perjalanan pulang terasa singkat.
Setelah sampai di rumah, Nadira membayar tarif yang tertera di aplikasi, lalu berjalan masuk ke rumah dengan tubuh yang mulai terasa lelah.
Dia langsung menuju kamarnya, Namun, ibunya yang peka segera menghampiri dengan membawa sekotak snack SuperWell.
"Nih, makan dulu biar nggak kelaparan," kata ibunya sambil tersenyum.
"Thanks, Bu," jawab Nadira sambil menerima snack itu.
---
Sambil merebahkan tubuhnya di tempat tidur, Nadira membuka ponselnya dan mengetik pesan ke Arya.
"Arya, hari ini gue kena gangguan sama lima orang nggak jelas. Tapi tenang, gue berhasil lawan mereka. Lo pasti bangga, kan?"
Arya langsung membalas. "Seriusan, Dir ? Lo nggak kenapa-kenapa kan ? Lo hebat banget, tapi jangan terlalu bahaya, ya. Gue khawatir."
Nadira tertawa kecil membaca pesannya
Dia mengetik balasan. "Santai, Kapten. Gue baik-baik aja. Kalau mereka macam-macam lagi, gue tinggal bayangin lo yang nyemangatin dari jauh."
Balasan Arya masuk dengan cepat. "Lo bener-bener bikin gue bangga. Gue bakal ada di belakang lo, walaupun jauh."
Setelah saling bertukar pesan, Nadira mematikan ponselnya dan memejamkan mata dengan senyum kecil di wajahnya.
Hari liburan ketiga, Nadira bangun dengan perasaan menyenangkan.
Setelah rutinitas pagi selesai, dia duduk di depan laptopnya sambil menyeruput teh hangat.
"Kayaknya seru kalau gue tahu lebih banyak soal sekolah Arya, Selama ini kan dia sering cerita, tapi gue pengen lihat sendiri," gumam Nadira sambil membuka browser.
Dia mulai mengetik nama sekolah Arya yang diingatnya,
"SMA Ginearálta Saor in Aisce 1", sekolah menengah atas internasional bergengsi di Irlandia.
---
Website resmi sekolah itu muncul di layar. Desainnya terlihat modern dengan warna hijau dan putih, mencerminkan identitas budaya Irlandia. Nadira mulai menelusuri menu satu per satu, seperti "Tentang Kami," "Program Akademik," dan "Prestasi Siswa."
"Wih, nggak main-main ya sekolah ini. Programnya lengkap banget," pikir Nadira sambil membaca detail program STEM dan kegiatan ekstrakurikuler.
Dia menemukan bagian "Student Spotlight" dan mulai mengetik nama Arya di kolom pencarian. Setelah beberapa detik, hasil pencarian menampilkan beberapa artikel terkait Arya.
"Arya Mahendra, siswa internasional dengan prestasi luar biasa di bidang olahraga dan akademik," bunyi salah satu judul artikel itu. Nadira mengkliknya dengan antusias.
---
Artikel itu merinci perjalanan Arya sebagai siswa internasional yang berhasil beradaptasi dengan baik di lingkungan baru. Dia dikenal sebagai kapten tim basket yang membawa sekolahnya menjuarai turnamen antar sekolah se-Irlandia, sekaligus aktif di program STEM yang menekankan inovasi teknologi.
"Jadi Arya nggak cuma jago main basket, dia juga pintar di kelas. Nggak heran dia sering cerita soal proyek STEM," gumam Nadira sambil tersenyum kecil.
Nadira juga menemukan bahwa Arya pernah menjadi pembicara tamu di sebuah seminar sekolah tentang manajemen waktu untuk atlet pelajar.
Foto Arya dengan jas formal dan senyuman hangat terpampang di artikel itu.
"Dasar Arya, selalu bikin gue kagum," pikir Nadira.
---
Setelah puas dengan informasi dari website sekolah, Nadira penasaran dengan aktivitas Arya di media sosial.
Dia membuka aplikasi GRAM dan mencari akun Arya. Akun Arya langsung muncul, lengkap dengan bio singkat:
"Athlete | Learner | Dreamer | Proud member of SMA Ginearálta Saor in Aisce 1."
Feed GRAM Arya penuh dengan foto-foto yang mencerminkan kehidupannya di Irlandia. Ada foto tim basket sedang latihan, selfie bersama teman-teman kelas di ruang STEM, dan pemandangan indah di sekitar kampusnya.
Salah satu postingan yang menarik perhatian Nadira adalah video pertandingan basket di mana Arya melakukan dunk yang spektakuler. Caption-nya berbunyi:
"Hard work beats talent when talent doesn't work hard."
Nadira meninggalkan komentar kecil di postingan itu: "Bangga banget punya teman kayak lo, Arya."
Setelah dari GRAM, Nadira membuka aplikasi WHITS, tempat Arya sering berbagi pemikiran dan motivasi singkat. Salah satu statusnya yang menarik perhatian Nadira berbunyi:
"Kegagalan bukan akhir, tapi awal untuk jadi lebih baik. Fokus, kerja keras, doa."
Nadira tersenyum membaca status itu. "Arya selalu tahu cara bikin orang semangat," pikirnya.
Dia juga menemukan akun Arya di XIXI, sebuah platform video pendek.
Arya sering mengunggah video latihan basket, tutorial trik sederhana, dan beberapa momen lucu bersama teman-temannya. Salah satu video yang bikin Nadira tertawa adalah ketika Arya terpeleset saat mencoba slam dunk.
----
Tanpa sadar, waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Langit di luar gelap, tapi rasa penasaran Nadira belum hilang. Dia membuka artikel lain tentang siswa internasional di SMA Ginearálta Saor in Aisce 1 dan membaca pengalaman mereka menghadapi tantangan akademik dan budaya.
Dia merasa semakin memahami perjuangan Arya di sekolahnya. Bagaimana Arya harus belajar menyeimbangkan waktu antara latihan basket, tugas STEM, dan kehidupan sosialnya.
"Arya emang luar biasa. Gue harus belajar banyak dari dia," gumam Nadira sambil mencatat beberapa hal di buku kecilnya.
---
Malam semakin larut, dan Nadira merasa matanya mulai berat.
Tapi dia tetap memaksakan diri untuk membaca artikel terakhir di layar laptopnya.
Namun, sebelum selesai, kepalanya mulai terkulai di atas meja.
Laptopnya masih menyala, menampilkan laman tentang program beasiswa yang pernah diikuti Arya.
Secangkir teh yang tadi dia buat sudah dingin di sampingnya.
---
Sekitar tengah malam, ibunya masuk ke kamar Nadira.
Melihat putrinya tertidur dengan posisi yang tidak nyaman di depan laptop, ibunya tersenyum kecil.
"Dasar anak ini, selalu serius banget kalau penasaran," gumam ibunya sambil mematikan laptop dan menyelimuti Nadira.
Dia juga merapikan buku catatan kecil yang tergeletak di meja, lalu mematikan lampu meja untuk memastikan Nadira bisa tidur dengan nyenyak.
Hari Ke-Empat Liburan, Pagi itu, Nadira bangun dengan semangat baru.
Setelah beberapa hari terakhir diisi dengan aktivitas yang beragam, dia memutuskan untuk fokus pada kesehatan tubuhnya.
Pilihan jatuh pada gym favoritnya yang bernama OTOT KAWAT ANTI KENDOR.
Dia membuka lemari pakaian dan memilih baju olahraga yang nyaman tapi juga stylish—kaus crop top hitam dan celana legging abu-abu.
Penampilannya memang lebih terbuka dari biasanya, tapi dia merasa itu akan membantunya bergerak lebih bebas saat berolahraga.
Saat ibunya melihat penampilannya, ekspresi kaget langsung terlihat di wajahnya.
"Nadira, kamu yakin mau pakai baju kayak gitu ke gym?"
Nadira tersenyum kecil. "Iya, Bu. Kan biar nyaman olahraga. Kalau kepanasan nanti malah nggak maksimal."
"Ya udah, tapi jaga diri, ya. Jangan sampai ada yang macem-macem," kata ibunya dengan nada khawatir.
---
Setelah berpamitan, Nadira memesan GOLEBA untuk mengantarnya ke gym.
Perjalanan terasa singkat, dan sesampainya di sana, dia langsung disambut oleh suasana gym yang penuh dengan energi.
Beberapa orang yang sedang berolahraga melirik ke arahnya.
Penampilannya yang sporty dan menarik memang membuat perhatian beberapa laki-laki di sana tertuju padanya.
Tapi Nadira tetap cuek. Dia melangkah percaya diri ke meja pembayaran.
"Mau ambil paket harian, Kak?" tanya resepsionis.
"Iya, paket harian aja," jawab Nadira sambil menyerahkan uangnya.
---
Setelah menyimpan tasnya di loker, Nadira memulai sesi pemanasan di treadmill.
Dia mengatur kecepatan sedang sambil mendengarkan playlist favoritnya lewat earphone.
Langkahnya stabil, dan dia menjaga napas tetap teratur. Selama 15 menit, dia jogging ringan, membiarkan tubuhnya menyesuaikan diri sebelum masuk ke latihan yang lebih berat.
---
1. Latihan Kardio Intens
Setelah treadmill, Nadira pindah ke sepeda statis. Dia mengayuh dengan kecepatan tinggi selama 10 menit, lalu menurunkan kecepatan untuk fase pendinginan. Latihan ini membuat keringat mulai mengalir di pelipisnya.
2. Angkat Beban Ringan
Nadira mengambil dumbbell seberat 2 kg untuk melatih otot lengan. Dia melakukan bicep curls sebanyak 15 kali dalam 3 set, diikuti oleh shoulder press untuk mengencangkan bahu.
"Pantesan Arya selalu bilang latihan beban penting. Lumayan pegel, tapi enak juga," pikir Nadira sambil menyeka keringat di dahinya.
3. Latihan Kekuatan Inti
Nadira berpindah ke matras untuk melakukan latihan core. Dia mulai dengan plank selama 30 detik, dilanjutkan dengan leg raises dan bicycle crunches masing-masing 20 repetisi.
4. Latihan Squat
Selanjutnya, Nadira melatih otot kaki dan bokong dengan melakukan bodyweight squats sebanyak 3 set. Dia juga mencoba jump squats untuk menambah intensitas.
"Squat ini beneran bikin kaki gue berasa mau copot, tapi efeknya pasti bagus," gumamnya sambil tertawa kecil.
5. Stretching
Sebelum selesai, Nadira meluangkan waktu untuk stretching agar tubuhnya tidak kaku. Dia melakukan gerakan peregangan untuk tangan, kaki, dan punggung selama 10 menit.
---
Di sela-sela latihan, beberapa laki-laki mencoba mendekatinya dengan alasan ingin berbicara dan memberi tips olahraga.
"Permisi, Kak. Tadi aku lihat squat-nya bagus banget. Udah sering latihan ya?" tanya salah satu dari mereka.
Nadira hanya tersenyum sopan. "Iya, sedikit-sedikit aja, Mas."
Setelah itu, dia kembali fokus ke latihannya tanpa terlalu memedulikan mereka.
---
Tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam.
Nadira mengambil handuk dari lokernya dan membersihkan wajahnya yang penuh keringat.
Dia memesan GOLEBA lagi untuk pulang ke rumah.
Di perjalanan, tubuhnya terasa lelah tapi puas. Hari itu dia merasa telah memberikan yang terbaik untuk menjaga kesehatannya.
Setelah sampai di rumah, Nadira membayar sesuai tarif di aplikasi, lalu langsung menuju kamarnya.
Ibunya mengetuk pintu sambil membawa segelas air putih dan camilan.
"Nih, makan dulu biar nggak masuk angin," kata ibunya dengan lembut.
"Thanks, Bu," jawab Nadira sambil menerima camilan itu.
---
Sambil merebahkan tubuhnya di tempat tidur, Nadira membuka ponselnya dan mengetik pesan untuk Arya.
"Arya, hari ini gue olahraga berat banget. Ternyata latihan kayak lo beneran bikin badan remuk."
Arya membalas cepat. "Gue tau kok lo kuat, Nadira. Hati-hati aja, jangan terlalu dipaksa. Besok badan lo pasti pegel, he-he."
Nadira tersenyum membaca pesannya. Dia membalas, "Kalau pegel, nanti gue tinggal minta semangat dari lo. Gampang!"
Setelah beberapa kali bertukar pesan, Nadira mematikan ponselnya dan menutup mata dengan senyum manis.
Hari Ke Lima Liburan, Pagi ini, Nadira bangun dengan semangat untuk menghabiskan hari di pantai.
Udara sejuk dan aroma embun pagi di luar jendela membuatnya tersenyum kecil. Dia memutuskan untuk mengubah suasana liburannya dengan pergi ke Pantai Pasir Putih yang terkenal dengan keindahannya.
Setelah mengenakan pakaian pantai kasual berupa celana pendek denim dan kaos putih tipis, Nadira berpamitan kepada ibunya.
"Mau ke pantai, Bu. Biar pikiran lebih fresh," katanya sambil tersenyum.
Ibunya mengangguk. "Hati-hati di jalan. Jangan lupa makan, ya."
"Iya, Bu. Nanti kalau udah sampai, aku kabarin," jawab Nadira sambil memesan layanan JEKO lewat aplikasi.
---
Nadira memilih JEKO karena tarifnya lebih murah dari GOLEBA, dan dia ingin sedikit berhemat.
Tak lama, pengemudi JEKO tiba dengan motor bebek yang sudah agak tua tapi masih terlihat terawat.
"Mau ke Pantai Pasir Putih, ya, Mbak ?" tanya si Mamang dengan ramah.
"Iya, Pak. Udara pagi ini enak banget, ya," jawab Nadira sambil tersenyum.
Sepanjang perjalanan, Mamang JEKO bercerita tentang berbagai wisata pantai di daerah itu, menambah rasa antusias Nadira untuk sampai ke tujuan.
Setelah sekitar 30 menit perjalanan, mereka akhirnya tiba di pantai.
"Sudah sampai, Mbak. Selamat menikmati keindahan pantainya, ya," ujar Mamang sambil tersenyum.
Nadira turun dari motor, membayar ongkos, dan mengucapkan terima kasih sebelum berjalan memasuki area pantai.
---
Pantai Pasir Putih terlihat begitu indah di pagi hari.
Suara ombak yang lembut, pasir yang masih dingin, dan angin yang menerpa wajahnya membuat Nadira merasa tenang.
Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama.
Saat dia sedang menikmati suasana, seorang laki-laki asing mendekatinya dengan tatapan yang kurang sopan.
"Ahh Cantik banget sih kamu, sendirian aja di sini ?" tanyanya dengan nada yang membuat Nadira merasa tak nyaman.
Tindakan laki laki ini tidak sampai di situ.
Beberapa temannya yang lain datang dan mulai mendekat, mengelilingi Nadira dengan sikap yang penuh godaan.
Salah satu dari mereka menyentuh lengan Nadira dengan sangat lembut, sementara yang lain memberi ucapan ****
Awalnya, Nadira merasa bingung dan terlena oleh situasi itu.
Namun, setelah beberapa menit, nadirw tersadar.
Nadira tiba tiba ingat nama Arya di pikirannya.
Nadira merasa bahwa apa yang terjadi ini bukan hanya salah, tapi juga mengkhianati dirinya sendiri.
Dengan cepat, Nadira menguatkan diri.
"Pergi! Jangan macam-macam sama gue!" serunya dengan nada tegas.
Nadira menggunakan seluruh keberanian untuk menjauh dari lingkaran mereka, lalu mencari tempat yang lebih aman di sudut pantai yang lebih sepi.
---
Setelah kejadian itu, Nadira memutuskan untuk melupakan rasa takutnya dan menikmati waktu paginya di pantai.
Dia mencari tempat untuk berjemur, menggelar tikar kecil, dan duduk sambil menikmati semilir angin.
Setelah merasa cukup tenang, Nadira mengambil ponselnya dan mulai berfoto-foto dengan latar belakang laut yang biru.
Dia juga meminta bantuan seorang turis untuk mengambil foto dirinya.
"Thank you so much," kata Nadira dengan senyum ramah setelah fotonya diambil.
Dia bahkan sempat berfoto bersama dengan beberapa turis lain yang tertarik pada senyum cerianya.
Setelah itu, Nadira berjalan ke area warung kecil di tepi pantai untuk mencicipi makanan khas, seperti ikan bakar dan kelapa muda.
Dia menikmati setiap gigitan dengan puas, merasa bahwa semua ini adalah bagian dari liburannya yang tak terlupakan.
---
Langit mulai gelap, dan Nadira merasa sudah waktunya untuk pulang.
Dia memesan layanan JEKO lagi dan merasa lega ketika pengemudi yang datang adalah Mamang yang sama.
"Wah, Mbak masih di sini. Gimana pantainya ? Seru, ndak ?" tanya Mamang dengan nada ramah.
"Seru banget, Pak. Makasih udah nganterin tadi pagi," jawab Nadira.
Perjalanan pulang terasa menyenangkan. Nadira duduk di belakang sambil memejamkan mata, menikmati angin malam yang menyejukkan.
---
Sesampainya di rumah, Nadira langsung masuk ke kamarnya setelah membayar Mamang JEKO.
Tubuhnya lelah, tapi pikirannya masih sibuk memutar kejadian di pantai tadi.
Dia berbaring di tempat tidur dan mengambil ponselnya, ingin mengirim pesan ke Arya, Namun, pikirannya ragu.
"Kalau gue cerita yang sebenarnya, Arya bakal khawatir banget. Tapi kalau gue bohong, rasanya nggak enak," gumamnya pelan.
Akhirnya, Nadira memutuskan untuk tidak mengirim apa pun.
Dia meletakkan ponselnya di meja samping, mematikan lampu kamar, dan menutup matanya dengan perasaan campur aduk.
Hari terakhir liburan Nadira dimulai dengan bunyi notifikasi bertubi-tubi dari ponselnya.
Saat dia menyalakan layar, puluhan pesan dari aplikasi GRAM, WHITS, XIXI, dan grup kelas langsung muncul, membuat ponselnya sedikit lemot.
Nadira hanya menghela napas panjang sambil meletakkan ponsel di meja. "Duh, ponsel gue kayak mau meledak," gumamnya.
Dia menunggu notifikasi selesai sebelum membuka grup kelas. Pesan di grup berisi pengumuman dari kepala sekolah bahwa liburan klub seni sudah selesai dan besok mereka harus kembali dengan semua tugas yang dikumpulkan.
"Besok udah masuk, jangan lupa kumpulin semua tugas. Ketua, tolong koordinir anggotanya," bunyi pesan itu.
Nadira mengetik balasan singkat. "Oke, noted."
Namun, respons singkat itu justru membuat anggota klub seni heboh.
"Dir, kok singkat banget sih? Lo baik-baik aja kan?"
"Dir, tugas gue masih belum kelar. Ada tambahan waktu nggak?"
"Kak Nadira, besok briefing di ruang seni jam berapa?"
Tapi Nadira memilih untuk tidak menjawab satu pun pertanyaan itu. Dia mematikan ponselnya, berdiri, dan memutuskan untuk menjalani hari terakhir liburannya dengan tenang.
---
Nadira menuju kamar mandi untuk mandi, menyikat gigi, dan mengganti pakaian dengan kaos santai dan celana pendek. Setelah merasa segar, dia turun ke dapur untuk sarapan.
"Ibu, ada yang bisa aku bantu hari ini?" tanya Nadira sambil mengambil roti panggang.
Ibunya tersenyum. "Setelah sarapan, tolong bantu Ibu masak, ya. Mau bikin rendang buat makan malam nanti."
"Siap, Bu," jawab Nadira sambil menghabiskan sarapannya.
Setelah sarapan, Nadira membantu ibunya memotong bawang, mengaduk bumbu, dan memastikan daging rendang matang dengan sempurna. Sesekali, dia mencicipi bumbu dan memberikan komentar kecil.
"Ini enak banget, Bu~" kata Nadira sambil tersenyum.
Setelah memasak, Nadira juga menyapu ruang tamu dan halaman depan. Hari itu terasa seperti hari biasa yang sederhana, tapi dia menikmatinya.
---
Saat sedang menyapu halaman, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah.
Nadira mengangkat kepala, dan dari dalam mobil, Ayahnya keluar dengan membawa koper besar.
"AYAH !" seru Nadira dengan wajah terkejut dan bahagia.
Ayahnya tersenyum lebar. "Nadira, Ibu, ini hari libur pertama Ayah setelah sekian lama."
Ibunya keluar dari dapur dengan wajah penuh kebahagiaan. "Pak, akhirnya pulang juga. Kami kangen banget."
Ayah Nadira adalah seorang Pelindung Kebangsawanan Negeri sekaligus anggota Deparlement Development, yang bertugas mengurus segala kebutuhan teknologi, termasuk komposisi ponsel dan barang elektronik lainnya. Pekerjaannya sering membuatnya jarang pulang, jadi momen ini terasa sangat spesial.
"Ayah bawa banyak cerita hari ini," kata Ayah sambil masuk ke dalam rumah, meletakkan koper, dan duduk di ruang tamu.
---
Setelah makan malam bersama, Ayah Nadira mulai bercerita tentang pekerjaannya. Dia menjelaskan bagaimana dia membantu mengembangkan teknologi komunikasi yang lebih canggih untuk kebutuhan kebangsawanan dan rakyat.
"Beberapa minggu terakhir, Ayah memimpin tim buat mengembangkan teknologi baru yang bisa meningkatkan keamanan data di ponsel. Ini penting banget untuk melindungi informasi pribadi kita," ujar Ayah dengan nada bangga.
Nadira mendengarkan dengan penuh antusias. Dia selalu kagum pada pekerjaan Ayahnya yang begitu berdedikasi untuk negeri.
"Ayah, berarti kalau ponsel aku jadi lemot tadi pagi gara-gara notifikasi, itu bukan salah teknologi ya?" tanya Nadira sambil bercanda.
Ayahnya tertawa kecil. "Itu salah kamu, Dir. Jangan biarin notifikasi numpuk, ya."
Cerita terus berlanjut. Ayah Nadira juga membagikan pengalaman lucu saat bekerja, seperti saat dia harus menjelaskan teknologi baru kepada para bangsawan yang sama sekali nggak paham tentang teknologi.
"Bayangin aja, mereka pikir ponsel itu bisa bikin kopi! Ha-ha-ha!" ujar Ayah sambil tertawa terbahak-bahak.
Suasana malam itu terasa hangat dan penuh tawa. Nadira merasa sangat bahagia karena momen ini jarang sekali terjadi.
---
Tanpa sadar, tubuh Nadira mulai terasa lelah. Matanya perlahan-lahan menutup sementara Ayahnya masih bercerita.
"Nadira? Kamu udah ngantuk, ya?" tanya Ayah dengan nada lembut.
Nadira hanya mengangguk kecil sambil tersenyum. Beberapa menit kemudian, dia tertidur di samping Ayahnya, dengan senyum tipis di wajahnya.
Ibunya yang melihat momen itu hanya tersenyum kecil sambil membereskan piring di meja.
Keesokan harinya, Nadira terbangun lebih awal dari biasanya.
Sinar matahari pagi menembus tirai jendela kamarnya, membangunkan dirinya dengan lembut, Ia mengusap matanya perlahan dan menatap jam dinding, Masih pukul 05.30.
"Wah, tumben gue bangun sepagi ini," gumamnya sambil meregangkan badan.
Setelah membersihkan diri, ia mengenakan seragam sekolah dengan rapi dan menyempatkan sarapan bersama Ayah dan Ibunya.
Momen ini terasa hangat karena biasanya meja makan di pagi hari hanya diisi oleh dirinya dan Ibunya saja.
"Semangat, ya, Nadira. Tunjukkan karya terbaikmu di penampilan seni hari ini," ucap Ayah sambil menyeruput kopi hitamnya.
"Siap, Ayah! Doain aja biar nggak ada drama di sekolah nanti," jawab Nadira sambil tersenyum lebar.
---
Saat tiba di sekolah, Ayah Nadira langsung terkesan dengan suasana yang asri dan tertata rapi.
Pohon-pohon rindang berjajar di sepanjang jalan menuju gedung utama, lengkap dengan taman bunga yang dihiasi jalan setapak berlapis batu.
"Wah, sekolah kamu keren juga, ya, Nadira. Ayah jadi pengen sekolah di sini," canda Ayah sambil tertawa kecil.
Nadira hanya terkekeh. "Iya dong, sekolah gue nggak kaleng-kaleng."
Begitu sampai di depan kelas, Nadira disambut oleh sahabatnya, Rina, dan beberapa anggota klub seni lainnya. Wajah mereka terlihat panik, seperti ada sesuatu yang mendesak.
"Dir! Lo ke mana aja? Kita butuh lo sekarang!" Rina langsung menarik tangan Nadira.
"Eh, ada apa? Santai napa, gue baru nyampe!" Nadira mencoba menenangkan temannya, tetapi tatapan mereka membuatnya sadar bahwa sesuatu benar-benar sedang terjadi.
"Backdrop panggung kita kena air hujan semalem! Semua catnya luntur, terus warnanya jadi jelek banget," ucap Arga, salah satu anggota klub yang memegang peran dekorasi.
"Hah? Seriusan? Kok bisa?" Nadira membelalak, merasa sedikit kesal tapi juga khawatir.
"Iya, gue lupa ngamanin kainnya semalem. Maaf banget, Dir," ujar Arga dengan nada bersalah.
Ayah Nadira, yang masih berdiri di dekat mereka, mendengar percakapan itu. "Jangan panik. Semua masalah pasti ada solusinya. Nadira, kamu pemimpin klub, kan? Coba atur strateginya."
Nadira menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Oke, gini. Kita pakai kain cadangan aja. Ada kan, kain polos yang belum dipakai?"
"Masih ada, tapi warnanya nggak terlalu mencolok," jawab Rina.
"Gampang. Kita tambahin ornamen dari kertas warna. Lo yang bagian dekorasi, segera cari tim buat bikin pola sederhana. Gue bantu kalian nanti setelah gladi resik," instruksi Nadira dengan nada tegas tapi tetap kalem.
Anggota klub segera bergerak sesuai arahan Nadira. Sementara itu, Ayahnya tersenyum bangga melihat bagaimana putrinya memimpin dengan tenang meski situasinya cukup menegangkan.
---
Waktu gladi resik tiba.
Klub seni Nadira tampil memukau meski backdrop belum sepenuhnya selesai. Penampilan mereka lancar, tetapi masih ada beberapa hal yang harus diperbaiki.
"Suaranya bagus, tapi tambahin ekspresi, ya," komentar Nadira pada Tania, vokalis klub yang akan berduet dengannya.
"Oke, gue bakal lebih ekspresif nanti," jawab Tania dengan semangat.
Setelah gladi resik, Nadira langsung membantu tim dekorasi menyempurnakan backdrop. Tangan mereka bergerak cepat, memotong, menempel, dan memastikan semuanya terlihat sempurna.
---
Sore harinya, acara seni dimulai.
Aula sekolah dipenuhi siswa, guru, dan orang tua yang antusias menyaksikan berbagai penampilan. Saat giliran klub seni Nadira tiba, seluruh anggota bersiap di belakang panggung.
"Nadira, lo siap ?" tanya Rina sambil menggenggam tangan Nadira.
"Siap banget. Let's go !" jawab Nadira penuh percaya diri.
Mereka naik ke panggung dengan senyuman, disambut tepuk tangan meriah dari penonton.
Lagu "Akhiri Bersama" mengalun indah, dinyanyikan dengan harmoni yang memukau.
Nadira dan Tania berhasil menyampaikan emosi lagu dengan begitu baik, membuat beberapa penonton bahkan ikut bernyanyi pelan.
Di akhir lagu, gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan. Nadira tersenyum lebar, merasa lega sekaligus bangga. Semua kerja keras mereka terbayar lunas.
---
Setelah acara selesai, Nadira dan anggota klub seni membantu membersihkan aula.
Suasana terasa akrab dan hangat, dengan tawa dan candaan yang terus terdengar.
"Dir, kita sukses banget hari ini. Gue salut sama lo," ucap Rina sambil menepuk bahu Nadira.
"Thanks, Rin. Tapi ini kerja tim, kok. Gue nggak bisa ngelakuin semuanya tanpa kalian," jawab Nadira dengan tulus.
---
Malamnya, ketika sudah di rumah, Nadira langsung merebahkan diri di tempat tidur tanpa membuka ponselnya.
Beberapa saat kemudian, nadira terlelap..
Keesokan paginya, Nadira berjalan ke sekolah dengan semangat yang berbeda. Pikiran tentang klub baru yang ingin ia bentuk membuatnya merasa berenergi. Ia sudah mencatat semua ide dan rencana ke dalam buku catatan kecilnya semalam.
Begitu sampai di sekolah, Nadira langsung mengumpulkan beberapa anggota klub seni yang ia tahu memiliki minat di bidang teknologi. Mereka berkumpul di taman sekolah, duduk melingkar di atas bangku kayu di bawah pohon rindang.
"Guys, gue ada ide gila," ujar Nadira dengan mata berbinar.
Rina menatapnya curiga. "Gila gimana dulu nih? Jangan ngajak kita bikin roket, ya."
Nadira tertawa kecil. "Nggak segila itu, Rin. Gue mau bikin klub baru—klub teknologi. Namanya ITDIC: Innovative Technology Development and Interactive Coding."
Arga yang sedari tadi diam langsung angkat tangan. "Klub teknologi? Ngapain aja di sana, Dir?"
"Banyak! Kita bakal belajar coding, bikin komponen ponsel, kembangkan UI dan OS. Pokoknya semua yang berhubungan sama teknologi ponsel dan komputer," jawab Nadira dengan antusias.
Tania mengerutkan kening. "Kedengarannya seru, tapi berat juga. Kita punya sumber dayanya?"
Nadira mengangguk yakin. "Gue udah pikirin itu. Kita bisa mulai dari alat-alat sederhana. Kalau klub ini resmi, gue yakin kita bisa minta dukungan dari sekolah, bahkan mungkin sponsor dari luar."
Rina menatap Nadira dengan penuh rasa ingin tahu. "Tapi kenapa tiba-tiba lo tertarik bikin klub ini?"
Nadira menghela napas panjang sebelum menjawab. "Sebenernya, ini nggak tiba-tiba. Waktu SMP, gue pernah masuk ke klub multimedia. Di sana, gue belajar dasar-dasar desain grafis dan coding. Sejak itu, gue sadar kalau teknologi itu seru banget. Tapi waktu SMA, gue lebih fokus ke seni. Nah, sekarang gue pengen gabungin dua passion gue—seni dan teknologi."
Semua terdiam sejenak, mencerna penjelasan Nadira.
"Gue suka ide lo, Dir. Gue ikut," kata Arga akhirnya.
"Gue juga! Ini bakal jadi pengalaman baru," tambah Rina.
Tania mengangguk. "Oke, gue support. Tapi lo harus pastiin ini nggak bikin kita kewalahan, ya."
Nadira tersenyum lebar. "Deal! Kalau gitu, nanti siang gue ajak kalian ke ruang kepala sekolah buat minta izin."
---
Setelah bel terakhir berbunyi, Nadira dan teman-temannya menuju ruang kepala sekolah. Mereka membawa dokumen rencana klub, termasuk tujuan, struktur, dan jadwal kegiatan. Nadira mengetuk pintu, dan suara kepala sekolah mempersilakan mereka masuk.
"Selamat siang, Pak Kepala Sekolah," sapa Nadira dengan sopan.
"Selamat siang, Nadira. Ada apa kalian datang ramai-ramai ke sini?" tanya Kepala Sekolah sambil tersenyum ramah.
"Pak, kami ingin mengajukan pembentukan klub baru di sekolah ini. Namanya ITDIC. Klub ini berfokus pada teknologi, seperti coding, pembuatan komponen ponsel, dan pengembangan UI serta OS," jelas Nadira dengan penuh percaya diri.
Kepala Sekolah mengerutkan kening, tampak tertarik. "Wah, ide yang menarik. Tapi ini bidang yang cukup kompleks. Kalian yakin bisa menjalankannya?"
"Kami yakin, Pak. Kami sudah membuat rencana detail, dan kami juga siap belajar dari nol. Selain itu, teknologi adalah hal yang sangat relevan di era sekarang. Klub ini bisa jadi kesempatan buat siswa-siswa lain belajar dan berkembang di bidang teknologi," jawab Nadira mantap.
Kepala Sekolah mengangguk-angguk sambil membaca dokumen yang mereka bawa. "Baiklah, saya suka semangat kalian. Tapi untuk tahap awal, kalian harus membuktikan bahwa klub ini bisa berjalan. Saya akan memberikan izin percobaan selama tiga bulan. Kalau berhasil, kita resmikan sebagai klub tetap."
Mata Nadira berbinar. "Terima kasih banyak, Pak! Kami nggak akan mengecewakan."
---
Minggu berikutnya, Nadira dan anggota ITDIC mulai berkumpul di ruang kelas kosong yang diberikan oleh sekolah. Mereka membawa laptop, ponsel lama, dan alat-alat sederhana untuk memulai.
"Langkah pertama, kita belajar coding dasar. Gue udah download materi tentang Python. Ini bahasa pemrograman yang paling sering dipakai," ujar Nadira sambil membuka laptopnya.
Rina mengangkat tangan. "Gue buta banget sama coding. Ini kayak belajar bahasa alien, nggak sih?"
Nadira tertawa kecil. "Nggak se-rumit itu kok, Rin. Kita mulai dari yang simpel dulu, kayak bikin hello world."
Mereka mulai mencoba mengikuti instruksi Nadira. Beberapa anggota terlihat kesulitan, tapi mereka terus mencoba. Nadira dan Arga bergantian membantu teman-teman mereka yang kesulitan memahami logika coding.
Di sela-sela kegiatan, Tania mengusulkan sesuatu. "Gimana kalau kita nggak cuma coding? Gue pengen banget belajar bikin aplikasi kecil yang ada desain UI-nya. Biar ada sentuhan seni."
"Itu ide bagus, Tan. Kita bisa gabungin coding dan desain. Nanti gue cari tutorialnya," jawab Nadira dengan semangat.
---
Setelah hari pertama klub berakhir, Nadira merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Tubuhnya lelah, tapi hatinya bahagia. Ia membuka buku catatannya dan mulai menuliskan evaluasi hari itu.
"Banyak yang masih harus dibenahi," pikir Nadira.
Malam itu, Nadira sudah bersiap tidur setelah menyelesaikan tugas klub. Namun, suara notifikasi dari ponselnya terus berbunyi. Ia meraih ponsel di meja samping tempat tidurnya dan membaca pesan di grup ITDIC yang dibuat sore tadi.
Pesan pertama dari Aryani:
> "Dir, gue nemu beberapa artikel tentang coding UI dari ponsel produksi Um-Ang-Sa. Kayaknya ini bakal jadi referensi keren buat klub kita!"
Pesan kedua dari Bella:
> "Gue juga nemu video dari developer yang ngejelasin soal pengembangan OS terbaru. Katanya, sekarang mereka pakai kernel yang lebih ringan buat ningkatin efisiensi baterai."
Pesan ketiga dari Zaki:
> "Nih gue share contoh script sederhana buat bikin dynamic button di UI. Kayaknya kita bisa eksperimen di klub nanti."
Nadira membacanya dengan penuh semangat. Ia tahu malam ini ia tidak akan tidur cepat.
---
Aryani mengirimkan tautan ke sebuah artikel panjang tentang filosofi desain UI ponsel Um-Ang-Sa yang dikenal simpel tapi estetis. Di artikel itu tertulis bagaimana mereka mengutamakan tiga prinsip utama:
1. Efisiensi Navigasi: Semua elemen UI dirancang agar pengguna dapat mengakses fitur dalam maksimal tiga klik.
2. Warna Minimalis: Menggunakan palet warna pastel untuk memberikan kesan modern tapi tidak mencolok.
3. Responsivitas: Semua elemen UI harus bisa menyesuaikan ukuran layar, dari ponsel kecil hingga tablet.
Aryani juga mengirimkan contoh potongan kode HTML dan CSS sederhana untuk simulasi UI:
<html lang>
<head >
<meta charset>
<meta name content>
<title >Simple UI
body {
font-family: Arial, sans-serif;
margin: 0;
padding: 0;
background-color: #f7f7f7;
}
.navbar {
background-color: #5DA3FA;
padding: 15px;
text-align: center;
color: white;
font-size: 20px;
}
.button {
display: block;
margin: 20px auto;
padding: 10px 20px;
background-color: #FF7F50;
color: white;
border: none;
border-radius: 5px;
cursor: pointer;
text-align: center;
}
.button:hover {
background-color: #FF6347;
}
<body >
<div class>ITDIC UI Demo
<button class>Klik Aku
Nadira membaca kode itu dengan penuh perhatian. Ia membayangkan bagaimana jika klub ITDIC memodifikasi kode ini menjadi sesuatu yang lebih kompleks, seperti UI untuk aplikasi sekolah atau toko online sederhana.
---
Bella melanjutkan dengan informasi tentang pengembangan OS terbaru dari Um-Ang-Sa. Dalam video yang ia temukan, seorang developer menjelaskan bagaimana mereka menggunakan kernel Linux khusus yang dimodifikasi untuk mengurangi konsumsi daya.
Bella menulis ringkasan di grup:
> "Intinya mereka fokus ke tiga hal, Dir:
Manajemen Aplikasi Latar Belakang: Aplikasi yang jarang dipakai otomatis di-freeze, bukan cuma di-close. Ini ngurangin pemakaian RAM.
Optimasi Sistem Cache: Mereka bikin mekanisme baru yang bikin data sering dipakai tersimpan di cache, jadi aksesnya lebih cepat.
Pemakaian AI untuk Baterai: Ada algoritma yang mempelajari pola penggunaan buat ngatur konsumsi daya sesuai kebiasaan pengguna."
Nadira langsung teringat ayahnya yang pernah menjelaskan teknologi serupa. Ia menuliskan catatan kecil untuk diskusi klub esok hari: "Bisa nggak ya kita eksperimen bikin OS dasar pakai Raspberry Pi buat simulasi?"
---
Zaki mengirimkan potongan kode Python untuk membuat dynamic button di sebuah aplikasi sederhana.
import tkinter as tk
# Membuat jendela utama
root = tk.Tk()
root.title("Dynamic Button UI")
root.geometry("300x200")
# Fungsi untuk menambah tombol
def add_button():
btn = tk.Button(root, text="Tombol Baru", bg="#ADD8E6", command=lambda: print("Tombol diklik!"))
btn.pack(pady=5)
# Tombol utama
main_button = tk.Button(root, text="Tambah Tombol", command=add_button)
main_button.pack(pady=20)
# Menjalankan aplikasi
root.mainloop()
Nadira langsung mencoba kode itu di laptopnya. Hasilnya sederhana tapi menarik: sebuah jendela muncul, dan setiap kali ia menekan tombol "Tambah Tombol", sebuah tombol baru muncul di bawahnya.
"Gila, ini seru banget. Zaki, lo jenius!" balas Nadira di grup.
---
Malam semakin larut, tapi Nadira masih terjaga.
Ia membuka catatan kecilnya dan menulis rencana:
1. Membuat simulasi UI sederhana menggunakan HTML, CSS, dan JavaScript.
2. Bereksperimen dengan Raspberry Pi untuk mempelajari dasar pengembangan OS.
3. Mempelajari lebih lanjut mekanisme AI untuk optimasi baterai.
Nadira juga mencatat ide untuk menggabungkan seni dan teknologi: "Bisa nggak ya bikin aplikasi buat klub seni? Misalnya aplikasi buat bantu latihan vokal atau desain panggung."
Ia akhirnya merebahkan diri, mematikan lampu, dan tidur dengan nyenyak