Irhamovsky telah memutuskan untuk bergabung dengan kelompok pemberontak Mata Angin, tetapi ia baru saja menyadari bahwa langkahnya yang telah ia pilih bukanlah jalan yang mudah. Setelah beberapa minggu menjalani kehidupan di hutan bersama kelompok ini, dirinya mulai melihat betapa gelap dan berbahayanya dunia yang ia pilih. Hutan yang dulu tampak misterius dan penuh kedamaian kini menjadi tempat di mana darah dan keringat mengalir di bawah setiap langkahnya.
Setiap hari, latihan menjadi lebih keras. Mereka dilatih tidak hanya untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk membunuh. Irhamovsky merasa hatinya semakin gelisah, namun ia tidak pernah mundur. Setiap kali ia mendengar suara kaki tentara kerajaan yang melintasi hutan, rasa takut dalam dirinya semakin menguat, namun tekadnya pun semakin kokoh.
Salah satu hal pertama yang ia pelajari di bawah pelatihan Rahim adalah bahwa perang bukan hanya soal fisik, tetapi juga soal mental. Mereka bukan hanya melawan tentara, tetapi mereka juga melawan diri mereka sendiri, ketakutan yang menjerat jiwa mereka. Setiap malam, sebelum tidur, Irhamovsky merenung panjang, berusaha menenangkan hatinya yang sering kali diliputi kecemasan dan keraguan.
Saat latihan pertama kali dimulai, ia merasa tubuhnya kaku dan lelah. Ia telah terbiasa bekerja keras di ladang, tetapi ini adalah dunia yang sama sekali berbeda. "Berlatihlah, atau mati!" kata Rahim dengan tegas. "Perang bukan hanya soal keberanian, tetapi soal kemampuan bertahan. Jika kau tidak bisa bertahan, kau akan menjadi mangsa kerajaan."
Kehidupan di hutan mengajarkan Irhamovsky banyak hal, terutama tentang ketahanan. Ketika pagi datang, mereka akan berlatih memanah, menggunakan pedang, dan berlatih teknik bertarung. Malam hari, mereka sering berbicara tentang taktik perang, menyusun rencana dan strategi, serta mengenali kelemahan musuh mereka. Namun, di balik semua latihan itu, Irhamovsky merasa ada yang lebih penting, lebih mendalam, yang harus ia pelajari: apa artinya menjadi pemimpin sejati.
Rahim, pemimpin kelompok Mata Angin, adalah seorang pria yang dihormati oleh semua anggotanya. Dia bukan hanya seorang pemimpin dalam hal kekuatan fisik, tetapi juga dalam hal ketegasan dan kebijaksanaan. Rahim mengajarkan mereka untuk selalu berpikir sebelum bertindak, untuk melihat lebih jauh dari apa yang tampak di permukaan. "Kemenangan tidak hanya ditentukan oleh kekuatan kita, tetapi oleh cara kita mengelola kelemahan dan kekuatan musuh," kata Rahim suatu kali saat mereka sedang berlatih.
Irhamovsky menatapnya dengan penuh rasa kagum. Ia merasa bahwa di sinilah tempat yang tepat untuknya, di tengah orang-orang yang sama-sama berjuang untuk mencapai keadilan yang sudah lama hilang. Namun, di sisi lain, ia juga mulai merasakan beban yang sangat berat. Setiap kali mereka merencanakan serangan, ia tahu bahwa ada kemungkinan besar mereka tidak akan kembali. Ia harus mempersiapkan dirinya untuk menghadapi kenyataan ini.
Pada suatu pagi yang dingin, mereka diberi tugas besar: merencanakan serangan pertama mereka terhadap pasukan kerajaan. Selama ini, mereka telah bergerak dengan hati-hati, menyembunyikan diri di balik bayang-bayang, namun sekarang, mereka harus keluar dan menghadapi musuh secara langsung.
"Serangan ini akan menentukan apakah kita dapat bertahan atau tidak," kata Rahim dengan nada serius. "Jika kita berhasil, kita akan memiliki kesempatan untuk melawan lebih banyak pasukan kerajaan. Jika kita gagal, kita mungkin akan hancur."
Irhamovsky mendengarkan dengan seksama. Dia tahu betul bahwa kegagalan bukanlah sebuah pilihan. Namun, di dalam hatinya, ia merasakan ketakutan yang besar. Ia tidak pernah membayangkan akan berhadapan langsung dengan pasukan kerajaan yang kejam dan terlatih.
Rencana serangan itu sangat berisiko. Mereka akan menyerang sebuah pos tentara yang terletak di pinggiran desa dekat hutan, tempat pasukan kerajaan biasa mengumpulkan persediaan. Pasukan yang ditempatkan di sana tidak terlalu banyak, namun mereka memiliki persenjataan yang lebih baik dan lebih lengkap. Selain itu, lokasi itu juga sangat dekat dengan pos patroli kerajaan yang lebih besar, yang berarti jika mereka gagal, pasukan kerajaan akan segera datang untuk membalas dendam.
Selama beberapa hari sebelum serangan, Irhamovsky bekerja tanpa henti. Ia mempersiapkan segala sesuatunya, memastikan semua senjata dalam kondisi terbaik. Namun, semakin dekat hari serangan, semakin besar kecemasannya. Rasa takut dan keraguan menguasai dirinya, dan ia mulai meragukan apakah ia benar-benar siap menghadapi kekejaman perang.
Malam sebelum serangan, Irhamovsky duduk seorang diri di luar markas pemberontak. Dia menatap langit malam yang gelap, berusaha menenangkan pikirannya. Namun, pikirannya terus berkelana, membayangkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Apa yang akan terjadi jika mereka gagal? Apa yang akan terjadi jika dia mati? Apakah ada hidup setelah ini?
Suara langkah kaki membuatnya tersentak. Ia menoleh dan melihat Rahim mendekat, wajahnya serius namun tidak terburu-buru. "Kau tampak gelisah, Irhamovsky," kata Rahim pelan, duduk di sebelahnya.
Irhamovsky menghela napas. "Aku takut, Rahim. Takut kita akan gagal, takut kita akan mati. Aku tidak tahu apakah aku siap untuk ini."
Rahim terdiam sejenak, seolah merenungkan kata-kata Irhamovsky. Kemudian, ia berkata dengan tenang, "Takut adalah hal yang wajar. Semua orang yang pernah berjuang merasa takut. Tapi yang penting adalah bagaimana kita menghadapinya. Jangan biarkan ketakutan menguasai dirimu. Kita berjuang untuk sesuatu yang lebih besar. Jika kita gagal, kita akan mati dengan kepala tegak, tahu bahwa kita telah berjuang untuk sebuah tujuan yang benar."
Irhamovsky menatap Rahim, merasakan kekuatan dalam kata-katanya. Meskipun rasa takut masih menghantuinya, ia merasa sedikit lebih tenang. "Terima kasih, Rahim. Aku akan berusaha," jawabnya dengan suara rendah.
Pagi hari yang gelap datang, dan mereka siap untuk bergerak. Segala persiapan telah selesai. Irhamovsky dan kelompok pemberontak lainnya bergerak dengan hati-hati menuju pos tentara kerajaan. Setiap langkah terasa begitu berat, dan udara di sekitar mereka terasa begitu padat, penuh dengan ketegangan yang hampir bisa dipotong.
Ketika mereka sampai di dekat pos tentara, Irhamovsky merasa hatinya berdegup kencang. Mereka mulai melakukan serangan, menyergap pasukan kerajaan yang sedang beristirahat. Pertempuran pertama mereka berlangsung cepat dan penuh kekerasan. Irhamovsky merasa adrenalin mengalir begitu deras di dalam tubuhnya, tapi juga ada perasaan ngeri yang tidak bisa ia abaikan.
Beberapa tentara kerajaan tumbang di tangan mereka, namun ada juga yang melawan dengan brutal. Irhamovsky bertarung dengan segenap tenaga, menggunakan pedangnya dengan lihai, namun dalam sekejap, ia melihat seorang teman pemberontak terjatuh di depannya. Darah mengalir dari tubuh temannya, dan Irhamovsky merasa mual. Ia berusaha menahan perasaan itu, tapi kematian begitu dekat, begitu nyata.
Mereka berhasil merebut pos tersebut, namun dengan harga yang sangat mahal. Banyak dari anggota mereka yang terluka, dan satu orang tewas. Irhamovsky duduk di sudut, terengah-engah, mencoba untuk mengatasi rasa sakit yang merayapi tubuhnya. Ketika ia menatap pasukan kerajaan yang jatuh, ia merasa ada sesuatu yang mulai berubah dalam dirinya—sesuatu yang tak bisa ia kontrol.
Perang bukanlah sekadar serangan dan pembalasan. Itu adalah ledakan emosi, pengorbanan, dan pilihan yang harus diambil setiap saat. Dalam perang, Irhamovsky mulai memahami bahwa tidak ada kemenangan yang tanpa harga.
Namun, bagi Irhamovsky, satu hal menjadi semakin jelas: jalan yang telah ia pilih mungkin penuh dengan penderitaan, tetapi ini adalah satu-satunya cara untuk mengubah nasibnya—untuk mengubah dunia tempat ia hidup.