webnovel

Lintasan Kebenaran

Reyna dan Lian berdiri membatu di hadapan naga perak yang menjulang megah di depan mereka. Udara di dalam gua menjadi berat, setiap helaan napas terasa seperti beban yang tak kasatmata.

"Kebenaran seperti pedang bermata dua," suara naga itu menggelegar, mengguncang dinding gua. "Apakah kau siap menghadapi apa yang tersembunyi dalam hatimu, Reyna?"

Reyna menelan ludah. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia tidak gentar. "Jika itu yang harus kulakukan untuk melindungi orang-orang yang kucintai, aku siap."

Naga itu mengangguk pelan. "Kalau begitu, mari kita mulai."

Cahaya perak dari tubuh naga itu menyelimuti ruangan. Tiba-tiba, gua tempat mereka berada memudar, digantikan oleh pemandangan desa Reyna. Namun, desa itu tidak seperti yang dia ingat. Rumah-rumah yang terbakar, jalanan yang dipenuhi reruntuhan, dan jeritan orang-orang terdengar dari kejauhan.

Reyna merasa tubuhnya gemetar. "Ini... ini malam ketika semuanya berubah," gumamnya.

Dia melihat dirinya yang lebih muda, berlari di antara reruntuhan sambil memanggil nama keluarganya. "Ibu! Adik!" teriaknya dalam ingatan itu.

Lian berdiri di samping Reyna, wajahnya tegang. "Apa ini? Kenapa kita dibawa ke sini?"

Naga itu muncul di atas mereka, melayang di langit seperti bintang. "Ini adalah kenangan yang paling membebani hatimu, Reyna. Untuk melangkah maju, kau harus menerima apa yang terjadi di sini."

Reyna menonton dirinya yang lebih muda, yang akhirnya menemukan ibunya dan adiknya di bawah reruntuhan. Tangisan mereka, rasa sakit mereka, semuanya kembali seperti mimpi buruk yang hidup.

"Aku tidak bisa melindungi mereka," bisik Reyna. Air mata mengalir di pipinya. "Aku mencoba, tapi aku gagal."

"Kegagalan bukan akhir," kata naga itu. "Kegagalan adalah pelajaran. Apakah kau benar-benar ingin terus menyalahkan dirimu sendiri?"

Reyna menggenggam dadanya, tempat cahaya dari naga itu berdenyut lembut. Dia menarik napas dalam-dalam. "Tidak. Aku tidak ingin terus terperangkap dalam masa lalu ini. Aku ingin menjadi lebih kuat, untuk mereka."

Cahaya dari dadanya mulai tumbuh, menyelimuti pemandangan desa yang hancur. Perlahan, desa itu memudar, dan mereka kembali ke dalam gua.

Reyna berdiri dengan napas terengah-engah, tetapi ada ketenangan baru dalam matanya. "Aku sudah menerima apa yang terjadi. Masa lalu tidak bisa diubah, tetapi aku bisa mengubah masa depan."

Naga itu mengangguk puas. "Kau telah melewati ujian pertamamu. Namun, perjalanan ini baru saja dimulai."

Lian, yang selama ini diam, akhirnya angkat bicara. "Apa yang kau maksud dengan perjalanan ini, naga? Apa tujuan semua ini?"

Naga itu menatapnya dengan mata yang berkilau. "Kau, Lian, juga memiliki kebenaran untuk dihadapi. Tapi waktumu belum tiba."

Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari dalam gua, seperti langkah makhluk besar yang semakin mendekat. Naga itu memandang ke arah suara itu, ekspresinya berubah menjadi serius.

"Musuh telah datang," katanya dengan nada rendah. "Bersiaplah, anak-anak manusia. Ini bukan ujian; ini adalah perang."

Reyna dan Lian saling pandang, menyadari bahwa nasib mereka kini benar-benar tergantung pada keberanian mereka sendiri.

Reyna berdiri diam, napasnya memburu setelah menghadapi bayangan masa lalunya. Tapi gua itu tidak memberinya kesempatan untuk merenung lebih lama. Getaran mendalam mengalir melalui tanah, diikuti oleh suara langkah berat yang menggema dari lorong gelap di belakang mereka.

"Apa itu?" bisik Lian, tangannya bergerak ke gagang pedangnya secara refleks.

Naga perak itu memutar tubuhnya dengan anggun, menatap arah getaran dengan mata menyala tajam. "Waktumu untuk beristirahat sudah habis, Reyna. Ujian berikutnya bukan hanya untukmu, tapi juga untuk teman seperjalananmu."

Reyna menarik napas panjang, cahaya lembut di dadanya menyala samar-samar, seolah memberikan kekuatan baru. Dia memandang Lian, yang masih siaga dengan ekspresi waspada.

"Kita tidak punya pilihan," kata Reyna. "Kita harus melangkah maju."

Lian mengangguk, meskipun keraguan masih melintas di matanya. "Kalau ini adalah perjalanan menuju kebenaran, maka mari kita lihat apa yang menanti."

Suara gemuruh semakin dekat, dan tak lama kemudian, bayangan raksasa muncul dari lorong itu. Sebuah makhluk hitam berbentuk seperti serigala, dengan mata merah menyala dan bulu yang tampak seperti terbuat dari asap pekat, melangkah maju. Nafasnya yang berat menciptakan pusaran angin kecil, membawa aroma logam dan kehancuran.

"Itu... Umbra!" seru Lian, wajahnya pucat.

Naga perak melayang rendah, sayapnya mengepak lembut, tetapi suaranya tetap tenang. "Umbra adalah penjaga pintu ini. Hanya mereka yang memiliki keberanian sejati yang bisa melewatinya. Jika kalian mundur sekarang, perjalanan kalian berakhir."

Umbra menggeram, suara menggelegarnya membuat seluruh gua bergetar. Reyna merasakan jantungnya berdegup kencang, tetapi dia menolak untuk menyerah pada ketakutan.

"Kita tidak akan mundur," katanya dengan suara tegas, meskipun tangannya gemetar.

Lian melangkah ke depan, menghunus pedangnya. "Kalau begitu, kita hadapi ini bersama."

Umbra melompat ke arah mereka, cakarnya yang besar terulur seperti ingin menghancurkan segalanya. Reyna dan Lian bergerak secara bersamaan, insting mereka memandu mereka untuk menghindari serangan itu.

"Gunakan cahayamu, Reyna!" seru naga itu.

Reyna memejamkan mata, mencoba merasakan denyut cahaya di dalam dirinya. Dia mengulurkan tangannya, dan cahaya itu menyebar, membentuk lingkaran perlindungan di sekitarnya dan Lian. Umbra menggeram kesal, tetapi tampaknya cahaya itu melukai makhluk itu, membuatnya mundur sejenak.

"Jangan berhenti!" seru Lian. "Kita bisa mengalahkannya!"

Namun, saat mereka mencoba melawan, suara tawa kecil yang dingin terdengar, seolah berasal dari segala arah.

"Berani sekali kalian, anak-anak manusia," kata suara itu, penuh ejekan. "Tapi keberanian saja tidak cukup untuk mengalahkan kegelapan."

Reyna dan Lian saling pandang, menyadari bahwa musuh mereka bukan hanya Umbra, tetapi sesuatu yang jauh lebih besar.

Reyna berdiri terpaku di tengah gua yang dipenuhi kilauan batu kristal, napasnya terengah. Cahaya lembut dari naga perak menerangi wajahnya, menyoroti ekspresi kebingungan dan keteguhan yang saling bertarung.

"Apakah ini semua nyata?" Reyna berbisik, suaranya nyaris tenggelam oleh keheningan gua.

"Setiap pilihan yang kau buat membawamu ke titik ini," jawab naga itu dengan suara tenang namun penuh wibawa. "Namun, kebenaran selalu hadir dalam bayangan keraguan."

Sebelum Reyna bisa bertanya lebih jauh, tanah di bawah mereka kembali bergetar. Getaran itu kali ini lebih kuat, seperti sesuatu yang besar tengah mendekat. Reyna merasakan tubuhnya bergidik.

"Persiapkan dirimu," kata naga itu sambil mengangkat sayapnya, menciptakan angin kecil yang menghapus sisa-sisa kegelapan di sekitar mereka.

Dari balik lorong gelap di ujung gua, muncul seekor makhluk besar berbentuk seperti ular raksasa dengan sisik hitam legam yang berkilauan di bawah sinar perak. Matanya bersinar merah menyala, penuh kebencian dan dendam.

"Umbra," Lian berbisik, tangannya segera meraih gagang pedangnya.

Reyna merasakan tubuhnya kaku. "Makhluk apa itu?"

"Dia adalah penjaga pintu kebenaran," jawab naga perak dengan nada datar. "Dia akan menguji setiap niat yang kau bawa ke sini. Jika kau goyah, dia akan menelanmu."

Umbra melingkarkan tubuhnya, suara sisiknya bergesekan menciptakan bunyi yang menusuk telinga. Makhluk itu mengeluarkan suara mendesis rendah, seolah mengejek mereka.

"Manusia kecil," suara Umbra menggelegar. "Kau pikir dirimu layak menghadapi kebenaran? Kebenaran itu pahit, mematikan. Banyak yang mencoba, tetapi hanya kehancuran yang mereka temukan."

Reyna menelan ludah. Ketakutan merayap di hatinya, tetapi dia mengingat keluarga dan desanya yang membutuhkan kekuatannya. "Aku tidak akan mundur," katanya, meskipun suaranya sedikit bergetar.

Umbra melompat ke arah mereka dengan kecepatan luar biasa. Lian dengan cekatan menangkis serangan itu dengan pedangnya, tetapi dampaknya membuatnya terpental beberapa langkah. Reyna hanya bisa menatap, tubuhnya terasa berat oleh rasa takut.

"Reyna, fokus!" teriak Lian. "Gunakan kekuatanmu!"

Reyna memejamkan mata, mencoba merasakan cahaya di dalam dirinya seperti yang dia lakukan sebelumnya. Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Cahaya itu terasa jauh, terhalang oleh bayangan keraguan yang menyelimuti pikirannya.

"Kenapa aku tidak bisa—" Reyna tergagap, tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan.

Naga perak terbang mendekat, suaranya menggelegar seperti lonceng besar. "Keraguan adalah musuh terbesarmu, Reyna. Terima ketakutanmu, hadapi bayangan dalam hatimu. Hanya dengan begitu kau bisa melampauinya."

Reyna membuka matanya dan melihat Umbra mendekat lagi. Makhluk itu melompat dengan cakar besar yang siap mencabik mereka. Reyna menjerit dan mengangkat tangannya secara refleks. Cahaya yang selama ini terpendam meledak dari dalam dirinya, membentuk perisai besar yang melindungi dirinya dan Lian.

Umbra menggeram kesal, terpental oleh cahaya itu. Reyna berdiri dengan napas memburu, tubuhnya gemetar tetapi matanya penuh dengan tekad.

"Ini belum selesai," desis Umbra sebelum tubuhnya melesat ke dalam kegelapan, menghilang seakan menyatu dengan bayang-bayang di gua.

Reyna menatap naga perak, berharap mendapatkan jawaban. "Apa yang terjadi? Apakah aku benar-benar mengusirnya?"

Naga itu menatapnya dengan tenang. "Umbra tidak pernah pergi. Dia adalah bayangan dari keraguanmu sendiri. Kapan pun kau menyerah pada rasa takut, dia akan kembali."

Reyna mengepalkan tangannya. "Aku tidak akan membiarkannya menang."

Lian menepuk pundaknya dengan pelan, wajahnya menunjukkan kekaguman yang jarang terlihat. "Itu adalah keberanian yang luar biasa, Reyna. Kita berhasil melewati ini, setidaknya untuk sekarang."

Namun, suara dari lorong gelap kembali terdengar, kali ini lebih mengancam. Suara tawa kecil dan dingin menyelip di antara gemuruh itu.

"Jangan terlalu percaya diri, anak-anak manusia," suara itu berkata, penuh ejekan. "Perjalanan kalian baru dimulai, dan kegelapan yang sesungguhnya masih menanti."

Reyna dan Lian saling pandang, menyadari bahwa mereka belum sepenuhnya keluar dari bahaya. Namun, di tengah ketakutan itu, Reyna merasakan sesuatu yang baru: keberanian untuk melangkah maju, apa pun yang terjadi.

Bab ini menggambarkan perjuangan Reyna melawan ketakutannya sendiri, mengajarkan bahwa keberanian sejati lahir dari menghadapi keraguan dan ketakutan. Terima kasih telah mengikuti perjalanan ini. Jangan lewatkan bab berikutnya, di mana tantangan semakin berat, dan rahasia baru terungkap. Tetaplah bersama Reyna dan Lian!

Oyex_Sabiansyahcreators' thoughts
Chapitre suivant