Panas terik matahari menyengat di atas kepala, membuat perjalanan Ceun-Ceun dan Cuimey semakin melelahkan. Keringat bercucuran di wajah mereka, sementara debu dari jalan yang mereka lalui menambah rasa gerah. Mereka tahu bahwa jika terus melanjutkan perjalanan tanpa istirahat, tubuh mereka bisa kelelahan.
Di kejauhan, mereka melihat sebuah kedai makanan kecil yang tampak sederhana, tapi cukup teduh di bawah naungan pepohonan rindang. Ceun-Ceun dan Cuimey saling berpandangan sejenak, kemudian tanpa bicara lagi, mereka mengarahkan kuda mereka ke arah kedai tersebut.
Setelah tiba di depan kedai, mereka turun dari kuda dan mengikatnya di dekat pohon. Udara di bawah naungan pohon terasa lebih sejuk, memberikan sedikit kelegaan dari terik matahari. Mereka melangkah masuk ke dalam kedai, di mana aroma masakan yang sedap segera menyambut mereka.
"Akhirnya, kita bisa berteduh dan mengisi perut," ujar Cuimey sambil tersenyum lega.
Ceun-Ceun mengangguk, merasakan perutnya yang kosong mulai berbunyi. "Mari kita nikmati makan siang dan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan." Mereka pun memesan makanan, menikmati momen ketenangan yang singkat di tengah perjalanan panjang mereka.
Setelah memesan makanan, Ceun-Ceun dan Cuimey duduk di salah satu meja kayu yang terletak di sudut kedai. Sambil menunggu hidangan datang, Ceun-Ceun mengamati suasana di dalam kedai. Matanya menelusuri setiap sudut ruangan, dan segera ia menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh di tempat ini.
Di balik senyum ramah para pelayan yang melayani tamu, Ceun-Ceun melihat mereka mengenakan pakaian yang terlalu mewah dan mencolok untuk ukuran seorang pelayan kedai biasa. Gaun mereka terbuat dari kain sutra yang indah dengan warna-warna mencolok, dan dihiasi dengan perhiasan yang berkilauan. Rambut mereka disanggul dengan rapi, dihiasi dengan hiasan kepala yang menambah kesan glamor.
Mata Ceun-Ceun yang tajam menangkap tatapan dari salah satu wanita itu, tatapan yang kosong, seolah-olah mereka menjalani hidup tanpa harapan. Ceun-Ceun segera menyadari bahwa wanita-wanita ini tidak hanya pelayan kedai. Mereka tampak seperti wanita penghibur, mungkin bahkan lebih dari itu.
"Cuimey," Ceun-Ceun berbisik pelan, "tempat ini tidak seperti yang terlihat. Aku curiga wanita-wanita ini lebih dari sekadar pelayan. Kita harus berhati-hati."
Cuimey mengangguk, ikut mengamati sekeliling dengan penuh kewaspadaan. Mereka berdua tahu bahwa di dunia persilatan, penampilan bisa sangat menipu, dan apa yang tampak tenang dan damai sering kali menyimpan bahaya tersembunyi.
Sementara Ceun-Ceun dan Cuimey masih duduk dan mengamati sekitar, seorang pelayan cantik menghampiri meja mereka. Wanita itu memiliki wajah yang anggun dengan mata besar yang tampak penuh rahasia. Rambutnya disanggul rapi, dan bibirnya yang merah menyunggingkan senyum manis yang terlihat sedikit menggoda.
"Apakah makanannya sudah memuaskan, Tuan-tuan?" tanya pelayan itu dengan suara lembut dan penuh rayuan.
Cuimey yang mendengar sapaan itu hanya menatap Ceun-Ceun dengan alis sedikit terangkat. Ceun-Ceun tetap tenang, namun di dalam hatinya, ia sudah waspada. Ada sesuatu dalam cara wanita itu berbicara yang membuatnya merasa ada maksud lain di balik tawaran pelayanan tersebut.
"Kami baru saja memesan, tapi terima kasih," jawab Ceun-Ceun, mencoba menahan rasa penasaran yang mulai merambat dalam pikirannya.
Pelayan itu tersenyum lebih lebar, matanya berkilat penuh arti. "Kami juga menawarkan pelayanan lain selain makanan, jika kalian berminat. Pelayanan yang lebih... personal," bisiknya sambil sedikit membungkuk, memberi isyarat yang tidak salah lagi.
Cuimey merasa tidak nyaman dan menahan diri untuk tidak langsung bereaksi. Namun, Ceun-Ceun tetap tenang. "Terima kasih, tapi kami hanya membutuhkan makanan dan istirahat saat ini," ujarnya tegas, memotong percakapan dengan sikap sopan namun pasti.
Pelayan itu tampak sedikit kecewa, namun ia tidak memaksakan. "Baiklah, Tuan-tuan. Jika berubah pikiran, beri tahu saja," katanya sebelum melangkah pergi dengan elegan. Ceun-Ceun dan Cuimey saling berpandangan dengan penuh pengertian, semakin yakin bahwa kedai ini bukan tempat biasa. Mereka harus tetap waspada selama berada di sini.
Ceun-Ceun dan Cuimey akhirnya mendapatkan hidangan yang mereka pesan. Aroma makanan yang lezat membuat perut mereka semakin lapar. Tanpa menunggu lama, mereka mulai menikmati hidangan yang disajikan. Daging panggang yang lembut dan sup hangat dengan rempah-rempah khas membuat mereka merasa sedikit lebih segar setelah perjalanan panjang.
Sambil menikmati makanannya, Cuimey mencoba mengabaikan perasaan aneh yang sempat muncul saat pelayan tadi menawarkan layanan tambahan. Namun, baik Ceun-Ceun maupun Cuimey tidak bisa sepenuhnya menghilangkan kewaspadaan mereka. Meski suasana di dalam kedai tampak tenang, naluri mereka mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Saat mereka sedang menikmati makanan, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda yang mendekat dengan cepat dari luar kedai. Suara itu begitu keras, menunjukkan bahwa rombongan berkuda yang datang cukup besar. Ceun-Ceun dan Cuimey saling berpandangan, rasa waspada mereka semakin meningkat.
"Sepertinya kita akan mendapatkan tamu tak diundang," bisik Cuimey sambil meletakkan sumpitnya.
Ceun-Ceun mengangguk sambil tetap tenang, tapi tangannya perlahan meraba gagang pedangnya yang tersimpan di samping meja. "Mari kita lihat siapa yang datang," jawabnya singkat.
Mereka melanjutkan makan, namun kini dengan telinga waspada, siap untuk bereaksi jika ada sesuatu yang mencurigakan dari rombongan yang baru saja tiba. Hati mereka tetap waspada, karena mereka tahu bahwa dunia persilatan penuh dengan kejutan yang tak terduga.
Derap kaki kuda yang mendekat membuat suasana di kedai semakin tegang. Ceun-Ceun dan Cuimey tetap duduk di tempat mereka, menikmati makanan dengan tenang, namun mata mereka sesekali melirik ke arah pintu masuk. Beberapa saat kemudian, pintu kedai terbuka lebar, dan sekelompok orang dengan pakaian khas sekte Jari Baja masuk ke dalam. Mata Ceun-Ceun menyipit ketika mengenali simbol-simbol di pakaian mereka—lambang musuh besar sekte Tangan Besi.
Rombongan itu terdiri dari lima orang pendekar, semuanya tampak tangguh dan berpengalaman. Mereka membawa pedang di pinggang, dan aura kebencian yang dingin terpancar dari setiap gerakan mereka. Seorang yang tampaknya pemimpin mereka, seorang pria berwajah keras dengan janggut tipis, melangkah masuk dengan percaya diri. Tatapannya menyapu ruangan, seolah mencari sesuatu.
Ceun-Ceun tetap tenang, tidak menunjukkan reaksi apapun meski ia sudah mengenali bahwa mereka adalah anggota dari sekte yang selama ini bermusuhan dengan sekte Tangan Besi. Di dalam dirinya, Ceun-Ceun sudah bersiap untuk segala kemungkinan, namun ia tidak ingin memulai konfrontasi di tempat umum tanpa alasan yang jelas.
Cuimey merasakan ketegangan yang semakin meningkat, namun ia mengikuti sikap Ceun-Ceun, tetap berpura-pura tidak terganggu oleh kehadiran musuh-musuh mereka. Mereka berdua tahu, jika terjadi pertempuran di sini, akan banyak korban yang berjatuhan, termasuk warga sipil yang tidak bersalah.
Para pendekar Jari Baja memilih meja di sisi lain kedai, namun Ceun-Ceun dan Cuimey tetap waspada. Mereka makan dengan tenang, namun setiap gerak-gerik mereka penuh perhitungan. Ceun-Ceun memastikan bahwa ia siap jika terjadi sesuatu, namun berharap bahwa pertemuan ini tidak harus berakhir dengan pertumpahan darah.
Sejenak, kedai itu menjadi arena ketegangan yang tak terlihat, di mana dua kelompok musuh duduk dalam diam, masing-masing menjaga jarak, namun siap bertindak kapan saja jika situasi memaksa. Ceun-Ceun dan Cuimey tahu bahwa ini hanyalah salah satu ujian dari banyak yang akan mereka hadapi dalam perjalanan mereka ke negeri utara.
Sambil tetap berusaha tenang, Ceun-Ceun memperhatikan suasana di dalam kedai yang semakin terasa tidak nyaman. Pandangannya kembali tertuju pada para pelayan cantik yang tadi menarik perhatiannya. Salah satu dari mereka, yang sebelumnya mendekati meja Ceun-Ceun dan Cuimey, kini tampak menggoda pemimpin rombongan pendekar Jari Baja.
Tanpa ragu, wanita itu duduk di pangkuan pria berjanggut tipis tersebut, tangannya dengan mesra melingkar di lehernya. Pria itu tertawa, tangannya dengan kasar menarik wanita itu mendekat, sementara pelayan yang lain mulai mendekati para pendekar Jari Baja lainnya, menawarkan "layanan" yang sama.
Ceun-Ceun menahan napas, perasaan jijik menyelinap dalam dirinya saat menyaksikan pemandangan yang tak pantas itu terjadi di hadapan umum. Pelayan-pelayan kedai itu tampak tanpa malu bercumbu dengan para pendekar Jari Baja, seolah-olah kedai ini bukan tempat makan, melainkan sarang penuh nafsu.
Cuimey yang duduk di seberangnya juga merasa terganggu, namun ia tetap diam, menjaga ketenangannya seperti yang dilakukan Ceun-Ceun. Mereka berdua tahu bahwa menunjukkan rasa jijik atau kemarahan hanya akan memancing perhatian yang tidak diinginkan dari musuh.
Namun, di dalam hati, Ceun-Ceun merasa marah. Bukan hanya karena perlakuan kasar yang diterima wanita-wanita itu, tetapi juga karena sikap para pendekar Jari Baja yang menganggap diri mereka berhak melakukan apa saja tanpa mempedulikan orang lain.
"Sungguh tak tahu malu," pikir Ceun-Ceun, namun ia tetap menjaga wajahnya agar tidak memperlihatkan emosi apa pun. Ia tahu bahwa di dunia persilatan, ada saat untuk bertindak dan ada saat untuk menahan diri. Dan untuk saat ini, yang terbaik adalah tetap waspada, menyelesaikan makanan mereka, dan segera meninggalkan kedai ini tanpa membuat keributan.