webnovel

BAB 10: Sebuah Keharusan

"Sekian untuk hari ini, terima kasih atas perhatiannya!"

Pak Smith pergi meninggalkan kelas karena sekarang waktu menunjukkan pukul tiga sore, singkatnya pembelajaran hari ini telah berakhir.

Aku dapat melihat ekspresi beberapa teman sekelas ku yang merasa tertekan, entah karena kejutannya atau materi pelajaran yang diberikan oleh Pak Smith.

Mereka pergi keluar kelas dengan langkah yang agak berat.

Di bagian kursi tengah dekat jendela, aku sedikit tidak mempercayai apa yang telah kulihat.

Fisa Campbell, ternyata dia tidak merasa tertekan sama sekali.

Dia masih bisa berbicara dengan teman sekelasnya sambil menunjukkan senyuman manisnya itu.

Selain sifatnya yang periang, Fisa juga dapat bersikap lebih tenang dibandingkan yang lainnya.

Selain Fisa, sebenarnya ada beberapa orang lagi yang terlihat tenang seperti Lina dan Danna.

Aku tidak peduli dengan mereka berdua karena mata dan pikiranku hanya terfokus pada Fisa.

Karena aku terlalu lama menatapnya, tatapan mata kami akhirnya bertemu.

"Hmm?"

Aku tidak mengerti kenapa dia menunjukkan senyum yang berbeda kepadaku.

Setelah menunjukkan senyumannya itu, Fisa beranjak dari kursinya dan kupikir dia akan mendekati ku.

"Satomi!"

Sudah kuduga, dia memang berniat untuk kesini.

"Ada apa, Fisa?"

"Hari ini terasa melelahkan, bagaimana denganmu?"

"Yah, kurasa aku juga lelah."

"Kau yakin mengatakan itu dengan ekspresi datar mu? Satomi, apa kau pernah menunjukkan ekspresi yang lain selain seperti ini?"

"Entahlah."

Jika boleh jujur, aku ingin menunjukkan ekspresi ku yang lain, tapi sayangnya wajahku tidak merestui hal itu.

Rasanya sangat sulit untuk menggerakkan bagian wajahku, semuanya terasa kaku.

"Ya, sudahlah. Sekarang bisakah aku meminta tolong padamu?"

"Apa itu?"

"Semua barangku mendadak lenyap begitu saja, bukankah kita semua mengalaminya? Jadi tolong temani aku berbelanja!"

"Umm ... begini, Fisa. Sebelum itu, apa kau mengerti cara menggunakan point?"

"Ya, kurasa aku hanya perlu memberikan ponsel ku pada orang yang akan menjual sesuatu."

Pemikiran Fisa tidak sehebat yang aku kira, kurasa dia memang pantas untuk berada di kelas 1-E jika pemikirannya masih terlalu dangkal.

Aku yakin dia masih berpatokan pada suatu hal untuk berpikir, jadi karena itulah pemikirannya menjadi sangat dangkal.

Yah, itu tidak ada urusannya denganku.

Aku tidak berniat untuk mengubah pemikirannya jadi lebih baik.

Kurasa orang dengan pemikiran yang dangkal juga akan bisa membuat suatu hal yang mengejutkan.

Jadi aku membiarkan Fisa yang seperti ini.

"Begitu ya?"

"Apa kau tidak mengetahuinya, Satomi?"

"Ya, kurasa."

Aku terus berbohong padanya.

Sebenarnya tidak ada alasan khusus, hanya saja aku ingin melihat bagaimana semuanya berjalan jika aku hanya diam saja.

Aku sudah melakukan beberapa hal saat membantu Rose, jadi kupikir untuk sekarang aku hanya akan bertindak seperti orang bodoh dan mengikuti alurnya.

"Kalau begitu, ayo kita pergi ke pusat perbelanjaan! Kudengar tempat itu seperti sebuah Mall besar yang menjual berbagai macam kebutuhan."

"Fisa," aku memanggilnya.

"Ya, kenapa?"

Kemudian Fisa merespon panggilan ku.

"Kau tidak harus pergi denganku, lagipula kau memiliki banyak teman yang bisa diajak pergi."

Bukannya aku menolak ajakannya, tapi aku merasa kalau Fisa terlihat memaksakan dirinya untuk bersamaku.

Seolah-olah sedang dipaksa oleh sesuatu, secara mau tidak mau dia harus bersamaku.

"Sa-satomi, apa kau mengetahui sesuatu?"

Dengan cara bicara yang terbata-bata, Fisa bertanya padaku.

Ah, kurasa aku masih tidak terbiasa untuk bertindak mengikuti alurnya saja.

Aku ingin menjalaninya seperti itu, tapi aku sendiri malah menekan Fisa dengan menolak ajakannya.

Padahal tujuan awal ku sudah terwujud, yaitu tujuan agar mereka menyadari keberadaan ku.

Tidak, aku tidak boleh seperti ini.

Aku harus mencari alasan yang tepat sebagai dalih.

Dia pasti memiliki alasannya sendiri saat memaksakan diri untuk dekat denganku.

Untuk itu, aku tidak boleh bertindak lebih jauh dan mencampuri urusannya.

"Tidak, aku tidak tahu apapun. Lagipula aku hanya merasa tidak percaya diri ketika didekati olehmu."

"Ke-kenapa seperti itu? Apakah mendekatimu adalah sebuah kesalahan?"

"Maaf, Fisa!"

"Kenapa kau meminta maaf sekarang? Aku tidak mengerti!"

"Aku hanyalah orang aneh yang membuat kesalahan di hari pertama bersekolah, jadi apa kau tidak keberatan dengan itu? Kebanyakan dari mereka menganggapku seperti itu."

"Huh?!"

Fisa menghela nafasnya, kemudian dia memainkan rambut peraknya itu dengan jari tangannya.

"Bukankah aku juga melakukan kesalahan di hari pertama? Kau tahu jika aku terlambat bukan?"

"Ya, kau benar."

"Aku tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan tentangmu. Aku hanya ingin bersamamu, itu yang kupikirkan."

"Bersamaku? Kenapa?"

"Eh?! Ti-tidak, lupakan saja!"

Aku tidak mengerti dengan seorang gadis yang bernama Fisa Campbell ini.

Tadinya dia terlihat serius, tapi sekarang dia malah memalingkan wajahnya dari pandanganku.

Yah, entah sudah berapa kali dia seperti ini.

"Jika kau memang ingin bersama denganku, ada beberapa hal yang perlu kau ketahui."

Aku ingin memahami Fisa lebih jauh, jadi kurasa akan lebih baik jika aku sedikit jujur padanya.

Aku tidak bisa terus berbohong jika dia terus dekat denganku.

Jauh di dalam diriku, aku berharap kalau dia bisa menjawab pertanyaannya.

"Apa itu?"

"Aku akan menjelaskannya nanti. Yang lebih penting, bukankah kau ingin berbelanja membeli beberapa kebutuhan? Kebetulan aku juga ingin membelinya."

"Ya, aku ingin membelinya! Ayo kita pergi sekarang!"

Entah karena apa, Fisa mendadak bersemangat saat aku mengajaknya untuk berbelanja.

Dia menarik tanganku lalu memaksaku untuk berjalan mengikutinya.

"Fisa, kau terlalu bersemangat. Bisa lepaskan tanganku?"

"Ah, maafkan aku!"

Setelah kuperingatkan, barulah dia melepaskannya.

Karena aku dan Fisa hampir tidak membicarakan apapun di perjalanan, aku pun mengambil ponsel dari kantong celanaku dan menyalakannya.

Pada dasarnya ponsel ini hampir sama dengan ponsel pada umumnya, hanya saja tidak ada aplikasi untuk penginstalan aplikasi disini.

Jadi aplikasi yang ada sudah diatur oleh pihak sekolah dan para siswa tidak bisa menginstal aplikasi sendiri.

Kemudian aku membuka aplikasi bernama "Point List", selesai menekannya aku melihat tampilan seperti aplikasi e-money pada umumnya, lalu terdapat namaku di bagian atas saldo, untuk jumlah saldonya memang sesuai perkiraanku yaitu 1.000 point.

Lalu aku membuka riwayat point dan mendapati angka +1000 dengan keterangan "Default" dibawahnya.

Jadi semua pemakaian poin akan ditampilkan di bagian riwayat point.

Semua siswa baru diberikan 1.000 point dan satu poin bernilai satu Dollar Amerika.

Para siswa hidup dengan point itu dan disuruh untuk membeli beberapa kebutuhan sehari-hari karena semua barang yang mereka miliki sudah dikembalikan oleh pihak sekolah.

"Satomi, apa kita tersesat lagi?"

"Kukira kau tahu letak pusat perbelanjaannya."

"Aku lupa karena terlalu memikirkan belanjaan yang akan kubeli."

Apa boleh buat.

Aku menggunakan aplikasi peta sekolah yang ada di ponsel, untung saja semuanya jadi lebih mudah berkat ponsel ini.

Pusat perbelanjaan terletak di dekat area kelas dua, jadi membutuhkan waktu kurang dari 5 menit lagi untuk sampai disana.

"Ya, tenang saja. Aku tahu letaknya."

"Benarkah?! Kau menyelamatkan ku, Satomi!"

"Yah, begitu ya?"

"..."

Tidak ada jawaban dari Fisa, dan kemudian keadaan mulai terasa canggung.

Setelah beberapa menit aku dan Fisa berjalan tanpa berbicara apapun, tidak terasa kami sudah sampai di pusat perbelanjaan sekolah ini.

Kami disambut oleh sebuah bangunan yang besar, megah, dan juga mewah.

"Wahah! Jadi ini pusat perbelanjaan yang seperti Mall itu?! Ayo masuk ke dalam, Satomi!"

"Umm ... ya."

Fisa terlihat sangat takjub saat melihat pusat perbelanjaannya, dan dia menyuruhku untuk segera masuk ke dalam.

Saat berada di dalam, aku tidak menyangka kalau orang yang berada disini ternyata lebih banyak dari perkiraanku.

"Hei Satomi, apa yang ingin kau beli?"

Fisa bertanya padaku lalu mendekat secara perlahan agar kami tidak terpisah.

"Aku akan membeli peralatan makan dan mandi, lalu mungkin beberapa pakaian."

Yang paling penting adalah peralatan makan seperti piring, sendok, garpu, sumpit, gelas, dan lainnya.

Peralatan mandi juga tidak kalah penting untuk sekarang karena rasanya aneh jika mandi tidak menggunakan peralatan apapun.

Menurut ku beberapa pakaian santai juga diperlukan karena semuanya sudah diambil, rasanya tidak mungkin jika aku tidur menggunakan seragam sekolah.

"Kau mesum juga ya, Satomi?"

"Aku hanya bilang pakaian, memangnya apa yang kau pikirkan?"

"Apa kau sangat ingin melihat tubuhku? Hehe ..."

Ada apa dengan Fisa sekarang?

Dia terlihat sedang berusaha untuk menggodaku dengan kata-katanya.

Yah, aku tidak akan terpengaruh jika hanya seperti itu.

"Hentikan, sekarang ayo berbelanja!"

"Sesekali tidak masalah kan?"

"Apa maksudnya?"

"Tidak ada, lupakan saja!"

Entah apa yang ada di pikiran Fisa sekarang.

Dia mulai menarik tanganku secara paksa lalu berjalan membawaku ke sebuah toko makanan.

"Kenapa membawaku ke sini?"

"Aku lapar."

Ini sudah sore hari, jadi kurasa wajar jika dia merasa lapar.

Fisa membawaku ke sebuah toko roti, lalu kami pun masuk ke dalam untuk mengantri.

Suasana toko saat ini lumayan sepi jadi hanya perlu waktu beberapa menit sebelum giliran kami tiba.

Saat sudah dibagian depan, Fisa langsung memesannya tanpa bertanya padaku terlebih dahulu.

"Permisi, aku pesan dua Sandwich!"

"Ya, silahkan ditunggu!"

Dia memesan 2 Sandwich dan saat kulihat harganya sebesar 3 point, ini cukup murah dibandingkan makanan yang lain.

Tidak perlu menunggu lama, sandwich yang dipesan oleh Fisa langsung datang.

Dengan cepat dia menerimanya lalu membayar menggunakan ponselnya, dia juga menyerahkan salah satu sandwich kepadaku.

Yah, Fisa sempat membuat kasirnya merasa bingung karena dia menyerahkan ponselnya.

Untungnya kasir yang melayani Fisa dapat memakluminya karena dia tahu kalau Fisa adalah siswa baru kelas satu.

"Terimakasih sudah membeli!"

"Baik!"

Selesai dengan pesanan sandwich, Fisa membawaku duduk di pinggir bangku perbelanjaan dan kemudian kami makan bersama.

"Loh Satomi? Kebetulan sekali, ya!"

Saat aku hendak memakan sandwich milik ku, mendadak aku dipanggil oleh seseorang yang suaranya terdengar familiar.

"Siapa dia?"

Fisa bertanya padaku, dia juga terlihat tidak senang karena keberadaannya.

"Tenang saja, dia adalah teman senior ku, Harry."

"Oh."

Memang sudah lumayan lama aku tidak melihatnya, mungkin sekitar satu Minggu.

Secara kebetulan aku bertemu dengannya lagi disini, terlebih lagi Harry yang berinisiatif untuk menegurku lebih dulu.

"Maaf mengganggu waktu kencan kalian, aku disini hanya untuk berterimakasih dengan benar pada Satomi. Jadi Satomi, terima kasih atas dorongan yang kau berikan saat itu! Paling tidak aku bisa merasa lega walaupun dia membenci ku."

"Ke-kencan?!"

"Kau kenapa, Fisa?"

"Ti-tidak ada masalah."

Aku mengerti dan tidak mengerti.

Aku tidak mengerti tentang Fisa, jadi aku menyampingkannya lebih dulu.

Aku mengerti tentang Harry.

Sepertinya dia sudah mengakui perbuatannya pada Rose, tapi sayangnya Rose tidak memaafkannya dan malah membenci dirinya.

Yah, aku tidak peduli lagi dengan mereka jika sudah seperti itu.

"Kalau begitu, aku pergi dulu!"

"Ya."

Selesai memberikan ucapan terima kasih padaku, Harry langsung pergi.

"Siapa yang membencinya, lalu kenapa dia dibenci?"

Fisa yang sedari tadi menyimak pembicaraanku dengan Harry, kini mulai bertanya padaku.

Tentu saja aku tahu kalau dia pasti akan merasa penasaran dengan itu, jadi aku sudah menyiapkan beberapa jawaban agar Fisa merasa puas.

"Senior tadi bernama Harry, dan dia menyukai senior Rose."

"Eh?! Lalu bagaimana?"

"Senior Harry melakukan hal yang tidak seharusnya, jadi senior Rose merasa tidak nyaman. Saat senior Harry ingin meminta maaf, dia merasa kesulitan lalu meminta bantuan ku. Setelah kuberikan beberapa dorongan, akhirnya senior Harry memberanikan dirinya untuk meminta maaf. Tapi sepertinya senior Harry sudah dibenci oleh senior Rose."

"Jadi itu berhubungan dengan senior Rose? Aku tidak mengerti kenapa dia berkata kalau dia tidak mempercayai kita berdua waktu itu."

"Fisa ... memiliki rasa penasaran yang tinggi memang bagus, tapi kau harus bisa memahaminya sendiri. Alasan kenapa dia berbuat seperti itu, ada saatnya kau cuma bisa berdiam diri."

Kuharap dengan perkataan ku yang seperti itu, dia bisa menahan diri atas rasa penasarannya itu.

"Ya, sudahlah. Aku memang sangat penasaran, tapi aku tidak boleh ikut campur. Itu yang kau maksud bukan?"

"Tepat sekali. Daripada memikirkan itu, lebih baik kita lanjut berbelanja peralatan. Lagipula kita sudah menghabiskan sandwich-nya."

"Baiklah, ayo pergi!"

Waktu akan terus berjalan.

Secara perlahan, aku pasti akan memahami tentang Fisa.

Tentang rasa penasarannya yang tinggi.

Tentang senyuman manisnya yang terlihat berbeda saat aku melihatnya.

Tentang alasan kenapa dia terus ingin bersamaku, aku harus memahaminya.

Chapitre suivant