Setelah kejadian itu, aku membereskan jam dan beberapa detailnya yang berantakan lalu kugantung lagi di dinding.
Baru saja aku akan bernapas sedikit lega, sesuatu seperti sedang memperhatikanku di pojok ruangan yang gelap.
Karena ini masih pagi, aku mencoba memberanikan diri untuk menemui ruangan itu dan melihat apa saja isi yang ada di dalamnya.
Kunyalakan saklar, namun lampunya mati. Hanya penerangan dari jendela saja yang sedikitnya membuat ruangan tidak sepenuhnya gelap.
Aku merasa bahwa ruangan ini adalah gudang. Kulihat, ada banyak barang-barang bekas tak terpakai yang tersimpan di sini hingga sudah dipenuhi oleh debu-debu tebal.
Ada buku, kursi tua hingga boneka yang entah berasal dari mana. Semuanya sudah usang dan terlihat seperti tak dibersihkan sama sekali.
"Kau di sini?" aku tersentak saat mendengar suara anak kecil di belakangku. Segera aku membalik badan, dan entah ilusinasiku atau tidak, anak kecil yang tadi malam bermain piano itu kini benar-benar berada di depanku.
Dia terlihat sangat cantik dan elegan. Bajunya sangat mewah dan wajahnya begitu bersih. Aku sampai tak bisa berbuat apa-apa. Kakiku kaku dan sangat sulit digerakkan.
"Kau tak usah takut." ucapnya sambil tersenyum.
"Kau siapa?" aku memberanikan diri bertanya.
"Jane." dia memberikan tangannya.
Sedikit ragu, aku menerima jabatan itu.
Dingin.
Ya. Itu yang aku rasakan saat memegang tangan anak kecil yang mengaku dirinya bernama Jane.
"Ini adalah tempatku. Setiap malam aku memang senang bermain piano. Jadi jika kau turun ke bawah dan mendengar suara piano, jangan takut. Itu aku yang memainkannya."
Sampai beberapa saat, aku baru sadar jika anak kecil yang ada di depanku ini bukanlah anak kecil yang nyata.
Aku langsung berlari menghampiri Albert yang tengah berbaring sambil menonton televisi. Melihat kepanikanku, dia lantas bangun dan bertanya ada apa.
"Apa kau membawa anak kecil kemari?" tanyaku dengan jantung yang berdegup begitu kencang.
Albert keheranan.
"Anak kecil? Maksudmu anak kecil siapa?"
Aku melirik ke sudut ruangan kosong itu dan melihat Jane sedang berdiri sambil melambaikan tangan. Anak kecil itu terlihat ramah, walau tetap saja aku merasa sangat takut.
"Tadi aku bertemu dengan anak kecil bernama Jane. Apa kau tahu siapa dia?"
Albert semakin keheranan saat aku mengatakan hal itu.
"Jane?" tanyanya memastikan.
"Iya."
"Ayolah, Kevin. Kau jangan bercanda. Ini tak lucu."
"Aku tak sedang bercanda, Albert." sesekali aku melirik ke arah itu dan melihatnya masih tetap di sana. "Itu! Apa kau tak melihatnya?" tanyaku sambil menunjuk tempatnya dan Albert melihat ke sana.
"Mana?"
"Itu! Dia sedang berdiri di depan pintu itu. Apa kau tak melihatnya?"
"Di mana, Kevin? Aku sama sekali tak melihat apa pun."
"Ya Tuhan. Jane masih ada di sana, Albert. Lihatlah! Dia sedang menatapmu sambil tersenyum."
Albert seketika menatapku.
"Kau jangan bohong!"
"Siapa yang berbohong? Aku serius."
"Kenapa kau bisa melihatnya?"
"Justru mengapa kau tak bisa melihatnya?" kami berdua sama-sama bingung.
Anak itu tiba-tiba berlari kecil ke arahku. Sontak aku berlari ke atas sambil berteriak dan Albert pun sama.
"Tidak! Kau jangan dekat-dekat denganku!" teriakku lalu masuk ke dalam kamar dan menguncinya setelah yakin Albert sudah ada di kamar pula.
Segera aku membuka jendela kamar agar terlihat sangat terang. Sesekali aku memegang dada yang berdegup lebih kencang karena ketakutan.
Ini sangat menyebalkan.
Mengapa gangguan itu masih berlaku di pagi hari? Apa sosok-sosok seperti itu tak ada rasa lelahnya untuk mengganggu?
"Albert, aku tak berani turun." seruku sambil melihat pemandangan luar. "Rumah ini begitu menyeramkan dari yang aku kira."
Albert yang sedang duduk di tepi kasur tak menjawabnya sama sekali.
Aku meliriknya sebentar. "Karena ini pun, kau yang kepalanya sakit tiba-tiba ada kekuatan cepat untuk berlari. Hahaha!"
"Kau tak usah takut, Kevin!"
Aku yang sedang tertawa tiba-tiba tertegun.
Apa? Suara itu?
Bukan Albert!
Tubuhku gemetaran bukan main. Aku ingat sekali dia ikut berlari di belakangku, kemudian pintu kamar kukunci.
Jika bukan Albert yang mengikutiku dari belakang, lalu siapa?
Tiba-tiba, aku merasa sosok itu mulai mendekat. Hawanya sangat panas dan terasa sekali.
Badanku masih gemetaran. Kututup mataku sambil terus berdoa di dalam hati, berharap bahwa seseorang yang menemaniku di sini adalah Albert.
Pijakan kaki itu kudengar dengan jelas.
Mendekat, semakin mendekat, dan....
"Kau kenapa?" aku hampir berteriak saat ada yang menepuk pundakku, dan ternyata itu adalah Albert.
Aku bernapas lega dan mulai memperhatikannya dari atas sampai bawah, dan berulang dari bawah sampai atas.
Oh. Ternyata memang Albert!
"Muka kau terlihat tegang sekali. Ada apa?" tanyanya terlihat penasaran.
Aku menelan ludah sambil tersenyum. "Tidak ada." masih teringat sekali suara yang menyautku tadi adalah bukan suara Albert. Melainkan suara anak kecil itu.
"Ya sudah." Albert kembali duduk dan menyalakan televisi.
"Kau sudah tak pusing?" aku berusaha kembali tenang.
"Pusing?" dia seperti keheranan. "Tidak. Aku tidak pusing."
Dia memencet remot dan mencari stasiun televisi. Setelah beberapa saat, stasiun itu berhenti di acara film kartun anak-anak.
"Tak seperti biasanya kau menonton film kartun." aku tertawa.
"Itu hobiku yang tak kau tahu." serunya sambil tertawa juga. "Untuk mengobati ketegangan tadi juga."
"Memangnya kau tak takut, Albert?"
"Untuk apa takut? Kau tak usah takut, Albert. Orang-orang yang ada di sini tak akan mengganggu. Mereka sangat baik."
Aku mengerutkan kening. "Benarkah? Dari mana kau tahu?"
"Aku tinggal di sini. Ya aku tahu."
"Benar juga." aku tertawa mendengar jawabannya.
"Sesekali, kau ajaklah mereka mengobrol. Kadang, sesuatu yang membuat kau takut tak selamanya menakutkan. Itu hanya pikiran buruk kau saja. Kau jangan menjadi penakut, Kevin. Mungkin mereka ingin berkenalan denganmu, atau bahkan bisa saja membantumu."
"Seorang hantu membantu? Hahaha. Itu tak akan mungkin. Yang ada mereka mengganggu dan membuat kita takut saja."
Albert menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecil. Tatapannya masih terus menonton televisi.
"Kau terlalu banyak menonton film horor. Justru bagiku, sesuatu yang sangat berbahaya itu bukan lagi hantu. Melainkan manusia."
Benar juga ucapannya.
Aku hidup di zaman, di mana manusia menjadi makhluk paling menakutkan yang bisa membunuh, memanipulasi, menipu, menculik dan lain sebagainya.
Kadang miris sekaligus takut sekali berada di lingkungan yang seperti itu. Namun lagi-lagi, aku harus kuat dan bisa menerima semuanya.
Apalagi, sekarang aku harus lebih berhati-hati saat bertemu dengan orang baru. Aku ingat sekali kata mama, kalau seorang penjahat sangat mudah memanipulasi dan membuat sebuah drama.
"Albert, kau bisa antar aku ke bawah?" tanyaku kemudian.
"Untuk apa?"
"Aku lupa tak membawa makanan."
"Turun saja sendiri."
"Tapi aku takut."
"Tidak ada apa-apa. Percayalah kepadaku."
Karena terpaksa, aku lantas memberanikan diri turun ke bawah sambil terus berjaga-jaga, takut jika ada anak kecil lagi seperti tadi.
Merasa aman, aku langsung berlari ke dapur dan membuka lemari es. Kuambil beberapa makanan dan minuman untuk stok di kamar.
Tak hanya itu. Aku juga mengisi air minum di botol yang lumayan besar, agar ketika di kamar nanti aku tak perlu naik turun ke bawah.
Meskipun ini masih pagi, tapi bagiku sangat menakutkan.
"Kevin, kau sedang apa?"
Brukkk!!!
...