webnovel

Bertahan Hidup

Hari itu di Helike, Ewa Lani yang meminum Pil Embun Pagi menjadi lemas tak berdaya. Energinya hilang, wajahnya pucat dan sama sekali tak berkutik saat Kiora dan para bawahannya menangkapnya.

"Ikat mereka!" perintah Kiora pada para penyihir yang sudah siap untuk menangkap Ewa Lani dan Rei.

"Kenapa Nona Kiora? Bukannya Ewa Lani sudah banyak membantumu!" ujar Rei marah.

"Aku mengerti, tapi aku sudah membuat keputusan!" ujarnya.

"Bukannya kita teman lama Kiora? Mengapa kau lebih memilih bersekutu dengan penyihir licik itu? Menyatukan Arasely? Dibawah pimpinan Floy? Itu sama saja kiamat!" jelas Ewa Lani.

"Iya, kita memang teman, tapi saat ini aku lebih memilih rakyatku, kita tak akan menang melawannya! Tak ada bala bantuan! Kenyataannya semua takut pada Floy, satu-satunya cara agar rakyatku selamat adalah menyerahkanmu, aku harap kau mengerti!" jawabnya.

"Kau jahat Nona Kiora! Keegoisanmu dan rakyatmu tak akan membuat kalian lebih baik dengan mengikuti keinginan penyihir itu!" ujar Rei lantang.

"Apa yang kau tau Bocah! Kau mau Ewa Lani mati konyol? Dia akan mati jika memilih berperang! Kekuatan kita tidak seimbang! Tapi jika kami menyerahkan Ewa Lani, kemungkinan besar Floy tak akan membunuhnya!" jelas Kiora.

"Baiklah, kau boleh menyerahkanku pada Floy, tapi jika masih memandang pertemanan kita tolong lepaskan Rei, biarkan dia tetap di sini, dia tak terlibat langsung dengan semua kekacauan ini!" pinta Ewa Lani.

"Tidak! Aku ikut denganmu, aku tak mau bersama para pengkhianat!" protes Rei.

"Jangan bodoh! Masih banyak hal yang harus kau selesaikan! Kau bisa pulang ke Gunung Carmella, atau mencari keluargamu, bawa peluitku! Ajak Grif bersamamu!" jelasnya.

Rei diam, dia tetap tidak bisa menerima keputusan Ewa Lani yang harus berkorban untuk dirinya. Ewa Lani menatap Kiora, tatapan yang sangat dalam yang membuat Kiora berpikir sejenak dan akhirnya membuat keputusan.

"Baik akan kubebaskan Rei, Floy juga tidak menginginkannya, tapi aku tak akan menerimanya di Helike, aku tak mau dia menyulitkanku suatu hari nanti!" jawabnya.

"Baiklah, terima kasih!" ujar Ewa Lani.

"Cepat bawa dia ke Iyork!" perintah Kiora pada penyihir bawahannya.

Beberapa penyihir membawa Ewa Lani keluar, dengan badan terikat Rei berteriak-teriak melihat temannya diseret menjauh dari pandangannya. Ewa Lani hanya tersenyum saat menatap Rei, gadis itu mengorbankan dirinya untuk keselamatan Rei dan semua orang. Sekali lagi Rei sangat marah, dia tidak bisa menyelamatkan temannya, bahkan menyelamatkan diri sendiripun dia tak bisa. Kereta sihir membawa Ewa Lani terbang ke Iyork, sementara Rei dibawa oleh para penyihir untuk dikurung di kamarnya.

Dikurung di kamar Rei tak mau tinggal diam, dia membuka tas Ewa Lani yang berisi banyak barang sihir termasuk peluitnya. Memang Rei tak yakin bisa menjinakkan burung besar itu, tapi setidaknya dia akan mencobanya nanti. Selain itu Rei khawatir jika barang-barang sihir milik Ewa Lani dirampas, jadi dia sengaja menyembunyikan dua yang penting, yaitu peluit siput dan kantong serbuk warna rambut di saku bagian dalam bajunya. Kiora bilang akan mengusir Rei dari Helike, berarti tak lama lagi para penyihir itu akan menyeretnya keluar gerbang. Benar saja, tak perlu waktu lama kamarnya dibuka, barang-barangnya sihir yang tersisa dirampas dan Rei dikeluarkan dari gerbang hanya dengan beberapa lembar baju yang dibawanya.

Rei berjalan pelan, dia tak tau ke arah mana dia akan pergi. Selama ini Rei hanya mengikuti Ewa Lani di Arasely. Sekarang dia harus bisa mandiri jika ingin tetap bertahan hidup. Rei memutar otaknya jika Iyork ada di utara Helike, setidaknya dia berjalan ke arah yang berlawanan untuk menyelamatkan diri. Tapi mengingat semua wilayah sedang menerapkan sistem pertahanan yang ketat, sebaiknya dia pulang saja ke Gunung Carmella dan bertemu ibu Ewa Lani, Calestyn. Masalahnya Gunung Carmela sangat jauh dan Rei masih ragu untuk memanggil Grif.

Rei berjalan cukup jauh, tak ada tanda kehidupan di padang rumput yang dilewatinya, matahari cukup terik dan dia merasa kehausan. Sejauh mata memandang Rei hanya melihat rumput yang mirip ilalang dan tanaman perdu kering tanpa buah.

"Ah, padang rumput kering, kenapa tak ada sungai disini!" gerutunya.

Rei membuka saku bajunya, kali ini dia mencoba memanggil Grif, ditiupnya peluit siput itu dengan tiupan panjang yang menimbulkan gelombang di udara.

"Kiakkk..kiak!" suara Grif yang datang mendekat.

"Grif!" Rei melambai-lambai ke arah langit.

Burung itu tidak mau turun, sepertinya Grif mencari tuannya, berputar-putar di atas Rei lalu terbang menjauh. Rei menghela nafas, burung besar itu tak mau membantunya, disimpannya lagi peluit Ewa Lani di saku bajunya, Rei kembali berjalan. Saat ini Rei harus belajar bertahan hidup, belajar berburu makanan dan minuman selama perjalanan panjangnya menuju Gunung Carmella.

Hari mulai petang, Rei sampai ke sebuah hutan yang lebat, masalahnya langit mendung, cahaya bulan tak tampak, hutan dengan banyak pohon besar itu sangat gelap. Dia merasa lapar, dan juga sangat haus, seorang diri di hutan sungguh pengalaman yang mengerikan. Rei memutuskan untuk duduk di tempat yang bersih, dia mencari daun-daun yang lebar untuk alas, mematahkan ranting-ranting pohon dan menutupinya dengan daun. Rei membuat tenda dengan bahan baku alam. Rei mencari daun-daun kering, ranting kering, dan kayu. Rei mulai menggesek-gesekkan batu, dia ingin membuat api. Tak semudah film survivor yang pernah ditontonnya. Tapi mengingat Ewa Lani yang sedang ditawan bukan saatnya dia menjadi bocah yang manja. Bocah itu terus mencoba, setelah satu jam dia berhasil membuat api unggun yang cukup besar.

Mata Rei mulai beradaptasi dengan kegelapan, dia tak sadar matanya menyala sangat merah sekarang. Dia melihat ada buah di atas pohon dan mulai memanjatnya. Mengambil beberapa dan kembali turun ke tenda buatannya. Akhirnya malam itu Rei bisa makan, buah-buahan yang dipetiknya mengandung banyak air, jadi selain kenyang, rasa hausnya juga cukup terobati. Di hutan sendirian ternyata tak terlalu buruk pikirnya. Hanya saja dia harus mulai khawatir setelah ada suara raungan keras mulai mendekat ke arahnya. Rei kembali naik ke atas pohon, kemungkinan di Arasely hewannya akan lebih buas daripada hewan di dunianya. Mata Rei mulai memeriksa kegelapan.

"Grrrr..!" suara nafas binatang buas mendekat.

Mata Rei mencoba mengamati kegelapan, dari arah jam dua dia melihat daun-daun bergerak dan muncul makhluk mirip harimau berwarna hitam. Binatang itu bermata biru meyala, bertaring panjang, dan ukurannya tiga kali lipat dari harimau biasa. Harimau raksasa itu juga bisa melihatnya, Rei naik ke atas dahan pohon yang lebih tinggi, dia tak mau harimau besar itu menggapainya. Malangnya, harimau raksasa itu bisa memanjat, Rei langsung melompat terjun ke tanah dan berlari sekencang mungkin.

Binatang besar itu mengejarnya, larinya sangat cepat menerjang semua perdu dan semak belukar. Rei tak mau menengok ke belakang, yang harus dia lakukan adalah berlari sekencang mungkin. Rei berlari cepat hanya saja akar sebuah pohon yang melintang membuatnya jatuh terjungkal. Rei harus bersiap karena binatang besar itu sudah sangat siap menerkamnya.

"Aaaaaakkkghhh....!" suara teriakan Rei yang lalu hilang ditelan malam.

Chapitre suivant