♦
Ⅲ
♦
DAY 1
♦
Mataku yang masih tertutup merasa seperti tersorot oleh sebuah cahaya yang sangat menyilaukan, kemungkinan besar itu adalah sinar Matahari. Hal ini menandakan bahwa pagi telah tiba, kuputuskan untuk membuka mata.
Namun hal yang menyebalkan terjadi kembali.
"Selamat pagi kakakku, Mave!! Tidurmu nyenyak juga ya, sampai-sampai aku harus menggunakan ini untuk membangunkanmu," ucap You yang sedang membawa senter dan menyoroti mataku.
"Bodoh, You, bagaimana jika mataku rusak?!" Aku merebut senternya kemudian membalas menyorotkan cahayanya ke dirinya.
You menyita kembali senternya. "Rasakan!! Mata itu sudah melihat tubuhku tadi malam, dia harus dihukum!!"
"Itu salahmu!?"
You menarik selimut di atas tubuhku. "Lagian ini sudah jam berapa kau tahu tidak??"
"Mana aku tahu, dasar You bodoh?!" Aku melemparkan bantal kepadanya.
"Jam tujuh pagi tahu!!"
"Lah ternyata baru jam tujuh, kembalikan lagi bantalku sini. Lebih baik aku tidur dan melanjutkan mim—"
Aku kembali teringat mimpi semalam, apa maksudnya mimpi itu?
"Mave? Mave kenapa bengong? Hei Mave!!" teriaknya kepadaku.
"Ah maaf, aku hanya mengingat mimpiku semalam ...."
Aku benar-benar mempertanyakan arti mimpi semalam, mungkinkah itu hanya sebuah mimpi biasa?
"Sudahlah, lupakan itu dan ayo kita sarapan!" You menepuk pundakku dan pergi keluar dari kamar ini.
Aku beranjak dari tempat tidur dan menuju ke kamar mandi.
Aku melihat ke arah cermin yang ada di kamar mandi. Wajah yang tegas, hidung yang mancung, mata yang tajam, dan rambut yang agak panjang. Itulah sosok yang terlihat di cermin itu.
"Apakah aku masuk kategori tampan?" gumamku sembari melihat perawakan di cermin itu.
Aku memiliki tubuh yang lumayan tinggi dengan otot yang telah terbentuk di tubuh. Air dingin kugunakan untuk membasuh wajah ini, meresap dalam kulit dan membuat wajah kembali segar.
"Ah ... ternyata aku belum mengingat identitasku. Dasar Dokter pembohong!!" Aku membasuh wajah yang basah itu dengan handuk.
"Mave, kenapa lama sekali? Kau tidak sedang berbuat yang aneh-aneh dengan memikirkanku, kan?!" You menggedor pintu kamar mandi dengan brutal.
"Bodoh, apa maksudmu itu? Bukankah kau yang selalu berpikiran aneh??" Aku membuka pintu kamar mandi dan mendapatkan satu pukulan dari sisa gedoran yang You berikan kepada pintu tadi.
"Hei sudah tahu aku membuka pintu, kenapa masih kau lanjutkan gerakanmu itu? Kau sengaja, ya??" ucapku sembari memegang satu lengannya.
"Ehehe, aku tidak tahu kau sudah membukanya." You melepaskan tangannya dariku dan tersenyum manis.
Aku mengikutinya menuju dapur dan bersiap-siap untuk memasak makanan untuk sarapan.
"Mave, ambilkan bumbu dapur yang telah kusiapkan di kulkas, lalu nyalakan kompornya!" ucapnya menunjuk diriku sebagai asisten masaknya.
"Baik, Bu!!"
Aku mengikuti setiap instruksinya agar mendapatkan makanan yang lezat seperti tadi malam. Setelah melakukan beberapa perintah darinya, kudapati bau lezat dari panci di depan.
"Aroma ini nikmat sekali, You, aku tidak sabar ingin memakannya." Aku mengambil sendok dan mencoba untuk menyicipinya.
"Tentu saja dong, aku itu juru masak yang handal," ucap You sembari memutar sodet di tangannya.
"You memang hebat, cepat angkat makanan itu." Wajahku tersenyum bahagia.
"Itu belum masak bodoh, nanti kau sakit perut."
You menggantikan posisiku di depan panci dan mulai mengaduk sup dengan sodetnya.
"Tunggu lima menit lagi, Mave, kau memasak sosis saja yang tersisa di kulkas!" ucapnya sembari menunjukkan letak sosis yang telah dikupas.
"Baik, Bu!!"
Setelah sekitar 30 menit kami menghabiskan waktu dengan memasak, akhirnya sarapan pagi pun telah siap dihidangkan.
Ah aku sangat lapar pagi ini.
●●●
Makanan itu telah tersusun dengan rapi di atas meja makan, melihatnya saja bisa membuatku sangat lapar.
"Cepat, You!? Atau ingin kuhabiskan sendiri makanannya?" Aku menyiapkan tempat duduk untuk kami berdua.
"Bicara apa kau, yang masak siapa yang rakus siapa?!" You memukul kepalaku dengan centong nasi.
"Hehe maaf, aku sudah lapar, You." Aku mengeluarkan ekspresi kelaparan.
Kami mulai memindahkan makanan yang berada di depan menuju piring kami masing-masing.
"Selamat makan!!!" ucap kami berdua.
Ah benar-benar lezat makanan ini, sepertinya adikku ini memang pandai sekali memasak.
"Kau pasti sedang memujiku, kan?" ucapnya dengan senyuman aneh.
Bagaimana dia bisa tahu? Dasar You aneh sekali.
"Eh, apakah kau seorang cenayang?"
"Wajahmu terlihat jelas, Mave, aku sudah bisa menebaknya."
"Apakah aku seperti ini saat ingatanku masih sehat?"
You menganggukkan kepalanya, dia menatapku dengan wajah manisnya, kemudian tersenyum tulus kepadaku.
"Aku bersyukur, meskipun Mave hilang ingatan tetapi aku seperti tidak kehilangan kakak yang baik itu."
Tanpa kusadari, aku seperti mengulangi kejadian tadi malam setelah mendengar jawabannya itu.
"Mave, maafkan aku tadi malam di rumah sakit sudah merepotkanmu, ya."
Setelah menelan makanan, aku menjawabnya. "Tidak apa-apa, itu sama sekali tidak merepotkan. Selain itu, aku juga merasakan sesuatu yang aneh pada saat memelukmu di rumah sakit."
Wajahnya memerah, tidak lama kemudian dia menarik napas dalam-dalam.
"Dasar Mave mesum!!" teriaknya kepadaku dengan sangat lantang.
"Apa-apaan??!" Aku mengerjap kaget akan suaranya.
"Kau tidak memikirkan yang aneh-aneh kan saat memelukku? K—kau merasakan sesuatu yang mesum dari tubuhku, kan??" Dia melihat ke arah dadanya kemudian menatapku garang.
Aduh!! Dia beralih dari mode kucing ke harimau lagi. Bagaimana ini?
"Bu—bukan itu yang kurasakan, mana mungkin aku memelukmu hanya untuk merasakan dadamu. Aku tidak semesum itu, You!"
Aku tidak habis pikir dengan wanita ini, bahkan saat itu aku tidak memikirkan untuk merasakan dadanya dengan tubuh ini sedikit pun.
"Ya mu—mungkin saja kau berpikiran kotor saat itu, syukurlah kalau kau tidak berpikiran begitu."
"Dengarkan ini You, aku memang melihatmu sebagai wanita yang cantik. Namun, aku tidak mungkin melakukan hal kotor kepada adik tersayangku."
You tersenyum. "Dasar mesum!?"
You sudah kembali ke mode normal.
"Lagian yang tadi malam melepaskan handuknya sendiri itu siapa, yang dibilang mesum siapa," ucapku meledeknya.
"Duh, lupakan itu, Mave, aku malu." You menggigit sendoknya dengan keras.
"Cepat lanjutkan makanmu, aku sudah hampir selesai."
"Baiklah, aku mengerti."
Ya Tuhan, You ini kenapa pemikirannya kotor begitu? Jika hatiku tidak kuat, maka aku takut akan berbuat hal aneh kepadanya. Eh—mungkin bukan pikirannya yang kotor, bukankah dia terlalu waspada hanya karena hal sepele semacam itu? Atau mungkin dia selalu dipandang seperti itu oleh orang lain?
Aku harus mengingat sesuatu tentang masa lalunya, kumohon ingatlah masa lalunya wahai otak. Aduh—kenapa tiba-tiba kepalaku sakit, benar-benar sakit sekali. Tubuh ini menjadi sangat lemas, aku mencoba mendorong piring di depan dan menjatuhkan kepala di meja makan.
"Mave, kau kenapa?? Katakan sesuatu padaku ...."
Aku mendengar suara You menjadi sangat kecil, setelah itu aku tidak bisa melihat apa-apa. Sepertinya aku pingsan.
●●●
Aku membuka kedua mata, sepertinya tubuh ini sudah berada di kamar.
"Berapa lama aku pingsan, You? Jam berapa sekarang?" Aku menengok ke arah You yang sedang menundukkan kepalanya di meja samping tempat tidur.
"Mave?! Kau kenapa tadi? Kau pingsan tujuh jam yang lalu, aku membawamu ke sini dengan susah payah tadi." You menghampiriku dan memegang tanganku.
"Ah itu ... tadi aku pusing sekali setelah memikirkan sesuatu."
"Itu pasti karena aku yang berkata aneh-aneh kepadamu, maafkan aku, Mave." Raut wajahnya sedih, aku paling tidak suka ketika dia menunjukkan wajah yang seperti itu.
"Bukan karena itu, You, sungguh bukan karenamu. Aku tadi memikirkan kenapa kau mewaspadai hal sepele semacam itu. Jelaskan padaku!"
You kemudian duduk di sisi kasur sedangkan aku menyenderkan tubuh ini ke ujung ranjang. Perlahan, dia mulai menjelaskan apa yang sudah terjadi di hidupnya.
"Jadi, Mave belum mengingat semua tentangku, ya? Aku sedari masuk SMA dulu selalu mendapatkan pandangan yang tidak baik oleh para lelaki di sekolah. Suatu hari, aku hampir diperkosa oleh kakak kelas saat perjalanan pulang, akan tetapi kau menyelamatkanku saat itu. Karena itu, aku menjadi waspada kepada lelaki, lebih tepatnya trauma dekat dengan orang lain."
You terlihat mengeluarkan air matanya. "Untungnya aku sudah lulus dua hari yang lalu dari SMA, Mave, jadi kau tidak perlu mengkhawatirkanku." Meskipun air matanya keluar, dia tetap berusaha untuk tersenyum.
Sejenak, aku merasa sangat tidak berguna. Sangat-sangat tidak berguna!!
"Kakak macam apa aku ini, ya?! Padahal aku harus melanjutkan tugas untuk melindungimu. Namun apa-apaan dengan hilang ingatan ini!!" Aku memukul kepala ini ke belakang hingga menyentuh tembok.
"Mave, kau telah menyelamatkanku pada saat itu. Hari di mana aku melihat sosok aslimu sebagai seorang kakak yang selama ini kubenci. Sosok yang kupikir tidak pernah peduli padaku setelah orang tua kita tiada. Itu benar-benar seperti seorang pahlawan." You memelukku dengan sangat erat.
"Hei, nanti aku dituduh mesum lagi sama kau, You." Aku mencoba mencairkan suasana hatinya.
"Dasar kau ini, Mave!? Kenapa menghancurkan momen yang lagi pas, sih?!" You melepaskan pelukannya lalu mencubitku dengan sangat keras.
"Ampun, Bu, aku menyerah. Tolong lepaskan cubitanmu itu."
Sial, cubitan You sakit sekali.
"Bukan, Bu, tapi kau sering memanggilku Ratu."
"Baik, Yang Mulia Ratu," ucapku dengan mencubit pipinya untuk membalasnya.
Aku beranjak dari tempat tidur dan menarik tangan You untuk keluar dari kamar.
"You, ajak aku keluar rumah! Tunjukkan aku tempat yang bisa membuat kita tenang."
"Iya, Mave, tapi apakah kau yakin tidak ingin mandi dan ganti baju dulu?"
"Oh iya ... benar juga kau You, tunggu aku selama 15 menit, kau tunggu di teras rumah saja!"
Aku meninggalkan You dan menuju ke kamar mandi.
●●●
Setelah merasa badan ini telah siap, aku menuju ke teras untuk menemui You.
"Ayo You, ajak aku ke suatu tempat yang mungkin dapat membentuk ingatanku kembali ...."
Aku melihat You yang sedang terduduk melihat kawanan burung di langit tanpa merespon akan pernyataan yang baru saja kuajukan kepadanya.
"Hidup seperti burung, terbang bebas di langit. Menyusuri langit tanpa ada halangan apa pun. Jika salah satu mereka merasakan bahaya, burung yang lainnya akan senantiasa melindunginya. Berbeda sekali dengan hidup ini," gumamnya masih dengan melihat kawanan burung di langit.
Setelah mendengarnya, entah kenapa aku merasa ada yang janggal di kalimat itu.
"Aku berpikir tidak seperti itu, ada burung yang ditembak dan dibelenggu di sangkar. Tidak ada siapa pun yang bisa menyelamatkannya. Pada akhirnya burung itu harus bertahan hidup dan merasakan betapa sakitnya dikurung, menanti pemiliknya memberikan makan untuknya. Lalu, kebebasan apa yang kau bicarakan, You?"
"Uwaa!!? Sejak kapan kau ada di situ, Mave? Seperti hantu saja tiba-tiba datang!!" You berdiri kaget setelah mendengar ucapanku.
"Baru sebentar kok aku di sini, kau tadi bicara apa, You?"
"Bukankah aku yang seharusnya bertanya? Kau kenapa bisa beranggapan seperti itu?"
Tidak tahu. Sungguh. Aku hanya merasakan bahwa tidak semua burung itu bisa terbang bebas di luar sana.
"Entahlah." Aku menggelengkan kepala.
"Sepertinya benar sekali ucapanmu, tidak semua burung itu bakal selamat sampai tujuannya. Saat sebuah burung tertembak atau dengan kata lain sebuah masalah sudah terjadi, mengeluh pun tidak akan berguna di kehidupan ini."
You menatapku, tentu saja mata ini membalasnya. Tanpa sedikit keraguan, aku memberanikan diri untuk kembali bertanya kepada You.
"Kau tadi membicarakan tentang ketidakadilan takdir, kan?"
"Ya begitulah, Mave, aku bertanya kenapa selalu diriku bisa seperti ini? Para wanita di sekolah baik padaku, tapi kenapa para lelaki di sekolah seperti itu padaku? Rasanya seperti Tuhan benar-benar menciptakan suatu ketidakadilan di takdirku." You berjalan untuk mengunci pintu rumah kami.
Aku pun tahu apa yang kau rasakan, You. Terkadang manusia menjadi membenci Tuhan hanya karena mereka merasa tidak mendapatkan keadilan. Padahal semua pikiran yang seperti itu salah. Dalam diriku, hal pertama yang kuingat setelah hilang ingatan semalam adalah sosok Tuhan.
Jadi kenapa Tuhan masih memberiku sebagian ingatan jika Dia memang tidak adil?
"Aku yakin bahwa Tuhan sebenarnya sedang tersenyum kepada kita, bukan menertawakan kita. Jika kita berhenti menyalahkan Tuhan, mungkin keadilan yang sebenarnya akan muncul, You."
Tangan You berhenti memutar kunci pada pintu, ia mengepalkan tangannya dan berbalik menghadap kepadaku.
"Jika Tuhan itu adil, kenapa ... kenapa orang tua kita juga harus mati pada hari itu?! Saat kau meminta tolong kepada orang-orang itu, kenapa hanya kita yang diselamatkan oleh orang-orang itu, Mave? Ke—kenapa mereka tidak membantu orang tua kita? APAKAH ITU KEADILAN YANG TUHAN BERIKAN PADA KITA?!!" teriaknya dengan memukulkan tangannya kepada pintu.
You, lagi dan lagi menangis di depanku. Aku sungguh tidak ingin melihatnya menangis lagi. Aku memang belum mengingat semua hal dalam hidup yang lama, apalagi tentang kejadian kematian kedua orang tua kami, sama sekali tidak mengingatnya.
"Mungkin saat itu Tuhan lebih menyayangi kita You, kedua orang tua kita mungkin sudah senang melihat anaknya masih bisa hidup. Sekarang tenangkan pikiranmu, jangan karena berbicara tentang ketidakadilan kau malah melupakan sosok Tuhan, itu tidak baik You."
Aku memegang pundaknya lalu mengambil kunci yang masih menggantung pada pintu.
"Rasanya lucu karena dirimu yang sekarang sudah mempercayai takdir Tuhan."
Aku tidak mempercayai takdir Tuhan? Mana mungkin.
"Ayo antar aku saja!" ucapku sembari mendorongnya untuk berjalan.
"Maaf, Mave, aku terbawa suasana lagi ...."
"Sudahlah, aku pun dulu mungkin pernah mengalami fase itu. Karena aku dapat merasakannya lewat tatap matamu itu."
Kami berjalan menyusuri tepian jalan raya yang mulai ramai karena hari sudah mulai sore. Padahal tadi malam serasa berada di kota mati, kendaraan pun hanya beberapa saja yang muncul. Namun, hari ini terlihat ramai sekali meskipun sudah sore hari.
"Mave, akan aku tunjukkan tempat yang spesial bagimu dan bagiku. Di tempat itu kita mulai menjalin hubungan layaknya kakak-adik sesungguhnya." You mendahuluiku dan berjalan mundur di depanku.
Hubungan kakak-adik? Apa itu semacam—ti–tidak mungkin hal itu, kan?
"Aku menantikannya, You," balasku dengan senyuman.