webnovel

- Tentara Bayaran

Setelah sarapan lobak rebus di Rumah Mario, Temmalara berjalan pulang menuju rumahnya. Mario sempat berpesan kepada keduanya untuk segera bergegas mempersiapkan keberangkatan mereka masing-masing. Perjalanan Gowa menuju Wajo memerlukan waktu lebih dari seminggu dengan berjalan kaki. 

Ketika sudah sampai di Depan Rumahnya, Temmalara diam-diam menyelinap masuk ke dalam lewat jendela yang telah dibiarkan Witta terbuka di pagi hari. Tidak menunggu begitu lama hingga Pintu Gudang Rumah terbuka olehnya.

Matanya gesit mencari parang ataupun badik yang mungkin saja masih berada disana. Tetapi yang didapati di gudang itu hanya alat-alat untuk bertani. Terlihat 3 buah alat cukup tajam yang pernah ia gunakan dulu yaitu celurit, cangkul, dan garpu tani.

Jelas saja ketiga alat itu tak bisa digunakan untuk berperang, bisa-bisa ia menjadi bahan rundungan Prajurit Wajo nanti. Temmalara segera keluar dari Gudang dan mulai melirik ke arah dapur.

Di sana ia mendapati parang berkarat yang sering dipakai ayahnya dulu. Meskipun terus diasah sekalipun, hasilnya akan sia-sia saja. Parang itu memang sudah tua dan seharusnya dibuang saja. Akan tetapi karena tidak punya biaya untuk membeli yang parang baru, maka ia pun menerapkan sebuah pepatah populer yang berbunyi, "Tiada rotan akar pun jadi."

Tanpa disadari olehnya, Witta tentu telah mengetahui kedatangannya. Saat Temmalara hendak mencuci tangannya setelah mengamati parang itu, Witta diam-diam sambil tersenyum jenaka langsung menutup mata suaminya lagi. 

"Temmalara kau kemarin kemana? aku merasa kesepian di Rumah ini," ucap Witta.

"Hah kan ada Towase aku tidak mengerti maksudmu. Lagipula kemarin aku menginap di rumah Mario karena dia bilang ada pekerjaan dengan bayaran besar," balas Temmalara agak kebingungan dengan maksud ucapan Witta.

"Wajahmu... kau sehabis bertarung ya dasar bodoh." ucap Witta langsung menunjuk bekas memar di wajahnya.

"Mau bagaimana lagi aku dirampok oleh Prajurit Gowa, karena itu aku menerima tawaran dari Mario. Kita butuh uang Witta... aku,"

"Sudahlah Suamiku ayo kita obati lukamu dulu," sahut Witta sembari menarik tangan suaminya.

--

Witta menempelkan beberapa daun sirih ke wajah Temmalara sebagai obat penyembuh luka. Seketika wajahnya terasa seperti terbakar.

"Duh..." 

"Jelas-jelas kau masih kesakitan itu buktinya. Kau berlagak kuat dihadapanku, sejak akhir-akhir ini kau jadi lebih jarang pulang ke rumah. Sesekali luangkan waktu bersama Towase. Karena Anak kita masih balita ia membutuhkan kehangatan ayahnya," ujar Witta menatap sendu Temmalara.

"Sejujurnya aku gagal Witta, aku harus berjuang lebih keras lagi karena aku terlalu lemah," ucap Temmalara tidak terasa air mata mulai mengalir ke pipinya.

"Keluarkan saja semuanya, Kau sudah berusaha jadi yang terbaik untuk kita. Yah meskipun kelakuanmu terkadang seperti bocah, tapi aku suka sifatmu itu. Kau tidak seperti pria lain yang bergaya perkasa di depan istrinya, kau jujur apa adanya. Temmalara aku khawatir... tolong kembali dengan selamat selepas pulang bekerja. Jangan melakukan hal-hal yang aneh," balas Witta berusaha untuk tersenyum.

"Witta karena itu aku akan memberitahumu. Tekadku sudah bulat untuk menjadi Tentara Bayaran untuk Wajo!" tegas Temmalara. 

"Kau sudah gila ya kau bisa mati! apa kau sudah siap!? memangnya kau sudah siap untuk mati!?apa kau tidak takut. Aku tidak mau kau mati nanti Towase bagaimana nasibnya! apa kau tidak memikirkan perasaanku!" balas Witta langsung histeris memeluk Temmalara.

"Witta sejujurnya aku bosan tidak punya tujuan hidup yang jelas. Aku... entahlah, aku tidak peduli lagi. Aku bosan hidup melarat sampai tua di Kota ini,"

"Karena itu jangan kau dengarkan kata Mario! dia itu pengangguran tidak jelas. Kau itu hanya lelah, bagaimana kalau nanti malam kita bersenang-senang. Kau lupakan si Mario itu nanti aku tanyakan pada saudaraku dia ada pekerjaan atau tidak,"

"Malam ini memang kita mau pergi kemana? aku lelah Witta kalau harus berjalan mendaki bukit setelah itu diterpa udara malam. Kemudian harus menunggu rasi bintang indah-indahnya saat di pertengahan malam. Memang bintang aquila sedang terlihat jelas sekarang karena bulan purnama."

"Naifnya... ahem bukan itu maksudku,"

"Naif bagaimana, kau ini... aku habis dipermalukan oleh Prajurit Gowa kemarin. Tentu karena aku kurang membantuk kekuatan fisik. Seharusnya Witta mulai dari malam ini, aku akan cium bumi (push-up), duduk bumi (sit-up), naik turun jongkok (squat), lalu diakhiri lari pagi (jogging). Jadi kau jangan risau Witta, aku akan berlatih untuk bertambah kuat agar tidak terbunuh di perang nanti. Mau kapan lagi kita kaya Witta," ucap Temmalara menepuk pundak Witta dan berusaha untuk tersenyum.

"Kau ini aneh motivasi macam apa itu, sudah ayo kita makan dulu kau pasti lapar. Kebetulan aku membuat pallumara (pindang khas makassar) tadi. Tetangga berbaik hati memberikan kita ikan bolu (bandeng)." balas Witta membalas senyuman Temmalara.

"Haha kau malah senyum-senyum sendiri... Witta kau tambah cantik saja kalau tersenyum, jadi..."

Glup! 

"Ughhh ket...igannurghg" Temmalara menjadi tersedak setelah langsung disuapi oleh bandeng dan sagu.

"Kau ini merayu terus dari tadi, pallumaranya nanti jadi dingin makanlah selagi masih hangat. Ayo buka mulutnya," balas Witta sudah siap menyuapi Temmalara lagi.

Begitulah hari itu Temmalara menghabiskan waktu bersama keluarganya. Mungkin itulah saat-saat terakhirnya dirinya. Dengan berperang bisa saja ia mati muda akan tetapi hanya ini satu-satunya cara untuk bisa lepas dari belenggu kemiskinan dan mendapatkan kekayaan.

--

"Towase akhirnya tidur juga ya Witta," ujar Temmalara menggendong anaknya kemudian meletakan anaknya ke gendongan bayi.

"Benar," ketus Witta.

Pagi itu setelah puas bermain dengan Towase, Temmalara segera mengambil parang berkarat yang ia siapkan dari kemarin. Tekadnya semakin membara untuk segera menjadi tentara bayaran untuk Wajo.

"Kau masih serius!? sudahlah di Rumah saja," Witta langsung memeluk Temmalara sambil menangis

"Witta dengar Prajurit lain juga keluarganya sama sepertimu. Hanya ini satu-satunya cara mendapatkan uang dengan cepat. Apapun caranya akan kulakukan sekalipun nyawa taruhannya, tapi tenang Witta aku akan kabur setelah pertempuran pecah jadi kau tidak usah khawatir."

"Itu kau tahu! kau egois tidak berfikir tentang keselamatanmu sendiri. Pikir ke masa depan kami berdua sayang padamu. Kami ini keluargamu, jadi kumohon disini saja untuk hari ini dan bersabarlah. Aku janji akan bantu carikan pekerjaan yang layak. Aku tidak mau jadi janda jangan tinggalkan aku Temmalara..." 

"Pekerjaan layak apa lagi, aku sudah bosan hidup miskin dan hidup hina. Hanya jalan ini Witta, yaitu berperang. Hanya itu satu-satunya jalan, seperti yang kukatakan tadi aku berjanji akan berjuang untuk hidup. Terima kasih telah menyemangatiku kemarin sayang," balas Temmalara sembari mengusap air mata istrinya.

"Janji?" tanya Witta.

"Ya sudah nanti kita... bakalan melakukan apa yang kamu mau saat malam yaitu melihat rasi bintang. Nanti dulu bukannya nanti seandainya aku pulang... bulannya sedang tidak kelihatan ya?"

"Serius?"

"Ya begitulah aku duluan. Mario sudah menunggu dari tadi,"

Setelah berpamitan, Temmalara berjalan ke rumah Mario untuk mempersiapkan keberangkatan menuju Tosora. Jarak menuju Rumah Mario tidak terlalu jauh hanya seperempat jam berjalan kaki.

Ketika telah berada di Rumahnya, Mario menunjukan ekspresi tidak sabaran sambil sesekali mendecih.

"Cih lama sekali," ketus Mario.

"Santai kawanku Anakbatu saja belum kesini," balas Temmalara.

"Sama saja kalian berdua itu,"

"Mau bagaimana lagi Istriku mengamuk tadi,"

"Haha jelas mana mau dia menjadi janda muda, kau ini aneh makanya jangan menikah terlalu cepat."

"Kalau begitu kita tinggalkan saja Anakbatu itu. aku belum sepenuhnya percaya dengan dia. Lagipula kita baru mengenalnya lusa,"

"Cih! Anak itu datang juga dia," ketus Mario melirik ke arah Anakbatu.

Saat Mario dan Temmalara ingin meninggalkan dirinya sendirian, datang Anakbatu diikutu teman sebayanya dari belakang. Anakbatu segera menjelaskan kalau Temannya itu ingin ikut bergabung menjadi Tentara Wajo. 

Teman Anakbatu itu memiliki perawakan yang lebih tinggi dan lebih besar daripada Mario. Tangannya menampakan dengan jelas urat-urat otot yang menyembul dari dalam kulitnya, serta berambut panjang acak-acakan dengan kumis yang sudah hampir tebal. 

"Mario, boleh ya temanku ini ikut?" tanya Anakbatu.

"Terserah, kalau mati aku tidak mau tanggung jawab. Oh ya siapa namamu?" sahut Mario segera melirik ke arah Temannya itu.

"Namaku Lamboga umur 14 tahun sebentar lagi 15 tahun. Kakak Mario dan Temmalara, suatu saat nanti akan kubuktikan. Aku akan menjadi jendral terhebat di Kesultanan Gowa!" teriak Lamboga dengan lantang sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Wah 14 tahun, besar juga badanmu. Bagus, kau pasti akan berguna. Ternyata tidak salah kau menjadi temanku Anakbatu." sahut Temmalara menepuk pundak Anakbatu.

"Heh, jangan meremehkan para pengemis Somba Opu kakak! itulah harga diri kami betul tidak Lamboga!" jawab Anakbatu langsung menepuk dadanya.

"Betul kawanku, aku juga telah berlatih untuk menjadi jendral terhebat di Kesultanan Gowa dan menjadi Pahlawan di Penjuru Kerajaan. Menghabisi para penjahat dan menegakan keadilan serta mencari sahabat akrab untuk berpetualang itulah cita-citaku yang mulia! Karena itu aku berlatih dan terus berlatih bersama dengan kekuatan temanku, aku pasti bisa. Kekuatan pertemanan adalah salah satu kekuatan terkuat di dunia ini!" jawab Lamboga. 

"Haduh... rupanya kita punya teman yang kurang waras." balas Mario sambil memegangi kepalanya.

"Dengan kekuatan persahabatan dan kebenaran kita pasti menang! menang! dan menang! itulah kemenangan. Terima kasih Anakbatu kali ini aku memiliki sahabat baru aku senang sekali!" 

"Ya, ya, ya terserah kau saja" ketus Mario.

"Hoy jadi apa rencanamu setelah ini Mario, apa iya kita maju di barisan paling depan? aku belum mau mati. Kalau seandainya mati setidaknya kita sudah berusaha semaksimal mungkin," ketus Temmalara.

"Tenang, kita langsung kabur dan bersembunyi di semak-semak. Kalau mereka sudah selesai berperang baru kita beraksi memeriksa tubuh para prajurit yang mati satu persatu. Mereka pasti membawa uang yang banyak dan senjatanya bisa kita jual!" tegas Mario, menatap tajam satu persatu mereka bertiga.

"Tidak boleh begitu Kakak kita harus bertempur maju ke depan sampai mati!" balas Lamboga.

"Kau saja sendiri! kami bertiga tidak akan mau lebih baik lari!" spontan sahut Mario.

"Ya ikuti saja kata ketua Lamboga," balas Anakbatu.

"Tapi kalau seperti itu caranya, bagaimana aku bisa menjadi Jendral terhebat di Kesultanan Gowa. Aku agak kecewa teman-temanku seorang pengecut. Kalau kita berjuang bersama sebagai sahabat kita pasti menang dan akan selalu mengalahkan musuh."

"Hoy otak udang, semua jendral di Kesultanan ini keturunan para Raja. Lalu kau keturunan siapa dan anak siapa, turunan rendahan mau jadi jendral mana mungkin." balas Temmalara tersenyum sinis.

"Maksudmu meremehkan mimpiku untuk menjadi Jendral terhebat di Kesultanan Gowa apa, bukankah kita ini teman?" bantah Lamboga. Tidak berselang lama ia langsung memegang baju Temmalara dan ingin sekali untuk menghajarnya.

"Ternyata tong kosong nyaring bunyinya, katanya kau mau jadi jendral kenapa diejek sedikit marah. Hoo... kalau dipikir-pikir lagi dengan akal sehat aku berkata benar. Orang-orang bodoh sepertimu yang akan selalu mati duluan di medan perang biasanya, kekuatan pertemanan omong kosong."

"Tidak!, tidak mungkin kekuatan persahabatan pasti..." 

"Sudah!, sudah kalian berdua!" teriak Anakbatu langsung melerai keduanya.

Setelah mempersiapkan semuanya, Temmalara dan kawannya segera bertolak ke Tosora. Awam dalam masalah peperangan dan ketentaraan tak menyulutkan tekad mereka untuk ikut dalam barisan Tentara Wajo.

--

27 November 1665, Desa Tosora

Menanggapi rumor yang semakin meluas di masyarakat, Raja Wajo yaitu La Tenrilai Tosengeng memerintahkan prajuritnya untuk mensusuri dan berpatroli di seluruh Wilayah Wajo, tak terkecuali Ibu Kota Kerajaan Wajo yaitu Tosora.

"Cih, hanya rumor sudah bertahun-tahun seperti ini terus. Kita disuruh patroli berkeliling sawah ini hampir setiap hari. Bosan... sekali-sekali pindah tugas berlayar patroli seperti pasukan yang ditugaskan di lautan," - ujar Prajurit Wajo terlihat tidak bersemangat.

"Mengeluh saja kau ini haha, tunggu giliran masih setengah tahun lagi mungkin. Jangan sampai lengah, sisa-sisa pengikut Tobala pasti sedang menghimpun kekuatan di area ini." sahut Prajurit Wajo yang lain.

"Sudah 5 tahun sejak Tobala itu mati dibunuh oleh Karaeng Gowa Sumanna."

"Memang tapi pangeran pengkhianat mereka masih hidup di Buton, bisa jadi dia sudah menyusupkan pengikutnya dari Buton untuk menyelinap masuj lewat Sungai Cenrana."

"Kau ini ada-ada saja dasar bodoh. Siapa ya nama Pangeran Soppeng itu ah iya La Tenritatta Arung Palakka. Kalau dipikir-pikir lagi untuk apa kita membela Gowa, kita sudah ada Perjanjian Tellumpocoe (Perjanjian antara Bone, Soppeng, Wajo)."

"Tellumpoccoe jelas sudah usang dan tidak berlaku lagi. Kau lupa, Arung kita membakar perkamen kuno itu tepat di hadapan semua orang?"

"Hoahem, percakapan ini malah membuatku jadi tambah mengantuk." 

Saat itu kebetulan rombongan Temmalara terlihat di Pinggiran Sawah. Dari pengamatan Kedua Prajurit yang sedang berpatroli itu, Temmalara dan rombongannya nampak seperti orang kebingungan.

Mereka berdua merasa penasaran dam akhirnya berjalan menghampiri rombongan yang masih remaja itu. Lamboga sempat melirik ke belakang sejenak, ia langsung antusias ketika didekati oleh Prajurit Wajo.

"Aku ingin mendaftar menjadi Prajurit Paman! lalu menjadi Jendral terhebat di Kesultanan Gowa!" sahut Lamboga.

"Kau salah langkah harusnya kalian pergi ke Somba Opu bukannya Tosora. Meskipun Gowa itu Tuan kami tetapi Kerajaan ini masih punya kedaulatan," ucap salah seorang Prajurit.

"Tolong maafkan ucapannya. Ampuni kami Tuan!" sahut Mario.

"Kalian pasti ingin berperang karena mendapat info itu. Lebih baik pulang saja bocah tidak akan ada perang, Itu hanya kabar burung. Kita yang dari 3 bulan yang lalu berpatroli saja sampai bosan karena hening," ujar Prajurit yang lainnya.

"Tidak bisa kami jauh dari Somba Opu!" balas Anakbatu.

"Meskipun dari Kota. Semangat kalian tinggi juga rupanya, kuakui hal itu."

"Oh... benar paman maka dari itu kami semua ingin menjadi Tentara Wajo!" sahut Temmalara.

"Benar kalian semua lihat saja paman aku akan menjadi Jendral terhebat di Kesultanan Gowa!" teriak Lamboga

Mereka semua terdian penuh keheranan mendengar teriakan Lamboga, sementara ia justru malah bertambah semangat. Kedua Prajurit itu langsung tertawa sebelum akhirnya salah satu di antara mereka menepuk pundak rekannya.

"Haduh tidak kami tidak menerima bocah seperti kalian hahaha, kalau jadi buruh di pasar Kota kami mungkin saja!" ucap Prajurit itu.

"Begini kalau kalian mau benar-benar menjadi Tentara Wajo akan kuberi tahu. Ada salah satu kelompok Tentara Bayaran namanya Gagak Hitam, markas mereka ada di Pitumpanua agak jauh dan terjal jalannya dari Tosora. Kalian bergabung saja dengan mereka kalau ingin jadi tentara," ujar Prajurit yang lain.

Setelah mendapatkan Informasi itu, Temmalara dan rombongan bergegas pergi ke Pitumpanua untuk bergabung dengan kelompok Gagak Hitam.

"Dasar bocah, haha mereka pasti akan dibunuh oleh Gagak Hitam sebelum dibunuh oleh pemberontak. Jujur aku kasihan pada mereka," ujar Prajurit itu.

"Yah mau bagaimana lagi, Gagak Hitam awalnya adalah komplotan perampok sebelum akhirnya diampuni asalkan tunduk pada yang mulia La Tenrilai. Kudengar mereka sedang butuh anggota jadi..."

"Butuh anggota mungkin saja butuh anggota tapi jika yang bergabung adalah bocah yang ingin main perang-perangan, ah sudahlah seharusnya Raja kita lebih memperhatikan rakyat. Sampai-sampai para bocah ingin kaya dengan ikut perang."

"Benar, aku tidak habis pikir apa yang dikerjakan Puang dan Sulewattang (Gelar Bangsawan Tinggi) Wanua-Wanua kita. Mereka hanya menyia-nyiakan pajak rakyat saja benar-benar membuatku muak."  

Chapitre suivant