Amy dan Alfa masuk ke apartemen dan duduk di sofa tengah yang nyaman seperti biasa.
"Mau minum sesuatu?" tawar Arvy.
"Tidak, kita ke sini mau membahas rencana untuk besok."
"Ah itu." Arvy baru ingat masih ada misi khusus. Karena terlalu banyak pikiran ia sampai lupa.
"Kau lupa?" tanya Alfa ketika melihat reaksinya. "Padahal baru kemarin tapi kau sudah lupa?"
"Aku cuma terlalu banyak pikiran." Arvy duduk bergabung dengan mereka.
Amy mencium sesuatu dari baju Arvy. Ia menajamkan penciuman hidungnya.
"Kau…habis minum?"
"Em, semalam. Aku minum sedikit."
"Woi, apa kau main main? Kita besok harus pergi tapi kau malah minum minum?"
"Apa ada yang salah dengan itu?"
Amy dan Arvy saling meninggikan suara mereka.
"Kau takut tidak bisa selamat?" tanya Amy tiba tiba.
"Apa? Apa maksudmu?"
"Kasus ini bisa saja membahayakan nyawamu, jadi kalau kau takut bilang saja. Aku tidak akan tertawa kok. Kau mungkin saja menumpahkannya dengan minum minum, tapi kami sudah biasa dengan pekerjaan berbahaya seperti ini."
"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan. Berhentilah mengoceh."
"Ah sudah sudah," lerai Alfa. "Eh bukankah kita ini 3A, seperti profesional." Alfa mengubah topik pembicaraan agar atmosfer nya tidak tegang.
"Alfa, Amy, Arvy."
"Kenapa namamu yang nomor satu? Cih!"
"Norak sekali namanya." ujar Arvy. Ia melihat Alfa membawa kantong yang ia letakkan di meja.
"Apa itu?" tanya Arvy.
"Kami tadi memasak banyak sekali."
"Lebih tepatnya aku yang memasak," sela Alfa.
"Aku kan juga ikut membantu, dasar!"
"Jadi kami membawakan kau juga, Kak."
"Sebenarnya aku tidak nafsu makan."
"Ini masakan rumahan. Makanlah walau sedikit. Aku sengaja membuat banyak tadi."
"Ternyata kau bisa masak."
"Dia chef yang handal," ujar Amy.
Alfa dan Amy saling menoleh dan tersenyum. Arvy melihat reaksi keduanya yang mirip sepasang kekasih. Lagi lagi ingatan Arvy melayang pada perdebatannya saat bersama Valen, bahwa Alfa menyukai gadis yang harus ia mata matai, malah berakhir menyedihkan dan membuat dirinya diburu Ramon dan hampir saja terbunuh.
"Alfa pasti sangat menyukai Amy sampai berani mengkhianati kelompok Valen, sampai ia rela masuk rumah sakit, koma berminggu minggu dan duduk sebagai korban dan saksi di pengadilan," ujar Arvy dalam hatinya sembari melihat keduanya yang tersenyum bahagia. "Setelah aku lihat, aku masih belum bisa paham dan percaya. Apa Alfa benar benar telah berpihak pada Amy, atau Amy yang membohongi identitasnya pada semua orang bahwa dia indigo. Pasti ada sesuatu yang Ramon inginkan dalam diri Amy yang tidak dimiliki orang lain. Apa yang sebenarnya kau sembunyikan, Amy Satria?"
Arvy melamun menatap Amy.
"Kak Arvy? Kak Arvy?"
Ala memanggil manggil Arvy berkali kali, namun Arvy melamun sangat lama sembari menatap Amy. Amy sendiri bingung ada apa dengan sepupunya itu.
"Kak Arvy!"
Akhirnya Arvy kembali sadar dari lamunannya.
"A…ada apa?" Arvy nampak blank.
"Kau kenapa?" tanya Amy.
"Kau sakit?" tanya Alfa.
"Tidak. Tidak apa apa?"
"Kenapa kau mabuk kemarin? Apa ada masalah serius?" tanya Amy.
"Iya, kau juga lupa kalau kita harus membahas kasus hari ini. Ada apa denganmu sebenarnya?" tanya Alfa.
"Tidak ada apa apa."
"Sungguh?" Amy masih curiga.
"Kalau dilihat dari dekat, wajahmu sepertinya pucat." kata Alfa. "Apa jangan jangan ….kau sakit?"
"Apa?" Amy terkejut. "Waktu kita tinggal besok, bisa kacau kalau kau sakit."
"Sungguh aku tidak apa apa. Aku cuma capek sedikit kemarin karena mengurus bar. Oh ya terima kasih ya makanannya. Aku akan membawanya ke belakang dulu," kata Arvy sembari membawa tas yang berisi makanan itu ke belakang. Ia mencari alasan agar bisa kabur dan tidak perlu menjawab pertanyaan Amy dan Alfa.
"Apa ini?" Alfa tidak habis pikir. "Kak Arvy sepertinya sakit. Apa kita perlu pergi besok?"
"Dia kan bilang tidak apa apa tadi."
"Kau percaya?" Alfa nampak khawatir.
Drrffftt drrffftt drrrrfftt
Terdengar suara dering ponsel di sekitar sofa. Amy dan Alfa saling pandang dan mencari.
"Apa itu ponselmu?" tanya Amy.
Alfa menggeleng. "Mungkin punyamu."
"Bukan."
Arvy kembali dari dapur lalu mencari ponselnya di sofa yang terhimpit pinggiran sofa dan tertutup bantal.
"Itu ponselku yang bunyi." kata Arvy.
Amy dan Alfa memintanya untuk mengangkat telepon lebih dulu.
Namun Arvy terdiam begitu melihat nama di layar ponselnya. Itu adalah kakek, yang kontaknya ia sengaja diberi nama 'Direktur Rossan'.
"Tuh kan kau melamun lagi," Alfa mendapatinya diam seperti patung. "Memang siapa yang meneleponmu?"
"Bukan siapa siapa. Aku akan mengangkatnya dulu."
Setelah itu Arvy melangkah ke kamar dan menutup pintu, lalu mengangkat telepon dari kakeknya.
"Arvy," panggil kakek.
Arvy diam saja. Ia masih enggan menjawab.
"Arvy," kakek memanggilnya lagi namun Arvy ragu menjawabnya.
Kakek menghela napas, meski tanpa tanggapan, ia masih meneruskan bicaranya karena tahu bahwa Arvy masih di sana.
"Aku tahu kau masih mendengarkan kakek. Tidak apa apa jika kau tidak mau berbicara, dengarkan saja…dengarkan kakek saja tidak apa apa. Itu sudah cukup.
"Apa yang ingin kakek katakan?" Arvy angkat bicara namun dengan nada marah, namun ia masih menahannya. "Meminta maaf? Atau meminta tolong untuk menjaga Amy? Lupakan saja kalau kau mau mengatakan hal tidak berguna itu."
"Tunggu dulu, jangan ditutup dulu, Nak." Kakek mencegah Arvy yang hendak menutup panggilannya dengan sepihak. "Ayo kita bertemu."
"Apa? Kenapa kakek tiba tiba begini? Kakek pikir aku punya waktu? Bukan cuma kau yang sibuk, aku juga sibuk."
"Karena itu kita harus bertemu. Karena kita berdua sama sama sibuk…kita harus bertemu. Sekarang."
"Aku tidak bis…"
"Kakek akan mengirimkan tempatnya. Datanglah dengan memakai baju yang sopan."
"Apa apaan ini?!" Arvy menyadari bahwa kakek menutup panggilannya sepihak setelah memaksanya datang.
Ia lalu mengambil coatnya di gantungan lalu keluar kamar dan menemui Amy dan Alfa. Dengan berat hati mengatakan bahwa ia tidak bisa berdiskusi hari ini.
"Aku harus pergi," kata Arvy sembari memakai coat nya.
Alfa dan Amy menatapnya bingung.
"Tunggu, tunggu, kau mau pergi kemana?" tanya Alfa.
"Bagaimana dengan diskusi kita?" tanya Amy. "Kau akan pergi begitu saja?" ia berdiri dan masih tidak paham apa yang tengah dilakukannya.
"Aku sangat menghargai kalian yang sudah kemarin dan membawakan makanan untukku, tapi aku benar benar harus ke suatu tempat. Aku minta maaf, kita lanjutkan nanti malam saja," Arvy dengan tergesa menuju pintu depan.
"Apa? Dasar tidak bertanggung jawab!"
Alfa melihat Amy yang mulai kesal. Dan benar saja, Amy mengikuti Arvy yang hendak membuka pintu, namun Amy menutup kembali pintu itu.
"Waktu kita tinggal besok. Tapi kau mau pergi begitu saja? Seperti ini?"
Arvy menghela napas.
"Aku juga tidak mau bertemu dengannya!" Arvy hampir saja menumpahkan kekesalannya terhadap kakek pada Amy.
"Kasus kita lebih penting, kau tidak lihat? Hidup seorang anak 9 tahun sedang dipertaruhkan!"