Holan duduk dengan mengaitkan jari jari tangannya dan merenung.
"Apa ada yang memiliki mantra itu diantara pilar Ramon? Tidak mungkin, tidak mungkin." terkanya, ia ingin menyangkal kemungkinan terburuk itu. "Aku tidak bisa menerkanya selain itu. Tapi apa mungkin ada yang memiliki mantra itu di sana? Aku yakin ini pasti ada campur tangan Pilar harimau atas. Sebenarnya dari mana Ramon mengumpulkan antek anteknya itu!"
***
Genio dan Lucas berjalan melewati koridor yang menuju perpustakaan. Markas Ramon sangatlah besar, ada banyak fasilitas seperti kolam renang, perpustakaan, gym, restoran, ring tinju, sanggar bela diri, lapangan menembak dan memanah, lapangan golf bahkan asrama untuk anggota (Alfa pengecualian karena dia pecandu alkohol. Karena itu ia tidak tahu dimana markas itu berada) dan banyak fasilitas lainnya. Tempat itu seolah kastil yang sangat mewah. Setiap member memiliki kamar masing masing. Sedang para pilar menempati kamar VIP, begitu juga para pelayannya, VIP tingkat B.
"Ah sial! Lebih baik aku berlatih memanah dari pada membaca buku. Kenapa kita harus ke perpustakaan sih?!"
"Orang bodoh sepertimu akan selalu mengeluh pada apapun yang tidak mereka sukai."
"Cih!" Lucas meliriknya sebal.
Tiba tiba seorang anggota perempuan melewati mereka, ia gadis manis dengan rambut ponytail. Genio berjalan dengan menghadap ke depan, ia tidak sadar Lucas berhenti dan menggodanya.
"Bisakah kau berhenti menggoda gadis gadis di sini? Mereka pada lari."
"Itu karena kau! Wajah batu mu itu yang membuat mereka ketakutan dan lari. Ah aku sebal jalan denganmu di koridor."
Lucas hendak mendahului Genio namun Genio menarik kerah belakangnya.
"Ah ya, apa aku masih harus menangkap gadis tumbal itu? Valen juga sudah mati. Apa yang bisa dibuat barter?"
"Dari awal tugas utama kita memang menangkapnya, kau tidak ingat? Kenapa kau mengeluh. Padahal kau hanya main seharian. Isi kepalamu dengan pengetahuan, bukan selangkangan wanita."
"Kenapa kau banyak bicara sih hari ini? Sial!"
Ini hukumanmu karena mengganggu Lily dan malas mencari gadis tumbal itu. Pastikan kau membaca 20 buku. Aku akan mengawasimu dan memastikan kau membacanya setiap halaman, setiap paragraf, kalimat, dan setiap kata."
"Argghh tidakkkk!"
***
Pagi pagi Alfa bangun tidur dan membuat kopi, ia kepikiran Amy yang terus murung kemarin. Setelah mencuci mukanya, ia keluar dan berniat menemuinya.
Ting tong
"Amy," panggilnya.
Namun Amy tidak ada sahutan. Ia membunyikan bel lagi.
"Amy, aku tahu kau di dalam. Amy!"
Alfa hanya menunduk dan merasa sedih jika temannya itu terus terusan murung. Ia berbalik dan hendak kembali ke kamarnya, namun tiba tiba pintu kamar Amy terbuka. Ia kembali menoleh dan terkejut melihat berpakaian rapi pagi pagi.
"Amy!"
"Alfa, maaf tadi aku tidak bisa berbicara saat kau memanggilku," Amy mengengeh.
Alfa melihatnya aneh dan sekaligus khawatir, Amy tersenyum lebar seolah tidak ada apa apa kemarin.
"Kau kenapa?"
"Aku? Memangnya aku kenapa?"
Alfa mendekat dan berdiri di hadapannya sembari memasukkan kedua telapak tangannya ke saku celana.
"Kau mau ke mana?"
"Aku mau ke rumah menemui ayah."
"Kenapa?"
"Kenapa apanya? Apa salah menemui ayahku?" Amy tersenyum lalu memegang bahu Alfa yang lebih tinggi darinya. "Jangan khawatir, Al. Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku lagi."
"Kau ini aissshh," Alfa melepas kedua tangan kecil Amy yang memegang bahunya dan sok sokan kuat. Ia memegang lengannya.
"Apanya yang tidak khawatir? Kelakuanmu ini justru malah buat orang makin khawatir!"
"Woi, aku ini bukan anak kecil!"
"Kau…" Alfa ragu sejenak. "Apa kau marah pada ayahmu?"
"Eh?"
"Aku tanya apa kau marah pada ayahmu?"
Amy melepaskan tangan Alfa yang memegang tangannya.
"Lepaskan," katanya tanpa melihat Alfa.
"Tidak. Jawab aku dulu."
"Lepaskan!"
"Aku tidak akan membiarkan kau pergi ke manapun." Alfa masih memegang lengannya mencegahnya agar tidak pergi.
"Apa? Kau gila?"
"Anggap saja begitu."
"Kau ini kenapa sih? Huh!"
"Kau tidak baik baik saja."
Amy terdiam. Matanya berkaca kaca dan memerah, ia membuang muka dan melempar tangan Alfa yang mencekalnya ke udara.
"Aku baik baik saja. Aku harus bertemu dengan ayah."
"Terus? Kau akan marah padanya?"
"Tidak! Aku…" Amy tidak bisa menjawabnya. Ia menghela napas dan mendongak untuk membuat air matanya tidak jatuh.
"Kak Dio… ini pasti juga berat untuknya. Tapi fakta bahwa ayahmu memberi izin untuk keluar kota, pasti Pak Holan sudah mempertimbangkannya dengan matang. Jika itu aku, itu benar benar keputusan yang sulit, My. Dan bahwa Kak Dio sendiri juga sulit memberitahumu hingga detik keberangkatannya, itu sudah cukup sebagai bukti bahwa pindah juga membuatnya berat. Cobalah untuk berpikir drai sudut pandang kakakmu."
"Kenapa kau mengajariku? Apa aku perlu diajari seperti anak kecil?!"
"Benar."
Amy tertegun.
"Kau memang anak kecil yang merepotkan. Kau membencinya saat dia ada di dekatmu, tapi kau menginginkannya saat dia pergi, kau egois dengan membiarkan perasaanmu terus berbohong untuk menjaga harga dirimu. Seharusnya kau memperlakukan dia sebagai kakak saat dia masih ada di sini, kau…"
PLAK!
Amy menampar Alfa. Ia menangis, air mata mengalir deras di pipinya. Alfa baru sadar bahwa dia telah meninggikan suaranya di hadapan Amy dan menghakiminya. Ia lupa bahwa Amy pernah mengatakan bahwa hubungannya dengan Dio memang seperti itu. Mereka tidak sedarah dan tidak berbicara terlalu sering saat masih kecil dulu. Mereka berdua memang memiliki hubungan saudara yang aneh, meskipun saling menyayangi keduanya masih sulit menunjukkannya masing masing.
Alfa sadar bahwa kata katanya kelewatan.
"Berhenti bicara, sialan," Amy menangis.
"Amy….aku…" Alfa merasa bersalah, hingga tidak sanggup melanjutkan kata katanya.
Amy melenggang pergi sembari mengusap air matanya.
Alfa menatap punggungnya dan bahunya yang naik turun. Setelah berbelok ia tidak bisa melihatnya lagi.
"'Aku…..minta maaf."
Barulah kata kata itu keluar dari mulutnya yang tertahan tadi. Namun Amy sudah pergi dari sana. Alfa hanya bisa menunduk sembari memegang dahinya.
Di dalam taksi, Amy menangis. Kata kata Alfa terngiang ngiang dalam pikirannya. Ia tahu kalau ia salah, ia tahu kalau selama kurang baik memperlakukan Dio, ia tahu kalau ia bukan adik yang pantas untuk kakaknya yang baik hati. Tapi ia menyayanginya setulus hati, ia menyayanginya layaknya keluarga yang sangat diinginkannya sejak masih di panti asuhan.
"Bagaimana bisa aku membencinya? Bagaimana bisa aku tidak menyayanginya?" batinnya sembari mengingat masa masa kecilnya dahulu.
Secuek apapun Amy, Dio sering membelikannya es krim, kue cokelat dan makanan favorit lainnya, menjemputnya saat pulang sekolah meskipun ia kana marah marah di dalam mobil kepada Dio, namun Amy tak pernah mengusirnya. Ia tak pernah membicarakan buruk tentang kakaknya. Dio bahkan melindunginya saat Amy didekati anak laki laki dari sekolah lain dan cowok cowok yang selalu mengganggu dan menggodanya.
Flashback masa sekolah.
Amy berada di kelas 9 sedangkan Dio kelas 11. sekolah mereka berdekatan, karena satu yayasan. Itu adalah sekolah mewah dan elit.
Suatu hari saat Amy sedang berada di lapangan saat kelas olahraga. Ia memakai baju olahraga dan siap untuk bermain voli dengan temannya, namun geng siswa yang terdiri dari anak anak orang kaya mendekatinya, mereka berada di kelas 10 mendekati Amy saat ia duduk di bangku penonton.
Cowok cowok itu mengerubunginya. Amy yang sudah tahu motif mereka hanya dam dan tidak mengacuhkannya.