"Lily hanya patuh pada pilar 1," kata Lucas bersama seorang bawahannya di tepi kolam renang. "Dia bukan bawahannya Ramon, Lily hanya milik Genio seorang. Apa aku harus membunuh si muka es itu untuk mendapatkannya ya?"
Lucas tertawa sembari menikmati air kolam yang biru, dengan telanjang dada dan gelas minuman wine di tangan kanannya. Pria pelayan yang di sampingnya melongo mendengar lelucon Tuannya yang menurutnya sama sekali tidak lucu.
"Tuan Lucas, anda harus segera berlatih, Tuan Ramon akan marah kalau anda terus bersantai seperti ini."
Pelayan yang bersamanya memakai setelan jas rapi, tinggi dan berusia lebih tua dari Lucas, gaya rambutnya naik, sedikit berkumis dan berjanggut tipis, warna kulitnya sawo matang dan jakunnya terlihat jelas, terlihat sangat maskulin. Lucas meliriknya marah.
"Apa karena badanmu lebih atletis kau jadi menyuruh-nyuruhku untuk olahraga terus terusan? Huh?!"
"Maafkan saya Tuan Lucas, tapi…"
"Aku bosan latihan terus! Aku ingin…." tiba tiba Lucas membatu.
Pelayannya itu heran. "Ada apa? Apa ada yang anda ingin lakukan?"
Lucas lalu naik dan memberi minumannya pada pelayannya.
"Simosa," panggilnya.
Pelayan yang dipanggil Simosa itu mendekat dengan hati hati dan mendengarkannya serius. "Iya Tuan, ada apa?"
"Kenapa namamu Simosa? Kenapa tidak Samosir saja"
"APA?"
Melihat wajah pelayannya yang kaget, Lucas tertawa, menurutnya itu sangat menghibur.
"Hahaha, ekspresimu lucu sekali."
Simosa hanya bisa menunduk pasrah atas kelakuan random tuannya. Ia kadang berharap menjadi bawahannya pilar lain selain si nomor 4.
"Kau tahu? Genio yang selalu sok keren itu, kau tahu aku sangat membencinya kan? Apa dia ayahku? Dia selalu memperlakukanku seperti bayi di saat usiaku sudah mampu membuat bayi! Benar benar keterlaluan, aku merasa terhina!"
Simosa melotot mendengarnya. Tidak tahu lagi harus ikut menggibah pilar nomor 1 atau menanggapi obrolan aneh tuannya itu.
"Tuan, tolong jangan begini, jangan menjelek jelekkan tuan pilar nomor 1."
"Apa? Apa jangan jangan… kau juga berpikir kalau mulutku ini terlalu kasar? Kau mendukungnya? Aku ini tuanmu bukan dia! Aissshh."
"Maafkan saya Tuan, bukan begitu maksudnya. Anda harus segera ke tempat latihan sekarang."
"Simosa, kenapa kau bukan perempuan? Kenapa kau laki laki? Haruskah kau berubah jadi perempuan yang cantik seperti Lily?
"Tuan tolonglah…" Simosa menggeleng dan menaruh tanda silang di depan menggunakan lengannya. "Latihan hari ini hanya memanah dan menembak."
"Kenapa aku harus melakukannya?! kenapa bukan si pilar 7 si hulk itu?!"
Lucas berbaring di kasur kursi khas kolam. "Dia selalu mendapat perhatian dari pilar lain, bahkan Genio meminta Lily menyiapkan susu untuk anak itu. Kenapa bukan aku?" Lucas berakting seolah olah dirinya telah tersisih dan tersakiti.
Simosa menggeleng melihat kelakuan tuannya yang random dan tak jelas ini. Pantas saja dia sering dimarahi.
"Apa kau tidak penasaran kenapa aku menyukai Lily?" Lucas membayangkannya dengan menatap langit cerah, dibalik kacamata hitamnya. "Dia benar benar standar yang mahal."
"Wanita yang paling mahal adalah wanita yang tidak dengan mudah membuka selangkangan mereka hanya karena ada seorang pria tampan dan kaya yang memintanya. Lily benar benar tipeku. Aku khawatir kalau si manusia batu Genio itu impoten, ah kasihan sekali."
"Astaga!" batin Simosa begitu mendengar kata impoten keluar dari mulut tuannya.
"Ah sial! Aku harus latihan agar si Ramon itu tidak marah marah. Bisa gawat kalau dia menghukumku untuk ke lapangan."
Lucas tiba tiba bangun, Simosa senang melihatnya akhirnya bangkit dan sadar dengan tugasnya. Ia segera mengambil handuk kimono putih dan memakaikannya pada Lucas. Mereka meninggalkan kolam renang dan berjalan di koridor.
Tiba tiba Lucas melihat Lily dari jauh. Ia tersenyum nakal dan meminta Simosa pergi dari sana dengan berbagai alasan.
"Oh ya Simosa,"
"Iya Tuan."
"Aku tidak mau pakai busur jelek yang kemarin."
"Eh? Tapi itu kan limited edition dan sangat mahal."
"Terus?"
"Ya berarti itu kualitas terbaik,Tuan."
Lily semakin mendekat, dan Lucas semakin membuat buat alasan tidak masuk akal untuk mengusir Simosa.
"Ah sudahlah, pokoknya aku minta ganti. Sebelum aku sampai di lapangan, kau harus sudah menggantinya. Kalau tidak aku tidak mau latihan. Titik."
"Eh?!" sontak Simosa segera berbalik dan berlari. "Saya akan menyiapkannya untuk tuan.
Setelah Simosa pergi, ia tak sengaja berpapasan dengan Lily. Mereka bertemu dan berhadapan di koridor dekat kolam renang.
"Kenapa kau sendirian? Dimana pasanganmu yang mukanya kayak es batu itu?"
Lily diam dan menatapnya dengan wajah datar, ia berniat lewat namun dihadang Lucas.
"Kenapa kau diam saja? Jawab aku dong," godanya sembari menaikkan alis. "Bahkan ekspresimu sama dinginnya dengannya. Apa dia tidak mengizinkanmu tersenyum?"
Lucas mencolek dagunya, namun Lily dengan kasar menghindar. Sorot matanya tajam bak elang.
"Lily…kau tahu," Lucas mendekat dan mendekatinya, lalu berbisik di telinganya. "Aku selalu membayangkanmu saat tidur dengan wanita lain."
Lily meliriknya tajam, melototinya.
"Hahaha, jangan menatapku begitu dong. Aku hanya bercanda, haha."
"Tolong biarkan saya lewat, Tuan pilar nomor 4."
"Kenapa kau formal sekali sih?" Lucas menghimpit tubuh rampingnya ke dinding.
"Kenapa kau selalu berpakaian resmi? Jas dan celana hitam panjang. Kau tahu? Aku selalu membayangkanmu setiap malam memakai rok pendek warna pink, rambutmu tergerai, sudah kubilang kan jangan sering mengucirnya, nanti bisa rusak."
Lucas memegang kunciran rambut itu dan mencium aroma rambutnya yang wangi. Lily tak bisa keluar dari sana, badan besar Lucas terus menghimpitnya ke dinding. Ia juga terus meracau hal hal yang tidak sopan padanya.
"Merk sampomu apa, merk sabunmu apa, aku akan belikan yang lebih mahal dari yang Genio belikan."
"Lepaskan saya, Tuan." pintanya dengan penuh penekanan namun sopan.
Namun Lucas semakin menjadi dengan memegang dagunya dan mengunci kakinya, ia sengaja menekan area paha. Lily sadar Lucas telah keterlaluan, secepat kilat ia memutar lengan Lucas dan menendang kakinya hingga posisi keduanya berubah, Lily mengunci kedua tangan Lucas di belakang punggung dan memojokkan wajahnya ke dinding.
"Sudah kuduga kekuatanmu seluar biasa ini. Genio membesarkanmu dengan baik."
Tapi Lucas tersenyum dan balik mengunci tangannya, mengangkatnya ke atas kepala dan memojokkannya ke dinding. Kini Lily tak bisa menggunakannya tangannya lagi. Kakinya pun ia kunci dengan menekan paha dalamnya dengan lutut.
"Ah…" Lily tak percaya sendiri begitu ia mengeluarkan lenguhan sedikit. Lucas tersenyum licik.
"Ah kenapa kau bisa semanis ini, suaramu, bibirmu, lehermu, aromamu."
Bruk!
Genio datang dan mendorong Lucas hingga ia hampir oleng dan jatuh ke lantai.
"Kau tidak apa apa?" tanya Genio pada Lily.
Lily memegang pergelangan tangannya yang ditahan Lucas tadi memerah. Genio memegangnya dengan hati hati.
"Apa ini sakit?"
Lily meringis menahannya
"Kompres dengan es batu. Pergilah ke belakang sekarang."
Lily mengangguk lalu membiarkan Genio dan Lucas berdua.
"Apa begini perlakuanmu pada wanita wanita yang kau tiduri di luar sana!"
"Yah kalau mereka meminta sih aku akan mengabulkannya." Lucas bercanda. "Jangan marah pada hal sepele seperti ini."
"Sepele? Coba katakan lagi," Genio mendekat, Lucas sontak mundur. "Kau menyakiti tangannya!"
"Aishh itu sudah bia…"
Pluk!
Genio menyapit bibir Lucas dengan tangannya.