webnovel

Polisi

Di persidangan berikutnya.

"Bisakah anda jelaskan apa yang anda bicarakan dalam waktu sesingkat itu?" tanya jaksa pada alfa.

"Rama, teman saya sekarang tak bisa dihubungi sejak kejadian itu. Kami berjanji akan bertemu di tempat lain, namun di tengah perjalanan, rama mengirimkan pesan chat suatu lokasi dengan google map dia berkata ingin bertemu saja di sana."

Asisten jaksa menunjukkan pesan teks di monitor.

"Si Rataka sialan itu, dia bahkan membuat bukti palsu!" batin Valen dengan penuh emosi. Tangannya yang terborgol mengepal, ia menyeringai dan menggertakan giginya berkali kali, sembari menahan amarah yang bergetar dalam dirinya.

"Tuan, mohon jangan marah di sini," pengacara menyadari perubahan Valen yang telah kehilangan kesabaran dan hampir mengamuk.

"Saya akhirnya bertemu terdakwa. Dia memukul saya ketika saya menolak obat yang ia berikan. Saya menolak namun dia memaksa dan marah, lalu dia menendang tubuh saya, menginjaknya seolah kotoran di tanah, membenturkan kepala saya membabi buta, saya tidak tahu seberapa besar kekuatan ototnya, namun saya berusaha menahan semuanya agar tetap sadar, namun akhirnya saya tidak kuat lagi dan pingsan."

Orang orang di sana menahan ngeri ketika mendengar cerita Alfa yang notabenenya korban penyintas penganiayaan.

Tiba tiba pintu utama terbuka, muncul Amy di sana.

"Amy!" Alfa terkejut.

Begitu juga dengan semua orang, termasuk Holan, Taka dan Arvy.

"Ga..gadis itu…" Okta yang melihatnya pun membelalakkan mata, ia tak menyangka akan melihat gadis yang akan ditumbalkan Ramon di sini, tanpa perlu mencarinya, ia datang kemari dengan sendirinya.

"Kenapa dia masih ngeyel kemari sih? Sudah kubilang di rumah saja," Holan hendak berdiri dan menghampiri putrinya itu, namun tiba tiba.

"Gara gara gadis itu!" teriak Valen yang sudah menahan amarahnya sedari tadi. Ia berdiri dan dengan tangan terborgolnya, ia menggebrak gebrak meja dan menuding Amy.

"Kau! Kau yang membuatku ada di sini? Kenapa kau tidak membunuhku saja? Sialan! Br*ngsek! Gara gara kau alfa melakukan ini padaku, gara gara kau Ram…..arrgghhh"

Ketika akan menyebut nama Ramon, tiba tiba Valen kesakitan sembari memegangi lehernya, itu adalah sisa kutukan yang berada dalam tubuhnya. Ramon sendiri yang mengaktifkannya dari jarak jauh.

"Kau pikir bisa membuka mulutmu," kata Ramon. "Sebelum membukanya kau akan mati di tanganku, pengkhianat!"

"Arrrgggghhhhh!"

Valen terjatuh ke lantai sembari memegang lehernya seolah ada seseorang yang mencekiknya, tubuhnya panas dan lidahnya seolah terpotong.

Seluruh pengunjung dan juga jajaran hakim dan petugas yang menghadiri persidangan terkejut.

Hakim meminta petugas segera memanggil medis.

Situasi riuh dan tidak kondusif.

Holan berlari ke arah putrinya dan mengajaknya duduk dengan tenang, ia menoleh ke kanan kiri untuk memastikan tidak ada mata mata Ramon di sana. Okta yang menyadari Holan tengah mencarinya langsung bersikap tenang untuk menyembunyikan dirinya.

Rataka sudah tahu Ramon akan mengaktifkan mantranya, namun buka itu yang membuatnya panik, melainkan kehadiran Amy yang tak terduga, padahal Holan sudah memperingatkannya jangan datang.

"Anak bandel itu. Kenapa masih datang kemari? Aiishh."

Rataka memilih bangkit dan keluar, sesudah sampai di luar ia melangkah melewati koridor namun tiba tiba seseorang dari belakang mencekal tangannya. Rataka menoleh dan kaget bukan main. Beruntung ia tidak membawa Liska.

"Kau…" Rataka mematung.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Arvy heran.

Mereka berdua saling berpandangan tajam.

***

Persidangan sudah selesai namun putusan belum dikeluarkan oleh hakim. Sedang Valen dirawat di rumah sakit.

Hingga beberapa hari kemudian, baru keluar. Hakim memutuskan terdakwa akan dihukum selama 15 tahun karena penganiayaan dan pengedaran narkoba.

"Kau puas?" kata Holan pada Arvy yang melihat berniat di televisi. Mereka berdua makan di restoran dekat kantor polisi ibu kota.

Arvy terdiam, ia sadar akan kesalahannya kemarin.

"Kau tidak penasaran dimana temanmu yang satunya?"

"Rey?" Arvy mengelak. "Dia bukan temanku. Aku tidak peduli dimana dia sekarang. Sudah kubilang kan aku tidak menculik siapapun."

"Dia berada di rumah sakit jiwa. Dia sedang di rehab sekarang. Ternyata dia adalah putra dari pengusaha kaya dan sudah hilang lama sekali." Holan melirik Arvy. "Kenapa keluarganya tidak melaporkannya sebagai orang hilang?"

"Kenapa menatapku seperti itu? Aku juga tidak tahu tentang itu. Apa paman masih tidak percaya? Aku hanya membiarkan dia di basemen tidak lebih dari sebulan, sisanya aku tidak tahu dia kemana. Lagipula dia tidur seharian di ranjang dan aku juga memberinya makan dengan layak."

"Iya iya. Sudah sudah tidak perlu dijelaskan lagi. Paman juga minta maaf,"

Arvy menatapnya.

"Karena sudah mengira kau anak yang berbahaya. Aku hanya tahu sih kalau orang orang memanggilmu es batu tapi kau tidak akan melakukan kejahatan. Jadi aku minta maaf karena menuduhmu dengan kata kata seperti itu."

"Tidak apa apa. Aku tidak tersinggung dengan kata kata seperti itu."

"Apa ayahmu…eh tidak tidak…makan saja makananmu."

Holan ragu bertanya tentang Ardana yang mengetahui ini atau tidak namun ia memutuskan tidak bertanya dan hanya tersenyum. Arvy juga paham apa yang ingin pamannya lakukan namun ia memilih tidak melanjutkan obrolan dan kembali menikmati nasi hangat mereka di musim hujan ini.

"Letnan!" teriak Asya. Ia membawa nampan dan menuju meja mereka. "Bolehkah aku bergabung?"

"Tentu saja."

"Oh…dia ini…siapa?"

"Dia keponakanku, Arvy. Dan Ini Asya, polwan cantik yang akan segera menikah. Dia ketua dari tim yang menangani kasus Alfa."

"Terima kasih Letnan sudah memujiku," Asya tersenyum senang. "Kemarin aku bertemu dengan pacar putrimu, jadi aku agak bingung, kupikir dia juga pacar putrimu yang lain." Asya mengatakannya dengan begitu enteng sembari tertawa garing.

"Uhuk uhuk."

Holan yang duduk di sampingnya memukul mukul pelan punggungnya lalu memberinya minum.

"Maaf, apa kata kataku menyinggungmu?"

"Aisshh kau ini. Lihatlah wajahnya sampai merah gara gara keselek." Holan menggelang.

"Maaf, hehe." Asya bercanda.

"Amy adalah sepupu saya." kata Arvy kemudian. Dengan nada kesal "Mana mungkin kami punya hubungan seperti itu?"

"Kau juga menghadiri persidangan tadi?"

"Iya."

"Apa pekerjaanmu?"

"Kau ini kenapa tanya terus sih?!' Holan jengkel. "Arvy yang sudah membantu menemukan Valen. Kita harus berterima kasih padanya."

"APA?!' Asya syok berat.

"Ah jadi karena itu Letnan bisa mengetahuinya. Valen terluka dan dibawa ke rumah sakit saat itu. Di mana kau menemukannya?" tanya Asya pada Arvy.

"Itu…"

"Yang berlalu sudahlah berlalu. Apa itu penting? Sidang sudah selesai dan dia sudah mendapat hukumannya. Lagipula, bukankah dia seharusnya mendapatkan imbalan sesuai yang tertera pada pengumuman yang telah disebar?"

"Ah iya, kalau tidak salah sekitar…" Asya menunjukkan lima jarinya.

"Apakah aku benar benar akan mendapatkannya?" Arvy penasaran.

"Ehem ehem," Asya meliriknya. "kalau kau keponakan Letnan, bukankah kau cucu keluarga Satria? Kau masih mau mengambil uang itu?"

"Tentu saja, kenapa harus menolak rezeki." Arvy tersenyum. Mereka bertiga tertawa.

"Kau bisa bercanda juga rupanya." kata Holan.

Setelah selesai makan mereka berbincang sebentar di depan kedai itu.

"Oh ya Arvy, kulihat kau memiliki fisik yang bagus, kau bilang kau mengelola bar kan? Apa kau tidak ada tertarik masuk ke kepolisian?"

Holan dan Arvy saling pandang.

"Jika dia mau dia akan mendapatkannya dengan mudah," Holan memuji Arvy yang maksudnya ia memang bagus dalam banyak hal termasuk fisik dan intelektualnya untuk menjadi seorang polisi.

"Maaf tapi aku tidak tertarik."

"Kenapa?"

"Polisi itu merepotkan. Dan saya tidak suka hal yang membuatku repot." kata Arvy. "Paman terima kasih makanannya. Kalau begitu saya pamit dulu, Paman dan Kak Asya, mari."

"Astaga anak zaman sekarang memang jujur seperti itu ya," kata Asya sembari melihat Arvy pergi dari sana.

"Dia memang sedingin es batu. Semua orang memanggilnya begitu." Holan tersenyum melihatnya.

Chapitre suivant