"Baguslah kalau kau mengerti."
"Kemarin kau bilang ingin bertanya tentang anak dari panti…"
Ting tong!
Suara bel rumah berbunyi.
Rataka dan Alfa berhenti berbincang. Keduanya saling pandang dan terkejut.
"Amy?" tebak Alfa.
"Alfa! Aku masuk ya!" teriak Amy dari luar.
Amy memasukkan password di kunci monitor lalu membuka pintu. Ia melihat jendela bagian samping terbuka.
"Tumben kau membuka jendela."
Amy melangkah mendekat dan melihat pemandangan di luar jendela.
"Wah ternyata tinggi sekali ya kamar kita," Amy bersemangat karena tidak pernah melihat keluar jendela dari kamar Alfa.
Sedangkan Alfa memegang dan alisnya dengan menghela napas berat.
"Aku juga heran kenapa kamarnya berada di tempat setinggi ini," timpalnya sembari menengok ke bawah. Dan menggeleng pelan. "Apa dia kucing?"
"Siapa yang kucing?" sahut Amy tiba tiba mendengar kata kucing.
"Ah tidak, bukan apa apa kok."
Amy lalu menjauh dari jendela dan memintanya untuk menutupnya agar Alfa tidak sakit lagi karena masuk angin. Ia melangkah ke ruang tengah. Sedang Alfa masih di sana sembari memeriksa area bawah yang bisa dijangkau matanya.
"Dimana dia? Mengapa bisa meloncat dari tempat setinggi ini? Apa dia benar benar manusia?" batinnya. Tentu saja pertanyaan pertanyaan itu tidak ia temukan jawabannya.
***
Arvy tengah melayani pelanggan terakhirnya di kasir. Setelah pelanggan itu pergi ia membereskan meja. Namun tiba tiba seseorang datang. Tanpa melihat siapa orang itu dan terus mengelap meja Arvy berkata
"Maaf bar nya sudah tu…" Arvy melihat orang itu. "Dio?"
"Ada yang harus aku bicarakan."
Mereka berdua berada di lounge bar atas. Seorang karyawan menyuguhkan minuman di meja.
"Dari mana kakak mengetahui itu?" tanya Dio dengan wajah serius.
"Tidak perlu terburu buru. Minum saja dulu."
Arvy menuangkan botol wine ke gelasnya. Itu adalah wine ungu kualitas terbaik. Dio meliriknya dan merasa tidak tenang melihatnya.
"Aku tidak minum. Aku menyetir."
"Aku bisa menyetir untukmu. Aku akan mengantarmu pulang."
"Kenapa kau melakukan ini padaku, Kak?!"
Arvy meletakkan botolnya lalu menyandarkan punggung di sofa empuk.
"Apa yang telah kulakukan?"
"Kau tahu maksudku kan? Kenapa kau masih pura pura?"
"Lalu kenapa kau tidak mengatakannya? Kenapa kau tidak jujur pada semua orang? Harusnya aku yang tanya, kenapa kau masih pura pura? Bahkan sekarang?"
Dio tak bisa berkata kata. Ia tahu akan kalah dalam perbincangan ini. Dio membuang muka.
"Kemarin saat kita sarapan bersama di apartemenku. Kau ke kamar mandi kan?"
Dio kembali menatapnya, menunggu jawaban dari pertanyaan awalnya.
"Kau menjatuhkan satu pil mu di bawah wastafel."
"Apa?!" Dio terkejut. Dio mengingat kembali. Lalu menghela napas.
"Aku mencari tahunya, dan itu adalah obat penenang yang harus menggunakan resep dokter. Apa ayahmu mengetahui hal ini?"
"Hanya karena itu? Lalu bagaimana kau tahu hubungannya dengan Amy?"
"Aku melihatmu beberapa kali mengunjungi ibumu saat Amy menemani Alfa koma. Kau marah kan saat itu?
"Kenapa aku harus marah?"
"Karena bukan hanya adikmu yang kehilangan orang yang dicintainya. Tapi juga kau."
"A…apa?" mata Dio melebar. Dia tahu kalau Arvy memang peka dan jeli, tapi ia tidak pernah tahu akan sedetail ini.
Arvy menyodorkan gelas yang berisi wine ke Dio, namun ia mendapati reaksi nak itu yang tak biasa.
Dio berdiri dna meraih gelas itu dengan cepat dan melemparkannya dengan penuh emosi ke sudut ruangan hingga pecahannya terlempar ke mana mana.
Pyarrr!
"Kenapa? Kenapa kau tidak mengatakannya lebih awal sejak saat itu?! kenapa?!"
Dio marah besar, wajahnya memerah dan matanya melotot menyeramkan ke arah Arvy. Ia mendekat dan menarik kerahnya.
"Apa melihatku seperti ini menyenangkan? Apa kondisiku ini… menarik buatmu?! kenapa kau diam kak? Kenapa?!!"
Buaghh!
Dio memukul wajah Arvy hingga sudut bibirnya berdarah.
Arvy menahan napasnya tak percaya. Diusapnya darah merah itu sembari menatap keponakannya yang biasanya bersikap layaknya kucing kini berubah menjadi singa. Arvy khawatir pada kondisinya namun sekaligus tidak percaya pada reaksinya yang seperti ini
"Apa kau… Dio yang kukenal?"
Keduanya saling menatap satu sama lain dengan tajam.
"Apa maksudmu, Kak? Kau menolak diriku yang bertolak belakang sekarang? Kau membenciku karena seperti ini?"
"Ha?"
"Bukankah kau sama? Kau tidak seburuk yang orang kira, kenapa kau bersikap dingin pada orang yang ingin kau lindungi? Kau juga pengecut sepertiku kan? Jawab aku?!"
"Bocah ini aishh…." Arvy meraih kerah Dio, menariknya dengan kuat. "Apa yang ingin kau katakan sebenarnya?! Apa kau bosan hidup huh?!"
Arvy tidak tahan melihat sikapnya. Ia balas meneriakinya.
"Aku…membenci semua orang." mata Dio mendadak berkaca kaca.
"Apa?"
"Apa ayahmu tahu tentang ini? Apa Amy tahu tentang keadaanmu ini?!"
"Kau tidak mendengarku?!" Dio masih berteriak dan marah, namun matanya berkaca kaca pedih nan pilu. "Aku membenci semua orang! Aku benci semuanya! Aku benci memiliki kehidupan seperti ini! Aku benci dengan hidupku yang sok sempurna ini. Aku benci keluargaku. Aku benci keadaan ibu yang sekarang! Arggg!" Dio mendorong tubuh Arvy hingga jatuh ke sofa panjang.
"Bahkan Amy sekalipun?"
Dio tidak mendengar pertanyaan itu. Ia terjerembab dalam emosi kepedihan dan amarah yang bersamaan. Ia menjambak rambutnya sendiri frustasi. Meraung dan berteriak. Menangis namun air mata ini seolah dosa yang tak boleh ia keluarkan. Arvy termenung menatap kegilaan Dio. Ia membisu dan membatu, ia mengingat dirinya di masa lalu. Saat pertama kali mendengar ibunya kecelakaan dan koma. Ia baru smp dan sulit menerima semuanya. Ia sering mengamuk di rumah, di rumah sakit dan memukul siapapun yang mengganggu kesehariannya. Termasuk para satpam di rumahnya atau teman temannya di sekolah. Ia menjadi preman pemarah yang suka memukul dan tidak punya teman. Padahal ia menangis seorang diri dengan pilu di dalam bilik kamar ibunya dengan menyedihkan dan tidak ada seorang pun yang tahu.
Arvy melihat sosok dirinya berada dalam Dio sekarang. Ia tenggelam dalam lamunannya.
"Bukankah kau juga benci pada ibumu yang bernasib sama denganku? Kau membenci semua orang! Kau membenci semuanya karena kehilangan seseorang yang tak bisa kau lindungi!"
Arvy tersadar dari lamunan, ia bangkit dan meneriaki Dio dan meraih kerahnya cekatan.
"Hentikan!"
Buagh.
Arvy memukulnya.
"Hentikan sekarang juga Dio? Apa kau sudah kehilangan akal. Apa kau sudah gila huh?!" teriak Arvy berusaha menyadarkannya.
Tiba tiba Dio terjatuh dan sesak napas. Kedua tangannya gemetaran dan tubuhnya kejang kejang. Arvy panik melihatnya.
"Dio! Dio!"
***
"Untunglah kau segera menghubungiku. Terima kasih sudah membawa Dio ke sini secepatnya."
"Dr. Yohan kau…"
"Iya. Aku sudah mengetahuinya."
Arvy tidak percaya mendengarnya.
"Siapa saja yang mengetahuinya?"
"Hanya aku dan Pak Holan."
"Pak Holan? Ayahnya sendiri tahu?"
Yohan mengangguk.
Arvy menghela napas sembari melihat dari kaca kecil di pintu pasien, Dio tengah tertidur di ranjang dengan tenang. Mereka berdua duduk di kursi tunggu.
"Jadi apa yang sebenarnya terjadi dengan Dio?"
"Dia…"
"Aku tidak akan memberitahu siapapun. Aku tidak seceroboh itu."
"Aku tahu. Tapi hanya saja…" Yohan menunduk sedih. "Dio menderita bipolar akut."
"Apa?"