webnovel

Pulang

"Apa ini? Apa yang kau lakukan padaku?! hentikaaan!"

"Sudah kukatakan aku bisa mengutukmu dengan mantra yang paling menyakitkan dari seluruh mantra."

"Kakaaaaakkk selamatkan aku. Tidaaaaakk!"

Tubuh Rowlett membatu tak bisa digerakkan. Bahkan tangannya kini gemetaran hemat. Benang tipis itu awalnya hanya satu meliuk-liuk seolah cacing dalam tempolong, kini bertambah, menjadi dua tiga, hingga tiba-tiba puluhan dan ratusan.

Rataka mendekat dan membisik di telinganya. Entah apa itu, namun cukup membuat mata dan ekspresi Rowlett membeku bak patung.

"Benang ini tersambung kepada semua orang yang pernah berhubungan denganmu. Di masa lalu dan masa sekarang. Rasa sakit yang kukirimkan pada mereka kini semuanya menjadi bebanmu, termasuk Valen dan si br*ngsek Ramon."

Rowlett jatuh dna terlentang di lantai, dengan mulut menganga, mata terbuka dan mematung, benar-benar seperti patung. Telapak tangan kirinya masih dipenuhi benang-benang biru yang berputar-putar bak bola ramalan.

Rataka berdiri dan menatap kondisi anak remaja yang disayangkan itu. Bola matanya berubah cokelat perlahan. Warna birunya menghilang. Rataka telah kembali pada dirinya.

Rataka menyentuh dahi anak itu sembari memejamkan matanya seolah merasakan raungan fyber fyber yang terbakar dan ilusi ilusi yang beterbangan diotak orang-orang dari masa lalu Rowlett. Ia menemukan kenangannya di panti asuhan tidak terlalu jelas, namun cukup jelas ketika ia berinteraksi dengan Valen.

"Aku bahkan belum melawannya secara adil. Rowlett…kau melihatnya Ramon?" Rataka masuk ke kilasan masa lalu anak itu. Ramon berdiri membelakangi Rataka (yaitu Rowlett). "Aku mengunci kesadaran salah satu pilar yang kau besarkan, yang kau ambil dari panti asuhan itu, Valen, kau mendengarku bukan. Bagaimana? Sakit bukan? Inilah mantra yang kau tancapkan di banyak manusia tak bersalah selama ini. Aku bukannya tidak bisa membalas apa yang sekte kalian lakukan pada Nadia dan Raziva, tapi aku memberi kalian kesempatan untuk mencegah perang di masa lalu terjadi kembali."

Wuuushhhhh….

"Alfa!"

Dio masih memeluk adiknya yang meraung dengan penuh kepedihan. Hingga pintu terbuka. Amy dan Dio menengok bersamaan berharap dokter keluar dengan membawa berita gembira. Namun ternyata tidak seperti itu.

Amy melepas pelukan kakaknya dan berjalan mendekat dengan ekspresi kosong. Pintu itu terbuka namun semuanya terasa tidak masuk akal.

"Tidak mungkin…." Dio terperanjat.

"Alfa…" Amy melangkah dengan kaki kedua tangan gemetaran. "Kau…bagaimana bisa?"

"Amanda….Aku merindukanmu."

Alfa keluar dengan baju pasien, wajahnya pucat, kakinya lemah namun cukup kuat untuk melangkah. Perlahan air mata memenuhi kelopak matanya.

"Alfa…." Amy tidak percaya menyaksikan dengan kedua matanya sendiri, pria yang paling ia sukai berdiri di hadapannya.

Ia seolah kembali dari kematian. Dokter diikuti suster keluar dengan tergesa.

"Anak itu… benar-benar suatu mukjizat." Dokter memperbaiki letak kacamatanya.

***

"T…tuan Ramon!"

Bawahan bersujud di belakang seseorang yang tengah menatap keluar jendela dengan memejamkan mata. Bawahan itu menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya seolah sedang ditinju sel-selnya. Ia juga mendapat ingatan yang tidak ingin ia ingat selama hidupnya.

"Tuan Ramon! Sebenarnya apa yang terjadi?! semua anggota kita pingsan dan tergeletak di tempat sembari mengeluarkan buih dari mulutnya, mata terbuka dan nadi mereka lemah namun belum mati. Anggota pilar dan anggota yang kuat cukup bisa menahannya. Namun kami semua merasakan kesakitan. Sepertinya aku juga tidak bisa bertahan lagi. Aaarrrkkkhh."

Beberapa saat kemudian bawahan yang melapor itu pingsan di tempat dengan buih mengalir keluar dari mulutnya, matanya juga terbuka lebar.

"Rataka…" Ramon memejamkan matanya dengan tenang, tak kesakitan sedikitpun meskipun ada beberapa percikan ingatan menyakitkan yang mampir.. Ia merasakan dan mendengar pesan yang disampaikan Taka untuknya mengenai Rowlett. "Kau seharusnya membunuhku sejak awal. Apa menahan kekuatanmu seperti ini menyenangkan?"

Ramon membuka matanya lebar dengan tiba-tiba, warnanya merah menyala, giginya menggertak. Air mukanya terbakar amarah.

"Kau melakukan ini demi seorang manusia lemah, huh?! Aku tidak akan keluar dari permainan Rataka! Ku tunggu kau di perang selanjutnya. Ahahahahaha."

Ramon merentangkan dua tangannya di depan jendela panjang dan lebar sembari tertawa terbahak-bahak. Ingatan-ingatan menyakitkan yang melewati otak Ramon adalah kekalahan perang di masa dahulu. Ia memejamkan mata sembari tertawa menikmati kesakitan saat ia mati dalam perang itu.

Seseorang yang membunuhnya, ia ingat dengan jelas wajahnya, itu adalah Rataka. Namun Taka tak memilih untuk menggunakan seluruh kekuatannya hingga Ramon kabur dan bisa selamat.

Rataka membuka matanya setelah memejamkannya agak lama. Ingatan buruk Rowlett ia tangkap seluruhnya termasuk jawaban Ramon. Meskipun ia tak bisa melacak area atau lokasi dengan itu.

"Skakmat."

***

"Aku merindukanmu, Amanda."

Amy berlari menghampirinya dan memeluk erat Alfa, tanpa mengetahui telapak tangan kirinya dipenuhi benang-benang tipis berwarna biru, berenang-renang seolah ikan di sana.

"Aku tahu kau pasti selamat. Aku tahu kau akan kembali!" Amy menangis memejamkan matanya.

Alfa tersenyum dan membalas pelukannya perlahan. Tangannya masih lemah namun ia merengkuh Amy dengan erat.

"Tentu saja. Aku pasti pulang apapun yang terjadi."

Sesaat setelah mengatakan itu, tiba-tiba mata Alfa menjadi buram. Perlahan-lahan semuanya gelap, ia limbung lalu pingsan. Amy panik.

Dokter menghampirinya. Ia memeriksa mata Alfa dengan sorot kecil.

"Tenang saja. Dia hanya tertidur."

"Syukurlah." Amy terkejut namun ia lega.

"Dia akan kami pindahkan ke rawat inap. Kondisinya baik-baik saja," kata Dokter.

Dio akhirnya dapat menghela napas lega melihat keduanya.

***

"Saya sudah melepas kutukannya, Tuan Ramon," ujar seseorang yang menunduk di hadapan kursi kebesaran Ramon di tengah aula besar.

"Kau sudah tahu apa yang harus kau lakukan selanjutnya, kan?' tanya Ramon yang lebih mirip perintah mutlak.

"Rowlett berada di tangan Rataka dan kita kehilangan mata-mata sekaligus sandra terdekat kita dengan mereka (Alfa). Dari awal anda terlalu cepat menjadikan anak lemah itu pilar."

"Si Valen sialan itu… ah…" keluh Ramon. "Benar-benar tidak bisa diandalkan. Jangan mencolok sepertinya. Apa kau membawanya?"

"Apa? Ah pedang itu…"

"Tetaplah bawa Linka bersamamu. Jangan muncul di hadapan Rataka sampai kuperintahkan kau."

Pria berambut hitam dengan poni panjang itu mengangguk dengan sopan dan hormat. Ia lalu berdiri dan menarik sesuatu dari punggungnya. Sebuah pedang panjang muncul dari sarung tak terlihat. Ia lalu mengibaskan pedang itu. Tertulis di ujung gagangnya sebuah nama, yaitu Linka.

"Pedang kembar antara kau dan Rataka…kau yakin ingin memerintahkanku diam saja seperti kartu ace?" tanyanya.

"Kau pikir aku terlalu ceroboh memilihmu jadi pilar nomor 1? Cih," Ramon tersenyum menyeringai.

"Pedang kembar antara kau dan Rataka…kau yakin ingin memerintahkanku diam saja seperti kartu ace?" tanyanya.

"Kau pikir aku terlalu ceroboh memilihmu jadi pilar nomor 1? Cih."

Ramon tersenyum menyeringai.

"Pedang kembar itu tak akan bisa membunuhnya selama ia memegang Liska. Linka adalah benda yang hilang sejak perang berakhir di masa lalu. Itu bukan hanya ace, aku akan menggunakannya untuk mengincar nyawa orang-orang Bangsa Penyegel Mantra lebih dulu. Terutama petinggi terakhir dan para keturunannya."

Chapitre suivant