Buaghh!
"Katakan jika kau sudah siap, katanya? Sepertinya kau salah paham, mengawasi dari jauh bukan berarti membebaskanmu, dasar Tamak!"
Buagh!
Alfa berlutut dengan tubuh terkulai lemas. Wajahnya babak belur, satu matanya berwarna ungu lebam, ia menekan telapak tangan kirinya yang mengeluarkan warna merah menyala seperti terbakar. Itu adalah efek dari kutukan ilusi, kedua tangannya tremor hebat namun ia hanya meringis menahan rasa sakit yang luar biasa. Keringat dan darah menyatu dari kepalanya dan mengalir ke pelipis dan pipi. Kesadarannya hampir hilang, namun ia mati-matian menahannya. Bahkan kaos putih pendeknya dipenuhi darah dan kotor karena sepatu atasannya yang selalu ia tendangkan ke perut dan punggungnya.
"Kau pikir kita sedang main film cinta-cintaan? Kau menggali kuburanmu sendiri, Bodoh!"
Buagghh!
"Kau menyukai gadis yang akan kau tumbalkan, huh?!"
"Kau berani menerima konsekuensi dari perasaanmu yang bodoh itu?!"
"Harusnya kau mati saja karena kutukan ilusi itu, Sialan!"
Alfa hanya diam menghela napas, lalu meringis kesakitan, matanya menyipit menerima semua pukulan-pukulan yang hampir membuatnya mati itu. Memang ini salahnya, tidak seharusnya ia terbawa perasaan dan suasana.
"Maafkan aku, bos. Aku akan menerimanya."
"Sialan!" atasan itu meninju wajahnya lagi lalu mengambil kayu balok besar dan dipukulkan ke kepalanya hingga berdarah-darah.
Kepala Alfa nyut-nyutan, sekaligus telapak tangannya yang mirip dibakar dengan berkilo-kilo bensin.
"Rggghhhh," erangnya, ia berusaha menahan sakit di sekujur tubuhnya.
"Maaf katamu! Kau kira dia akan memaafkanmu? Bukan hanya kau yang akan mati, aku juga akan ikut dihabisi, Br*ngsek!"
Buaghh!
Alfa terpental dan tubuhnya menabrak dinding kotor. Atasannya menyiksanya semakin menjadi-jadi. Meskipun darah telah berceceran, dari kepala, mulut dan tubuh Alfa, ia tetap memukulinya tanpa ampun sembari memarahi dan mengumpatinya tanpa akhir.
"Kau sudah dibesarkannya sampai jadi dewasa, tapi sekarang malah main cinta-cintaan, dasar tidak tahu diri!"
Buagh!
Buagh!
Setelah puas, atasan itu membuka tudung yang menutupi wajahnya, lalu mengambil rokok di saku jubah, dan menyulut rokoknya dengan korek api. Tanpa rasa bersalah, ia menendang tubuh Alfa yang terkapar pingsan di sana, sedang atasan itu keluar gudang dan dengan santainya merokok lalu duduk di depan.
Mereka berdua berada di sebuah gedung tak berpenghuni. Ada beberapa lantai yang dihubungkan dengan tangga namun tangga itu kotor dan licin karena lumut. Tempat itu jauh dari pusat kota. Alfa pingsan dengan posisi tengkurap, tubuhnya kotor dan penuh darah. Ia menjulurkan tangan kanannya lebih jauh namun ia tak bisa bergerak. Saking sakitnya seluruh tubuhnya seperti mati rasa. Tangan kirinya masih gemetaran hebat. Tanda segitiga merah di telapak tangan itu membuatnya tak kuat berdiri.
"Aku memang pantas mati," gumamnya. "Tapi aku tidak bisa mati di sini. Aku tidak bisa mati ditangan atasan sialan itu."
Ia membuka matanya perlahan tapi menutupnya kembali seolah hari ini adalah hari kematiannya.
"Amanda…aku ingin menemukan Rama untukmu, tapi…." batinnya bicara meski matanya terpejam, Alfa menitikkan air mata.
"Maafkan aku…"
Mata Alfa menutup perlahan. Segitiga merah di tangannya memudar. Ia sudah bersiap mati sejak lama.
Namun seseorang tiba-tiba datang, suara sepatunya yang terseret di lantai yang khas. Alfa membuka matanya lagi perlahan dan tepat di depan wajahnya yang terkapar di lantai, ia melihat sepatu besar di sana. Ia bahkan tak memiliki tenaga untuk mendongak dan melihat siapa yang datang.
"T…tuan? Apa itu kau, Tuan nomor 2?" tanyanya dengan setengah sadar. Setelah itu Alfa pun tak bisa mendengarnya, kali ini ia pingsan total.
***
Seorang pria yang memakai topi dan masker tengah menggendong Alfa di punggungnya. Pria itu membawa Alfa sampai ke depan pintu utama rumah sakit milik keluarga Satria. Tubuh Alfa terkulai lemas, kali ini ia benar-benar tidak bisa menahannya padahal ia mungkin saja memberontak dna melawan balik, namun ia memilih untuk diam saja dan menerima semua pukulan itu. Terutama pada bagian kepala dan punggungnya yang dipukul balok kayu berkali-kali. Hampir fatal dna terlambat.
Pria itu menggeletakkan Alfa begitu saja di teras lantai depan pintu. Ia hendak kabur namun sialnya, Dr. Yohan yang kebetulan tengah berada di luar rumah sakit sembari membawa kopi di tangannya melihat kejadian itu.
Yohan tidak tahu siapa keduanya, tapi naluri dokternya segera mendeteksi bahwa pria yang digeletakkan itu sangat parah kondisinya. Ia berlari hingga menumpahkan kopinya tanpa sadar dan mendekat. Pria yang menggendongnya sadar ada seorang dokter yang memergoki mereka, dirinya langsung pergi meninggalkan rumah sakit.
"Tunggu!" teriak Yohan pada pria yang berlari.
Pria yang berlari itu berhenti berlari namun enggan berbalik.
"Pria yang babak belur itu, apa kau yang membuatnya jadi seperti itu?"
Pria yang menggendongnya menggeleng.
Dr. Yohan menghela napas. Sepertinya ia sedikit paham situasinya, namun seseorang harus jadi wali pasien.
"Harusnya kau menggendongnya sampai ke dalam. Kenapa kau melarikan diri?"
Pria itu tak menghiraukannya, kemudian berlari meninggalkannya.
Dr. Yohan merasa seperti melihat siluet seseorang yang dikenalnya dari masa lalu. Ia mengingatnya lagi lebih keras.
"Kenapa dari belakang tubuhnya mirip dengan orang tabrak lari saat aku masih kuliah dulu, ya?" (Rataka, lihat bab 33)
Dari jauh pria itu membuka topi dan masker hitamnya. Ia memang Rataka, pria yang juga datang ke gedung kosong tadi adalah Rataka, meskipun Alfa salah mengira dirinya atasannya. Kini ia mendapatkan sebuah informasi penting. Melihat Alfa juga ternyata memiliki kutukan ilusi di tangannya, meskipun tidak terlalu tinggi tingat bahayannya, seperti yang dimilik Nadia dan Raziva.
"Akhirnya aku mendapatkanmu, Pria pemantra kutukan," gumamnya.
***
Amy tengah memencet bel pintu kamar Alfa, namun tak ada sahutan. Ia mengetuknya berkali-kali namun masih tak ada sahutan. Ia sebal karena telfonnya tidak diangkat sejak pagi. Se tekah di cek di kamarnya juga tidak ada. Amy mengumpatinya meskipun sebenarnya ia sangat khawatir.
"Apa dia menghindariku? Apa kau tidak mau bekerja? Woi sialan!" teriaknya sembari menggedor-gedor pintunya dengan emosi.
Ia kemudian mengecek ponselnya dan menghubunginya lagi.
"Silangkan hubungi sesaat lagi. Nomor yang anda hubungi…."
"Sialan kau, Fa! Kemana sih ini anak!" Amy frustasi. Di depan kamar Alfa ia mengacak rambutnya.
Hingga akhirnya ponselnya berdering. Ia terkejut melihat nama di layar adalah 'Partner'. itu adalah nomor Alfa.
"Alfa! Kenapa kau tidak menghubungiku seharian?!"
"Amy," panggilnya dari seberang telepon namun bukan suara Alfa.
"Loh? Ini kan…"
"Ini aku Dr. Yohan."
Degh
Tidak ada percakapan lagi. Amy mematung sembari mendengarkan suara Yohan yang terdengar perlahan kabur di telinganya. Katanya Alfa kritis di rumah sakit.tapi tak ada yang bisa jadi wali di sana, jadi menghubunginya.
"A…alfa…" gumam Amy, tangannya yang memegang ponsel jatuh terkulai. Ia berlari keluar gedung apartemen dan menghentikan taksi lalu pergi menuju rumah sakit.
Sesampainya di sana ia melihat Alfa tengah berada di unit gawat darurat. Dr. Yohan yang menanganinya. Alfa kehilangan banyak darah, Amy melihat dari balik pintu kaca tebal yang bagian atasnya masih transparan. Amy melihat ke dalam dan mendapati Dr. Yohan dibantu dokter dan suster lainnya berusaha memberi CPR. Ia melihat monitornya.
Alfa hampir kehilangan nyawanya.
Amy berjongkok, tidak berani melihat ke dalam lagi. Bibirnya bergetar, tangannya gemetaran, ia menggigit bibirnya agar tak menangis kencang. Hingga Dio datang dan membantunya berdiri.
"Amy, tenanglah," Dio memeluknya. "Alfa pasti baik-baik saja."
"Kak Dio… Alfa…Alfa…." Amy gemetaran, ia memegang jaket kakanya dengan jari-jari yang bergetar hebat. Air matanya bercucuran namun ia tak bisa menunjukkan ekpsresinya dengan benar.
Amy linglung.
Dio memeluknya semakin erat dan membisikinya untuk tenang.
"Alfa pasti selamat. Pasti!"